Share

Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya, Suamiku
Silakan Tanda Tangani Surat Cerainya, Suamiku
Penulis: Lefayesme

1. Aku Tidak Mencintaimu

“Aku tidak mencintaimu. Kau memahaminya sejak awal pernikahan, bukan begitu?”

Lillian menggigit bibir bawahnya, lalu mengalihkan pandangan saat mendengar suaminya mengatakan hal tersebut. Sekalipun ia sudah tahu sejak lama bahwa pria itu membencinya, tapi mendengar Jayde Foster mengatakan hal itu kembali tetap saja membuat Lillian sakit hati.

“Maaf,” gumam Lillian, sendirinya bingung karena apa ia mengatakan itu.  

“Kenapa kau meminta maaf padaku, Sayang?” Jayde bertanya balik. Berbanding terbalik dengan panggilan tersebut, tatapan dan suara Jayde terdengar dingin. Pria itu mendekati Lillian dan memojokkan wanita itu ke dinding. “Karena menjebakku dalam pernikahan ini? Atau karena kau berusaha menghalangi aku untuk bertemu wanita yang kucintai?”

Lillian menggeleng. Tidak bisa berkata-kata.

Sudah dua tahun Lillian menikah dengan Jayde Foster, cinta pertamanya, sekaligus pria yang dijodohkan dengannya sejak kecil. Lillian mencintai pria itu sepenuh hati, bahkan ketika pria itu bersikap dingin padanya dan tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada Lillian. Ia berpikir, setelah menikah, Jayde akan berubah.

Namun, ternyata tidak.

Pria itu justru menuduh Lillian licik, memanfaatkan posisinya untuk menikah dengan Jayde, padahal suaminya tersebut mencintai wanita lain. Bahkan hingga detik ini.

Awalnya, Lillian berpikir bahwa ia bisa membuat Jayde membalas perasaannya. Mungkin Jayde akan berubah kembali menjadi sosok yang membuat Lillian jatuh cinta.

Akan tetapi, setelah dua tahun, ternyata pernikahan ini melelahkan. 

“Lillian. Sayang.” Jayde memerangkap Lillian dengan dua tangannya. Pria itu memaksa Lillian balas menatapnya dengan mencengkeram rahang sang istri. 

Lalu, tiba-tiba, Jayde mencium Lillian dengan paksa, membuat wanita itu kehabisan napas tanpa membalas lumatan sang suami. Lillian justru mencoba mendorong pria itu untuk melepaskannya, tapi tenaganya tidak berarti apa-apa di hadapan Jayde.

“Kau memang istriku.” Jayde berkata saat akhirnya ia melepaskan Lillian yang sudah meluruh di lantai. “Tubuh ini milikmu. Aku tetap akan menjalankan kewajibanku, Istriku. Tapi cukup sampai di sana. Kau tidak bisa memaksaku mencintaimu.”

“Aku mengerti,” gumam Lillian lirih. Sudut mata Lillian mulai basah, tapi dengan sekuat tenaga menahannya untuk tidak meleleh, setidaknya sampai Jayde berbalik pergi. “Maaf.”

Jayde mendengus, lalu pergi dari sana.

Sepeninggal Jayde, Lillian perlahan bangkit berdiri dan melihat bayangannya di cermin. Rambutnya tampak acak-acakan dan lipstick di bibirnya sudah berantakan, seperti ia habis bercinta hebat.

Namun, Lillian tahu. Jayde pun tahu. Bukan itu yang terjadi. Bukan itu yang ia inginkan.

Dengan pemikiran itu, tangis Lillian pecah.

***

“Apa yang sedang kau pikirkan, Lilly?” 

Perhatian Lillian teralihkan saat telinganya menangkap suara berat dari sisinya, membuat wanita itu menoleh dari pemandangan di luar mobil yang sejak tadi ia lihat sepanjang perjalanan pulang.

Noam Turner, sahabat sekaligus rekan kerjanya, tampak tengah menatapnya sekilas, sebelum kembali menjalankan mobil. Lillian bisa melihat sorot mata khawatir dari pria itu.

“Tidak ada,” jawab Lillian. “Aku hanya sedang lelah.”

Bohong. 

Lillian sedang memikirkan kejadian siang tadi bersama dengan suaminya di ruangan kantor, begitu juga dengan semua hal yang telah mereka lalui selama berjalannya pernikahan. Mengingat itu semua menimbulkan perasaan sesak di dadanya.

