Ken tidak ragu mengungkapkan diri walau Berto memandang dengan tatapan mengerikan. Lelaki itu pasti syok mendengar putrinya berhubungan dengan seorang lelaki yang tidak percaya pada agama. Dalam hati Ken mencela. Belum tahu saja bagaimana kelakuan sang putri bila tengah berkunjung ke apartemennya. Bisa – bisa lelaki lanjut usia itu langsung terkena serangan jantung jika ia membuka kartu Cella.
“Pulang kau!” Berto kembali menghardik, kesal karena orang yang diusir malah mematung.
“Papa, sabar ya,” pinta istrinya. Cella tak mau ketinggalan.
“Pa, Ken cuma bercanda. Iya, kan, Ken?” Dengan isyarat kedipan mata Cella meminta Ken untuk mengangguk.
Ken tersenyum kecut. Ia tidak mau mengangguk. Tulang keringnya segera ditendang oleh Cella.
Rupanya aksi diam Ken itu semakin memicu kemarahan Berto. “Pokoknya, sampai ayam berkokok di kutub utara, Papa tidak akan serahkan kamu ke lelaki aneh ini! Paham kau Cel?!”
Vonis sudah dijatuhkan. Sang hakim sudah memberikan penolakan. Nasib hubungan Ken dan Cella kini berada di persimpangan.
“Paaa, jangan gitu – gitu amat. Ken tuh sebenarnya Kristen. Orang tuanya juga.” Cella masih berusaha membela kekasihnya.
“Ah, banyak mulut kau!” Sesudah berkata begitu, Berto bangkit dan masuk ke dalam rumah.
Kini ganti Cella memelototi kekasihnya.
“Aduh, Ken! Kenapa pula kamu ini memicu kemarahan Papa? Jadi orang muda tuh mengalah sedikit kenapa, sih?”
Ken hanya mendengkus, kemudian ikut berdiri dan bersiap pergi.
“Aku pulang,” ujarnya dengan nada datar. “Tante, saya pamit.”
Lelaki itu menyalami mama Cella kemudian berjalan keluar. Mama Cella mengantarkan hingga ke pintu.
“Ken, Tante minta maaf atas sikap Papa tadi. Dia memang keras, kamu jangan kaget. Tapi sebenarnya hatinya lembut.”
Mama Cella terlihat serba salah. Ia tahu Ken tidak boleh diperlakukan kasar, tetapi tidak bisa menghalangi suaminya. Ken tersenyum untuk menenangkan mama Cella.
“Saya mengerti, Tante. Saya juga minta maaf karena membuat Om marah. Mohon disampaikan permintaan maaf saya ini.”
“Pasti Tante sampaikan. Tetap semangat, ya, Ken. Mama sih mendukung kalian.” Wanita cantik itu menepuk tangan Ken sebelum melepasnya pergi. “Jangan menyerah. Tadi sebenarnya Papa sudah mulai suka saat kamu bilang pintar memasak. Jadi masih ada kesempatan buatmu. Kamu harus sabar buat pendekatan. Pelan - pelan nanti Papa pasti akan luluh.”
“Iya, Tante. Saya akan berusaha.” Ken mengucapkan terima kasih, kemudian berjalan menuju mobil.
“Cel, kamu tidak antar Ken pulang?” Mama Cella sengaja memberi peluang bagi kedua orang itu untuk berbincang lebih leluasa.
“Iya, Ma. Ken, aku ikut!” Cella menyusul dan langsung naik dari sisi yang lain.
Ken sebenarnya ingin pulang sendiri karena tahu sebentar lagi Cella akan berceramah. Akan tetapi, tidak menghalangi Cella. Sebenarnya ia pun tidak marah terhadap Berto. Baginya, perbedaan pendapat itu sudah biasa. Bila lawan bicara menjadi emosi, itu urusan yang bersangkutan. Memangnya siapa yang rugi karena marah-marah? Bukan orang yang dimarahi, melainkan si pelaku sendiri. Ia lupa bahwa dirinya pun sering ngambek pada Cella.
Lain dengan Ken yang menyetir dengan wajah datar, Cella sungguh kesal karena kekasihnya tidak mau memuluskan pertemuan itu dengan sedikit berbohong. Apakah salah tidak mengatakan seluruhnya pada saat perjumpaan pertama?
“Papa itu penganut Kristen garis keras, Ken. Ngapain kamu mengaku-ngaku agnostik segala?” Cella menggerutu berkali-kali.
“Gue bukan mengaku-ngaku. Gue ngomong jujur apa adanya.”
