Ken bangun pagi itu dengan kepala pening. Perkataan Cella semalam telah membuat tidurnya tidak nyenyak. Beberapa kali mengigau dan terbangun. Alhasil sejak pukul tiga dini hari matanya tak mau terpejam.
Cella masih bergulung nyaman di bawah selimut. Kepalanya rebah di lengan Ken. Karena sudah lama dalam posisi itu, lengannya mulai kesemutan. Dengan hati – hati Ken mengangkat sedikit kepala sang pacar agar dapat membebaskan lengan dari tekanan.
Cella terbangun. Mata indah yang menghiasi wajah berkulit halus itu terbuka perlahan. Mengerjap sejenak untuk kemudian berbinar indah saat menemukan Ken. Wajah oval berpipi mulus yang dihiasi bibir mungil yang bulat, Cella menyebutnya cantik. Karena gemas, sebuah kecupan dihadiahkan di pipi Ken.
“Selamat pagi, Cheyenk!”
“Hmmm!”
“Jam berapa ini?”
Ken menoleh ke dinding lalu memberi isyarat dengan dagu. “Tuh!”
“Idiiih. Ketus amat pagi – pagi. Masih kesal karena masalah semalam?”
Ken bangun kemudian berjalan menuju kamar mandi. Melihat perilaku tidak biasa itu, Cella segera menyusul, lalu menahan tubuh jangkung kekasihnya dengan pelukan dari belakang.
“Jangan marah dong, Cheyenk. Aku sedih banget kalau kamu begini.”
Sang kekasih diam tanpa menanggapi. Ken memang bukan golongan orang yang banyak bicara. Semakin emosi, semakin sedikit kata - katanya.
“Cheyeeeeenk. Jangan diam dong? Ngomonglah sesuatu gitu.” Cella menggelayut manja pada lengan Ken walau lelaki itu sudah berada di bawah shower, siap mengguyurkan air kapan saja.
“Ken!” Cella menghentakkan kaki dengan wajah merengut maksimal. Rupanya tindakan itu berhasil membuka mulut Ken.
“Gimana nggak kesal? Elo larang gue ketemu orang tua lo. Itu maksudnya apa, Cel?”
Cella merenggangkan rengkuhan. “Maksudnya aku menjaga perasaanmu, biar enggak sakit hati kalau ditolak.”
Ken batal mandi. Ia menderap keluar lalu menatap lurus-lurus pada gadisnya. “Gue enggak ngerti. Elo mau kita jalan di tempat kayak gini terus? Gue bukan cowok kayak gitu, Cel. Elo udah kumpul sama gue, ya, berarti gue harus tanggung jawab sepenuhnya buat nikahin lo.”
“Aku juga sayang sama kamu, Ken. Tapi aku belum siap menikah dalam waktu dekat.”
Ken menangkupkan tangan pada pipi kekasihnya. “Elo nyaman apa sama hubungan kayak gini? Setiap kali kita harus merasa insecure, dikit - dikit takut ada orang yang memergoki kita. Elo seneng?”
“Kita kan udah rapi banget nutupin ini. Aman aja, Ken. Kamu nggak usah terlalu parno.”
Ken masih berusaha membujuk dengan lembut. “Cel, bukan soal parno atau enggak. Gue tuh paham, bukan kayak gini hidup yang gue mau. Gue mau saat ngelakuin itu, gue nggak terbeban sama hati nurani.”
“Udah biasa kali hidup kayak gini. Orang lain ngejalaninya santai aja. Kamu kok gelisah sendiri?”
“Ya itu orang lain. Gue nggak mau gitu. Gue mau yang sah, Cel.”
Cella hanya berkedip memandang Ken. Mata indah itu terlihat redup. Ken mulai mencemaskan reaksi tidak wajar itu. Hatinya menjadi ragu dengan arah hubungan mereka. Apakah akan berlanjut ke pelaminan atau berakhir sampai di sini saja.
Oh, tidak bisa!
Ken terlalu sayang pada Cella. Mana mungkin kehilangan si kucing manja ini?
