"Apa?!" Lillian sontak menegakkan tubuhnya saat menerima panggilan di ponselnya.
Jack, sekretaris ayahnya. Tiba-tiba menghubunginya di tengah malam. "Jangan bercanda, Jack! Kau tahu itu tidak lucu!"
raut wajah Lillian seketika terlihat kosong. "Baiklah, aku akan segera ke sana."
sambungan diputus.
Dalam sekejap, semua informasi yang baru saja ia dapatkan dari Jack, berhasil membuat tubuhnya terasa kebas. Detak jantungnya tak beraturan. Ia bahkan harus mencengkeram sisi-sisi selimutnya; meredam perasaan yang membuatnya ingin berteriak.
Kematian orang tuanya karena kecelakaan tidak ada dalam kemungkinan buruk hidupnya selama ini. Bahkan, Lillian selalu membayangkan akan terus bersama dengan mereka, setidaknya sampai 30 tahun lagi.
Namun kenyataannya?
Lilian menyeka air mata yang berkumpul di titik sudut matanya dengan kasar. Tidak, ia tidak boleh menangis. Atau lebih tepatnya, ia tidak tahu bagaimana menangis dengan benar saat ini. Mungkin karena rasa sakit yang teramat dalam, membuatnya lupa bagaimana caranya untuk meraung. Saat ini, ia hanya merasakan hampa.
“Jayde!” seru Lillian, setelah menyadari bahwa dirinya sendirian di dalam kamar.
Mungkinkah Jayde kembali tidur di kamar lain? Lillian turun dari kasur. Bergegas keluar kamar dan mempercepat langkahnya, membuka semua pintu ruangan yang memungkinkan keberadaan pria tersebut. Namun tampaknya pria itu sedang tidak berada di rumah.
Saat Lillian melongok ke carport depan, mobil Jayde tak terlihat. Beberapa kali ia mencoba untuk menghubungi suaminya tersebut, tapi tidak ada satu pun yang tersambung. Hah! Persetan dengan kelakuan Jayde yang pasti saat ini sedang bersama dengan Nathalie.
Lillian kembali berlari ke dalam kamar, menyambar kunci mobil yang berada di atas nakas, dan bergegas menuju ke rumah sakit.
***
Jack, menatap penuh sesal pada Lillian. Ia meminta maaf, bahkan ketika sebuah kematian bukan menjadi kesalahannya. Hanya sekilas saat melihat tubuh kedua orang tuanya yang terbujur kaku di kamar mayat, Lillian hanya bisa mengatur apasnya agar tetap normal.
Emosi yang terus menjejal seakan menggerogoti dadanya. Menekan keras sampai membuat tubuhnya gemetar. Sekali lagi, ia mencoba untuk menghubungi Jayde, tapi tetap tidak ada satu pun yang dijawab.
Di mana pria itu sekrang berada?
Sekali lagi, tapi tetap tidak ada jawaban sema sekali. oh God, Rasanya seperti mau gila!
Di saat kehidupan pribadinya sedang tidak baik-baik saja, kenapa Tuhan justru mengajaknya bercanda dengan mengambil kedua orang tuanya secara tragis? Tidakkah Lillian juga berhak untuk bahagia?
Di saat semuanya menjadi gelap, Lillian menghubungi Noam dengan air matanya yang mulai menggenang.
“Noam,” panggil Lillian, begitu panggilannya diterima oleh Noam di dering kedua.
“Lilly?? Are you okay?”
“No, orang tuaku meninggal, Noam.”
“What? Oh my God! Kau di mana sekarang?”
“Rumah Sakit Saint Luis.” Suara Lillian bergetar, menahan untuk tidak menangis.
“Tunggu, aku akan segera ke sana!”
Sambungan telepon terputus. Bersamaan dengan itu, Lillian merosot ke lantai. Bersimpuh dengan pandangan menatap ke lantai, terlihat kosong tak bernyawa. Di belakangnya, Jack tidak berani untuk berbuat apa-apa.
Memori tentang orang tuanya kembali memutar pelan. Saat mereka merayakan natal bersama, saat berdebat tentang tujuan liburan setiap tahunnya. Bahkan saat ibunya memaksa untuk minum obat saat ia sakit. Semuanya terasa menyesakkan.
Entah sudah berapa lama Lillian berada di posisinya saat ini. Ia tak mempedulikan tatapan orang yang melihatnya. Ia bahkan tak mendengarkan panggilan Jack yang terdengar samar di telinganya.