Cella semakin kesal karena dibantah. “Jujur itu ada tempatnya kali.”
Ken berdecak. Sudah pasti ia tidak setuju. “Soal lain boleh begitu. Tapi soal prinsip, gue nggak mau tawar-menawar.”
“Kenapa nanggung cuma agnostik? Enggak sekalian aja mengaku atheis?!” Cella semakin sengit.
Ken tidak menoleh, pun tidak menjawab. Cella tidak habis pikir. Lelaki yang selama ini dikenal lembut, ternyata bisa mengotot untuk hal – hal tertentu yang tak terduga.
“Kenapa sih kamu sensi banget kalau soal agama?” tanya Cella. “KTP-mu aja udah tertulis Kristen. Bohong juga kan itu?”
“Gue udah nggak nyaman soal KTP. Gue nggak mau yang lain juga ikutan nekan,” ujar Ken tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan.
“Tapi kan kamu udah bohong juga. Apa salahnya bohong sekali lagi demi kelancaran hubungan kita?”
Ken tetap membisu, seperti kebiasaannya bila kesal.
“Ken?”
“Karena itu urusan gue yang paling pribadi.”
“Iya, aku tahu itu urusan pribadi. Tapi saat ini kita butuh persetujuan Papa. Masa kamu tidak mau berkompromi sedikitpun?”
Ken tidak menjawab. Ia sudah berkompromi dengan banyak hal. Untuk masalah satu ini, ia tidak mau diusik. Bahkan oleh Cella sekali pun.
“Itu hak gue untuk mempercayai sesuatu.”
Cella mendengkus. “Katamu mau menikah cepat, kalau begini gimana mau cepat?”
Ken kembali tidak menanggapi.
“Apa yang gue percayai nggak merugikan atau mengganggu orang lain. Kenapa orang resek?” Sebuah embusan napas kasar keluar hari hidung Ken.
“Karena kita nggak hidup seorang diri, Cheyenk.”
“Bener, kita emang enggak hidup seorang diri. Tapi ada hal – hal yang nggak bisa dibagi.”
“Itulah kenapa aku enggak mau buru - buru bawa kamu ketemu Papa. Aku tuh tahu kalau bakalan kayak gini. Kamu enggak bakalan mau mengalah.”
“Gue mau cepat kan gegara lo juga, Cel. Siapa coba yang kebelet mau pergi ke NY?”
“Kok malah nyalahin aku?”
Ken semakin sengit. “Kalau gue bohong sekarang sama bokap lo, selanjutnya apa, Cel? Pasti bokap lo bakalan ngajakin ibadah lah, maksain sembahyang lah. Nggak akan ada habisnya. Lo tahu rasanya ngejalanin sesuatu yang enggak sesuai dengan hati? Gue bakal tersiksa selamanya, Cel!”
Cella kembali menghela napas panjang. Kadang berbicara dengan Ken harus dengan kesabaran tinggi. Mereka sudah berdebat panjang tentang pilihan keyakinan dan tidak menemukan titik terang. Biarpun begitu, Cella masih berharap mereka akan melanjutkan hubungan. Mau bagaimana lagi? Hatinya sudah terlanjur sayang pada pemilik seraut wajah yang lembut dan menggemaskan ini.
“Ya udah, lalu rencana ke depannya gimana?”
Ken mengangkat bahu. “Sekarang terserah elo. Mau pergi ke Amrik silakan. Mau tetep sama gue silakan.”
“Aku boleh ke New York enggak pakai nikah dulu?”
Ken terpaksa mengangguk. Beginilah hidup. Harus ada kompromi. Bila ingin lurus untuk satu hal, hal yang lain perlu dibengkokkan. Kali ini ia memilih merelakan Cella mengejar karir. Bukankah Cella juga berhak untuk menentukan jalan hidupnya?
“Gue tahu karir lo itu penting banget buat hidup lo. Gue enggak mungkin jadi penghalang buat lo.”
Seharusnya Cella gembira mendapat restu dari Ken. Tapi karena Ken mengucapkannya dengan ekspresi wajah yang dingin, kalimatnya tadi lebih menyerupai ancaman.
“Kok kamu ngomongnya sinis gitu, sih? Aku jadi serem lihat wajah kamu.” Cella mengalihkan pandangan keluar jendela.
“Kemarin merayu-rayu minta ke Amrik. Giliran udah dibolehin kok lo malah sedih?”
Cella berdecak. “Papa udah tahu rencana itu. Lantas aku dilarang keras.”
