"Apa maksud Anda, Bu Arumi? Anda sudah menandatangani kontrak dengan kami, dan Anda tidak bisa memutuskan kerja sama ini begitu saja. Anda bisa dituntut wan prestasi karena menyalahi kontrak." Arumi menghembuskan napas sepenuh dada. Jika dia dituntut kasus wan prestasi, kemungkinan Alan bisa membayar denda tersebut. Namun, itu sama saja mematikan karirnya, karena setelah itu, Arumi yakin jika suaminya pasti tidak akan mengijinkan dia untuk kembali menjadi seorang influencer. "Bagaimana Bu Arumi? Anda tetap mau membatalkan kontrak kerja sama kita?" "Maafkan atas sikap lancang saya, Pak Leo. Tadi saya sedikit emosional, karena masalah pribadi. Saya akan tetap pada komitmen awal," jawab Arumi pasrah, karena dia sudah tidak punya pilihan. Lebih tepatnya, untuk kali ini, Arumi tidak bisa memilih. "Bagus, saya harap. Kita bisa menjalin kerja sama sebaik mungkin, Bu Arumi." Arumi mengangguk, sembari tersenyum tipis. Meskipun di dalam hatinya, perasaannya begitu campur aduk. Dia ke
Di sisi lain ....Selama meeting, Chyntia kali ini lebih banyak diam, tak sepatah katapun keluar dari bibirnya, kecuali masalah pekerjaan. Dimas, salah seorang staf cabang perusahaan Alan di Bandung yang beberapa kali meledeknya pun dia acuhkan."Habis ini kamu mau kemana, Dimas?" tanya Alan, ketika mereka sudah selesai meeting."Mau jalan-jalan lagi dong Pak, namanya juga jomblo. Kecuali, Neng Chyntia mau temenin Abang."Dimas terkekeh, sembari melirik ke arah Chyntia yang masih terdiam. Sebenarnya, saat ini Chyntia, sedang bingung, memikirkan rencana untuk mendekati Alan. Karena saat ini, ada Kanaya bersama mereka.Chyntia ingin memanfaatkan kesempatan ini sebaik mungkin, tapi dia masih belum menemukan cara."Neng Chyntia, nanti mau kemana? Jalan-jalan yuk, sama Abang, masa anak gadis di kamar terus sih, kaya lagi di pingit aja.""Maaf, saya sedang tidak enak badan," sahut Chyntia datar, tanpa menoleh sama sekali ke arah Dimas."Masa nggak enak badan terus sih? Padahal kan belum Aba
Entah sudah ke berapa kali, wajah Kanaya dibuat merona oleh Alan. Semua sikap yang Alan tunjukkan padanya, benar-benar membuat dia melayang. Meskipun, Kanaya pun tak tahu bagaimana perasaan Alan yang sebenarnya. Karena kata cinta itu belum pernah terucap. Namun, untuk saat ini dia benar-benar bahagia. "Kok nglamun?" tanya Alan, ketika melihat Kanaya yang terdiam. Kanaya tak menjawab, hanya kian merapatkan tubuhnya. Lebih erat, dan dekat dengan Alan."Kamu lihat pasangan yang di sana."Alan menunjuk ke bagian bawah cafe, yang terlihat dari jendela VIP room tempat mereka saat ini berada. Kanaya kemudian memperhatikan sekitar cafe tersebut. "Itu yang di pojok!" tunjuk Alan kembali."Memangnya kenapa, Pa?" tanya Kanaya saat melihat pasangan yang ada di bawah sana."Berani taruhan nggak kalau mereka backstreet?" Kanaya pun menatap Alan dengan tatapan heran."Kok Papa mikirnya gitu?""Kamu lihat aja tuh, muka mereka kaya ketakutan gitu. Mata mereka, memperhatikan setiap wajah orang yang m
