Setiap memikirkan Ken, hati Cella perih. Setelah pengusiran saat hendak memasak dulu, terhitung sudah lima kali Ken berusaha datang untuk menemui sang ayah. Apa daya, semua upaya pantang menyerah itu berakhir dengan tragis. Kalau tidak didamprat, Ken diusir, bahkan sebelum memasuki halaman. Cella hanya berharap kekasihnya mau bersabar dan tidak patah semangat.
“Aku harap kamu belum menyerah buat memperjuangkan aku, Ken,” ujar Cella setelah kegagalan terakhir yang membuat Ken dilempar telur oleh Berto.
“Iya, Meyong. Gue belum kehabisan harapan. Jadi bilang sama bokap lo, siap - siap gue teror lagi,” seloroh Ken walau hatinya perih. Seumur - umur baru kali ini ada orang berani melempar telur ke wajahnya. Kalau bukan Tuan “Thanos” Berto Simanjuntak, tak ada lagi.
“Gue mulai mikir gimana kalau kita nikah di luar negeri. Coba kamu tanya Reza, gimana baiknya secara hukum.”
“Ah, Reza sih sarannya sama kayak e
Siang itu, selepas makan, Ken berniat menyelesaikan desain produk sepatu untuk wanita karir. Tahu - tahu Jonathan muncul di kantornya dengan kancing kemeja terbuka hingga ulu hati, menampakkan dada bidang berbulu mengundang decak kagum. Tak ada yang menampik pesona maskulin yang dipancarkan sosok jangkung itu.“Elo lagi. Ngapain lagi kali ini?” sergah Ken. Akhir - akhir ini model satu itu semakin kerap menyambangi kantornya. Entah untuk minta saran, entah sekadar mampir sambil membawakan makanan.“Dih, galak amat? Gue bawain rujak, nih.” Dengan santai Jonathan menjatuhkan pantat di sofa. Dari dalam ransel, sebuah kotak makanan yang cukup besar dikeluarkan.“Buset, rujak segitu banyak? Lo mau bikin gue muntaber? Lain kali kalau mau datang kasih tahu dulu. Gimana kalau gue repot?” protes Ken.“Oh, elo repot sekarang?”Ken mendengkus saja. Melihat mata membulat yang memancarkan rasa kecewa itu, Ken tidak
Tantangan terbesar menurut Reza dan Rayyan adalah meyakinkan Ken. Mereka tahu perangai sang sahabat. Sepintas, Ken terlihat lembut dan tidak banyak membantah. Namun, jangan salah sangka. Kalau sudah mempunyai prinsip, Ken akan memegangnya kuat - kuat, tak dapat digoyang barang se-milimeter pun.Setelah mencari waktu yang tepat, Reza dan Rayyan mendatangi Ken di workshop-nya. Kali ini mereka tidak datang dengan tangan kosong. Lima porsi sate kambing dibeli dari restoran langganan lelaki itu. Belum lagi sekeranjang buah dan sekotak puding buatan Syifa.Mata Ken langsung membulat saat Reza membuka bungkusan sate kambing. Aroma sedap khas panggangan daging merebak memenuhi ruangan. Selera makan Ken tergugah. Alir liur pun meluber nyaris turun menjadi lelehan ludah. Sembari mengunyah sate kegemaran, mata Ken awas mengamati Reza dan Rayyan bergantian.“Biasanya kalian minta makan. Kok tumben datang bawa sate. Apa udang di balik batunya?