“Hmmm ….”
“Jadi biarpun kamu udah kasih izin, aku tetap nggak bisa berangkat.”
“Kolot amat sih bokap lo?”
“Ya gitu deh. Tapi dia bokapku, mau gimana lagi.”
“Terus, soal hubungan kita gimana, elo juga mau nurutin bokap lo, cari yang seiman dan sesuku?”
“Kok kamu malah nantangin aku sih, Ken? Kamu tuh harusnya mendukung aku buat meyakinkan Papa.”
Ken melengos dan malas bersuara. Cella menjadi frustrasi karenanya.
“Aku nggak jadi ke tempat kamu. Anterin ke apartemenku aja. Aku malas lihat muka tembok semalaman.”
Dengan perasaan sama - sama mendongkol, mereka berpisah di depan apartemen Cella.
--- Bersambung ---
Ken memasuki kamar tidur dengan malas – malasan. Setelah mengantarkan Cella ke apartemennya, cukup lama ia termenung di ruang tengah. Televisi dinyalakan, mata menatap lekat, namun gambar yang ditangkap tidak sampai ke otak karena kepalanya terlanjur penuh dengan permasalahan hubungannya dengan Cella.Ken tidak membayangkan hidup tanpa kehadiran gadis itu. Sekarang pun dalam kesendirian yang hanya beberapa jam, ia telah merasakan ada yang kurang. Kamar itu lengang seperti tidak bernyawa tanpa keberadaan si Kucing Manja.Ken merebahkan diri dengan enggan. Tangan menggapai ke sisi kasur di sebelahnya. Kosong. Baru berpisah tiga jam saja hatinya resah. Bagaimana nasibnya bila mereka harus putus?Sambil berbaring,mata ken menjelajah seisi ruang. Kamar tidur yang luas itu masih menyimpan jejak kehidupan Cella. Dekorasi dan hiasan yang ditata di berbagai sudut semuanya pilihan Cella. Aroma udara pun harum karena parfum gadis itu. Lemari pakaian masih menyimpan b
Di hari Minggu, pagi – pagi Ken dan Cella telah muncul di rumah sang ayah. Tangan Ken menenteng tas plastik berisi berbagai belanjaan untuk bahan membuat ikan arsik. Setelah dibukakan pintu oleh asisten rumah tangga, keduanya langsung menuju dapur.“Papa dan Mama udah bangun?” tanya Cella kepada si Bibi.“Belum, Non. Mungkin agak siang nanti.”“Oh, Papa dan Mama enggak ke gereja pagi?”“Sepertinya tidak, Non. Sehabis marah -marah semalam, Bapak kurang sehat. Kata Ibu, Bapak agak lemas.”Cella dan Ken kontan saling pandang.“Papa sakit atau gimana, kok lemas?” tanya Cella kembali.Si Bibi hanya menggeleng. “Bibi kurang paham, Non.”“Ken, kayaknya aku ke atas dulu, nengok kondisi Papa,” ujar Cella.Ken mengangguk. “Terus jadi enggak masak – masaknya?”“Jadi aja. Buat sementara, kamu masak sama Bibi.&rdqu
Lift bergerak naik, membawa dua lelaki yang sibuk dengan pikiran masing – masing. Ken masih resah dengan sikap ayah Cella sehingga mendiamkan saja Jonathan. Sedangkan pemuda itu rupanya sibuk menenangkan diri karena tidak ingin terlihat cengeng di depan lelaki lain. Bukankah hanya perempuan yang mudah menangis di sembarang tempat? Setelah beberapa waktu bungkam, saat keluar lift, akhirnya Jonathan punya kekuatan untuk mengeluarkan suara.Unit Ken terletak di ujung. Mereka berjalan beberapa waktu untuk mencapai tempat itu.“Apartemen disita bokap, mobil disita nyokap.” Jonathan melanjutkan keluh kesah dengan suara bergetar. Ada isak lirih saat pemuda itu mengucapkannya walau sudah ditahan sekuat mungkin.Ken meringis menahan geli. Jonathan sudah sedewasa itu, tapi orang tuanya tetap memperlakukan sang anak seperti remaja tanggung. Buat apa menyita apartemen dan mobil pria dewasa yang sudah bisa hidup mandiri?“Santuy. Duit lo kan ba