BEBERAPA TAHUN SEBELUMNYA .... Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, dan sekarang Arumi sedang mengendarai mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Setelah pertengkarannya tadi sore dengan Alan, Arumi merasa penat. Jadi, ketika Kanaya sudah tertidur, Arumi memutuskan untuk keluar dari rumah. Saat ini, Alan memang sedang pergi ke Singapura, untuk urusan bisnis. Karena itulah, Arumi merasa bebas. Sebenarnya, Alan meminta Arumi ikut ke Singapura, untuk melakukan cek kesehatan reproduksi mereka berdua. Memang, sudah beberapa tahun belakangan ini, Alan meminta Arumi untuk melakukan program hamil. Akan tetapi, Arumi tak mau jiwa bebasnya terkekang. Itulah sebabnya, dulu Arumi mengadopsi Kanaya, sebagai anak angkatnya, karena dia tidak suka hamil, dan melahirkan. Sejak menikah dengan Alan, Arumi memang tidak suka dikekang dengan berbagai peraturan, dan untungnya Alan selalu bersedia mengalah untuknya. Namun, tidak dengan keturunan, karena kedua orang tua mereka juga selalu menuntut
Tanpa banyak berpikir panjang, pemuda bernama Rain itu mengambil kunci mobil milik Arumi di dalam tas, lalu mengendarai mobil tersebut, menuju ke hotel, yang ada di depan club malam tempat saat ini mereka berada.Rain sengaja membawa mobil itu, agar saat Arumi bangun, dia bisa langsung pergi dengan mengendarai mobilnya, tanpa harus pergi ke club malam itu kembali.Sesampainya di hotel tersebut, Rain memesan kamar, dan memapah tubuh Arumi, ke dalam kamar yang sudah dipesan olehnya. Kala itu, Arumi sudah bisa membuka mata, tapi masih belum sepenuhnya sadar. Beberapa kali mulutnya pun terdengar merancau tidak jelas.Arumi yang tak masih dalam pengaruh alkohol, hanya bisa pasrah berjalan dalam dekapan Rain, menyusuri koridor hotel menuju ke kamarnya."Ini kamar kamu, Mba. Kamu istirahat di dalam dulu ya," ujar Rain, saat mereka sudah ada di depan pintu kamar tersebut.Entah mengerti atau tidak dengan yang dikatakan oleh Rain, Arumi hanya menganggukkan kepala."Ayo, kita masuk ke kamarmu.
"Aaaaa ...!" Boby sontak berteriak ketika Arumi mengakhiri kisahnya, tentang kejadian buruk yang dia alami beberapa tahun silam. Arumi pun bergegas membekap mulut Boby, hingga membuat lelaki gemulai itu susah untuk bernapas."Arumi lepas!" protes Boby dengan artikulasi yang tidak terlalu jelas, tapi dapat dimengerti oleh Arumi."Janji dulu nggak usah teriak-teriak lebay gitu!"Boby pun mengangguk cepat, agar Arumi bisa melepaskan bekapannya. Detik selanjutnya, Arumi pun menarik telapak tangannya dari mulut Boby. Lelaki itu kini terlihat terengah-engah disertai deru napas patah-patah setelah terbebas dari bekapan tangan Arumi.Reflek Arumi pun melotot tajam ketika Bobby mulai membuka mulutnya, seolah mengisyaratkan agar Bobby mengerem mulut itu agar tidak berbicara terlalu keras."Iya gue ngerti!" tukas Boby, sembari menarik tubuhnya ke belakang, agar Arumi tidak membekapnya lagi."Makanya jangan keras-keras, ini rahasia kita berdua, Boby. Cukup kita berdua aja yang tahu."Boby pun men
Chyntia menggelengkan kepalanya. "Ah nggak mungkin. Mereka cuma bapak, dan anak. Wajar aja kalo mereka gandengan tangan," gerutu Chyntia sambil terus berjalan di belakang Kanaya, dan Alan.Sebenarnya, Chyntia tidak nyaman, karena ayah, dan anak itu, terlihat asyik dengan dunianya sendiri. Seolah, tak menganggap dirinya ada. Namun, Chyntia tak mau menyerah. Dalam benaknya, Chyntia harus bisa mencari kesempatan, agar bisa berdua dengan Alan.Saat ini, mereka sudah duduk di restoran yang ada di bagian bawah hotel. Alan, dan Kanaya duduk bersebelahan. Sedangkan Chyntia duduk di depan Alan.Chyntia hanya bisa tersenyum getir, melihat mereka yang masih saja mengabaikan keberadaan dirinya. Bahkan, ketika memesan makanan, Alan sama sekali tak menanyakan pesanan Chyntia."Oh iya, sampe lupa ada Tante Chyntia." Kanaya yang baru saja memberikan buku menu pada pelayan yang berdiri di dekat mereka, tersenyum getir.Chyntia pun hanya mengulum senyum simpul. "Tante Chyntia udah pesen makanannya belu
