Ken datang ke rumah orang tua Cella pada malam yang dijanjikan. Seperti kebiasaan, ia datang lima menit sebelum waktunya. Cella membukakan pintu dan berdebar melihat seraut wajah innocent yang memiliki bibir mungil membulat dan berwarna kemerahan. Kemeja putih dan celana khaki membuat wajah itu semakin terlihat segar.
Ken masuk dengan anggun kemudian duduk dengan tenang di kursi tamu. Ia tampil santai tanpa terlihat gelisah. Barangkali karena sering mengalami kegagalan usaha dan kerap berjumpa banyak orang dengan berbagai macam karakter, Ken tidak terlalu resah dengan reaksi orang lain terhadap dirinya. Mungkin pula fisik dan latar belakang yang bagus membuat kepercayaan diri lelaki itu tebal.
“Papa dan Mama baru selesai makan. Tunggu sebentar.” Cella duduk dengan gelisah. Tapi Ken malah menatapnya lurus-lurus sehingga debaran dadanya semakin kuat. Satu karena takut reaksi papanya tidak bagus. Kedua karena menahan diri agar tidak lari ke pelukan lelaki ini.
Ken menjawab dengan anggukan kecil kemudian menyandarkan tubuh dengan santai. Kalau melihat sikap Ken yang seperti ini, semua orang pasti mengira ia lelaki yang pendiam dan santun. Wajah baby face itu membuatnya terlihat tanpa noda. Tapi jangan salah sangka. Otak Ken sama sekali tidak innocent.
“Kamu enggak apa-pa?” tanya Cella. “Kenapa lihat aku kayak gitu?”
Ken masih memandang dengan penuh cinta. “Menurut lo?”
Cella berdecak. “Mikir apa sih?”
Ken tersenyum dengan manis, kemudian menjawab dengan lembut, “Mikir ntar malem mau cobain posisi apa.”
Pahanya langsung digempur cubitan bertubi oleh kekasihnya.
“Mesum selalu isi otakmu!” pekik Cella. “Awas, jangan ngomong apa pun yang bikin Papa dan Mama curiga kalau kita pernah ….”
“Tenang aja.”
“Kalau Papa nanyain orang tuamu, jawab aja mereka udah bercerai. Papa itu orang kolot, produk masa lalu. Kamu paham, kan?”
Ken diam karena hatinya kecewa. Memang benar, kedua orang tuanya tidak pernah menikah. Ibunya keturunan Tionghoa Indonesia dan ayahnya Inggris-Manado. Mereka tinggal lama di London sehingga mengadopsi kebiasaan setempat dengan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan.
“Papa dan mamaku saling cinta, Cel. Mereka enggak berpisah sampai saat ini.”
“Duh! Masa kita harus berdebat lagi? Cuma sekali ini aja, buat memuluskan urusan kita. Kamu masih mau mendapat restu, kan?”
Ken terpaksa mengangguk.
“Terus kalau nanti kamu ditanya soal agama, jawab aja sesuai KTP-mu.”
Kali ini Ken bergeming. Enggan menanggapi.
“Ken?”
Ken hanya menoleh sekilas, lalu membuang muka ke tempat lain. “Aku harus mengaku apa?”
“Ya Kristen, sesuai KTP-mu!”
Karena Ken tidak menjawab, Cella menjadi gelisah. “Ken, cuma kali ini juga. Selanjutnya terserah kamu!”
Hampir setengah jam Ken menunggu barulah ayah dan ibu Cella muncul. Mantan hakim Mahkamah Agung itu berdehem tanpa mengulas senyum.
Ken berdiri dan mengulurkan tangan dengan hormat. “Kenalkan, saya Ken.”
Ibu Cella menyambut dengan senyum ramah yang meneduhkan hati. Sebaliknya, ayah Cella menyambut jabatan tangan Ken dengan wajah sedingin gedebog pisang. Padahal ibu Cella itu cantik sekali. Rambutnya pirang dan memiliki mata biru yang menawan. Akan tetapi kehadirannya tertutup oleh aura gelap sang mantan hakim.