Sampai akhirnya, sepasang tangan merengkuhnya dalam pelukan. Lillian mendongak, matanya berbayang. Tangisnya yang dari tadi teredam, kini berubah menjadi raungan saat melihat Noam di depannya.
“Aku di sini, Lilly. Aku sudah di sini,” ujar Noam, sambil menepuk-nepuk pundak wanita itu.
“Mereka sudah pergi, Noam,” racau Lillian. “Aku bahkan belum meminta maaf pada mereka. Masih banyak hal yang ingin kulakukan bersama mereka, tapi kenapa berakhir seperti ini?”
Tangis Lillian kembali pecah. Wajahnya memerah, sementara kelopaknya telah membengkak.
“It’s okay, Lilly. Ini semua bukan salahmu. Aku di sini bersamamu.”
Noam terus memberikan kalimat positifnya, meskipun ia tahu kalau semua itu tidak ada artinya bagi Lillian sekarang. Ratusan kalimat positif tidak akan pernah bisa melawan rasa sedih yang mendalam.
“Di mana Jayde?” tanya Noam, saat menyadari bahwa sosok yang sangat dibencinya itu tidak ada di sana.
Lillian menggeleng pelan. “I don’t know. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada satu pun panggilanku yang dijawab.”
Noam menghela napasnya dalam-dalam. Ia kembali mengeratkan pelukannya pada Lillian yang sesekali masih terisak.
Sementara itu, di ujung lorong, tampak Jayde yang berdiri dengan menatap Noam dan Lillian yang sedang berpelukan.
“Lagi?” gumam Jayde.
Pemakaman berjalan dengan lancar. Semua pelayat yang datang selalu memberikan kesan-kesan yang baik untuk kedua orang tua Lillian. Sungguh sebuah tindakan yang sangat manis. Tapi tidak cukup membuatnya merasa lebih baik.Saat dua peti yang disatukan itu ditimbun dalam tanah, perasaan Lillian seakan ikut terkubur. Tak ada lagi air mata, tapi jelas bahwa tatapannya tak memiliki kehidupan. Pikirannya mulai meracau. Bisakah ia ikut masuk ke dalam liang itu? Ia merasa tidak ada gunanya lagi ia hidup. Bahkan pria yang selama ini ia cintai, perlahan telah menghilang dari hatinya. Ketika semua pelayat meninggalkan area pemakaman, Noam menghampiri Lillian yang masih menatap pilu. Kehilangan dua orang yang sangat disayangi, tentu bukan hal yang mudah. Dan memang begitulah. Saat orang lain melihat bahwa Lillian saat ini terlalu tenang, tapi tidak di dalam hati wanita tersebut. Badai masih berkecamuk, tidak memberikan kesempatan untuk Lillian menghela napas.“Are you, okay?” tanya Noam.Lillia
Ponsel Lillian berdering, menampilkan nama Jayde di layarnya. Meskipun kedua matanya menampilkan gerakan malas, tapi tetap saja sebelah tangan meraih ponsel yang terus menjerit, lalu ia menjawab setelah beberapa saat.“Kau ada di mana?” suara Jayde terdengar dalam, lebih berat dari saat berhadapan langsung.Lillian menghela napas, berusaha untuk tidak terganggu dengan semua perasaan yang mulai terpancing dalam dirinya. Sebelumnya, mendengar suara Jayde adalah hal yang paling menggembirakan—bahkan pada bagian acuhnya. Namun kali ini ia tak merasakannya lagi.Hanya ada amarah, dan takjub ketika ia menyadari bahwa perasaannya bisa berubah hanya dalam sekejap.“Bukan urusanmu,” jawab Lillian. “Mulai saat ini, kau bisa bebas melakukan apa pun dengan Rosalee. Atau, kalian bisa mulai tinggal bersama di rumah itu, aku sama sekali tidak peduli.”“Kau sadar dengan apa yang kau katakan?” Terdengar semburat amarah pada pertanyaan Jayde.“Tentu saja. Aku bahkan tidak pernah sesadar ini sebelumnya.”