Arumi tersenyum manis. Sebuah senyuman yang sebenarnya cukup dipaksakan. Sedangkan Rain, tampak menelisik penampilan Arumi, dari atas rambut, sampai ujung kaki.Seutas senyum pun tersungging di bibir lelaki itu. Wanita yang berdiri di depannya, memang selalu sukses membuat Rain terpana akan kecantikannya."Bis kita ngobrol sebentar?" tanya Arumi kembali.Rain pun mengangguk, lalu memberikan kode pada Arumi agar masuk ke dalam unit apartemennya. "Terima kasih."Arumi masuk, diikuti Rain yang berjalan di belakangnya. "Kamu duduk dulu, aku mau ambil baju.""Iya," jawab Arumi, sembari menahan perasaan campur aduk. Rasanya sungguh berat bersikap manis di depan orang yang dia benci. Namun, Arumi harus melakukan itu.Setelah Rain masuk, Arumi memindai pandangannya ke seluruh sudut apartemen, yang terlihat cukup rapi, untuk ukuran apartemen seorang lelaki."Mau minum apa?" tanya Rain ketika keluar dari dalam kamar, setelah mengenakan pakaiannya."No thanks." Mendengar jawaban Arumi, Rain pun
Di dalam ruang tengah, Rain menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar. Cahaya dari layar memantul di matanya yang penuh amarah dan kekecewaan. Napasnya memburu, dadanya naik turun seiring gelombang emosi yang meluap di dalam dirinya. Beberapa saat yang lalu, dia menyadap ponsel milik Stela, dan menemukan sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan.Bukti, percakapan, rencana. Semua tertulis jelas. Stela adalah dalang di balik kecelakaan Arumi.Rain mengeratkan genggamannya pada ponselnya sendiri, seakan benda itu bisa membantunya mengendalikan amarah yang hampir meledak. Pikirannya berputar, mengulang-ulang momen saat dia melihat bagaimana mobil tersebut terbakar, bagaimana hancurnya dia saat mengira jika Arumi telah meninggal, dan ternyata semua itu palsu. Semua itu adalah konspirasi semata yang sangat menyakiti hatinya. Rain pikir itu kecelakaan biasa. Takdir buruk yang menimpa tanpa peringatan. Namun, tidak. Itu ulah Stela. Orang yang selama ini ada di dekatnya.Rahangnya mengera
Atmosfer ruang tamu itu terasa panas meskipun AC yang menyala, menunjukkan suhu rendah. Lampu terang yang menyinari membuat bayangan wajah mereka terlihat lebih tegang.Alan duduk di sofa dengan tubuh sedikit condong ke depan, kedua tangannya saling menggenggam erat. Kanaya berdiri di dekat jendela, menggigit bibir bawahnya, sembari mendengar penjelasan Rain di ujung sambungan telepon.Sementara Pak Rama, duduk di kursi berhadapan dengan Alan. Wajahnya kusut, matanya merah dan penuh kecemasan.Di atas meja, secangkir kopi yang disajikan sejak tadi sudah dingin, tak ada yang sempat menyentuhnya. Udara di ruangan itu seperti membeku setelah Alan menyampaikan kabar yang baru saja ia dapatkan.Setelah Kanaya menutup sambungan telepon tersebut, gadis itu tampak menghela napas berat."Aku baru saja mendapat kabar dari Rain. Dia bilang, tadi saat menunggu ibunya yang masuk rumah sakit, Rain melihat seseorang yang mirip Arumi di sebuah rumah sakit tersenyum. Namun, saat Rain mendekat, wanita