“Ehm. Berto. Duduk!”
“Ah, terima kasih.” Ken duduk dengan menegakkan tubuh. Kemudian memandang bergantian antara ayah dan ibu Cella. Ia ingin memulai pembicaraan, namun setelah melihat tanggapan dingin itu, menunggu adalah pilihan paling bijak.
“Siapa kau ini?” Pertanyaan Berto menggema di ruang tamu yang luas dan temaram.
Ken sontak kebingungan. Bukankah tadi sudah memperkenalkan diri? “Saya Ken, Pak.”
“Ehm.”
Seketika sunyi seisi ruang. Baik Cella maupun ibunya seperti menyaksikan pertempuran antara dua kubu.
“Saya tanya sekali lagi, siapa kau ini?”
Ken menelan ludah. Dari berpuluh orang aneh yang pernah ditemui, rasanya tidak ada yang sealien ini. Benarkah dia ayah kandung Cella? Mengapa hanya wajahnya saja yang mirip sedangkan tingkah lakunya sangat berbeda?
“Saya Kendrick William. Anak dari Kenneth William dan Widya Tantawi. Saya sekarang mengelola perusahaan sepatu handmade merek Kenwill Shoes. Bapak pasti sudah tahu karena merek itu cukup terkenal di kalangan artis, pejabat, dan pengusaha papan atas.”
“Hmmm!”
Ken menatap dengan hati-hati, masih berusaha mencerna situasi.
“Saya tanya, kau itu siapa?!” Lagi – lagi sang mantan hakim melontarkan pertanyaan yang sama.
Ken mulai berpikir keras. Pertanyaan aneh itu jangan dicari jawabannya secara lurus dan lempeng. Mendadak otaknya memutar sebuah film lama yang dibintangi oleh Leonardo Dicaprio.
“Saya hanyalah lelaki biasa yang mencintai putri Anda, Pak.” Ada nada merendah dalam suara itu, namun Ken sengaja menyusupkan ketegasan yang kental. Wajah innocent dan mata yang melebar karena mendamba itu sukses membuat meleleh Cella dan ibunya.
“Aaaah! Mama suka sekali, Ken. You’re so romantic!” Mama Cella spontan menyahut.
Ternyata sang mantan hakim tersentuh jiwa melankolisnya. Wajahnya melunak seketika. "Hmmm, boleh juga."
Akan tetapi perjuangan Ken belum berakhir.
“Marga apa kau?”
“William.”
“Hmmm, bukan dari Sumatra Utara.”
“Ayah saya campuran Inggris-Manado dan ibu saya keturunan Jawa-Tionghoa.”
Berto terang – terangan mengamati Ken lekat – lekat dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ken membiarkan saja dirinya diselidiki sedemikian rupa. Bila bukan calon mertua, pasti ia sudah mencak – mencak karena tindakan tidak sopan itu.
“Campuran macam- macam. Semoga kelakuanmu tidak macam- macam.”
“Iya, Pak.” Dalam hati Ken menggerutu. Siapa yang macam – macam? Ternyata benar kata orang bijak. Akhlak seseorang tidak ditentukan oleh tingginya pendidikan dan jabatan, tidak pula oleh luasnya pengalaman dalam bidang yang digeluti.
“Selain bisnis, apa kegiatan kau?”
Nah, ini mudah. “Saya olahraga dan melakukan hobi, Pak.”
“Hmmm. Apa hobi kau?”
“Memasak.” Ken menjawab dengan polos. Mau berbohong bagaimana lagi? Memang itulah hobinya.
Mama Cella langsung terkikik, begitu pula putrinya.
“Hobi masak?!” Walau menghardik, seulas senyum tipis terulas di wajah garang Berto. “Lelaki macam apa kau? Pantas aja muka kau kayak perempuan!”
“Pa, chef – chef terkenal itu kebanyakan laki – laki.” Cella segera membela kekasihnya.
