Share

4. Mereka Pergi.

"Apa?!" Lillian sontak menegakkan tubuhnya saat menerima panggilan di ponselnya.

Jack, sekretaris ayahnya. Tiba-tiba menghubunginya di tengah malam. "Jangan bercanda, Jack! Kau tahu itu tidak lucu!"

raut wajah Lillian seketika terlihat kosong. "Baiklah, aku akan segera ke sana." 

sambungan diputus.

Dalam sekejap, semua informasi yang baru saja ia dapatkan dari Jack, berhasil membuat tubuhnya terasa kebas. Detak jantungnya tak beraturan. Ia bahkan harus mencengkeram sisi-sisi selimutnya; meredam perasaan yang membuatnya ingin berteriak.

Kematian orang tuanya karena kecelakaan tidak ada dalam kemungkinan buruk hidupnya selama ini. Bahkan, Lillian selalu membayangkan akan terus bersama dengan mereka, setidaknya sampai 30 tahun lagi. 

Namun kenyataannya?

Lilian menyeka air mata yang berkumpul di titik sudut matanya dengan kasar. Tidak, ia tidak boleh menangis. Atau lebih tepatnya, ia tidak tahu bagaimana menangis dengan benar saat ini. Mungkin karena rasa sakit yang teramat dalam, membuatnya lupa bagaimana caranya untuk meraung. Saat ini, ia hanya merasakan hampa.

“Jayde!” seru Lillian, setelah menyadari bahwa dirinya sendirian di dalam kamar. 

Mungkinkah Jayde kembali tidur di kamar lain? Lillian turun dari kasur. Bergegas keluar kamar dan mempercepat langkahnya, membuka semua pintu ruangan yang memungkinkan keberadaan pria tersebut. Namun tampaknya pria itu sedang tidak berada di rumah.

Saat Lillian melongok ke carport depan, mobil Jayde tak terlihat. Beberapa kali ia mencoba untuk menghubungi suaminya tersebut, tapi tidak ada satu pun yang tersambung. Hah! Persetan dengan kelakuan Jayde yang pasti saat ini sedang bersama dengan Nathalie. 

Lillian kembali berlari ke dalam kamar, menyambar kunci mobil yang berada di atas nakas, dan bergegas menuju ke rumah sakit.

***

Jack, menatap penuh sesal pada Lillian. Ia meminta maaf, bahkan ketika sebuah kematian bukan menjadi kesalahannya. Hanya sekilas saat melihat tubuh kedua orang tuanya yang terbujur kaku di kamar mayat, Lillian hanya bisa mengatur apasnya agar tetap normal. 

Emosi yang terus menjejal seakan menggerogoti dadanya. Menekan keras sampai membuat tubuhnya gemetar. Sekali lagi, ia mencoba untuk menghubungi Jayde, tapi tetap tidak ada satu pun yang dijawab. 

Di mana pria itu sekrang berada?

Sekali lagi, tapi tetap tidak ada jawaban sema sekali. oh God, Rasanya seperti mau gila!

Di saat kehidupan pribadinya sedang tidak baik-baik saja, kenapa Tuhan justru mengajaknya bercanda dengan mengambil kedua orang tuanya secara tragis? Tidakkah Lillian juga berhak untuk bahagia?

Di saat semuanya menjadi gelap, Lillian menghubungi Noam dengan air matanya yang mulai menggenang.

Noam,” panggil Lillian, begitu panggilannya diterima oleh Noam di dering kedua.

Lilly?? Are you okay?” 

No, orang tuaku meninggal, Noam.”

What? Oh my God! Kau di mana sekarang?

Rumah Sakit Saint Luis.” Suara Lillian bergetar, menahan untuk tidak menangis.

Tunggu, aku akan segera ke sana!”

Sambungan telepon terputus. Bersamaan dengan itu, Lillian merosot ke lantai. Bersimpuh dengan pandangan menatap ke lantai, terlihat kosong tak bernyawa. Di belakangnya, Jack tidak berani untuk berbuat apa-apa. 

Memori tentang orang tuanya kembali memutar pelan. Saat mereka merayakan natal bersama, saat berdebat tentang tujuan liburan setiap tahunnya. Bahkan saat ibunya memaksa untuk minum obat saat ia sakit. Semuanya terasa menyesakkan. 

Entah sudah berapa lama Lillian berada di posisinya saat ini. Ia tak mempedulikan tatapan orang yang melihatnya. Ia bahkan tak mendengarkan panggilan Jack yang terdengar samar di telinganya. 

Sampai akhirnya, sepasang tangan merengkuhnya dalam pelukan. Lillian mendongak, matanya berbayang. Tangisnya yang dari tadi teredam, kini berubah menjadi raungan saat melihat Noam di depannya. 

“Aku di sini, Lilly. Aku sudah di sini,” ujar Noam, sambil menepuk-nepuk pundak wanita itu.

“Mereka sudah pergi, Noam,” racau Lillian. “Aku bahkan belum meminta maaf pada mereka. Masih banyak hal yang ingin kulakukan bersama mereka, tapi kenapa berakhir seperti ini?” 

Tangis Lillian kembali pecah. Wajahnya memerah, sementara kelopaknya telah membengkak. 

It’s okay, Lilly. Ini semua bukan salahmu. Aku di sini bersamamu.” 

Noam terus memberikan kalimat positifnya, meskipun ia tahu kalau semua itu tidak ada artinya bagi Lillian sekarang. Ratusan kalimat positif tidak akan pernah bisa melawan rasa sedih yang mendalam.

“Di mana Jayde?” tanya Noam, saat menyadari bahwa sosok yang sangat dibencinya itu tidak ada di sana.

Lillian menggeleng pelan. “I don’t know. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada satu pun panggilanku yang dijawab.”

Noam menghela napasnya dalam-dalam. Ia kembali mengeratkan pelukannya pada Lillian yang sesekali masih terisak.

Sementara itu, di ujung lorong, tampak Jayde yang berdiri dengan menatap Noam dan Lillian yang sedang berpelukan. 

“Lagi?” gumam Jayde.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status