Hardiman dan Tiur keheranan melihat penampilan Reza petang itu. Biasanya, sang putra cukup mengenakan kaus polo atau T-shirt dan jaket saat keluar di saat senggang. Kali ini Reza memilih kemeja batik lengan panjang berwarna cokelat tua dipadu dengan celana kain berwarna khaki dan sepatu pantofel yang mengkilap. Belum lagi aroma parfum yang semerbak terbawa embusan udara dari alat pendingin ruangan.“Mau kondangan ke mana, Za?” tanya Tiur.“Bukan acara kondangan, Ma,” sahut Reza sebari mencari kunci mobil di meja konsol.“Kok tumben rapi amat, Za?” Sinta yang tengah duduk bertiga dengan kedua orang tuanya ikut menoleh dan keheranan.“Mau ketemu Cella,” jawab Reza santai sembari menarik laci - laci untuk menemukan kunci.Sontak ketiga anggota keluarganya mengerutkan kening.“Hah? Cella kena masalah hukum apa? Dia baik - baik aja, Za?” tanya Sinta penasaran.“Enggak ad
Cela pulang diantar Reza. Sengaja Reza memilih seperti itu untuk melakukan pendekatan pada keluarga Cella. Siapa tahu mereka masih geram karena ditolak dua kali. Ayah mana yang tidak merasa terinjak harga diri bila anak gadis satu – satunya yang cantik, pintar, dan tenar ditolak lelaki yang sama sampai dua kali. Padahal si lelaki tidak hebat - hebat amat, hanya seorang pengacara muda yang sok tahu.Malam hampir mencapai puncak saat mobil Cella berhenti di depan rumah. Reza mengantarkan gadis itu hingga ke pintu depan. Mama Cella, Paula, menyambut mereka.“Terima kasih, sudah mengantar Cella,” ujar perempuan berdarah campuran itu.“Sama – sama, Tante. Saya langsung pamit karena sudah malam,” ujar Reza.“Salam buat mama dan papa, ya Za,” ujar Paula untuk mengakhiri pertemuan itu.Begitu mobil Reza menghilang dari pandangan, mama Cella langsung menggamit putrinya. “Gimana tadi? Dia bilang suka sama kamu?”Cella kembali teringat keraguannya di a
Setelah Cela resmi menjadi calon istri Reza, pingitan terhadap dirinya dihapuskan. Cella tinggal bilang ke Reza bahwa ia akan mengunjungi Ken. Reza akan melindungi sepenuh hati dari kedua orang tua Cella. Sejak saat itu, itu Cella bebas mengunjungi kekasihnya. Ia hanya diwajibkan untuk pulang setiap malam. Namun, hal itu sama sekali bukan masalah. Ia dan Ken punya waktu sepanjang hari untuk bersama bila sedang tidak ada jadwal syuting.Hal yang masih mengganggu adalah kekesalan Ken setelah makan malamnya bersama Reza. Lelaki itu terus merajuk berhari - hari. Cella yang sudah hafal tabiat sang pacar menanggapi dengan santai."Keeen? Cheyeeeennkkk? Kok cemberut terus? Ntar cepat tua, loh.""Bodo amat!" Ken melengos dan manyun panjang. Cella terkekeh-kekeh melihat wajah yang sangat lucu itu."Kalau ngambek gitu kamu makin lucu, Cheyeenk! Udahan dong marahannya?""Gimana gue kagak kesel? Rayan dapat dokter cantik. Reza dapatin elo. Lah gue dapatin janda ngg
Hari demi hari berlalu. Reza mulai terbiasa dengan rutinitas baru. Rumah mereka bertiga terletak di pinggir kompleks, menghadap hutan mini sehingga sangat sedikit yang lalu lalang di jalan depan rumah. sepanjang jalan itu hanya terdapat lima belas kavling. Yang sudah dibangun baru delapan, namun yang telah ditempati hanya empat, termasuk ketiga rumah mereka. Satu keluarga tinggal di ujung jalan, cukup jauh. Dengan demikian, praktis tak ada yang melihat aktivitas pertukaran pasangan.Reza menikmati kehidupan baru bersama Dita. Setiap hari, ia sempatkan untuk mengantar wanita itu ke tempat kerja. Reza tidak pernah turun dari mobil karena takut ketahuan bukan suami resmi Dita yang menyetir mobil.“Kalau ada yang curiga bilang aja gue sopirnya Ray,” kata Reza saat pertama kali ke kantor berdua.“Iya,” jawab Dita. Dalam hati ia menggerutu. Mana ada sopir sedemikian perlente? Rayyan saja kalah modis. Semua yang menempel di badan Reza adalah barang - barang bermerek