“Hei! Dia bukan chef! Dia tukang sepatu!” Berto menyanggah dengan mendelik. Matanya semakin lebar saja. Namun, bukannya semakin menyeramkan, wajah berbentuk segi empat itu justru terlihat jenaka. Barangkali paduan wajah bayi Ken dan hobi memasak itu menimbulkan sensasi tertentu yang menyentuh hatinya.
“Benar, Pak. Saya tukang sepatu yang masakannya enak.” Ken menambahkan dengan mantap.
“Ah! Mana mungkin masakan kau enak!”
“Oh, kapan – kapan saya masakkan, Pak. Bapak mau apa? Arsik?”
“Heeeh! Tahu juga orang blasteran Inggris-Manado-Jawa-Tionghoa ini soal arsik!” Wajah Berto telah melunak dan senyumnya mulai lebar.
“Paham sekali, Pak. Boleh dicoba sesekali.” Ken menawarkan dengan lembut.
“Boleh – boleh. Datang lagi kau nanti hari Minggu. Kita adu masakan kau dengan masakan Papa.” Berto menantang calon menantu.
Ken mengangguk dengan antusias. “Siap!”
“Kalau gitu datangnya pagi – pagi. Kita ke gereja sama - sama.”
Mata Ken langsung membulat mendengar itu.
“Kenapa mendelik kau? Apa gerejamu?”
Ken menegakkan tubuh dan menghela napas panjang sebelum menjawab. “Saya tidak punya gereja.”
Berto terdiam. Cella mendelik kepada kekasihnya. Diam – diam kakinya menendang tungkai Ken. Namun lelaki itu bergeming.
“Apa maksudnya tidak punya gereja? Kau kan Kristen?” Berto tampak kebingungan.
Cella menunduk sembari mengusap kening. Kenapa juga sang kekasih tidak mau mengalah sekali ini saja? Semoga Ken tidak salah menjawab.
“Bilang Kristen aja,” ujar Cella dengan gerak bibir secara tersembunyi agar tidak diketahui sang ayah. Ken hanya melirik sekilas.
“Bukan, Pak. Saya bukan penganut Kristen.” Suara Ken yang biasanya lembut kini terdengar tegas.
“Hah? Lalu apa agamamu? Katolik? Islam? Hindu? Budha? Konghuchu?”
Ken mulai kesal dengan cara bertanya yang menurutnya keterlaluan. Baginya, agama dan spiritualitas adalah urusan pribadi kepada Tuhan. Tidak perlu diungkit-ungkit apalagi dipertentangkan. “Tidak semuanya, Pak.”
Berto menegakkan punggung dan berkacak pinggang. “Lantas apa kau? Atheis?”
“Bukan juga.”
“Penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa?”
“Bukan juga, Pak.”
“Lalu?”
“Agnostik.”
“Apa?!”
Cukup lama Berto berdiam diri, kembali menelisik Ken dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ruangan itu berubah menjadi mencekam.
“Baiklah. Kalau begitu tak usah datang lagi ke sini. Pulang kau segera! Putriku hanya akan menikah dengan orang seagama dan sesuku. Paham kau?!”
Setelah berkata begitu, Berto masuk, meninggalkan tiga orang yang tercenung di ruang tamu.
