“Aku tidak mencintaimu. Kau memahaminya sejak awal pernikahan, bukan begitu?”
Lillian menggigit bibir bawahnya, lalu mengalihkan pandangan saat mendengar suaminya mengatakan hal tersebut. Sekalipun ia sudah tahu sejak lama bahwa pria itu membencinya, tapi mendengar Jayde Foster mengatakan hal itu kembali tetap saja membuat Lillian sakit hati.
“Maaf,” gumam Lillian, sendirinya bingung karena apa ia mengatakan itu.
“Kenapa kau meminta maaf padaku, Sayang?” Jayde bertanya balik. Berbanding terbalik dengan panggilan tersebut, tatapan dan suara Jayde terdengar dingin. Pria itu mendekati Lillian dan memojokkan wanita itu ke dinding. “Karena menjebakku dalam pernikahan ini? Atau karena kau berusaha menghalangi aku untuk bertemu wanita yang kucintai?”
Lillian menggeleng. Tidak bisa berkata-kata.
Sudah dua tahun Lillian menikah dengan Jayde Foster, cinta pertamanya, sekaligus pria yang dijodohkan dengannya sejak kecil. Lillian mencintai pria itu sepenuh hati, bahkan ketika pria itu bersikap dingin padanya dan tidak pernah menunjukkan ketertarikan pada Lillian. Ia berpikir, setelah menikah, Jayde akan berubah.
Namun, ternyata tidak.
Pria itu justru menuduh Lillian licik, memanfaatkan posisinya untuk menikah dengan Jayde, padahal suaminya tersebut mencintai wanita lain. Bahkan hingga detik ini.
Awalnya, Lillian berpikir bahwa ia bisa membuat Jayde membalas perasaannya. Mungkin Jayde akan berubah kembali menjadi sosok yang membuat Lillian jatuh cinta.
Akan tetapi, setelah dua tahun, ternyata pernikahan ini melelahkan.
“Lillian. Sayang.” Jayde memerangkap Lillian dengan dua tangannya. Pria itu memaksa Lillian balas menatapnya dengan mencengkeram rahang sang istri.
Lalu, tiba-tiba, Jayde mencium Lillian dengan paksa, membuat wanita itu kehabisan napas tanpa membalas lumatan sang suami. Lillian justru mencoba mendorong pria itu untuk melepaskannya, tapi tenaganya tidak berarti apa-apa di hadapan Jayde.
“Kau memang istriku.” Jayde berkata saat akhirnya ia melepaskan Lillian yang sudah meluruh di lantai. “Tubuh ini milikmu. Aku tetap akan menjalankan kewajibanku, Istriku. Tapi cukup sampai di sana. Kau tidak bisa memaksaku mencintaimu.”
“Aku mengerti,” gumam Lillian lirih. Sudut mata Lillian mulai basah, tapi dengan sekuat tenaga menahannya untuk tidak meleleh, setidaknya sampai Jayde berbalik pergi. “Maaf.”
Jayde mendengus, lalu pergi dari sana.
Sepeninggal Jayde, Lillian perlahan bangkit berdiri dan melihat bayangannya di cermin. Rambutnya tampak acak-acakan dan lipstick di bibirnya sudah berantakan, seperti ia habis bercinta hebat.
Namun, Lillian tahu. Jayde pun tahu. Bukan itu yang terjadi. Bukan itu yang ia inginkan.
Dengan pemikiran itu, tangis Lillian pecah.
***
“Apa yang sedang kau pikirkan, Lilly?”
Perhatian Lillian teralihkan saat telinganya menangkap suara berat dari sisinya, membuat wanita itu menoleh dari pemandangan di luar mobil yang sejak tadi ia lihat sepanjang perjalanan pulang.
Noam Turner, sahabat sekaligus rekan kerjanya, tampak tengah menatapnya sekilas, sebelum kembali menjalankan mobil. Lillian bisa melihat sorot mata khawatir dari pria itu.
“Tidak ada,” jawab Lillian. “Aku hanya sedang lelah.”
Bohong.
Lillian sedang memikirkan kejadian siang tadi bersama dengan suaminya di ruangan kantor, begitu juga dengan semua hal yang telah mereka lalui selama berjalannya pernikahan. Mengingat itu semua menimbulkan perasaan sesak di dadanya.
Sebenarnya, Jayde dulu tidak seperti itu. Ia sendiri heran bagaimana pria yang dulu ia kenal bisa berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan, suami yang membencinya dan menyiksa Lillian di setiap kesempatan. Ingatan mengenai betapa mereka pernah dekat dan akrab lebih kuat dibandingkan perbuatan buruk Jayde.