Reza pulang dalam kondisi pening. Selain kasus Kalandra Sadhana, kasus Nita pun menjadi beban pikiran. Dalam hal kasus Nita, rasa bersalah karena tidak mengantisipasi kejadian buruk menjadi hantu baginya. Ia bahkan menjadi gamang untuk menangani kasus-kasus lain dan cenderung kelewat hati-hati.Hari ini Dita jaga pagi. Reza berharap menemukan istri yang bisa memeluk dan memanjakan sehingga bisa melupakan sejenak kepenatan jiwa akibat pekerjaan. Tapi mungkin harapannya agak berlebihan. Dita bukan istri yang memiliki kepekaan demikian. barangkali dibesarkan secara keras membuat wanita itu kehilangan kelembutan. Sampai di rumah, ternyata Cella yang membukakan pintu.“Loh, kok elu, Cel? Dita mana?” Reza heran sendiri mengapa hatinya girang menemukan wajah cantik itu.“Mertuanya datang. Jadi dia terpaksa nemenin Rayyan.”Rasa girang Reza mendadak lenyap. Ia berdecak. “Kapan mereka datang?”“Baru aj
Reza menatap layar monitor beberapa detik. Untuk sejenak, ia tak percaya dengan mata sendiri. Akan tetapi, yang terlihat di layar memang nama Cacarita. Pesan itu dikirim 10 menit yang lalu.Cacarita: Hai!Cacarita: Boleh ngobrol?Cacarita: Udah tidur, ya?Cacarita: Btw ceritamu laris. Selamat, ya.Bulu kuduk Reza meremang. Bagaimana mungkin orang yang sudah berada dalam kubur bisa melakukan chatting? Jantungnya berpacu cepat. Keringat dingin membulir di kening dan kedua telapak tangan.Matilah gue! Dia siapa? Bianca, Nita, Boni? Hiiiihhhhh!Reza bergidik berkali – kali. Akhirnya, ia menderap keluar dari ruang kerja, lalu menyalakan semua lampu. Secangkir kopi diseduh untuk menenangkan diri. Untuk sesaat, Reza berpikir keras. Sayang, otaknya buntu sehingga ia masuk ke kamar dan bergulung di bawah selimut. Bahkan komputernya di ruang kerja masih menyala. Hanya setelah matahari terbit ia berani masuk kembali ke sana untuk mematikan benda itu.***
Setahun kemudian.Cella menjerit kesakitan. Tangannya memukul – mukul paha suaminya berkali-kali.“Cel, jangan keras - keras mukulnya. Lu lupa, paha gue bekas patah tulang?”“Bodooooo amaaatt! Sakiiiittt!” Cella menjerit saat kontraksi rahimnya mencapai puncak.Reza terpaksa menyembunyikan paha yang sempat dipasang pen akibat perbuatan Dita dan membiarkan lengannya menjadi sasaran cubitan sang istri.Sebenarnya bukan mobil Dita yang membuatnya patah tulang karena ia tahu kapan bunyi gemertak itu terdengar. Ia terlempar, lalu jatuh menghantam pot semen sebesar gentong yang menghiasi halaman toko pernak - pernik. Pot itu hancur, begitu pula tulang pahanya.Beruntung Reza hanya patah tulang, tidak seperti Rayyan yang terpaksa koma tiga hari karena benturan kepala dengan lantai paving. Sampai saat ini ia masih terheran, bagaimana mereka berdua bisa lolos dari moncong mobil Dita.“Nah, udah
Reza melihat wajah sahabatnya memucat saat menerima telepon. “Dari siapa, Ray?”Rayyan menoleh dengan manik mata bergulir gelisah. “Dita tahu kita di sini.”“Hah? Kok bisa? Dia buntuti elu?”Rayyan menggeleng. “Kalau itu aku yakin enggak. Soalnya si Bibik di rumah bilang Dita keluar agak lama setelah aku.”“Kali dia udah curiga sebelumnya jadi jaga- jaga lalu mengintai tempat ini. Waah, gue nggak sangka orang stres bisa mikir sampai sejauh itu.”Rayyan menghela napas dengan pedih. Sakit hatinya sang istri disebut ‘orang stres’.“Maaf, Ray. Gue nggak menghina Dita. Tadi tuh cuma keceplosan.”“Dita tuh sakit, Za. Aku tahu kamu dendam karena ditinggalin, tapi jangan melecehkan orang kayak gitu, dong?”“Maaf sekali lagi. Gue udah keterlaluan. Tapi, Ray, jujur gue enggak dendam sama Dita. Enggak sama sekali. Gue udah ikhlasin dia pe