--- Bersambung ---
Ken tidak ragu mengungkapkan diri walau Berto memandang dengan tatapan mengerikan. Lelaki itu pasti syok mendengar putrinya berhubungan dengan seorang lelaki yang tidak percaya pada agama. Dalam hati Ken mencela. Belum tahu saja bagaimana kelakuan sang putri bila tengah berkunjung ke apartemennya. Bisa – bisa lelaki lanjut usia itu langsung terkena serangan jantung jika ia membuka kartu Cella.“Pulang kau!” Berto kembali menghardik, kesal karena orang yang diusir malah mematung.“Papa, sabar ya,” pinta istrinya. Cella tak mau ketinggalan.“Pa, Ken cuma bercanda. Iya, kan, Ken?” Dengan isyarat kedipan mata Cella meminta Ken untuk mengangguk.Ken tersenyum kecut. Ia tidak mau mengangguk. Tulang keringnya segera ditendang oleh Cella.Rupanya aksi diam Ken itu semakin memicu kemarahan Berto. “Pokoknya, sampai ayam berkokok di kutub utara, Papa tidak akan serahkan kamu ke lelaki aneh ini! Paham kau Cel?!&r
Ken memasuki kamar tidur dengan malas – malasan. Setelah mengantarkan Cella ke apartemennya, cukup lama ia termenung di ruang tengah. Televisi dinyalakan, mata menatap lekat, namun gambar yang ditangkap tidak sampai ke otak karena kepalanya terlanjur penuh dengan permasalahan hubungannya dengan Cella.Ken tidak membayangkan hidup tanpa kehadiran gadis itu. Sekarang pun dalam kesendirian yang hanya beberapa jam, ia telah merasakan ada yang kurang. Kamar itu lengang seperti tidak bernyawa tanpa keberadaan si Kucing Manja.Ken merebahkan diri dengan enggan. Tangan menggapai ke sisi kasur di sebelahnya. Kosong. Baru berpisah tiga jam saja hatinya resah. Bagaimana nasibnya bila mereka harus putus?Sambil berbaring,mata ken menjelajah seisi ruang. Kamar tidur yang luas itu masih menyimpan jejak kehidupan Cella. Dekorasi dan hiasan yang ditata di berbagai sudut semuanya pilihan Cella. Aroma udara pun harum karena parfum gadis itu. Lemari pakaian masih menyimpan b
Di hari Minggu, pagi – pagi Ken dan Cella telah muncul di rumah sang ayah. Tangan Ken menenteng tas plastik berisi berbagai belanjaan untuk bahan membuat ikan arsik. Setelah dibukakan pintu oleh asisten rumah tangga, keduanya langsung menuju dapur.“Papa dan Mama udah bangun?” tanya Cella kepada si Bibi.“Belum, Non. Mungkin agak siang nanti.”“Oh, Papa dan Mama enggak ke gereja pagi?”“Sepertinya tidak, Non. Sehabis marah -marah semalam, Bapak kurang sehat. Kata Ibu, Bapak agak lemas.”Cella dan Ken kontan saling pandang.“Papa sakit atau gimana, kok lemas?” tanya Cella kembali.Si Bibi hanya menggeleng. “Bibi kurang paham, Non.”“Ken, kayaknya aku ke atas dulu, nengok kondisi Papa,” ujar Cella.Ken mengangguk. “Terus jadi enggak masak – masaknya?”“Jadi aja. Buat sementara, kamu masak sama Bibi.&rdqu
Lift bergerak naik, membawa dua lelaki yang sibuk dengan pikiran masing – masing. Ken masih resah dengan sikap ayah Cella sehingga mendiamkan saja Jonathan. Sedangkan pemuda itu rupanya sibuk menenangkan diri karena tidak ingin terlihat cengeng di depan lelaki lain. Bukankah hanya perempuan yang mudah menangis di sembarang tempat? Setelah beberapa waktu bungkam, saat keluar lift, akhirnya Jonathan punya kekuatan untuk mengeluarkan suara.Unit Ken terletak di ujung. Mereka berjalan beberapa waktu untuk mencapai tempat itu.“Apartemen disita bokap, mobil disita nyokap.” Jonathan melanjutkan keluh kesah dengan suara bergetar. Ada isak lirih saat pemuda itu mengucapkannya walau sudah ditahan sekuat mungkin.Ken meringis menahan geli. Jonathan sudah sedewasa itu, tapi orang tuanya tetap memperlakukan sang anak seperti remaja tanggung. Buat apa menyita apartemen dan mobil pria dewasa yang sudah bisa hidup mandiri?“Santuy. Duit lo kan ba
