Di sebuah ruang kantor yang kecil namun nyaman, Ken mematikan laptop. Dari balik dinding kaca, ia bisa mendengar suara riuh anak buah yang hendak pulang. Suara itu semakin nyaring saat akhir bulan seperti ini karena gaji baru saja dibagikan. Senyum bahagia terulas di bibir merah, menghiasi wajah bergaris lembut yang bersih dari cambang dan kumis.
Ruko empat lantai yang dibeli beberapa waktu lalu secara kredit ini telah disulap menjadi workshop untuk memproduksi sneakers handmade yang eksklusif. Kendrick Williams, lajang berusia 29 tahun itu menuai keberhasilan di usaha sepatu.
Berkat semangat pantang menyerah dan otak yang cerdik, di usia yang masih sangat muda, ia telah merasakan kejayaan usaha.
Tak lama kemudian, bunyi sepatu menggaung di ruang yang lengang, menapaki tangga. Ken tersenyum, membayangkan sepasang tungkai jenjang nan indah dengan stiletto merah menyala tengah bergerak menaiki tangga. Dari jauh pun Ken telah menikmati sensasi pinggul ramping dengan bokong bulat yang bergoyang mengikuti ayunan kaki. Belum lagi aroma parfum dan wangi rambut yang menggoda penghidu. Hmmm … Ken rindu dengan semua nuansa feminin nan indah itu.
Ken menyandarkan punggung ke kursi. Bersiap menikmati pemandangan menakjubkan yang sebentar lagi hadir di ruang berdinding kaca itu. Pintu pun terbuka, memunculkan seraut wajah oval dengan hidung runcing dan bulu mata melengkung panjang.
Cella! Cellanya yang cantik, model Indonesia yang namanya mulai mengisi majalah-majalah Internasional
“Sayang?” Gadis anggun itu langsung mendekat ke tempat Ken duduk lalu melingkarkan lengan di leher. Badannya yang ramping menyandar manja pada dada Ken yang bidang.
“Mmmmmuacch!”
Bibir seksi itu melekat di bibir Ken. Tanpa ampun melumat milik sang kekasih dengan bersemangat seperti baru berjumpa setelah berpisah tujuh tahun. Padahal mereka cuma tidak saling melihat beberapa jam saja.
“Cella ….”
Ken menarik sang kekasih ke pangkuan. Hal yang menyenangkan saat memiliki seseorang adalah kehangatan indah yang bisa didekap seperti ini.
Cella menangkup pipi Ken yang penuh. Lelaki ini sangat menggemaskan. Wajah ovalnya yang halus bak kulit bayi dihiasi bibir bulat kemerahan.
“Mmmmmhhh! Kamu bikin gemez cheyenk!”
Cella menghujani kekasihnya dengan sentuhan bibir di sekujur wajah dan leher.
“Lo juga … Pooh.” Pooh adalah panggilan sayang Ken ke Cella setelah melihat bokongnya yang bulat seperti bokong boneka Pooh.
“Kamu mau makan atau langsung ke atas, Say?”
“Njiiir! Datang-datang langsung mau rebahan aja lo. Mandi dulu, gih!”
Si kucing manis itu merosot dari pangkuan, lalu melenggang ke lantai empat yang merupakan tempat tinggal Ken.
“Keeen? Masa aku naik sendiri?” panggilnya manja dari ujung tangga.
“Yooiiii! Gue ada janji sama orang. Tunggu aja di atas.”
“Jangan lama-lama. Aku mau digosokiiiinnn!”
“Dasar kucing, lo!”
Cella terkikik lalu menghilang dari pandangan.
Tak lama kemudian, orang yang ditunggu datang. Pasangan selebritis muda yang tengah naik daun. Jo dan Nara.
“Ken! Sorry kami lambat. Macet, Bro!”
Jo, atau Jonathan, berpostur tinggi besar. Otot-otot dada dan lengannya menonjol di balik kemeja slimfit putih yang lengannya digulung setinggi siku. Penampilan macho itu selalu membuat Ken berdebar. Seperti ada rasa insecure setiap berdekatan dengannya.
“Alasan! Bilang aja pacaran di mobil.”
Jonathan terkekeh sedangkan Nara terlihat masam. Ada yang aneh dari pasangan itu sore ini. Nara terlihat menjaga jarak dari Jo. Wajah cantiknya terus ditekuk.
“Woi, kenapa lo?” Ken mengusap kepala gadis kecil mungil itu, bermaksud mencairkan wajah yang muram. Tapi apa daya, Nara sedang sensitif.