Sebenarnya, Jayde dulu tidak seperti itu. Ia sendiri heran bagaimana pria yang dulu ia kenal bisa berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan, suami yang membencinya dan menyiksa Lillian di setiap kesempatan. Ingatan mengenai betapa mereka pernah dekat dan akrab lebih kuat dibandingkan perbuatan buruk Jayde.

Sehingga, sekalipun Lillian merasa ingin menyerah beberapa kali, ia tetap menguatkan diri. Ia percaya bahwa ia akan bisa meluluhkan sikap dingin Jayde.

“Apa kau mau tidur dulu?” tawar Noam kemudian. “Akan kubangunkan saat sudah sampai rumahmu.”

“Tidak.” Lillian menolak. Ia menegakkan tubuhnya. “Maaf. Kau sudah bersedia mengantarku pulang, tapi aku justru mengabaikanmu.”

Noam menghela napas. Pria melirik sekilas dari sudut matanya. “Aku tidak keberatan,” ucapnya.

Hening sejenak.

“Tadi aku lihat Jayde keluar dari ruanganmu.” Noam kembali berkata. “Semua baik-baik saja?”

Senyum tipis terukir di wajah Lillian. Kadang, ia mengagumi bagaimana sang sahabat selalu peka dan memperhatikannya. Noam juga satu-satunya orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangganya.

“Aku sendiri baik-baik saja, Noam.” Lillian menoleh, menunjukkan senyumnya yang jelas terlihat dipaksakan, tidak sampai ke matanya. “Jangan khawatir.”

Lillian tahu bahwa Noam tidak akan memercayainya begitu saja. Terlihat dari helaan napas pria itu. 

“Lilly, jangan terlalu memaksakan diri. Ada hal yang memang tidak bisa diubah,” ucap Noam kemudian. “Kau berhak bahagia. Kau tahu itu, kan?”

Berhak bahagia? Namun bagaimana jika ternyata sumber kebahagiaan Lillian masih berada pada Jayde?

“Ya, Noam,” gumam Lillian. “Tapi aku belum mau menyerah. Kau tahu aku mencintai Jayde. Dia–”

“Aku tahu,” potong Noam. Kali ini tampak gusar. “Dia cinta pertamamu. Kau sudah mengatakan itu padaku ribuan kali.”

Hening. Lillian tidak menyahuti ucapan Noam.

“Kau tahu aku akan selalu di sampingmu.” Noam kemudian menambahkan. Kali ini dengan suara lebih lembut. “Apa pun yang kau lakukan. Namun, aku tidak suka melihat pria itu menyakitimu terus-menerus.”

Mobil masuk ke dalam wilayah perumahan milik Lillian. Noam menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Lillian sebelum tubuhnya menghadap wanita itu.

“Aku serius. Pikirkan baik-baik.” ucap Noam. Tatapan matanya tajam, menusuk ke dalam fokus Lillian. “Kau berhak bahagia. Dengan atau tanpa suamimu itu.” 

Kali ini, Lillian sama sekali tidak mengenali sahabatnya. Apakah memang Noam setegas ini? 

Namun, ia tidak sempat memikirkannya lebih lanjut karena ia melihat mobil Jayde ada di halaman.

Jayde ada di rumah? Sedikit aneh karena biasanya jam segini pria itu pasti akan sibuk di luar dengan sejuta alasan dan baru akan pulang saat Lillian sudah terlelap.

“Terima kasih, Noam. Aku akan masuk dulu,” ucap Lillian pada akhirnya. “Terima kasih telah mengantarku.” 

Setelah Noam pergi, Lillian bergegas masuk ke rumahnya. 

“Jay?” sapa Lillian setelah menutup pintu. 

Tidak ada sahutan. Suasana masih hening, bahkan lampu tidak ada yang dinyalakan. Sampai Lillian mendengar desahan pelan yang tertahan. Dadanya berdesir, pikirannya sontak menuduh, terlebih ketika melihat hanya lampu di kamarnya saja yang menyala redup.

Lillian mendekat ke arah kamar. Satu situasi yang seharusnya tidak terjadi di rumahnya sendiri. Desahan kembali terdengar, kali ini beriringan dengan rintihan dan racauan kasar yang membuat lutut Lillian melemas.

Dengan menahan tangannya yang mulai gemetar, Lillian memberanikan diri untuk mendorong pintu kamar yang tak menutup sempurna. Sontak, kedua matanya membelalak lebar, dengan sebelah tangan yang membekap mulutnya sendiri. 

Di dalam sana, Jayde sedang bercinta dengan seorang wanita!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ryu Riven
Can't wait to read more.. up thor!!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status