Jonathan dengan riang membuntuti Ken ke meja makan. Di sana telah terhidang dua piring capcay yang masih mengepul. Nafsu makan Jonathan langsung tergugah. Dan memang benar, rasa masakan Ken tidak mengecewakan.Ken malas bertanya. Tanpa ditanya pun Jo akan bercerita dengan sendirinya. Siapa yang tidak kenal model yang satu ini? Ia kerap menjadi host atau bintang tamu di berbagai acara televisi karena kemampuannya berceloteh.“Lo enggak tanya kenapa gue berantem sama Nara?” Jo membuka pembicaraan setelah rekannya hanya berdiam diri cukup lama. Ia benci kesunyian. Karena itu mulutnya tidak tahan untuk mengisi ruang kosong dengan kata - kata.“Perlu banget gue tahu masalah, lo? Kalau lo mau cerita, gue dengerin. Kalau nggak pun, gue nggak kepo.”Jo mencibir. “Sadis, dingin, cool boy lo!”“Terserah! Cepetan makan, ntar kesedak pula.”Jonathan kembali mencibir. Kali ini lebih panjan
Ken masih terngiang perkataan Jonathan walau lelaki itu telah lama pulang. Bukan pulang ke rumahnya, melainkan ke apartemen sewaan sementara sebelum menemukan yang cocok untuk dibeli. Walau sempat diteriaki dan diusir, Jonathan hanya menanggapinya sebagai gurauan.“Woles, Bro! Gue cuma bercanda. Elo cowok normal kok, senormal - normalnya.” Seperti itulah sanggahan Jonathan waktu itu. sayangnya, Ken tidak membiarkan perkataan itu berlalu begitu saja. Otaknya menyimpan dan mengolah informasi itu dengan sangat baik.Elo cantik kayak artis. Apa memang seperti itu penampilannya?Karena penasaran, Ken berdiri di depan cermin, menjelajahi pantulan diri. Mula - mula masih dengan memakai baju lengkap. Lama - kelamaan ia tanggalkan semua sehingga sosok berkulit kuning terang itu terlihat nyata. Memang benar kata Jonathan, dirinya mulus dan minim rambut.Ken berputar sejenak. Gerak geriknya memang halus karena sejak kecil tidak terbiasa be
Setelah pergulatan ranjang yang menghabiskan tenaga, Cella dan Ken bergulung dengan nyaman di bawah selimut. Permainan yang baru saja mereka lakukan adalah permainan terpanas yang pernah mereka alami. Ternyata dengan sedikit improvisasi, kenikmatan dengan sensasi yang baru tercapai.“Waaah, yang barusan tadi hebat,” desah Cella seraya mengelus dada kekasihnya. “Kamu bikin aku gemes kalau pakai riasan kayak gini.”“Lo nggak ngibul, kan?” Sebuah kecupan mendarat di kening Cella. Hal yang membuat senang setelah bercinta adalah mengendurkan otot sembari bercakap dengan si kucing cantik. Tak jarang mereka melanjutkan kebersamaan dengan memasak di dapur. Maklum, energi yang terkuras membuat usus meronta minta diisi. Namun sering pula ia ketiduran dengan tubuh polos hingga keesokan hari.Cella memukul dada putih yang berkulit halus dan mulus. “Kamu merasa gimana? Aku ngibul apa enggak?”Ken terkekeh. Desahan dan pe
Acara pemotretan dengan model - model sepatu telah selesai. Ruang kantor di lantai tiga ruko milik Ken telah disulap menjadi studio foto mini. Pengambilan gambar juga dilakukan di bagian produksi di lantai satu dan dua, untuk menunjukkan betapa sepatu - sepatu itu dibuat dengan teliti dan memperhatikan kualitas.Line produk baru itu sukses di pasaran sehingga kesibukan perusahaan meningkat. Bahkan ada perusahaan investasi yang berminat untuk bergabung. Dengan tambahan modal berupa kongsi tersebut sebenarnya Ken bisa melakukan ekspansi besar - besaran. Akan tetapi, ia masih mempertimbangkan untung dan rugi. Tidak bagus bila terlalu berspekulasi tanpa berhitung terlebih dulu.Ken naik ke lantai empat untuk beristirahat. Jadwal hari ini padat dan melelahkan, namun membuat hati senang. Bekerja dengan para model cantik dan tampan itu sangat menggairahkan. Dandanan ayu serta aroma parfum yang merebak di udara membuat Ken semakin larut dalam keasyikan hingga melupakan masalah