“Kok diem? Elo nggak kepingin nikah? Elo nolak gue?”
“Ya pingin. Siapa yang enggak kepingin punya keluarga?”
“Trus? Elo nggak mau melawan ortu? Elo nggak selamanya tinggal sama mereka. Kita punya hak untuk bahagia dan hidup sesuai pilihan kita.”
“Kamu enak. Orang tuamu pengertian, nggak kasih target kriteria menantu.”
Ken menelisik melalui mata Cella. Ingin tahu apa yang mengganjal gadis ini.
“Jujur aja, sebenernya elo ragu sama gue, Cel? Elo udah nyerah sama hubungan kita? Elo udah nggak sayang gue lagi?”
Mata Cella membulat, menatap lurus pada kekasihnya. “Ken, aku enggak ragu sama kamu. Sama sekali enggak. Aku sayang banget sama kamu.”
“Ya kalau gitu, ayo kita urus nikahannya. Gue siap ngadepin nyokap bokap lo.”
Cella meneguk liur. Masalahnya bukan soal berani atau tidak berani. Yang mengalir dalam darah Ken itulah penyebab utamanya.
“Percuma. Papa dan Mama enggak akan kasih restu kalau kamu bukan cowok berdarah Batak.”
“Kita bisa nikah tanpa restu kalau emang kepaksa. Kalau lo mau nunggu, gue bisa pendekatan sama mereka. Gue ini tipe sabar, bisa ngelakuin apa aja selama itu dibutuhkan.”
“Ken, kita urus nikahnya setelah aku pulang dari New York aja, ya? Takutnya ntar malah Papa dan Mama ngelarang aku berangkat ke sana.”
Ken sontak melengos mendengarnya. “Nah, kan? Gue udah duga. Semua ujung – ujungnya karir. Cuma karir yang paling utama di hidup lo, kan, Cel?”
“Nggak gitu juga kali, Ken. Aku merasa mumpung masih muda gini, apa salahnya mencari pengalaman sebanyak mungkin? Lagian cuma setahun. Kenapa kamu nggak sabar nunggu? Kamu sayang aku nggak sih, Ken?” Cella balik menuntut.
Hati Ken seperti ditampar dengan sandal. “Kok malah ngebahas gue? Jawab dulu pertanyaan ini, gue ini sebagai apa di hidup lo?” Suara Ken terdengar pilu.
Cella langsung bungkam, tidak menyangka orang pragmatis seperti Ken akan melontarkan pertanyaan yang dalam. Melihat kekasihnya terdiam, Ken mendengkus lalu berlalu ke kamar mandi.
“Ken, tunggu! Aku belum selesai bicara!” Cella hendak menyusul ke kamar mandi seperti biasa. Ternyata pintunya dikunci. Nyali Cella kontan menciut. Ken benar- benar kecewa.
“Keeen!” Tangan Cella menggedor pintu kamar mandi beberapa kali. “Ken, jangan ngambek gitu, dong?”
Tak ada jawaban.
“Keeen! Kamu nyebelin kalau udah gini!”
Masih saja tak ada jawaban. Dari kamar mandi terdengar bunyi guyuran air. Cella mendesah seorang diri. Alamat, sesudah ini Ken akan mogok bicara seharian.
“Ken, jangan kayak anak kecil ngambekan! Kalau ada masalah tuh kita harus ngomong, bukannya mendiamkan!” Cella kembali menggedor pintu seraya berteriak agar suaranya didengar oleh orang yang tengah berada di dalam kamar mandi.
“Keeeeennnnn! Kamu masih bisa dengar apa enggak siiiih?”
Seperti dugaan Cella, tak terdengar jawaban apa pun.
Sabar, Cel, sabar. Untung ganteng. Kalau enggak udah aku tendang kamu!
“Aku ke dapur. Kamu mau dibikinin apa? Mi atau nasi goreng?”
Ken tetaplah Ken si pengambek. Sampai Cella selesai menyiapkan nasi goreng, lelaki itu masih bungkam. Namun herannya, jatah nasi gorengnya dilahap sampai tandas.