“Apaan, sih? Males banget, tahu!” Nara menghindar lalu duduk di pojokan.
Pacarnya hanya mengangkat bahu dengan tatapan merana. Ken segera merangkul untuk menenangkan.
“Udaaaah! Yuk cobain sepatunya.” Tangan Ken meraih sebuah kotak dari rak pajang di dekat meja. “Nih! Masterpiece gue!”
Jonathan meraih kotak itu dengan rasa ingin tahu.
“Eiiit! Gak boleh sembarangan. Sono, duduk di situ, gue pasangin!”
Jonathan menurut lalu mendaratkan bokongnya di sofa. Tangan yang hendak membuka sepatu tiba-tiba ditahan oleh Ken.
“Eiiit! Diem aja lo. Biar gue!”
Tanpa sungkan, Ken berlutut di depan Jonathan. Dengan hati-hati dibukanya sepatu lelaki itu. Tampaklah sepasang kaki yang putih mulus tanpa bulu.
“Busyeeeet! Badan preman kaki kayak porselen!” Ken menelan ludah.
“Diem, lo! Mau gue sekap, ha?” sergah Jonathan sambil melirik gadisnya.
Nara semakin merengut. Ken menjadi keheranan, namun segera kembali fokus pada kegiatan mempromosikan sepatu. Dikeluarkannya sepasang sneakers berwarna biru tua dengan garis keperakan dari kotak.
“Nih, lihat. Kelihatannya kokoh, tapi lentur.” Ken memperagakan menekuk sepatu. Sol tebal berwarna abu-abu itu menekuk dengan mudah. “Itu karena ada rongga udara di dalamnya. Selain bikin ringan, juga bikin lentur.”
Ken memperlihatkan bagian dalam sepatu yang berwarna abu-abu. “Tuh, dalemannya dikasih tonjolan-tonjolan. Itu untuk memijat titik refleksi di telapak kaki lo biar lancar aliran darahnya.”
Jonathan mengangkat-angkat kedua alis. “Daleman yang ada tonjolan. Hmmm!”
“Hiiiih!” seru Nara dengan sangat kesal.
Kedua lelaki itu hanya menoleh sekilas lalu kembali sibuk dengan sepatu.
“Jo, ini bukan sembarang tonjolan. Noh, yang di sini ini, khusus buat jagoan kecil lo!”
“Hmmmm! Khusus buat jagoan kecil. Got it! Cepatan pakein!”
Dengan gesit Ken memasang kedua benda itu di kaki Jonathan lalu meminta lelaki itu berjalan keliling ruangan.
“Gimana? Keren? Nyaman, kan?”
Jonathan mengerutkan kening sambil berjalan menunduk. “Hmm!”
Ken mengamati dengan berdebar. “Gimana?”
“Hmmmm!”
“Woi! Jawab, songong!”
Jonathan malah memejamkan mata. “Hmmmmm!”
Melihat itu, Nara langsung menoleh.
“Hoooi, Jo! Masih di sini nggak lo?” sergah Ken.
“Gilaaa, men! Langsung berasa!” komentar Jonathan sambil cengar-cengir tidak jelas.
“Kerasa apaan?”
Jonathan menunjuk selangkangan. Area itu terlihat menonjol lebih dari biasanya. Ken langsung terbelalak.
“Astataaaanngg! Gila sepatu lo, Ken!” Jonathan meraba selangkangan sembari meringis lebar.
“Iiiiihhhg! Lepas sepatu itu, cepat!” Nara memekik. Tangan mungilnya mengayunkan tas kulit yang dipegang ke arah selangkangan Jonathan.
Brukk!
Jonathan ambruk menimpa Ken. Bibirnya menancap di pipi Ken yang mulus. Alih-alih segera bangun, si seleb macho malah memandangi wajah sang teman.
“Gile! Pipi lo mulus banget. Bau lo wangi!”
Ken merasakan adik Jonathan yang mengeras menekan perutnya. Lelaki itu dibuat merinding seketika.
Nara bergerak cepat, menyeret kekasihnya menyingkir dari tubuh Ken.
“Mesum lo! Mesuuuummmm!” Gadis mungil itu mengamuk sembari bersimbah air mata.
“Tadi genit-genitan sama bencong salon. Sekarang teman sendiri disosor!”
“Gue enggak nyosor si Ken! Elo yang bikin gue nyungsep, Ra!”