Raut wajah yang seketika berubah, jelas menunjukkan perasaan Lillian saat ia membuka pintu ruangan kerjanya. Sosok yang sangat tidak ia harapkan telah berdiri di sana, bersandar pada meja kerja dengan kedua tangan terlipat di depan dada, dan menatap tajam padanya.“Selamat pagi, Nyonya Foster,” ucap Jayde.Tangan Lillian mengepal keras, mencengkeram tali tas kerjanya yang terjinjing di sisi kanan. Desahan kasar lolos, sengaja ia tunjukkan pada Jayde bahwa kedatangannya sangat tidak diharapkan.“Buang jauh nama Foster dari belakang namaku. Aku adalah Lillian Waverly, bukan lagi Lillian Foster!”Sikap tunduk dan penuh takut yang dulu menjadi makanan untuk ego Jayde, kini berhasil mengembalikan menjadi sosok lama dari seorang Lillian yang terkenal sebagai wanita independent, dengan segala kesempurnaannya—sosok yang tidak pernah dilihat oleh seorang Jayde Foster.Namun, hal itu ternyata memancing amarah dari Jayde. Tatapan tajam dari matanya yang tadi hanya bermaksud untuk mengintimidasi,
Pintu ruangan dibuka kasar. Beberapa pasang mata yang dari tadi terlihat penasaran di luar ruangan, segera mengalihkan pandangan, berpura-pura sibuk degan apa pun yang ada di sekitar.Jayde menghela napas panjang, tak berniat untuk mengubah raut wajah meskipun ia merasakan suasana yang tegang karena ulahnya. Harga dirinya yang telah tercabik, tertutup oleh emosi dan menghilangkan sisi profesionalitasnya.Dari arah berlawanan, Noam berjalan menghampiri dengan beberapa tumpukan berkas di tangan. Dari bagaimana sikap Noam saat ini, tampaknya ia ikut mendengar teriakan Jayde yang berhasil membuat hening satu lantai.Beberapa dari orang di ruangan itu terlihat gelisah, menatap cemas pada dua pria yang saling mendekat. Dua pria lainnya yang dari tadi bersembunyi di balik bilik meja kerja, secara otomatis berdiri, bersiap untuk melerai jika saja ada terjadi keributan.Bagaimanapun juga, semua orang tahu tentang Noam yang sangat membela Lillian dan menjadi orang nomor satu yang sangat membenc
Pintu digebrak terdengar nyaring. Jayde di dalam ruangannya terlihat sangat kacau. Ia benar-benar tidak memedulikan apa pun kecuali melampiaskan emosinya. Dalam hal apa pun di dunia ini, ketika ego dan harga dirinya tercoreng, saat itu adalah situasi yang terburuk dalam hidupnya.Perceraian, satu kata yang saat ini bisa membuatnya sangat marah. Bukan karena ia memiliki perasaan pada Lillian, tidak sama sekali! Harga dirinya yang merasa diinjak-injak, itulah yang membuatnya merasa tidak terima. Terlebih, saat ia mengingat bagaimana tatapan Lillian yang jelas terlihat menantang.Wanita itu, sejak kapan ia berani pada Jayde?“Verdammt!”Satu kepalan meninju permukaan meja kerja. Terasa panas menjalar di buku-buku jari, tapi tak membuatnya merasa kesakitan. Tak lama dari itu, pintu ruangan terbuka. Ia mendongak, lalu mengerutkan keningnya.“Rosie? Sedang apa kau di sini?”Model nomor satu itu melenggang masuk, menampilkan senyum sensual yang selalu berhasil menggoda Jayde. Pelukan mesra me
“Oh, tunggu sebentar!” Lillian berteriak, pada ponselnya yang bergetar di meja makan.Ia buru-buru membilas tangannya yang kotor terkena adonan telur pada kran air di sink dan bergegas mengusap pada sisi kanan kiri apron berwarna abu-abu yang ia kenakan. Nama Noam tertera di layar ponsel, mencoba menghubungi.“Hei, Noam. Ada apa?” Sedikit berisik dari tempat Noam, sampai Lillian sedikit menjauhkan ponselnya karena terdengar bunyi klakson panjang. “Kau di mana?” tanya Lillian lagi.“Baru pulang dari tempat gym. Kau sudah makan? Mau makan di luar bersamaku?” Lillian melirik masakannya yang setengah jadi. “Aku sedang memasak makan malam. Bagaimana kalau kau makan saja di tempatku?” “Kau masak?” “Yap. Membuat beberapa isian burger dan roti sourdough. Rotinya baru saja matang, dan sekarang aku sedang membuat isian burger. Kau mau?”“Terdengar lezat. Tentu saja aku mau. Ok, then… see u soon.”“See ya.”Panggilan selesai, Lillian kembali meletakkan ponselnya di atas meja makan. Suara de