“Enak?” Cella mencibir saat mengambil piring Ken yang telah kosong. “Ih, diem aja. Dikira aku takut?”
Ken melirik sekilas, lalu meneguk jus jeruk. Tindakan itu membuat Cella gemas bukan kepalang. Diletakkannya piring, lalu menghambur ke pangkuan Ken. Si kucing manis segera beraksi. Memberikan gesekan -gesekan hangat ke seluruh tubuh sang kekasih. Hasilnya segera terlihat. Selangkangan Ken mengeras dan ia tak sanggup mempertahankan aksi ngambeknya.
Ken segera membalas hingga keduanya memanas di kursi. Tak lama kemudian, Ken menggendong Cella ke sofa ruang tengah dan melucuti baju gadis itu, lalu menghujaninya dengan sentuhan - sentuhan yang membuat Cella terhanyut.
Dengan cepat, Cella telah merayap menuju puncak. Namun hal yang tak diharapkan terjadi. Ken menarik diri. Cella seketika kehilangan sesuatu. Bagian bawah tubuhnya berdenyut keras, meronta, minta dipuaskan. Ia seperti anak kucing yang ditelantarkan majikan, menggeliat gelisah dengan tangan menggapai - gapai.
Ken berdiri di samping sofa, memandang ke bawah dengan tangan terlipat di depan dada. “Bilang dulu, elo mau gue lamar.”
“Aaaah?” Cella tak sanggup berkata - kata. Lehernya sudah panas karena dahaga asmara.
“Kalau mau, kita lanjutkan. Kalau nggak, sebaiknya kita enggak usah ketemuan lagi.”
“Jahaaat! Ayo sini!” Cella memelas sekali.
Ken tetap berdiri tegak, menantang dengan tatapan dingin pada perempuan yang telah terbuka tanpa busana.
“Keeen, ah! Ayo siniiiiii!” Tangan Cella kembali menggapai, namun dengan sigap Ken menepisnya.
“Bilang 'ya' dulu!”
Cella sudah hilang akal. “Iya.” Jawaban itu lirih, semacam desahan.
“Apa? Enggak denger gue. Elo mau gue lamar?”
“Iya.”
“Yang keras, dong!”
“Ya! Iya, Ken! Iya!”
“Nah gitu, dong!” Ken berdiri lalu menjauh dari sofa menuju meja makan. Dari atas meja, diambilnya ponsel Cella.
“Telepon bokap lo, bilang gue mau datang.” Walau diucapkan dengan lembut, perintah itu tidak untuk dibantah. Lagipula, dengan hormon yang tengah meledak, otak Cella tidak sanggup berpikir dan terpaksa menuruti. Dibuatnya janji temu dengan sang ayah secepat mungkin sebab dadanya telah naik turun dan denyut jantungnya telah memburu akibat hasrat yang tertunda.
“Udah nih. Besok malam!”
Ken tersenyum puas. Belum sempat menjawab, ia telah ditarik oleh Cella hingga rebah ke sofa kembali.
—- Bersambung —-
Ken datang ke rumah orang tua Cella pada malam yang dijanjikan. Seperti kebiasaan, ia datang lima menit sebelum waktunya. Cella membukakan pintu dan berdebar melihat seraut wajah innocent yang memiliki bibir mungil membulat dan berwarna kemerahan. Kemeja putih dan celana khaki membuat wajah itu semakin terlihat segar.Ken masuk dengan anggun kemudian duduk dengan tenang di kursi tamu. Ia tampil santai tanpa terlihat gelisah. Barangkali karena sering mengalami kegagalan usaha dan kerap berjumpa banyak orang dengan berbagai macam karakter, Ken tidak terlalu resah dengan reaksi orang lain terhadap dirinya. Mungkin pula fisik dan latar belakang yang bagus membuat kepercayaan diri lelaki itu tebal.“Papa dan Mama baru selesai makan. Tunggu sebentar.” Cella duduk dengan gelisah. Tapi Ken malah menatapnya lurus-lurus sehingga debaran dadanya semakin kuat. Satu karena takut reaksi papanya tidak bagus. Kedua karena menahan diri agar tidak lari ke pelukan lelaki ini.