Di ruang makan yang luas dan elegan, sebuah meja panjang berhiaskan lilin serta peralatan makan berlapis perak tersusun rapi. Lampu kristal menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya keemasan yang hangat. Aroma hidangan menguar, memenuhi ruangan dengan keharuman menggoda.Pak Rama meletakkan garpunya dengan tenang, lalu menatap putrinya dengan penuh perhatian."Udah sampe sejauh mana persiapan pernikahan kamu sama Alan?"Kanaya tersenyum malu-malu, meletakkan sendoknya, lalu menatap ayahnya dengan sorot mata berbinar."Hampir 75 persen, Pa. Besok kita mau fitting baju pengantin. Kita nggak undang banyak tamu, karena lebih ke acara private party."Pak Rama mengangguk pelan, ekspresinya tenang, tapi penuh makna. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menghela napas pendek sebelum berbicara."Pernikahan itu bukan sekedar tentang cinta, Kanaya. Tapi juga tentang kesiapan, tanggung jawab, dan kesabaran. Kamu harus ingat itu, dan jangan pernah melakukan kesalahan seperti yang perna
"Aku ingin bertemu dengannya. Bisakah Anda membantuku?" sambung Celine kembali, disertai sorot mata penuh pengharapan.Perawat tersebut merasa iba melihatnya. Apalagi, sejak masuk ke rumah sakit tersebut, tak ada sanak saudara yang mengunjungi Celine. Hanya Stela, itu pun hanya sebatas kunjungan singkat."Saya bisa mencoba menghubunginya. Tapi tadi nggak saya sempat melihat Nona Stela sedang berada di ruang gawat darurat.""Ruang gawat darurat? Kenapa? Apa yang terjadi padanya?" sahut Celine, sembari mengernyitkan kening."Bukan dia yang dalam keadaan darurat. Sepertinya dia sedang mengunjungi seseorang di sana."Celine menunduk, menggenggam selimut, sembari bergumam lirih. "Oh ....""Bagaimana, apa Anda jadi ingin bertemu dengan Nona Stela?" sambung perawat tersebut kembali, saat melihat raut wajah Celine yang kian sendu.Celine pun mengangguk. "Iya, aku ingin ketemu sama Stela. Aku merasa … aneh. Aku nggak ingat banyak hal, tapi aku merasa aku harus bertemu dengannya sekarang juga u
Suara langkah kaki Stela terdengar tergesa-gesa di lorong. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran saat dia mencari sosok Rain. Dia menyusuri kursi-kursi tunggu, melihat ke dalam ruangan, hingga akhirnya menemukan Rain duduk sendirian di sudut ruangan sembari menempelkan ponsel di telinganya. Entah menghubungi siapa, Stela pun tak tahu. Matanya kosong, tatapannya lurus ke arah depan, seolah tenggelam dalam pikirannya sendiri. Stela kemudian mendekat dengan hati-hati."Rain ...!"Ketika Stela sudah kian dekat, Rain menutup sambungan telepon tersebut. Lalu, Stela duduk di sampingnya."Rain … dari tadi aku cari kamu."Rain mengangkat wajah perlahan, suaranya lirih dan lelah. "Aku sedang butuh waktu buat sendiri, Stela …"Stela tersenyum tipis, menggenggam tangan Rain dengan hangat, yang Stela tahu, Rain terlihat sedih seperti ini, karena melihat kondisi ibunya. Namun, di balik itu, ada hal lain menyita perasaan, dan pikiran Rain."Aku tahu kamu cemas, tapi aku punya kabar baik."Rain menatap Ste
Beberapa Saat Yang Lalu ....Rain menatap layar ponselnya, melihat sebuah nama yang membuat hatinya yang terluka semakin tergores.Kanaya, nama itu tentu saja tak bisa lepas dari sosok Arumi yang begitu mengakar kuat di dalam hatinya. Kanaya, sosok yang masih terhubung dengan masa lalunya, masa lalu yang telah lama pergi, tapi tak benar-benar hilang.Rain memang memutuskan untuk menghubungi Kanaya, setelah tadi malam dia memutuskan sambungan telepon dadi gadis itu saat ibunya tiba-tiba pingsan.Dengan napas tertahan, Rain menekan tombol panggilan. Satu dering, dua, tiga, dan akhirnya panggilan itu terjawab.[Halo ....]Suara di seberang terdengar lebih dewasa dari yang dia ingat, tapi masih memiliki nada yang sama. Rain menelan ludah, tiba-tiba merasa ragu. Apakah langkahnya ini sudah benar. Namun, tatkala mengingat Kanaya yang tadi malam tiba-tiba menghubunginya, Rain yakin pasti ada sesuatu hal yang penting. Mungkin, ada hubungannya dengan Arumi.[Halo, Kak Rain.]Ada jeda sunyi, s
