Share

2. Ayo Kita Cerai Saja!

Gila! Ini benar-benar gila!

Lillian berlari ke ruang kerja pribadinya, tanpa menghentikan apa yang telah dilakukan oleh suaminya itu. 

Tunggu, tapi kenapa harus Lillian yang berlari menjauh? Bukankah sudah seharusnya wanita itu yang sewajarnya memiliki rasa malu karena telah tertangkap basah sedang bercinta dengan suami orang?

Sial! Tentu saja Lillian tidak bisa menyalahkan mereka berdua. Bagaimana pun juga, hubungan keduanya telah terjalin sebelum ia menikahi Jayde. Namun, hal gila seperti itu bukan lantas menjadi sesuatu yang bisa ia terima begitu saja, kan?

Cukup lama Lillian bergerak gelisah, mondar-mandir di dalam ruang kerjanya dengan menggigiti kuku jempol tangan kanannya. Otaknya sedang berpikir tentang hal apa yang harus ia lakukan setelah ini. 

Ah! Andai saja tadi ia melempar vas bunga yang berada di atas meja makan pada wanita itu, akankah ia saat ini menjadi merasa lebih baik?

Pintu terbuka, Lillian berbalik dengan tatapan tajam yang menyorotkan ketidak-adilan. Jayde mendekat, sementara Lillian telah mengayunkan sebelah tangannya dengan kencang, tepat ke rahang tajam milik pria itu.

“Kau sadar apa yang telah kau lakukan!” seru Lillian, dengan napas terengah karena emosinya telah tumpah.

Jayde tak langsung menjawab. Bahkan ia tidak mengusap pipinya yang tampak memerah karena tamparan Lillian. Tatapannya menghunus, tak menunjukkan rasa bersalah sama sekali. 

“Bukankah kau tahu kalau Rosalee adalah wanitaku?” Sorot tajam Jayde mendesak, hampir menyusutkan nyali Lillian yang sedang berapi-api. “Wajar jika aku bersenang-senang dengannya.” 

“Tapi tidak di atas ranjang kita, Jay!” 

Jayde mengangkat sebelah alisnya. Pertama kalinya ia melihat ledakan emosi dari Lillian. Sejak kapan wanita itu berani meninggikan suara padanya?

“Kau harus mulai membiasakannya, Lilly!” Jayde semakin mendekat, membuat Lillian mundur selangkah demi selangkah sampai pinggangnya menabrak pinggiran meja kerja. “Risiko karena kau telah memaksa untuk menikahiku, benar?”

Sialan! Lillian mulai bisa memandang ke arah yang seharusnya ia tuju sejak awal.

“Mari kita bercerai saja!” ucap Lillian tegas, tanpa ada keraguan lagi di dalam sorot matanya.

Kepala Jayde sedikit miring, dengan sebelah alis terangkat angkuh. Satu tangannya mencengkeram kasar rahang mungil Lillian dengan sorot mata tajam, menguliti setiap inci keberanian Lillian. 

“Jangan mengucapkan hal yang tidak masuk akal, Sayang!” Cengkeraman Jayde semakin kuat, menciptakan rona merah di kulit putih Lillian. “

Tidak masuk akal ketika dua tahun yang lalu, wanita itu memohon-mohon agar ia mau menikahinya, dan sekarang dengan gampangnya meminta cerai? Setelah banyak waktu yang terbuang hanya untuk menghadapi kelakuannya?

“L-lepaskan, Jay!” rintih Lillian. Kedua tangannya berusaha menarik cengkeraman tangan Jayde. “Sakit…”

Gelap di dalam mata Jayde mulai memudar. Ia melepaskan tangannya, lalu kembali menatap tajam, memberi ancaman atas apa yang telah diucapkan oleh Lillian dan keluar dari ruangan sambil membanting pintu kencang.

Sementara Lillian, ia berusaha untuk bernapas dengan normal. Campuran emosi yang saat ini ia rasakan membuat dadanya sesak. Pandangannya tak lagi terlihat tunduk, saat ini ia tahu apa yang harus dilakukan pada Jayde.

“Aaarrrgh!!!” erangnya kencang.