Setahun kemudian.Cella menjerit kesakitan. Tangannya memukul – mukul paha suaminya berkali-kali.“Cel, jangan keras - keras mukulnya. Lu lupa, paha gue bekas patah tulang?”“Bodooooo amaaatt! Sakiiiittt!” Cella menjerit saat kontraksi rahimnya mencapai puncak.Reza terpaksa menyembunyikan paha yang sempat dipasang pen akibat perbuatan Dita dan membiarkan lengannya menjadi sasaran cubitan sang istri.Sebenarnya bukan mobil Dita yang membuatnya patah tulang karena ia tahu kapan bunyi gemertak itu terdengar. Ia terlempar, lalu jatuh menghantam pot semen sebesar gentong yang menghiasi halaman toko pernak - pernik. Pot itu hancur, begitu pula tulang pahanya.Beruntung Reza hanya patah tulang, tidak seperti Rayyan yang terpaksa koma tiga hari karena benturan kepala dengan lantai paving. Sampai saat ini ia masih terheran, bagaimana mereka berdua bisa lolos dari moncong mobil Dita.“Nah, udah
Reza melihat wajah sahabatnya memucat saat menerima telepon. “Dari siapa, Ray?”Rayyan menoleh dengan manik mata bergulir gelisah. “Dita tahu kita di sini.”“Hah? Kok bisa? Dia buntuti elu?”Rayyan menggeleng. “Kalau itu aku yakin enggak. Soalnya si Bibik di rumah bilang Dita keluar agak lama setelah aku.”“Kali dia udah curiga sebelumnya jadi jaga- jaga lalu mengintai tempat ini. Waah, gue nggak sangka orang stres bisa mikir sampai sejauh itu.”Rayyan menghela napas dengan pedih. Sakit hatinya sang istri disebut ‘orang stres’.“Maaf, Ray. Gue nggak menghina Dita. Tadi tuh cuma keceplosan.”“Dita tuh sakit, Za. Aku tahu kamu dendam karena ditinggalin, tapi jangan melecehkan orang kayak gitu, dong?”“Maaf sekali lagi. Gue udah keterlaluan. Tapi, Ray, jujur gue enggak dendam sama Dita. Enggak sama sekali. Gue udah ikhlasin dia pe
Jauh dari saat yang dijanjikan, Rayyan telah pamit untuk keluar kepada istrinya. Ayah dan ibunya berada di rumah mereka. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Dita untuk keluar."Aku harus mengambil data untuk penelitian," ujar Rayyan, berusaha membual senatural mungkin. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"Seperti dugaan Rayyan, Dita mengangguk. Padahal biasanya perempuan itu langsung panik bila tahu Rayyan akan pergi. Kali ini, sang istri malah tersenyum."Mas Ray bukannya cuti? Masa masih harus mengurus tugas juga?"Biar jiwanya terganggu, logika Dita ternyata masih bisa berfungsi."Aku cuma cuti tidak masuk ke rumah sakit. Tapi penelitian harus tetap jalan supaya nggak ketinggalan terlalu banyak."Rahang Dita langsung terkatup. Sadar benar bahwa dirinya penyebab keterlambatan kelulusan Rayyan."Maaf. Gue istri yang ngerepotin.""Dit, bukan gitu maksudku. Aku cuma—""Iya, iya, Mas! Gue nggak pa-pa kok. Perg