Sorot mata Noam terlihat sangat serius saat menatap Lillian, membuat wanita itu mulai menerka-nerka apakah yang telah disembunyikan darinya. Namun sejauh apa pun ia memikirkan apakah itu, tak ada satu pun asumsi yang bisa ia tuduhkan pada Noam.Mungkin ada, tapi menurutnya sangat tidak mungkin.“Noam, please… katakan apa yang telah kau sembunyikan dariku.”Senyum tipis menghiasi wajah Noam. Dari mata Lillian, pria itu tampak sedang mempermainkan peran yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.“Lillian,” ucap Noam. “Jadi selama ini… aku telah berbohong padamu tentang….”Hening sejenak.“Demi Tuhan, katakan padaku sekarang juga, Noam Turner!”Noam menunduk sebentar, sebelum kembali menatap tajam pada Lillian. “Selama ini, aku berbohong padamu tetang ketampananku.”Ok, wait… ketampanan? Lillian tidak mengerti dengan arah jawaban Noam.“Jangan bercanda, Noam.”“Aku tidak bercanda, Lilly.” Sorot mata Noam sengaja dibuat semeyakinkan mungkin. “Tentang ketampananku, aku menyembunyikannya dengan
Seperti yang telah diduga oleh Lillian sebelumnya. Tidak mungkin jika makan malam hari ini tanpa Jayde. Mobil pria itu baru saja terparkir di sebelah mobilnya. Sementara ia terus berada di belakang kemudi, terlihat enggan untuk keluar.Lillian sedang berusaha untuk menyusun rencana kabur saat kaca jendelanya diketuk oleh Jayde. Ia menoleh, menatap enggan pada pria tersebut sambil menghela napas. Entah apa yang ia lihat dari sosok pria itu dulu, kenapa sampai ia menjadi orang bodoh yang terus mengemis cinta padanya.“Keluar!” seru Jayde dari luar.Sial! sikap arogan pria itu benar-benar membuat Lillian muak. Tangannya menyentak kasar sabuk pengaman yang dari tadi masih menempel di badannya. Demi Tuhan, ia benar-benar tidak ingin berada di sini.Ponselnya menyala, notifikasi pesan terlihat dari Noam. Alih-alih turun, Lillian lebih memilih untuk membuka pesan dulu dari Noam.[Lilly, kau sudah pulang? Ruanganmu sudah gelap.]Tanpa lama, ia membalasnya.[Aku ada di rumah orang tua Jayde. A
Hari yang telah ditunggu oleh Lillian pada akhirnya tiba. Sidang perceraian antara dirinya dan Jayde Foster akhirnya telah berakhir. Sejak palu hakim diketuk tiga kali, keduanya telah resmi bercerai. Lillian menghela napasnya lega sambil memejamkan kedua matanya. Ia tahu bercerai bukan hal yang patut dibanggakan, tapi untuk kali ini ia ingin merayakannya.Tidak ada interaksi dirinya dengan Jayde. Mereka tampak seperti orang asing yang tidak saling menyapa. Well, Lillian tidak merisaukannya. Bersikap seperti justru membuatnya lebih nyaman. Lagipula dirinya juga telah muak dengan Jayde.Noam tersenyum pada Lillian saat wanita itu keluar dari ruangan sidang. pelukan hangat menyambut sang kekasih yang telah mendapatkan kebebasannya. Kali ini, Noam bisa mencintai Lillian sepenuhnya. Semua hal buruk yang pernah dirasakan oleh wanita itu, dengan tekad yang kuat akan ia ganti dengan semua kebahagiaan yang bisa ia tawarkan dan akan selalu diusahakan.Namun belum sempat Lillian mengucapkan kali
Jayde melempar satu dokumen yang berhasil ia raup dari atas meja kerjanya di kantor setelah membaca sebuah surat yang baru saja diantar untuknya. Beberapa hari berlalu setelah terakhir kali ia menemui Lillian, sekarang di tangannya telah terselip panggilan sidang untuk perceraiannya dengan wanita itu.Emosinya yang membuncah seakan hampir meledak di kepala. Meskipun ia menyadari bahwa kelakuannya selama ini pada Lillian tidak bisa dibenarkan dan dinormalisasikan. Saat ini bukan tentang harga dirinya yang merasa diinjak karena keinginan Lillian untuk berpisah, melainkan tentang perasaannya yang perlahan mulai kembali lagi pada wanita itu.Benar, Jayde memang egois. Ia menyadarinya, tapi ia tidak memiliki kuasa untuk menahannya. Egonya yang terlalu besar membuatnya menjadi kerap tidak tahu diri. Surat panggilan sidang perceraian itu ia lempar begitu saja ke atas mejanya.“Sayang? Ada masalah?”Jayde menoleh cepat, sorotnya matanya terlihat tidak senang melihat Rosalee yang melenggang be