Pertahanannya telah runtuh. Ia tak bisa lagi melihat masa depan dari pernikahan ini. Seperti tengah kerasukan, ia mulai mengambil apa pun barang yang ada di atas mejanya, dan membanting kencang ke lantai. 

Semua hal yang ada di genggaman tangannya, ingin ia hancurkan semuanya. Termasuk rasa cintanya pada Jayde.

***

“Makanlah dulu, dari tadi makananmu belum kau sentuh,” ucap Noam, pada Lillian yang duduk di sebelahnya, dan sibuk dengan tab-nya. Pria itu mengintip sekilas, penasaran dengan apa yang sedang dilihat oleh Lillian. “Perceraian?”

Lillian sontak menyingkirkan tab-nya, dan tersenyum tipis pada Noam. “Kau tidak boleh mengintip, Noam.”

Garpu yang dipegang oleh Noam segera ditusukkan ke daging steak di atas piring milik Lillian. Berani bertaruh, wanita itu pasti tidak sadar jika Noam telah memotongkan daging miliknya, sesuai dengan ukuran suapan. “Buka mulutmu.”

Sedikit terkekeh, Lillian menyerongkan badannya untuk menerima suapan dari Noam. “Padahal, kau tidak perlu repot-repot seperti itu.”

“Kalau tidak begini, kemungkinan sampai satu jam lagi kau tidak akan menyentuh makananmu.” Noam kembali menusuk daging dengan garpu. “Katakan padaku, apa yang sedang aku pikirkan?”

Haruskah menceritakan semuanya pada Noam?

“Apa yang kau tangkap tadi saat mengintip tab-ku?” tanya Lillian, berusaha untuk tetap tenang.

“Perceraian.” Sorot mata Noam tampak khawatir. “Kau mulai memikirkannya?”

Ragu, Lillian menatap dalam pada Noam. “Aku akan menggugat cerai Jayde.”

Hampir tersedak, Noam langsung menarik satu helai tisu. Wajahnya jelas terkejut dengan satu kalimat mahal yang tiba-tiba keluar dari mulut Lillian. “Kau tidak sedang demam?” 

Lillian terkekeh sambil meraih tangan Noam yang tiba-tiba saja telah mendarat di kening untuk memeriksa suhu tubuhnya. “Aku serius, Noam. Semalam mereka bercinta di kamar kami. Satu hal yang tidak bisa aku terima dengan logika mau pun perasaan.”

Sorot mata Noam melembut, tepukan halus mendarat di punggung tangan Lillian. “Menangislah kalau kau ingin menangis. Aku selalu di sini untuk mendukung semua keputusanmu, Lilly. Kau tahu itu, kan?”

“Aku tahu itu, Noam.” Lillian tersenyum tipis. “Dan aku sangat berterima kasih karena kau selalu ada untukku.”

“Mau kuantar untuk mencari pengacara yang handal dalam masalah ini?” ucap Noam, mencoba menawarkan bantuan.

“Terima kasih tawaranmu, Noam. Tapi aku akan menyelesaikannya sendiri.” 

Itu adalah jawaban yang paling tepat. Tidak ada alasan bagi Lillian untuk merepotkan sahabatnya dalam urusan rumah tangganya. 

“Baiklah, aku percaya kau akan bisa melalui dan mengatasinya. Tapi, kau selalu bisa untuk meminta bantuanku. Ok?”

Lillian mengangguk pelan, membiarkan Noam merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Meskipun takdir benar-benar mempermainkan dirinya, tapi setidaknya semesta masih menyayanginya karena mengantarkan sosok Noam menjadi sahabat.

“Apakah tidak masalah jika kau memiliki sahabat berstatus janda?” tanya Lillian, tetap dalam pelukan Noam.

Noam tergelak mendengar ucapan Lillian. “Bahkan jika kau hanya memiliki satu telinga pun, aku akan tetap bangga menjadi sahabatmu.”

Keduanya tergelak, saling menyalurkan energi positif, tanpa menyadari ada sosok yang sangat dikenal sedang memerhatikan mereka dari jauh. Jayde, tanpa sengaja ada berada di dalam satu restoran yang sama dengan mereka.

Seringai dalam mengawali dengkusan yang lolos dari bibir Jayde. “Jadi, karena dia kau tiba-tiba mengajakku bercerai?” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status