Jonathan dengan riang membuntuti Ken ke meja makan. Di sana telah terhidang dua piring capcay yang masih mengepul. Nafsu makan Jonathan langsung tergugah. Dan memang benar, rasa masakan Ken tidak mengecewakan.Ken malas bertanya. Tanpa ditanya pun Jo akan bercerita dengan sendirinya. Siapa yang tidak kenal model yang satu ini? Ia kerap menjadi host atau bintang tamu di berbagai acara televisi karena kemampuannya berceloteh.“Lo enggak tanya kenapa gue berantem sama Nara?” Jo membuka pembicaraan setelah rekannya hanya berdiam diri cukup lama. Ia benci kesunyian. Karena itu mulutnya tidak tahan untuk mengisi ruang kosong dengan kata - kata.“Perlu banget gue tahu masalah, lo? Kalau lo mau cerita, gue dengerin. Kalau nggak pun, gue nggak kepo.”Jo mencibir. “Sadis, dingin, cool boy lo!”“Terserah! Cepetan makan, ntar kesedak pula.”Jonathan kembali mencibir. Kali ini lebih panjan
Ken masih terngiang perkataan Jonathan walau lelaki itu telah lama pulang. Bukan pulang ke rumahnya, melainkan ke apartemen sewaan sementara sebelum menemukan yang cocok untuk dibeli. Walau sempat diteriaki dan diusir, Jonathan hanya menanggapinya sebagai gurauan.“Woles, Bro! Gue cuma bercanda. Elo cowok normal kok, senormal - normalnya.” Seperti itulah sanggahan Jonathan waktu itu. sayangnya, Ken tidak membiarkan perkataan itu berlalu begitu saja. Otaknya menyimpan dan mengolah informasi itu dengan sangat baik.Elo cantik kayak artis. Apa memang seperti itu penampilannya?Karena penasaran, Ken berdiri di depan cermin, menjelajahi pantulan diri. Mula - mula masih dengan memakai baju lengkap. Lama - kelamaan ia tanggalkan semua sehingga sosok berkulit kuning terang itu terlihat nyata. Memang benar kata Jonathan, dirinya mulus dan minim rambut.Ken berputar sejenak. Gerak geriknya memang halus karena sejak kecil tidak terbiasa be
Setelah pergulatan ranjang yang menghabiskan tenaga, Cella dan Ken bergulung dengan nyaman di bawah selimut. Permainan yang baru saja mereka lakukan adalah permainan terpanas yang pernah mereka alami. Ternyata dengan sedikit improvisasi, kenikmatan dengan sensasi yang baru tercapai.“Waaah, yang barusan tadi hebat,” desah Cella seraya mengelus dada kekasihnya. “Kamu bikin aku gemes kalau pakai riasan kayak gini.”“Lo nggak ngibul, kan?” Sebuah kecupan mendarat di kening Cella. Hal yang membuat senang setelah bercinta adalah mengendurkan otot sembari bercakap dengan si kucing cantik. Tak jarang mereka melanjutkan kebersamaan dengan memasak di dapur. Maklum, energi yang terkuras membuat usus meronta minta diisi. Namun sering pula ia ketiduran dengan tubuh polos hingga keesokan hari.Cella memukul dada putih yang berkulit halus dan mulus. “Kamu merasa gimana? Aku ngibul apa enggak?”Ken terkekeh. Desahan dan pe
Acara pemotretan dengan model - model sepatu telah selesai. Ruang kantor di lantai tiga ruko milik Ken telah disulap menjadi studio foto mini. Pengambilan gambar juga dilakukan di bagian produksi di lantai satu dan dua, untuk menunjukkan betapa sepatu - sepatu itu dibuat dengan teliti dan memperhatikan kualitas.Line produk baru itu sukses di pasaran sehingga kesibukan perusahaan meningkat. Bahkan ada perusahaan investasi yang berminat untuk bergabung. Dengan tambahan modal berupa kongsi tersebut sebenarnya Ken bisa melakukan ekspansi besar - besaran. Akan tetapi, ia masih mempertimbangkan untung dan rugi. Tidak bagus bila terlalu berspekulasi tanpa berhitung terlebih dulu.Ken naik ke lantai empat untuk beristirahat. Jadwal hari ini padat dan melelahkan, namun membuat hati senang. Bekerja dengan para model cantik dan tampan itu sangat menggairahkan. Dandanan ayu serta aroma parfum yang merebak di udara membuat Ken semakin larut dalam keasyikan hingga melupakan masalah