“Brengsek!”Tangan Jayde mengepal kencang sambil beberapa kali memukul setir mobil. Urat di pelipisnya menonjol, seiring dengan emosinya yang berusaha meledak bersama dengan geraman teredam.“Damn, Noam! Damned, Rosalee!”Jayde jelas mengutuk Noam karena pria itu berhasil merebut Lillian darinya. Mungkin lebih tepatnya, Noam mengambil kesempatan dengan cerdas saat Jayde menyia-nyiakan Lillian dengan kebodohannya. Setelah semuanya menjadi lebih terang bagi Jayde, saat itulah ia merasakan ketololan yang berhasil menggigitnya sedikit demi sedikit; mengoyak; dan menghancurkan pada akhirnya.Satu hal yang tak pernah ia bayangkan dalam hubungan sempurnanya dengan Rosalee, ternyata akan membawanya pada hal-hal yang mengerikan. Semua perlakuan buruknya pada Lillian memang tak terbantahkan. Ia mengakuinya, dan saat ini menyesalinya dengan segenap jiwa.Namun semuanya telah menjadi terlambat bagi Jayde. Semua kenangannya bersama dengan Lillian sebelum Rosalee hadir di kehidupannya kembali memb
Ponsel Lillian berdering beberapa kali saat ia masih memfokuskan pikirannya pada pekerjaan. Ada beberapa hal yang harus ia kerjakan hari ini juga, mengenai rencana penambahan armada pesawat sehubungan dengan penambahan slot yang telah disetujui oleh pihak bandara. Semakin banyak antusias warga asing untuk mengunjungi Eropa menjadi perhatiannya saat ini agar mampu menyediakan fasilitas penerbangan yang memuaskan.Wanita itu hanya melirik sebentar dan mendesah malas setelah membaca nama sang penelepon. Jayde terus berusaha untuk menghubunginya. Semenjak mengetahui ada foto-foto dirinya dengan ancaman kematian, ia berniat untuk segera Jayde dari kehidupannya. Entah Jayde atau bukan yang melakukan hal-hal buruk itu, yang jelas dirinya mendapatkan banyak masalah setelah bersama dengan Jayde.Namun ia kembali mengingat tentang pendapat Noam mengenai kemungkinan bahwa Jayde berusaha menyembunyikan itu semua agar tidak membebani pikiran Lillian. Walaupun itu adalah hal yang sangat tidak masuk
Hal-hal negatif terus bermunculan dalam pikiran Lillian selama mobil yang dikendarakan oleh Noam melaju kencang, menembus jalanan untuk membawa mereka kembali ke rumah Lillian bersama dengan Jayde. Lillian merasa harus memeriksa sekali lagi rumah itu, mungkin saja ada hal yang terlewatkan olehnya.Noam tak bisa melarangnya. Dirinya tidak berada pada posisi yang bisa untuk melarang Lillian menantang bahaya seperti ini. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah mendampingi dan mendukung apa pun yang akan dilakukan oleh Lillian.“Maafkan aku, Noam,” ucap Lillian tanpa mengalih pandangannya dari jendela mobil.Noam menoleh sekilas padanya. “Maaf untuk apa?”“Karena kau jadi terlibat dalam masalah yang tidak terlihat ujungnya ini. Aku merasa bersalah padamu.” Lillian memejamkan matanya sejenak, merasakan panas yang mengakar dari bola matanya dan menyebar cepat ke kepala.“Saat ini kau adalah kekasihku, Lilly. Dan sangat wajar jika aku terlibat dalam masalahmu.” Noam merasakan kehangatan