Gadis itu melepas paksa sneakers Ken dari kaki Jonathan. Tanpa memberi kesempatan sang kekasih mengenakan sepatu kembali, Nara menyeretnya turun.
Ken bangkit, masih dengan setengah kaget karena ciuman Jonathan.
“Busyet!” umpatnya.
Matanya menangkap sepasang sepatu milik si seleb yang tergeletak di dekat sofa. Dengan bergegas, disusulnya sang teman ke bawah untuk memberikan sepatunya. Namun sayang, mobil Jonathan telah berlalu meninggalkan area parkir.
Malam harinya, Jonathan mengirim pesan.
Jo: Sneakers lo sama sepatu gue tolong disimpen. Ntar gue ambil klo udah longgar.
Me: Kapan?
Jo: Sewaktu - waktu #muaach
Ken kontan mendelik melihat tagar itu. Jangan - jangan Jo suka sama ….
***
Bersambung ...
Jonathan telah menghilang bersama mobilnya. Ken masih termangu di serambi ruko sambil memegang sepatu lelaki itu. Bayangan perilaku sang seleb membuatnya bertanya-tanya. Terus terang, sodokan jagoan kecil Jonathan tadi membuatnya merinding. Ken pun menepis jauh-jauh pikiran melenceng itu agar tidak menuduh orang sembarangan. Sambil melangkah masuk ke kantor, dipanggilnya bagian sekuriti.“Parno, nih lu simpen sepatu Jonathan. Mana tahu besok-besok dia ambil.”Parno menerima sepatu dengan menegakkan tubuh untuk memberi hormat. “Siap, Bos!”“Jangan sampai hilang atau kotor. Nanti yang punya ngamuk.”“Siap!”“Ya udah, gue ke atas.”“Bos mau pulang ke apartemen atau menginap di sini?” tanya Parno.“Mau tahu aja lu! Gue di sini aja.”“Oh, iya maaf, saya lupa. Tadi ada Neng Cella.” Parno langsung cungar-cungir penuh arti.“Die
Ken bangun pagi itu dengan kepala pening. Perkataan Cella semalam telah membuat tidurnya tidak nyenyak. Beberapa kali mengigau dan terbangun. Alhasil sejak pukul tiga dini hari matanya tak mau terpejam.Cella masih bergulung nyaman di bawah selimut. Kepalanya rebah di lengan Ken. Karena sudah lama dalam posisi itu, lengannya mulai kesemutan. Dengan hati – hati Ken mengangkat sedikit kepala sang pacar agar dapat membebaskan lengan dari tekanan.Cella terbangun. Mata indah yang menghiasi wajah berkulit halus itu terbuka perlahan. Mengerjap sejenak untuk kemudian berbinar indah saat menemukan Ken. Wajah oval berpipi mulus yang dihiasi bibir mungil yang bulat, Cella menyebutnya cantik. Karena gemas, sebuah kecupan dihadiahkan di pipi Ken.“Selamat pagi, Cheyenk!”“Hmmm!”“Jam berapa ini?”Ken menoleh ke dinding lalu memberi isyarat dengan dagu. “Tuh!”“Idiiih. Ketus amat pagi &nd
Ken datang ke rumah orang tua Cella pada malam yang dijanjikan. Seperti kebiasaan, ia datang lima menit sebelum waktunya. Cella membukakan pintu dan berdebar melihat seraut wajah innocent yang memiliki bibir mungil membulat dan berwarna kemerahan. Kemeja putih dan celana khaki membuat wajah itu semakin terlihat segar.Ken masuk dengan anggun kemudian duduk dengan tenang di kursi tamu. Ia tampil santai tanpa terlihat gelisah. Barangkali karena sering mengalami kegagalan usaha dan kerap berjumpa banyak orang dengan berbagai macam karakter, Ken tidak terlalu resah dengan reaksi orang lain terhadap dirinya. Mungkin pula fisik dan latar belakang yang bagus membuat kepercayaan diri lelaki itu tebal.“Papa dan Mama baru selesai makan. Tunggu sebentar.” Cella duduk dengan gelisah. Tapi Ken malah menatapnya lurus-lurus sehingga debaran dadanya semakin kuat. Satu karena takut reaksi papanya tidak bagus. Kedua karena menahan diri agar tidak lari ke pelukan lelaki ini.