Setiap memikirkan Ken, hati Cella perih. Setelah pengusiran saat hendak memasak dulu, terhitung sudah lima kali Ken berusaha datang untuk menemui sang ayah. Apa daya, semua upaya pantang menyerah itu berakhir dengan tragis. Kalau tidak didamprat, Ken diusir, bahkan sebelum memasuki halaman. Cella hanya berharap kekasihnya mau bersabar dan tidak patah semangat.“Aku harap kamu belum menyerah buat memperjuangkan aku, Ken,” ujar Cella setelah kegagalan terakhir yang membuat Ken dilempar telur oleh Berto.“Iya, Meyong. Gue belum kehabisan harapan. Jadi bilang sama bokap lo, siap - siap gue teror lagi,” seloroh Ken walau hatinya perih. Seumur - umur baru kali ini ada orang berani melempar telur ke wajahnya. Kalau bukan Tuan “Thanos” Berto Simanjuntak, tak ada lagi.“Gue mulai mikir gimana kalau kita nikah di luar negeri. Coba kamu tanya Reza, gimana baiknya secara hukum.”“Ah, Reza sih sarannya sama kayak e
Setahun kemudian.Cella menjerit kesakitan. Tangannya memukul – mukul paha suaminya berkali-kali.“Cel, jangan keras - keras mukulnya. Lu lupa, paha gue bekas patah tulang?”“Bodooooo amaaatt! Sakiiiittt!” Cella menjerit saat kontraksi rahimnya mencapai puncak.Reza terpaksa menyembunyikan paha yang sempat dipasang pen akibat perbuatan Dita dan membiarkan lengannya menjadi sasaran cubitan sang istri.Sebenarnya bukan mobil Dita yang membuatnya patah tulang karena ia tahu kapan bunyi gemertak itu terdengar. Ia terlempar, lalu jatuh menghantam pot semen sebesar gentong yang menghiasi halaman toko pernak - pernik. Pot itu hancur, begitu pula tulang pahanya.Beruntung Reza hanya patah tulang, tidak seperti Rayyan yang terpaksa koma tiga hari karena benturan kepala dengan lantai paving. Sampai saat ini ia masih terheran, bagaimana mereka berdua bisa lolos dari moncong mobil Dita.“Nah, udah
Reza melihat wajah sahabatnya memucat saat menerima telepon. “Dari siapa, Ray?”Rayyan menoleh dengan manik mata bergulir gelisah. “Dita tahu kita di sini.”“Hah? Kok bisa? Dia buntuti elu?”Rayyan menggeleng. “Kalau itu aku yakin enggak. Soalnya si Bibik di rumah bilang Dita keluar agak lama setelah aku.”“Kali dia udah curiga sebelumnya jadi jaga- jaga lalu mengintai tempat ini. Waah, gue nggak sangka orang stres bisa mikir sampai sejauh itu.”Rayyan menghela napas dengan pedih. Sakit hatinya sang istri disebut ‘orang stres’.“Maaf, Ray. Gue nggak menghina Dita. Tadi tuh cuma keceplosan.”“Dita tuh sakit, Za. Aku tahu kamu dendam karena ditinggalin, tapi jangan melecehkan orang kayak gitu, dong?”“Maaf sekali lagi. Gue udah keterlaluan. Tapi, Ray, jujur gue enggak dendam sama Dita. Enggak sama sekali. Gue udah ikhlasin dia pe
Jauh dari saat yang dijanjikan, Rayyan telah pamit untuk keluar kepada istrinya. Ayah dan ibunya berada di rumah mereka. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Dita untuk keluar."Aku harus mengambil data untuk penelitian," ujar Rayyan, berusaha membual senatural mungkin. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"Seperti dugaan Rayyan, Dita mengangguk. Padahal biasanya perempuan itu langsung panik bila tahu Rayyan akan pergi. Kali ini, sang istri malah tersenyum."Mas Ray bukannya cuti? Masa masih harus mengurus tugas juga?"Biar jiwanya terganggu, logika Dita ternyata masih bisa berfungsi."Aku cuma cuti tidak masuk ke rumah sakit. Tapi penelitian harus tetap jalan supaya nggak ketinggalan terlalu banyak."Rahang Dita langsung terkatup. Sadar benar bahwa dirinya penyebab keterlambatan kelulusan Rayyan."Maaf. Gue istri yang ngerepotin.""Dit, bukan gitu maksudku. Aku cuma—""Iya, iya, Mas! Gue nggak pa-pa kok. Perg