Ken tidak ragu mengungkapkan diri walau Berto memandang dengan tatapan mengerikan. Lelaki itu pasti syok mendengar putrinya berhubungan dengan seorang lelaki yang tidak percaya pada agama. Dalam hati Ken mencela. Belum tahu saja bagaimana kelakuan sang putri bila tengah berkunjung ke apartemennya. Bisa – bisa lelaki lanjut usia itu langsung terkena serangan jantung jika ia membuka kartu Cella.“Pulang kau!” Berto kembali menghardik, kesal karena orang yang diusir malah mematung.“Papa, sabar ya,” pinta istrinya. Cella tak mau ketinggalan.“Pa, Ken cuma bercanda. Iya, kan, Ken?” Dengan isyarat kedipan mata Cella meminta Ken untuk mengangguk.Ken tersenyum kecut. Ia tidak mau mengangguk. Tulang keringnya segera ditendang oleh Cella.Rupanya aksi diam Ken itu semakin memicu kemarahan Berto. “Pokoknya, sampai ayam berkokok di kutub utara, Papa tidak akan serahkan kamu ke lelaki aneh ini! Paham kau Cel?!&r
Ken memasuki kamar tidur dengan malas – malasan. Setelah mengantarkan Cella ke apartemennya, cukup lama ia termenung di ruang tengah. Televisi dinyalakan, mata menatap lekat, namun gambar yang ditangkap tidak sampai ke otak karena kepalanya terlanjur penuh dengan permasalahan hubungannya dengan Cella.Ken tidak membayangkan hidup tanpa kehadiran gadis itu. Sekarang pun dalam kesendirian yang hanya beberapa jam, ia telah merasakan ada yang kurang. Kamar itu lengang seperti tidak bernyawa tanpa keberadaan si Kucing Manja.Ken merebahkan diri dengan enggan. Tangan menggapai ke sisi kasur di sebelahnya. Kosong. Baru berpisah tiga jam saja hatinya resah. Bagaimana nasibnya bila mereka harus putus?Sambil berbaring,mata ken menjelajah seisi ruang. Kamar tidur yang luas itu masih menyimpan jejak kehidupan Cella. Dekorasi dan hiasan yang ditata di berbagai sudut semuanya pilihan Cella. Aroma udara pun harum karena parfum gadis itu. Lemari pakaian masih menyimpan b
Di hari Minggu, pagi – pagi Ken dan Cella telah muncul di rumah sang ayah. Tangan Ken menenteng tas plastik berisi berbagai belanjaan untuk bahan membuat ikan arsik. Setelah dibukakan pintu oleh asisten rumah tangga, keduanya langsung menuju dapur.“Papa dan Mama udah bangun?” tanya Cella kepada si Bibi.“Belum, Non. Mungkin agak siang nanti.”“Oh, Papa dan Mama enggak ke gereja pagi?”“Sepertinya tidak, Non. Sehabis marah -marah semalam, Bapak kurang sehat. Kata Ibu, Bapak agak lemas.”Cella dan Ken kontan saling pandang.“Papa sakit atau gimana, kok lemas?” tanya Cella kembali.Si Bibi hanya menggeleng. “Bibi kurang paham, Non.”“Ken, kayaknya aku ke atas dulu, nengok kondisi Papa,” ujar Cella.Ken mengangguk. “Terus jadi enggak masak – masaknya?”“Jadi aja. Buat sementara, kamu masak sama Bibi.&rdqu
Lift bergerak naik, membawa dua lelaki yang sibuk dengan pikiran masing – masing. Ken masih resah dengan sikap ayah Cella sehingga mendiamkan saja Jonathan. Sedangkan pemuda itu rupanya sibuk menenangkan diri karena tidak ingin terlihat cengeng di depan lelaki lain. Bukankah hanya perempuan yang mudah menangis di sembarang tempat? Setelah beberapa waktu bungkam, saat keluar lift, akhirnya Jonathan punya kekuatan untuk mengeluarkan suara.Unit Ken terletak di ujung. Mereka berjalan beberapa waktu untuk mencapai tempat itu.“Apartemen disita bokap, mobil disita nyokap.” Jonathan melanjutkan keluh kesah dengan suara bergetar. Ada isak lirih saat pemuda itu mengucapkannya walau sudah ditahan sekuat mungkin.Ken meringis menahan geli. Jonathan sudah sedewasa itu, tapi orang tuanya tetap memperlakukan sang anak seperti remaja tanggung. Buat apa menyita apartemen dan mobil pria dewasa yang sudah bisa hidup mandiri?“Santuy. Duit lo kan ba