Ken tidak ragu mengungkapkan diri walau Berto memandang dengan tatapan mengerikan. Lelaki itu pasti syok mendengar putrinya berhubungan dengan seorang lelaki yang tidak percaya pada agama. Dalam hati Ken mencela. Belum tahu saja bagaimana kelakuan sang putri bila tengah berkunjung ke apartemennya. Bisa – bisa lelaki lanjut usia itu langsung terkena serangan jantung jika ia membuka kartu Cella.“Pulang kau!” Berto kembali menghardik, kesal karena orang yang diusir malah mematung.“Papa, sabar ya,” pinta istrinya. Cella tak mau ketinggalan.“Pa, Ken cuma bercanda. Iya, kan, Ken?” Dengan isyarat kedipan mata Cella meminta Ken untuk mengangguk.Ken tersenyum kecut. Ia tidak mau mengangguk. Tulang keringnya segera ditendang oleh Cella.Rupanya aksi diam Ken itu semakin memicu kemarahan Berto. “Pokoknya, sampai ayam berkokok di kutub utara, Papa tidak akan serahkan kamu ke lelaki aneh ini! Paham kau Cel?!&r
Ken memasuki kamar tidur dengan malas – malasan. Setelah mengantarkan Cella ke apartemennya, cukup lama ia termenung di ruang tengah. Televisi dinyalakan, mata menatap lekat, namun gambar yang ditangkap tidak sampai ke otak karena kepalanya terlanjur penuh dengan permasalahan hubungannya dengan Cella.Ken tidak membayangkan hidup tanpa kehadiran gadis itu. Sekarang pun dalam kesendirian yang hanya beberapa jam, ia telah merasakan ada yang kurang. Kamar itu lengang seperti tidak bernyawa tanpa keberadaan si Kucing Manja.Ken merebahkan diri dengan enggan. Tangan menggapai ke sisi kasur di sebelahnya. Kosong. Baru berpisah tiga jam saja hatinya resah. Bagaimana nasibnya bila mereka harus putus?Sambil berbaring,mata ken menjelajah seisi ruang. Kamar tidur yang luas itu masih menyimpan jejak kehidupan Cella. Dekorasi dan hiasan yang ditata di berbagai sudut semuanya pilihan Cella. Aroma udara pun harum karena parfum gadis itu. Lemari pakaian masih menyimpan b
Di hari Minggu, pagi – pagi Ken dan Cella telah muncul di rumah sang ayah. Tangan Ken menenteng tas plastik berisi berbagai belanjaan untuk bahan membuat ikan arsik. Setelah dibukakan pintu oleh asisten rumah tangga, keduanya langsung menuju dapur.“Papa dan Mama udah bangun?” tanya Cella kepada si Bibi.“Belum, Non. Mungkin agak siang nanti.”“Oh, Papa dan Mama enggak ke gereja pagi?”“Sepertinya tidak, Non. Sehabis marah -marah semalam, Bapak kurang sehat. Kata Ibu, Bapak agak lemas.”Cella dan Ken kontan saling pandang.“Papa sakit atau gimana, kok lemas?” tanya Cella kembali.Si Bibi hanya menggeleng. “Bibi kurang paham, Non.”“Ken, kayaknya aku ke atas dulu, nengok kondisi Papa,” ujar Cella.Ken mengangguk. “Terus jadi enggak masak – masaknya?”“Jadi aja. Buat sementara, kamu masak sama Bibi.&rdqu
Lift bergerak naik, membawa dua lelaki yang sibuk dengan pikiran masing – masing. Ken masih resah dengan sikap ayah Cella sehingga mendiamkan saja Jonathan. Sedangkan pemuda itu rupanya sibuk menenangkan diri karena tidak ingin terlihat cengeng di depan lelaki lain. Bukankah hanya perempuan yang mudah menangis di sembarang tempat? Setelah beberapa waktu bungkam, saat keluar lift, akhirnya Jonathan punya kekuatan untuk mengeluarkan suara.Unit Ken terletak di ujung. Mereka berjalan beberapa waktu untuk mencapai tempat itu.“Apartemen disita bokap, mobil disita nyokap.” Jonathan melanjutkan keluh kesah dengan suara bergetar. Ada isak lirih saat pemuda itu mengucapkannya walau sudah ditahan sekuat mungkin.Ken meringis menahan geli. Jonathan sudah sedewasa itu, tapi orang tuanya tetap memperlakukan sang anak seperti remaja tanggung. Buat apa menyita apartemen dan mobil pria dewasa yang sudah bisa hidup mandiri?“Santuy. Duit lo kan ba