Jauh dari saat yang dijanjikan, Rayyan telah pamit untuk keluar kepada istrinya. Ayah dan ibunya berada di rumah mereka. Dengan demikian, terbuka kemungkinan bagi Dita untuk keluar."Aku harus mengambil data untuk penelitian," ujar Rayyan, berusaha membual senatural mungkin. "Kamu nggak pa-pa ditinggal sendiri?"Seperti dugaan Rayyan, Dita mengangguk. Padahal biasanya perempuan itu langsung panik bila tahu Rayyan akan pergi. Kali ini, sang istri malah tersenyum."Mas Ray bukannya cuti? Masa masih harus mengurus tugas juga?"Biar jiwanya terganggu, logika Dita ternyata masih bisa berfungsi."Aku cuma cuti tidak masuk ke rumah sakit. Tapi penelitian harus tetap jalan supaya nggak ketinggalan terlalu banyak."Rahang Dita langsung terkatup. Sadar benar bahwa dirinya penyebab keterlambatan kelulusan Rayyan."Maaf. Gue istri yang ngerepotin.""Dit, bukan gitu maksudku. Aku cuma—""Iya, iya, Mas! Gue nggak pa-pa kok. Perg
Rayyan sangat kecewa mendengar penuturan Wulan. Benarkah Syifa sudah akan menikahi Ken secara resmi? Itu artinya cinta Syifa telah berpaling kepada Ken. Rayyan tidak percaya. Gadis lugu itu ternyata bisa meninggalkannya dengan cepat.Ah, salahnya sendiri, mengapa tidak sedari awal tegas menolak keinginan orang tua untuk meninggalkan Syifa. Sekarang Dita sakit pula. Mengapa harus ada pernikahan sandiwara yang membuatnya terjebak dengan perempuan ini?Rayyan menatap istrinya yang duduk tercenung di sudut kamar. Matanya kosong, menerawang keluar jendela. Memang benar pengobatan telah membuat Dita tenang, akan tetapi efek sampingnya membuat lesu dan seolah kehilangan nyawa.Rayyan terpaksa melupakan soal perceraian. Sangat tidak mungkin melakukannya di saat seperti ini. Semua orang akan menuduhnya suami yang egois. Di atas alasan nama baik, Rayyan masih cukup waras untuk mendengarkan hati nurani. Dita adalah adik kelas dan sahabat sejak dulu. Sudah seharusnya Rayyan
Wulan duduk dengan tegak di seberang Ken dan Syifa. Iya agak heran melihat kedua orang itu duduk berdampingan cukup berdekatan. Bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa mereka nyaman satu sama lain. Akan tetapi, Wulan lebih memilih memikirkan masa depan Rayan sehingga tidak memedulikan fakta tersebut."Ken, Tante boleh ngomong berdua sama Syifa?"Kan sudah mengenal Wulan sejak masih remaja. Ia tahu benar sifat ibunda Rayyan tersebut. Karena itu, sebenarnya ia mencemaskan nasib Syifa."Elu mau ngomong sendiri atau gue temenin, Fa?"Syifa berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Nggak papa kok, aku ditinggal aja."Ken pun meninggalkan kedua wanita itu dengan masuk ke kamar. Dalam hati ia bertanya-tanya apa yang akan dibicarakan Wulan. Ia sudah mendengar bahwa Dita menderita gangguan kejiwaan. Apakah mungkin Wulan datang karena hal tersebut?Sementara itu di ruang tengah, Syifa dengan berdebar menunggu sang tamu berbicara. Terus terang, ia masih me