Rayyan sangat kecewa mendengar penuturan Wulan. Benarkah Syifa sudah akan menikahi Ken secara resmi? Itu artinya cinta Syifa telah berpaling kepada Ken. Rayyan tidak percaya. Gadis lugu itu ternyata bisa meninggalkannya dengan cepat.Ah, salahnya sendiri, mengapa tidak sedari awal tegas menolak keinginan orang tua untuk meninggalkan Syifa. Sekarang Dita sakit pula. Mengapa harus ada pernikahan sandiwara yang membuatnya terjebak dengan perempuan ini?Rayyan menatap istrinya yang duduk tercenung di sudut kamar. Matanya kosong, menerawang keluar jendela. Memang benar pengobatan telah membuat Dita tenang, akan tetapi efek sampingnya membuat lesu dan seolah kehilangan nyawa.Rayyan terpaksa melupakan soal perceraian. Sangat tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini. Semua orang akan menuduhnya suami yang egois. Di atas alasan nama baik, Rayyan masih cukup waras untuk mendengarkan hati nurani. Dita adalah adik kelas dan sahabat sejak dulu. Sudah seharusnya Rayyan
Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut."Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa."Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,
Dita menatap nanar layar komputer. Percakapan pribadi melalui sebuah akun kepenulisan dengan pemilik bernama Dragonisme membuatnya berdebar tidak karuan.-------------------Dragonisme: Kok kasar gitu? Asal lo tahu, ya. Gue udah tahu identitas lo tuh siapa. Kenapa sih elo mesti memaksa kakak sendiri? Salah apa dia sama lo sampai elo bakar dia hidup-hidup?-------------------Dita mengusap kening yang mulai basah oleh keringat. Siapa sebenarnya Dragonisme? Apakah ia memang benar seorang penulis yang kebetulan mampir ke akunnya atau seorang mata-mata yang tengah mengintai aktivitasnya? Astaga, bila benar seperti itu, apa yang harus dilakukan? Siapa dalang dari tindakan itu?Otak Dita mulai panas saat memikirkan siapa yang berniat menjatuhkan dirinya. Tak perlu waktu lama, sederet nama terkumpul. Dengan tangan gemetar, Dita menuliskan nama- nama tersebut dalam buku kecil.Orang yang berada di urutan teratas tentu saja Syifa. Bagi Dita, Syifa ad
Sepulang dari rumah Ken, Reza terus terpikir tentang sikap sang sahabat. Sambil berbaring dan mengelus dada Cella yang penuh, ia mengingat-ingat detail kejadian.“Kok Ken nggak marah, ya, Cel? Padahal waktu gue mau makan malam sama lu, dia sewot berat, loh.”“Za, kamu nggak mikir? Kita bisa begini gara-gara satu kamar. Kurasa Ken dan Syifa juga begitu. Apalagi Syifa sakit sebelumnya. Pasti Ken pernah nyentuh-nyentuh. Mungkin bantuin ke kamar mandi, nyuapin, atau malah menyeka badannya.”“Bener juga. Gue juga lihat Syifa nyaman sama Ken dan sebaliknya. Elu lihat mata Ken nggak?”“Lihat. Nyata banget, ya, ada sesuatu di antara mereka.”“Menurut lu Ken udah kumpul sama Syifa apa belum?” Reza sengaja bertanya begitu untuk meyakinkan diri bahwa Cella benar-benar telah melepaskan Ken.“Menurutmu gimana? Kalau aku lihat pas Ken pegang bahu Syifa tadi, aku yakin 90% udah, Za. Mereka p
Reza dan Cella berdiam diri selama perjalanan menuju workshop Ken. Sengaja mereka menjumpai Ken, selain untuk menjenguk Syifa yang baru pulang dari rumah sakit, juga untuk membicarakan hubungan mereka. Pasalnya, sepulang dari Bandung, mama dan papa Cella berkeras mengajak pasangan itu tinggal di rumah mereka selama sebulan.“Papa kalian baru seneng - senengnya punya menantu. Bolehlah kami ikut melihat kebahagiaan kalian. Masa habis nikahan, tidak pakai madu, langsung pindahan ke rumah baru. Tidak elok, dong! Rumah kami sepi banget nggak ada Cella.” Paula berargumentasi yang langsung diamini oleh suami dan besannya.“Habis sebulan di tempat Cella, sebulan lagi di tempat kita. Ya, kan, Ma?” Hardiman tidak mau kalah.“Bah! Malas aku kalau di rumah Papa. Ada Sinta. Ngeganggu aja ntar anak itu,” sanggah Reza yang langsung menyebabkan papanya memelotot. Mulutnya saja yang protes keras. Dalam hati, ia berharap sang ayah melakukan pem