Jonathan dengan riang membuntuti Ken ke meja makan. Di sana telah terhidang dua piring capcay yang masih mengepul. Nafsu makan Jonathan langsung tergugah. Dan memang benar, rasa masakan Ken tidak mengecewakan.Ken malas bertanya. Tanpa ditanya pun Jo akan bercerita dengan sendirinya. Siapa yang tidak kenal model yang satu ini? Ia kerap menjadi host atau bintang tamu di berbagai acara televisi karena kemampuannya berceloteh.“Lo enggak tanya kenapa gue berantem sama Nara?” Jo membuka pembicaraan setelah rekannya hanya berdiam diri cukup lama. Ia benci kesunyian. Karena itu mulutnya tidak tahan untuk mengisi ruang kosong dengan kata - kata.“Perlu banget gue tahu masalah, lo? Kalau lo mau cerita, gue dengerin. Kalau nggak pun, gue nggak kepo.”Jo mencibir. “Sadis, dingin, cool boy lo!”“Terserah! Cepetan makan, ntar kesedak pula.”Jonathan kembali mencibir. Kali ini lebih panjan
Setahun kemudian.Cella menjerit kesakitan. Tangannya memukul – mukul paha suaminya berkali-kali.“Cel, jangan keras - keras mukulnya. Lu lupa, paha gue bekas patah tulang?”“Bodooooo amaaatt! Sakiiiittt!” Cella menjerit saat kontraksi rahimnya mencapai puncak.Reza terpaksa menyembunyikan paha yang sempat dipasang pen akibat perbuatan Dita dan membiarkan lengannya menjadi sasaran cubitan sang istri.Sebenarnya bukan mobil Dita yang membuatnya patah tulang karena ia tahu kapan bunyi gemertak itu terdengar. Ia terlempar, lalu jatuh menghantam pot semen sebesar gentong yang menghiasi halaman toko pernak - pernik. Pot itu hancur, begitu pula tulang pahanya.Beruntung Reza hanya patah tulang, tidak seperti Rayyan yang terpaksa koma tiga hari karena benturan kepala dengan lantai paving. Sampai saat ini ia masih terheran, bagaimana mereka berdua bisa lolos dari moncong mobil Dita.“Nah, udah
Reza melihat wajah sahabatnya memucat saat menerima telepon. “Dari siapa, Ray?”Rayyan menoleh dengan manik mata bergulir gelisah. “Dita tahu kita di sini.”“Hah? Kok bisa? Dia buntuti elu?”Rayyan menggeleng. “Kalau itu aku yakin enggak. Soalnya si Bibik di rumah bilang Dita keluar agak lama setelah aku.”“Kali dia udah curiga sebelumnya jadi jaga- jaga lalu mengintai tempat ini. Waah, gue nggak sangka orang stres bisa mikir sampai sejauh itu.”Rayyan menghela napas dengan pedih. Sakit hatinya sang istri disebut ‘orang stres’.“Maaf, Ray. Gue nggak menghina Dita. Tadi tuh cuma keceplosan.”“Dita tuh sakit, Za. Aku tahu kamu dendam karena ditinggalin, tapi jangan melecehkan orang kayak gitu, dong?”“Maaf sekali lagi. Gue udah keterlaluan. Tapi, Ray, jujur gue enggak dendam sama Dita. Enggak sama sekali. Gue udah ikhlasin dia pe
Jauh dari saat yang dijanjikan, Rayyan telah pamit untuk keluar kepada istrinya. Ayah dan ibunya berada di rumah mereka. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Dita untuk keluar."Aku harus mengambil data untuk penelitian," ujar Rayyan, berusaha membual senatural mungkin. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"Seperti dugaan Rayyan, Dita mengangguk. Padahal biasanya perempuan itu langsung panik bila tahu Rayyan akan pergi. Kali ini, sang istri malah tersenyum."Mas Ray bukannya cuti? Masa masih harus mengurus tugas juga?"Biar jiwanya terganggu, logika Dita ternyata masih bisa berfungsi."Aku cuma cuti tidak masuk ke rumah sakit. Tapi penelitian harus tetap jalan supaya nggak ketinggalan terlalu banyak."Rahang Dita langsung terkatup. Sadar benar bahwa dirinya penyebab keterlambatan kelulusan Rayyan."Maaf. Gue istri yang ngerepotin.""Dit, bukan gitu maksudku. Aku cuma—""Iya, iya, Mas! Gue nggak pa-pa kok. Perg