Jonathan dengan riang membuntuti Ken ke meja makan. Di sana telah terhidang dua piring capcay yang masih mengepul. Nafsu makan Jonathan langsung tergugah. Dan memang benar, rasa masakan Ken tidak mengecewakan.Ken malas bertanya. Tanpa ditanya pun Jo akan bercerita dengan sendirinya. Siapa yang tidak kenal model yang satu ini? Ia kerap menjadi host atau bintang tamu di berbagai acara televisi karena kemampuannya berceloteh.“Lo enggak tanya kenapa gue berantem sama Nara?” Jo membuka pembicaraan setelah rekannya hanya berdiam diri cukup lama. Ia benci kesunyian. Karena itu mulutnya tidak tahan untuk mengisi ruang kosong dengan kata - kata.“Perlu banget gue tahu masalah, lo? Kalau lo mau cerita, gue dengerin. Kalau nggak pun, gue nggak kepo.”Jo mencibir. “Sadis, dingin, cool boy lo!”“Terserah! Cepetan makan, ntar kesedak pula.”Jonathan kembali mencibir. Kali ini lebih panjan
Ken masih terngiang perkataan Jonathan walau lelaki itu telah lama pulang. Bukan pulang ke rumahnya, melainkan ke apartemen sewaan sementara sebelum menemukan yang cocok untuk dibeli. Walau sempat diteriaki dan diusir, Jonathan hanya menanggapinya sebagai gurauan.“Woles, Bro! Gue cuma bercanda. Elo cowok normal kok, senormal - normalnya.” Seperti itulah sanggahan Jonathan waktu itu. sayangnya, Ken tidak membiarkan perkataan itu berlalu begitu saja. Otaknya menyimpan dan mengolah informasi itu dengan sangat baik.Elo cantik kayak artis. Apa memang seperti itu penampilannya?Karena penasaran, Ken berdiri di depan cermin, menjelajahi pantulan diri. Mula - mula masih dengan memakai baju lengkap. Lama - kelamaan ia tanggalkan semua sehingga sosok berkulit kuning terang itu terlihat nyata. Memang benar kata Jonathan, dirinya mulus dan minim rambut.Ken berputar sejenak. Gerak geriknya memang halus karena sejak kecil tidak terbiasa be
Setelah pergulatan ranjang yang menghabiskan tenaga, Cella dan Ken bergulung dengan nyaman di bawah selimut. Permainan yang baru saja mereka lakukan adalah permainan terpanas yang pernah mereka alami. Ternyata dengan sedikit improvisasi, kenikmatan dengan sensasi yang baru tercapai.“Waaah, yang barusan tadi hebat,” desah Cella seraya mengelus dada kekasihnya. “Kamu bikin aku gemes kalau pakai riasan kayak gini.”“Lo nggak ngibul, kan?” Sebuah kecupan mendarat di kening Cella. Hal yang membuat senang setelah bercinta adalah mengendurkan otot sembari bercakap dengan si kucing cantik. Tak jarang mereka melanjutkan kebersamaan dengan memasak di dapur. Maklum, energi yang terkuras membuat usus meronta minta diisi. Namun sering pula ia ketiduran dengan tubuh polos hingga keesokan hari.Cella memukul dada putih yang berkulit halus dan mulus. “Kamu merasa gimana? Aku ngibul apa enggak?”Ken terkekeh. Desahan dan pe