Dugaan Rayyan tidak meleset. Mata ganas Dita berubah seketika menjadi kepanikan yang nyata. Bibir wanita itu memucat.“Bohong! Kamu bohong, Mas!” pekik Dita sambil berdiri dan mundur ke arah tembok.Melihat reaksi itu, hati Rayyan antara puas telah menemukan pelaku dan miris karena tidak menduga Dita bisa berbuat keji.“Kamu sendiri, apa buktinya kalau nomor itu bukan punyamu?” tantang Rayyan.Dita kebingungan. Hatinya kacau. Kepalanya terasa penuh dan sudah beberapa hari kesulitan berpikir. Ada yang mendengung di dalam otak. Apalagi bila berada bersama orang lain. Semakin banyak orang, semakin kacau benaknya. Karena itu, ia lebih senang menghindar dan menyendiri.“Mana? Mana bukti kamu, Dit? Kasih aku sini!” Rayyan semakin mendesak.Kepala Dita kini pening berdenyut. Ada yang bergerak di dalamnya, seperti ribuan semut yang tengah menggerumuti otak. Digaruknya kepala agar kesadarannya pulih. Namun sia-sia,
Dita menatap nanar layar komputer. Percakapan pribadi melalui sebuah akun kepenulisan dengan pemilik bernama Dragonisme membuatnya berdebar tidak karuan.-------------------Dragonisme: Kok kasar gitu? Asal lo tahu, ya. Gue udah tahu identitas lo tuh siapa. Kenapa sih elo mesti memaksa kakak sendiri? Salah apa dia sama lo sampai elo bakar dia hidup-hidup?-------------------Dita mengusap kening yang mulai basah oleh keringat. Siapa sebenarnya Dragonisme? Apakah ia memang benar seorang penulis yang kebetulan mampir ke akunnya atau seorang mata-mata yang tengah mengintai aktivitasnya? Astaga, bila benar seperti itu, apa yang harus dilakukan? Siapa dalang dari tindakan itu?Otak Dita mulai panas saat memikirkan siapa yang berniat menjatuhkan dirinya. Tak perlu waktu lama, sederet nama terkumpul. Dengan tangan gemetar, Dita menuliskan nama- nama tersebut dalam buku kecil.Orang yang berada di urutan teratas tentu saja Syifa. Bagi Dita, Syifa ad
Sepulang dari rumah Ken, Reza terus terpikir tentang sikap sang sahabat. Sambil berbaring dan mengelus dada Cella yang penuh, ia mengingat-ingat detail kejadian.“Kok Ken nggak marah, ya, Cel? Padahal waktu gue mau makan malam sama lu, dia sewot berat, loh.”“Za, kamu nggak mikir? Kita bisa begini gara-gara satu kamar. Kurasa Ken dan Syifa juga begitu. Apalagi Syifa sakit sebelumnya. Pasti Ken pernah nyentuh-nyentuh. Mungkin bantuin ke kamar mandi, nyuapin, atau malah menyeka badannya.”“Bener juga. Gue juga lihat Syifa nyaman sama Ken dan sebaliknya. Elu lihat mata Ken nggak?”“Lihat. Nyata banget, ya, ada sesuatu di antara mereka.”“Menurut lu Ken udah kumpul sama Syifa apa belum?” Reza sengaja bertanya begitu untuk meyakinkan diri bahwa Cella benar-benar telah melepaskan Ken.“Menurutmu gimana? Kalau aku lihat pas Ken pegang bahu Syifa tadi, aku yakin 90% udah, Za. Mereka p
Reza dan Cella berdiam diri selama perjalanan menuju workshop Ken. Sengaja mereka menjumpai Ken, selain untuk menjenguk Syifa yang baru pulang dari rumah sakit, juga untuk membicarakan hubungan mereka. Pasalnya, sepulang dari Bandung, mama dan papa Cella berkeras mengajak pasangan itu tinggal di rumah mereka selama sebulan.“Papa kalian baru seneng - senengnya punya menantu. Bolehlah kami ikut melihat kebahagiaan kalian. Masa habis nikahan, tidak pakai madu, langsung pindahan ke rumah baru. Tidak elok, dong! Rumah kami sepi banget nggak ada Cella.” Paula berargumentasi yang langsung diamini oleh suami dan besannya.“Habis sebulan di tempat Cella, sebulan lagi di tempat kita. Ya, kan, Ma?” Hardiman tidak mau kalah.“Bah! Malas aku kalau di rumah Papa. Ada Sinta. Ngeganggu aja ntar anak itu,” sanggah Reza yang langsung menyebabkan papanya memelotot. Mulutnya saja yang protes keras. Dalam hati, ia berharap sang ayah melakukan pem