Lillian dan Noam hari ini memutuskan untuk pergi ke kediaman orang tua Lillian. Misteri yang tentang kematian orang tuanya biar bagaimanapun juga harus bisa diuangkap. Itu seakan menjadi hutang bagi Lillian untuk mencari keadilan bagi orang tuanya.Bukannya ia masih tidak bisa menerima kematian kedua orang tuanya tersebut. Semua orang pasti akan mengalami kematian. Namun hal yang tidak wajar dalam sudut pandangnya membuat ia tidak bisa menerima hal itu begitu saja. Karena itulah, apa pun yang terjadi mereka tidak akan pernah menyerah untuk menemukan petunjuk tentang kebenaran dari kecelakaan itu.Mobil Noam berhenti tepat di depan rumah bercat putih bergaya eropa dengan sentuhan mewah di tiap-tiap sisinya. Helaan napas terdengar dari Lillian sebelum ia melepas sabuk pengaman yang ia kenakan.“Hei, kau baik-baik saja?”Noam meraih tangan Lillian sebelum wanita itu membuka pintu mobil.Lillian memutar kepalanya sambil tersenyum. “Selama bersamamu aku akan baik-baik saja, Noam.” Ucapannya
Tunggu...Kenapa Noam ada di sisi Lillian??Wanita itu terbangun dengan kedua mata membelalak lebar saat menyadari Noam sedang tertidur di sisinya. Masih dengan tubuh mematung karena tak ingin membangunkan pria itu, Lillian mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi pada mereka berdua.Satu detik... dua detik... tiga detik... sampai beberapa detik selanjutnya...Oh, my Godness!! Apa yang telah kulakukan?? jerit Lillian dalam hati.Dengan jantung berdebar, ia berusaha untuk mengintip bagian bawahnya yang masih tertutup selimut. Yeah, seperti dugaan. Semuanya masih polos, sama dengan bagian atas tubuhnya yang tak menempel sehelai benang pun, hanya tertutup selimut.Semalam... meskipun samar dalam ingatannya, tapi ia masih bisa merasakan kehangatan dari tiap dekapan dan sentuhan Noam. Semuanya terasa menenangkan, membawanya pada puncak kebahagiaan yang telah lama tak ia rasakan. Saat bibir Noam menjejak di tiap jengkal tubuhnya, saat ia menyentak dalam dan memainkan ritmenya, saat s
Seharian ini adalah hari yang sangat sibuk bagi Noam. Final laporan audit harus diselesaikan hari ini juga. Karena itulah, pria itu sama sekali tidak mengetahui bahwa Lillian mengajukan cuti dadakan. Ia baru mengetahuinya ketika akan masuk ke dalam ruangannya. Rexy—sekretaris Lillian mengatakan bahwa Lillian telah mengajukan cuti dadakan untuk beberapa hari kedepan.“Apakah dia sakit?” Noam terdengar cemas saat menanyakannya.Rexy menggeleng. “Justru nada bicaranya terdengar sangat bersemangat. Kalau kau mencemaskannya, kenapa tidak menghubunginya sendiri?”Noam memicingkan kedua matanya saat mendengar nada bicara Rexy dan raut wajah wanita itu yang terlihat sedang menggodanya. “Hei, kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya Noam.Rexy tertawa, kemudian menepuk pundak Noam pelan. “Kau tahu bahwa dari dulu aku mendukung kalian berdua, kan? Kurasa ini kesempatanmu untuk menaklukkan hati Lilly.”Noam langsung menoleh ke kanan dan ke kiri saat Rexy mengatakan hal itu tanpa merasa berdosa s
Hampir tengah malam, dan Lillian sengaja membaca buku di ruang depan. Sengaja ia menunggu Jayde, ingin melihat apakah ada reaksi yang berbeda setelah pria itu bertemu dengan Rosalee—Walaupun dalam hatinya, ia yakin pasti jawabannya tidak akan ada reaksi apa-apa.Sekitar setengah jam setelah Lillian memutuskan untuk duduk di single sofa yang langsung memudahkan pandangannya untuk langsung melihat ke arah lorong pintu masuk, Jayde datang. Pria itu berjalan tenang, seperti tak pernah terjadi apa-apa—menurutnya, dan langsung mengerutkan keningnya saat melihat Lillian yang juga tengah memandangnya.“Kenapa kau belum tidur?” tanya Jayde, terdengar canggung, sisa dari pertengkaran semalam.Lillian mengangkat bukunya dengan kedua alis terangkat ke atas. “Kau tidak melihat aku sedang membaca buku?”Raut wajah Jayde terlihat sedikit gusar. Rupanya ia masih belum terbiasa dengan semua sikap patuh Lillian yang tiba-tiba lenyap. Lillian yang dulu tak lagi ia temukan pada sosok Lillian yang sekaran