Setahun kemudian.Cella menjerit kesakitan. Tangannya memukul – mukul paha suaminya berkali-kali.“Cel, jangan keras - keras mukulnya. Lu lupa, paha gue bekas patah tulang?”“Bodooooo amaaatt! Sakiiiittt!” Cella menjerit saat kontraksi rahimnya mencapai puncak.Reza terpaksa menyembunyikan paha yang sempat dipasang pen akibat perbuatan Dita dan membiarkan lengannya menjadi sasaran cubitan sang istri.Sebenarnya bukan mobil Dita yang membuatnya patah tulang karena ia tahu kapan bunyi gemertak itu terdengar. Ia terlempar, lalu jatuh menghantam pot semen sebesar gentong yang menghiasi halaman toko pernak - pernik. Pot itu hancur, begitu pula tulang pahanya.Beruntung Reza hanya patah tulang, tidak seperti Rayyan yang terpaksa koma tiga hari karena benturan kepala dengan lantai paving. Sampai saat ini ia masih terheran, bagaimana mereka berdua bisa lolos dari moncong mobil Dita.“Nah, udah
Reza melihat wajah sahabatnya memucat saat menerima telepon. “Dari siapa, Ray?”Rayyan menoleh dengan manik mata bergulir gelisah. “Dita tahu kita di sini.”“Hah? Kok bisa? Dia buntuti elu?”Rayyan menggeleng. “Kalau itu aku yakin enggak. Soalnya si Bibik di rumah bilang Dita keluar agak lama setelah aku.”“Kali dia udah curiga sebelumnya jadi jaga- jaga lalu mengintai tempat ini. Waah, gue nggak sangka orang stres bisa mikir sampai sejauh itu.”Rayyan menghela napas dengan pedih. Sakit hatinya sang istri disebut ‘orang stres’.“Maaf, Ray. Gue nggak menghina Dita. Tadi tuh cuma keceplosan.”“Dita tuh sakit, Za. Aku tahu kamu dendam karena ditinggalin, tapi jangan melecehkan orang kayak gitu, dong?”“Maaf sekali lagi. Gue udah keterlaluan. Tapi, Ray, jujur gue enggak dendam sama Dita. Enggak sama sekali. Gue udah ikhlasin dia pe
Jauh dari saat yang dijanjikan, Rayyan telah pamit untuk keluar kepada istrinya. Ayah dan ibunya berada di rumah mereka. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Dita untuk keluar."Aku harus mengambil data untuk penelitian," ujar Rayyan, berusaha membual senatural mungkin. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"Seperti dugaan Rayyan, Dita mengangguk. Padahal biasanya perempuan itu langsung panik bila tahu Rayyan akan pergi. Kali ini, sang istri malah tersenyum."Mas Ray bukannya cuti? Masa masih harus mengurus tugas juga?"Biar jiwanya terganggu, logika Dita ternyata masih bisa berfungsi."Aku cuma cuti tidak masuk ke rumah sakit. Tapi penelitian harus tetap jalan supaya nggak ketinggalan terlalu banyak."Rahang Dita langsung terkatup. Sadar benar bahwa dirinya penyebab keterlambatan kelulusan Rayyan."Maaf. Gue istri yang ngerepotin.""Dit, bukan gitu maksudku. Aku cuma—""Iya, iya, Mas! Gue nggak pa-pa kok. Perg
Rayyan sangat kecewa mendengar penuturan Wulan. Benarkah Syifa sudah akan menikahi Ken secara resmi? Itu artinya cinta Syifa telah berpaling kepada Ken. Rayyan tidak percaya. Gadis lugu itu ternyata bisa meninggalkannya dengan cepat.Ah, salahnya sendiri, mengapa tidak sedari awal tegas menolak keinginan orang tua untuk meninggalkan Syifa. Sekarang Dita sakit pula. Mengapa harus ada pernikahan sandiwara yang membuatnya terjebak dengan perempuan ini?Rayyan menatap istrinya yang duduk tercenung di sudut kamar. Matanya kosong, menerawang keluar jendela. Memang benar pengobatan telah membuat Dita tenang, akan tetapi efek sampingnya membuat lesu dan seolah kehilangan nyawa.Rayyan terpaksa melupakan soal perceraian. Sangat tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini. Semua orang akan menuduhnya suami yang egois. Di atas alasan nama baik, Rayyan masih cukup waras untuk mendengarkan hati nurani. Dita adalah adik kelas dan sahabat sejak dulu. Sudah seharusnya Rayyan
Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut."Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa."Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,
Dita menatap nanar layar komputer. Percakapan pribadi melalui sebuah akun kepenulisan dengan pemilik bernama Dragonisme membuatnya berdebar tidak karuan.-------------------Dragonisme: Kok kasar gitu? Asal lo tahu, ya. Gue udah tahu identitas lo tuh siapa. Kenapa sih elo mesti memaksa kakak sendiri? Salah apa dia sama lo sampai elo bakar dia hidup-hidup?-------------------Dita mengusap kening yang mulai basah oleh keringat. Siapa sebenarnya Dragonisme? Apakah ia memang benar seorang penulis yang kebetulan mampir ke akunnya atau seorang mata-mata yang tengah mengintai aktivitasnya? Astaga, bila benar seperti itu, apa yang harus dilakukan? Siapa dalang dari tindakan itu?Otak Dita mulai panas saat memikirkan siapa yang berniat menjatuhkan dirinya. Tak perlu waktu lama, sederet nama terkumpul. Dengan tangan gemetar, Dita menuliskan nama- nama tersebut dalam buku kecil.Orang yang berada di urutan teratas tentu saja Syifa. Bagi Dita, Syifa ad
Sepulang dari rumah Ken, Reza terus terpikir tentang sikap sang sahabat. Sambil berbaring dan mengelus dada Cella yang penuh, ia mengingat-ingat detail kejadian.“Kok Ken nggak marah, ya, Cel? Padahal waktu gue mau makan malam sama lu, dia sewot berat, loh.”“Za, kamu nggak mikir? Kita bisa begini gara-gara satu kamar. Kurasa Ken dan Syifa juga begitu. Apalagi Syifa sakit sebelumnya. Pasti Ken pernah nyentuh-nyentuh. Mungkin bantuin ke kamar mandi, nyuapin, atau malah menyeka badannya.”“Bener juga. Gue juga lihat Syifa nyaman sama Ken dan sebaliknya. Elu lihat mata Ken nggak?”“Lihat. Nyata banget, ya, ada sesuatu di antara mereka.”“Menurut lu Ken udah kumpul sama Syifa apa belum?” Reza sengaja bertanya begitu untuk meyakinkan diri bahwa Cella benar-benar telah melepaskan Ken.“Menurutmu gimana? Kalau aku lihat pas Ken pegang bahu Syifa tadi, aku yakin 90% udah, Za. Mereka p
Reza dan Cella berdiam diri selama perjalanan menuju workshop Ken. Sengaja mereka menjumpai Ken, selain untuk menjenguk Syifa yang baru pulang dari rumah sakit, juga untuk membicarakan hubungan mereka. Pasalnya, sepulang dari Bandung, mama dan papa Cella berkeras mengajak pasangan itu tinggal di rumah mereka selama sebulan.“Papa kalian baru seneng - senengnya punya menantu. Bolehlah kami ikut melihat kebahagiaan kalian. Masa habis nikahan, tidak pakai madu, langsung pindahan ke rumah baru. Tidak elok, dong! Rumah kami sepi banget nggak ada Cella.” Paula berargumentasi yang langsung diamini oleh suami dan besannya.“Habis sebulan di tempat Cella, sebulan lagi di tempat kita. Ya, kan, Ma?” Hardiman tidak mau kalah.“Bah! Malas aku kalau di rumah Papa. Ada Sinta. Ngeganggu aja ntar anak itu,” sanggah Reza yang langsung menyebabkan papanya memelotot. Mulutnya saja yang protes keras. Dalam hati, ia berharap sang ayah melakukan pem