Sehingga, sekalipun Lillian merasa ingin menyerah beberapa kali, ia tetap menguatkan diri. Ia percaya bahwa ia akan bisa meluluhkan sikap dingin Jayde.
“Apa kau mau tidur dulu?” tawar Noam kemudian. “Akan kubangunkan saat sudah sampai rumahmu.”
“Tidak.” Lillian menolak. Ia menegakkan tubuhnya. “Maaf. Kau sudah bersedia mengantarku pulang, tapi aku justru mengabaikanmu.”
Noam menghela napas. Pria melirik sekilas dari sudut matanya. “Aku tidak keberatan,” ucapnya.
Hening sejenak.
“Tadi aku lihat Jayde keluar dari ruanganmu.” Noam kembali berkata. “Semua baik-baik saja?”
Senyum tipis terukir di wajah Lillian. Kadang, ia mengagumi bagaimana sang sahabat selalu peka dan memperhatikannya. Noam juga satu-satunya orang yang tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangganya.
“Aku sendiri baik-baik saja, Noam.” Lillian menoleh, menunjukkan senyumnya yang jelas terlihat dipaksakan, tidak sampai ke matanya. “Jangan khawatir.”
Lillian tahu bahwa Noam tidak akan memercayainya begitu saja. Terlihat dari helaan napas pria itu.
“Lilly, jangan terlalu memaksakan diri. Ada hal yang memang tidak bisa diubah,” ucap Noam kemudian. “Kau berhak bahagia. Kau tahu itu, kan?”
Berhak bahagia? Namun bagaimana jika ternyata sumber kebahagiaan Lillian masih berada pada Jayde?
“Ya, Noam,” gumam Lillian. “Tapi aku belum mau menyerah. Kau tahu aku mencintai Jayde. Dia–”
“Aku tahu,” potong Noam. Kali ini tampak gusar. “Dia cinta pertamamu. Kau sudah mengatakan itu padaku ribuan kali.”
Hening. Lillian tidak menyahuti ucapan Noam.
“Kau tahu aku akan selalu di sampingmu.” Noam kemudian menambahkan. Kali ini dengan suara lebih lembut. “Apa pun yang kau lakukan. Namun, aku tidak suka melihat pria itu menyakitimu terus-menerus.”
Mobil masuk ke dalam wilayah perumahan milik Lillian. Noam menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Lillian sebelum tubuhnya menghadap wanita itu.
“Aku serius. Pikirkan baik-baik.” ucap Noam. Tatapan matanya tajam, menusuk ke dalam fokus Lillian. “Kau berhak bahagia. Dengan atau tanpa suamimu itu.”
Kali ini, Lillian sama sekali tidak mengenali sahabatnya. Apakah memang Noam setegas ini?
Namun, ia tidak sempat memikirkannya lebih lanjut karena ia melihat mobil Jayde ada di halaman.
Jayde ada di rumah? Sedikit aneh karena biasanya jam segini pria itu pasti akan sibuk di luar dengan sejuta alasan dan baru akan pulang saat Lillian sudah terlelap.
“Terima kasih, Noam. Aku akan masuk dulu,” ucap Lillian pada akhirnya. “Terima kasih telah mengantarku.”
Setelah Noam pergi, Lillian bergegas masuk ke rumahnya.
“Jay?” sapa Lillian setelah menutup pintu.
Tidak ada sahutan. Suasana masih hening, bahkan lampu tidak ada yang dinyalakan. Sampai Lillian mendengar desahan pelan yang tertahan. Dadanya berdesir, pikirannya sontak menuduh, terlebih ketika melihat hanya lampu di kamarnya saja yang menyala redup.
Lillian mendekat ke arah kamar. Satu situasi yang seharusnya tidak terjadi di rumahnya sendiri. Desahan kembali terdengar, kali ini beriringan dengan rintihan dan racauan kasar yang membuat lutut Lillian melemas.
Dengan menahan tangannya yang mulai gemetar, Lillian memberanikan diri untuk mendorong pintu kamar yang tak menutup sempurna. Sontak, kedua matanya membelalak lebar, dengan sebelah tangan yang membekap mulutnya sendiri.
Di dalam sana, Jayde sedang bercinta dengan seorang wanita!