Di Sisi Lain ....Di sebuah ruang perawatan yang sunyi, hanya terdengar jarum jam yang berdetak, seiring cairan infus yang menetes. Lampu redup memancarkan cahaya lembut, menciptakan bayangan tipis di sepanjang dinding. Aroma antiseptik bercampur dengan kesenyapan, membungkus ruangan dalam ketenangan yang hampir menyerupai tidur itu sendiri.Seorang wanita melangkah perlahan, nyaris tanpa suara. Tumit sepatunya yang tipis hanya menyentuh lantai sekilas sebelum beringsut lagi ke depan. Napasnya teratur, tapi jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya.Dia mendekati ranjang, tempat seorang wanita terbaring dalam tidur yang tampak begitu damai. Selang infus menggantung di sampingnya.Dia berdiri di sisi tempat tidur, menatap wajah yang tertidur itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Jemarinya bergerak ragu, lalu perlahan-lahan menyentuh punggung tangan wanita itu—hanya sekilas, seperti ingin memastikan sesuatu. Ada keraguan yang terpendam dalam sorot matanya, seolah-olah dia ingin
"Kamu udah telat? Telat berapa hari?" tanya Alan, dengan ekspresi yang sulit Kanaya terka."Sebenarnya baru telat dua hari sih.""Coba nanti kalau udah telat satu minggu, kamu tes. Kamu tenang aja, aku nggak akan ninggalin kamu. Sebentar lagi kita juga menikah."Kanaya mengangguk ragu, antara cemas, juga takut. Alan menarik napas dalam, kemudian menarik tubuh Kanaya ke dalam dekapannya, membiarkan kehangatan tubuh Kanaya menyatu dengan tubuhnya.Di balik jendela kamar, matahari masih bersinar terang. Sinarnya menyengat, bagaikan cinta kedua insan itu yang begitu membara.Alan bisa merasakan helaan napas Kanaya yang masih tersengal, bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam—keraguan, mungkin juga ketakutan.“Sayang, kamu kenapa? Takut?"Kanaya tak langsung menjawab. Jemarinya yang mungil menggenggam selimut, seakan mencari pegangan dalam pikirannya sendiri. Alan mengecup puncak kepalanya, mencoba menyalurkan ketenangan.“Kalau sesuatu terjadi, dan Papa sampai tahu, aku takut, Mas."Ala
Dengan suara tenang, tapi penuh wibawa, Alan mengangkat telepon. "Ya, ada apa?" tanyanya, matanya tetap fokus menatap ke depan.Suara anak buahnya terdengar dari seberang, melaporkan sesuatu dengan nada tergesa. Alan mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk meskipun orang di seberang tidak bisa melihatnya. Wajahnya tetap datar, hanya sesekali alisnya berkerut saat mendengar detail yang tidak dia sukai.Di atas pangkuannya Kanaya memperhatikan tanpa bersuara. Mata Kanaya menelisik ekspresi Alan, mencari tanda-tanda emosi di balik ketenangan yang selalu dia tunjukkan. Jemarinya yang ramping menggenggam cangkir teh yang mulai mendingin, tapi perhatiannya tidak lepas dari pria di depannya.Setelah beberapa saat, Alan akhirnya menghela napas, menutup telepon dengan gerakan yang nyaris tanpa suara. Dia menoleh sekilas ke arah Kanaya yang masih mengamatinya dengan tatapan penuh arti."Bagaimana? Apa sudah ada petunjuk?" tanya Kanaya, suaranya lembut, tapi mengandung rasa ingin tahu.