Rayyan sangat kecewa mendengar penuturan Wulan. Benarkah Syifa sudah akan menikahi Ken secara resmi? Itu artinya cinta Syifa telah berpaling kepada Ken. Rayyan tidak percaya. Gadis lugu itu ternyata bisa meninggalkannya dengan cepat.Ah, salahnya sendiri, mengapa tidak sedari awal tegas menolak keinginan orang tua untuk meninggalkan Syifa. Sekarang Dita sakit pula. Mengapa harus ada pernikahan sandiwara yang membuatnya terjebak dengan perempuan ini?Rayyan menatap istrinya yang duduk tercenung di sudut kamar. Matanya kosong, menerawang keluar jendela. Memang benar pengobatan telah membuat Dita tenang, akan tetapi efek sampingnya membuat lesu dan seolah kehilangan nyawa.Rayyan terpaksa melupakan soal perceraian. Sangat tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini. Semua orang akan menuduhnya suami yang egois. Di atas alasan nama baik, Rayyan masih cukup waras untuk mendengarkan hati nurani. Dita adalah adik kelas dan sahabat sejak dulu. Sudah seharusnya Rayyan
Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut."Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa."Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,
Dita menatap nanar layar komputer. Percakapan pribadi melalui sebuah akun kepenulisan dengan pemilik bernama Dragonisme membuatnya berdebar tidak karuan.-------------------Dragonisme: Kok kasar gitu? Asal lo tahu, ya. Gue udah tahu identitas lo tuh siapa. Kenapa sih elo mesti memaksa kakak sendiri? Salah apa dia sama lo sampai elo bakar dia hidup-hidup?-------------------Dita mengusap kening yang mulai basah oleh keringat. Siapa sebenarnya Dragonisme? Apakah ia memang benar seorang penulis yang kebetulan mampir ke akunnya atau seorang mata-mata yang tengah mengintai aktivitasnya? Astaga, bila benar seperti itu, apa yang harus dilakukan? Siapa dalang dari tindakan itu?Otak Dita mulai panas saat memikirkan siapa yang berniat menjatuhkan dirinya. Tak perlu waktu lama, sederet nama terkumpul. Dengan tangan gemetar, Dita menuliskan nama- nama tersebut dalam buku kecil.Orang yang berada di urutan teratas tentu saja Syifa. Bagi Dita, Syifa ad
Sepulang dari rumah Ken, Reza terus terpikir tentang sikap sang sahabat. Sambil berbaring dan mengelus dada Cella yang penuh, ia mengingat-ingat detail kejadian.“Kok Ken nggak marah, ya, Cel? Padahal waktu gue mau makan malam sama lu, dia sewot berat, loh.”“Za, kamu nggak mikir? Kita bisa begini gara-gara satu kamar. Kurasa Ken dan Syifa juga begitu. Apalagi Syifa sakit sebelumnya. Pasti Ken pernah nyentuh-nyentuh. Mungkin bantuin ke kamar mandi, nyuapin, atau malah menyeka badannya.”“Bener juga. Gue juga lihat Syifa nyaman sama Ken dan sebaliknya. Elu lihat mata Ken nggak?”“Lihat. Nyata banget, ya, ada sesuatu di antara mereka.”“Menurut lu Ken udah kumpul sama Syifa apa belum?” Reza sengaja bertanya begitu untuk meyakinkan diri bahwa Cella benar-benar telah melepaskan Ken.“Menurutmu gimana? Kalau aku lihat pas Ken pegang bahu Syifa tadi, aku yakin 90% udah, Za. Mereka p
Reza dan Cella berdiam diri selama perjalanan menuju workshop Ken. Sengaja mereka menjumpai Ken, selain untuk menjenguk Syifa yang baru pulang dari rumah sakit, juga untuk membicarakan hubungan mereka. Pasalnya, sepulang dari Bandung, mama dan papa Cella berkeras mengajak pasangan itu tinggal di rumah mereka selama sebulan.“Papa kalian baru seneng - senengnya punya menantu. Bolehlah kami ikut melihat kebahagiaan kalian. Masa habis nikahan, tidak pakai madu, langsung pindahan ke rumah baru. Tidak elok, dong! Rumah kami sepi banget nggak ada Cella.” Paula berargumentasi yang langsung diamini oleh suami dan besannya.“Habis sebulan di tempat Cella, sebulan lagi di tempat kita. Ya, kan, Ma?” Hardiman tidak mau kalah.“Bah! Malas aku kalau di rumah Papa. Ada Sinta. Ngeganggu aja ntar anak itu,” sanggah Reza yang langsung menyebabkan papanya memelotot. Mulutnya saja yang protes keras. Dalam hati, ia berharap sang ayah melakukan pem