Rayyan sangat kecewa mendengar penuturan Wulan. Benarkah Syifa sudah akan menikahi Ken secara resmi? Itu artinya cinta Syifa telah berpaling kepada Ken. Rayyan tidak percaya. Gadis lugu itu ternyata bisa meninggalkannya dengan cepat.Ah, salahnya sendiri, mengapa tidak sedari awal tegas menolak keinginan orang tua untuk meninggalkan Syifa. Sekarang Dita sakit pula. Mengapa harus ada pernikahan sandiwara yang membuatnya terjebak dengan perempuan ini?Rayyan menatap istrinya yang duduk tercenung di sudut kamar. Matanya kosong, menerawang keluar jendela. Memang benar pengobatan telah membuat Dita tenang, akan tetapi efek sampingnya membuat lesu dan seolah kehilangan nyawa.Rayyan terpaksa melupakan soal perceraian. Sangat tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini. Semua orang akan menuduhnya suami yang egois. Di atas alasan nama baik, Rayyan masih cukup waras untuk mendengarkan hati nurani. Dita adalah adik kelas dan sahabat sejak dulu. Sudah seharusnya Rayyan
Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut."Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa."Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,
Dita menatap nanar layar komputer. Percakapan pribadi melalui sebuah akun kepenulisan dengan pemilik bernama Dragonisme membuatnya berdebar tidak karuan.-------------------Dragonisme: Kok kasar gitu? Asal lo tahu, ya. Gue udah tahu identitas lo tuh siapa. Kenapa sih elo mesti memaksa kakak sendiri? Salah apa dia sama lo sampai elo bakar dia hidup-hidup?-------------------Dita mengusap kening yang mulai basah oleh keringat. Siapa sebenarnya Dragonisme? Apakah ia memang benar seorang penulis yang kebetulan mampir ke akunnya atau seorang mata-mata yang tengah mengintai aktivitasnya? Astaga, bila benar seperti itu, apa yang harus dilakukan? Siapa dalang dari tindakan itu?Otak Dita mulai panas saat memikirkan siapa yang berniat menjatuhkan dirinya. Tak perlu waktu lama, sederet nama terkumpul. Dengan tangan gemetar, Dita menuliskan nama- nama tersebut dalam buku kecil.Orang yang berada di urutan teratas tentu saja Syifa. Bagi Dita, Syifa ad
Sepulang dari rumah Ken, Reza terus terpikir tentang sikap sang sahabat. Sambil berbaring dan mengelus dada Cella yang penuh, ia mengingat-ingat detail kejadian.“Kok Ken nggak marah, ya, Cel? Padahal waktu gue mau makan malam sama lu, dia sewot berat, loh.”“Za, kamu nggak mikir? Kita bisa begini gara-gara satu kamar. Kurasa Ken dan Syifa juga begitu. Apalagi Syifa sakit sebelumnya. Pasti Ken pernah nyentuh-nyentuh. Mungkin bantuin ke kamar mandi, nyuapin, atau malah menyeka badannya.”“Bener juga. Gue juga lihat Syifa nyaman sama Ken dan sebaliknya. Elu lihat mata Ken nggak?”“Lihat. Nyata banget, ya, ada sesuatu di antara mereka.”“Menurut lu Ken udah kumpul sama Syifa apa belum?” Reza sengaja bertanya begitu untuk meyakinkan diri bahwa Cella benar-benar telah melepaskan Ken.“Menurutmu gimana? Kalau aku lihat pas Ken pegang bahu Syifa tadi, aku yakin 90% udah, Za. Mereka p
Reza dan Cella berdiam diri selama perjalanan menuju workshop Ken. Sengaja mereka menjumpai Ken, selain untuk menjenguk Syifa yang baru pulang dari rumah sakit, juga untuk membicarakan hubungan mereka. Pasalnya, sepulang dari Bandung, mama dan papa Cella berkeras mengajak pasangan itu tinggal di rumah mereka selama sebulan.“Papa kalian baru seneng - senengnya punya menantu. Bolehlah kami ikut melihat kebahagiaan kalian. Masa habis nikahan, tidak pakai madu, langsung pindahan ke rumah baru. Tidak elok, dong! Rumah kami sepi banget nggak ada Cella.” Paula berargumentasi yang langsung diamini oleh suami dan besannya.“Habis sebulan di tempat Cella, sebulan lagi di tempat kita. Ya, kan, Ma?” Hardiman tidak mau kalah.“Bah! Malas aku kalau di rumah Papa. Ada Sinta. Ngeganggu aja ntar anak itu,” sanggah Reza yang langsung menyebabkan papanya memelotot. Mulutnya saja yang protes keras. Dalam hati, ia berharap sang ayah melakukan pem