Gila! Ini benar-benar gila!Lillian berlari ke ruang kerja pribadinya, tanpa menghentikan apa yang telah dilakukan oleh suaminya itu. Tunggu, tapi kenapa harus Lillian yang berlari menjauh? Bukankah sudah seharusnya wanita itu yang sewajarnya memiliki rasa malu karena telah tertangkap basah sedang bercinta dengan suami orang?Sial! Tentu saja Lillian tidak bisa menyalahkan mereka berdua. Bagaimana pun juga, hubungan keduanya telah terjalin sebelum ia menikahi Jayde. Namun, hal gila seperti itu bukan lantas menjadi sesuatu yang bisa ia terima begitu saja, kan?Cukup lama Lillian bergerak gelisah, mondar-mandir di dalam ruang kerjanya dengan menggigiti kuku jempol tangan kanannya. Otaknya sedang berpikir tentang hal apa yang harus ia lakukan setelah ini. Ah! Andai saja tadi ia melempar vas bunga yang berada di atas meja makan pada wanita itu, akankah ia saat ini menjadi merasa lebih baik?Pintu terbuka, Lillian berbalik dengan tatapan tajam yang menyorotkan ketidak-adilan. Jayde mende
“Pastikan kau tidak mengacaunya, Lilly!” desis Jayde, sembari membuka pintu mobil untuk Lillian.Hah! Lillian seharusnya tidak perlu tercengang dengan duality dari Jayde. Pria itu selalu mudah untuk memainkan peran di depan banyak orang. Sebelumnya tak menjadi masalah bagi Lillian. Ia bahkan menikmatinya, menerima semua sikap lembut Jayde walaupun hanya di saat acara tertentu.Namun tidak untuk saat ini. Ia sudah muak! Bahkan untuk menatap mata pria itu saja terasa berat.Dengan enggan, Lillian menyelipkan tangannya di lengan Jayde. Sedikit melirik ke samping, ia bisa melihat wajah angkuh Jayde yang membuatnya secara refleks ingin menarik tangannya. Namun tentu saja, hal itu dicegah Jayde.“Sudah kubilang jangan mengacaukan acara ini!” Jayde berbisik dengan penuh penekanan.Damn! Lillian tidak bisa berkutik. Ia tahu acara ini sangat penting untuk perusahaan Jayde. Gala Dinner yang menjadi ajang negosiasi banyak proyek besar. Semua manusia manipulatif berkumpul, memasang topeng terbaik
"Apa?!" Lillian sontak menegakkan tubuhnya saat menerima panggilan di ponselnya.Jack, sekretaris ayahnya. Tiba-tiba menghubunginya di tengah malam. "Jangan bercanda, Jack! Kau tahu itu tidak lucu!"raut wajah Lillian seketika terlihat kosong. "Baiklah, aku akan segera ke sana." sambungan diputus.Dalam sekejap, semua informasi yang baru saja ia dapatkan dari Jack, berhasil membuat tubuhnya terasa kebas. Detak jantungnya tak beraturan. Ia bahkan harus mencengkeram sisi-sisi selimutnya; meredam perasaan yang membuatnya ingin berteriak.Kematian orang tuanya karena kecelakaan tidak ada dalam kemungkinan buruk hidupnya selama ini. Bahkan, Lillian selalu membayangkan akan terus bersama dengan mereka, setidaknya sampai 30 tahun lagi. Namun kenyataannya?Lilian menyeka air mata yang berkumpul di titik sudut matanya dengan kasar. Tidak, ia tidak boleh menangis. Atau lebih tepatnya, ia tidak tahu bagaimana menangis dengan benar saat ini. Mungkin karena rasa sakit yang teramat dalam, membuat
Pemakaman berjalan dengan lancar. Semua pelayat yang datang selalu memberikan kesan-kesan yang baik untuk kedua orang tua Lillian. Sungguh sebuah tindakan yang sangat manis. Tapi tidak cukup membuatnya merasa lebih baik.Saat dua peti yang disatukan itu ditimbun dalam tanah, perasaan Lillian seakan ikut terkubur. Tak ada lagi air mata, tapi jelas bahwa tatapannya tak memiliki kehidupan. Pikirannya mulai meracau. Bisakah ia ikut masuk ke dalam liang itu? Ia merasa tidak ada gunanya lagi ia hidup. Bahkan pria yang selama ini ia cintai, perlahan telah menghilang dari hatinya. Ketika semua pelayat meninggalkan area pemakaman, Noam menghampiri Lillian yang masih menatap pilu. Kehilangan dua orang yang sangat disayangi, tentu bukan hal yang mudah. Dan memang begitulah. Saat orang lain melihat bahwa Lillian saat ini terlalu tenang, tapi tidak di dalam hati wanita tersebut. Badai masih berkecamuk, tidak memberikan kesempatan untuk Lillian menghela napas.“Are you, okay?” tanya Noam.Lillia