Share

5. Sebuah Keputusan

Pemakaman berjalan dengan lancar. Semua pelayat yang datang selalu memberikan kesan-kesan yang baik untuk kedua orang tua Lillian. Sungguh sebuah tindakan yang sangat manis. Tapi tidak cukup membuatnya merasa lebih baik.

Saat dua peti yang disatukan itu ditimbun dalam tanah, perasaan Lillian seakan ikut terkubur. Tak ada lagi air mata, tapi jelas bahwa tatapannya tak memiliki kehidupan. 

Pikirannya mulai meracau. Bisakah ia ikut masuk ke dalam liang itu? Ia merasa tidak ada gunanya lagi ia hidup. Bahkan pria yang selama ini ia cintai, perlahan telah menghilang dari hatinya. 

Ketika semua pelayat meninggalkan area pemakaman, Noam menghampiri Lillian yang masih menatap pilu. Kehilangan dua orang yang sangat disayangi, tentu bukan hal yang mudah. 

Dan memang begitulah. Saat orang lain melihat bahwa Lillian saat ini terlalu tenang, tapi tidak di dalam hati wanita tersebut. Badai masih berkecamuk, tidak memberikan kesempatan untuk Lillian menghela napas.

Are you, okay?” tanya Noam.

Lillian mendongak, menatap Noam dengan tatapan kosong. “Kurasa aku ikut terkubur bersama dengan orang tuaku.”

Noam mengusap lembut punggung Lillian. Dalam hati, ia sedang membodohkan pertanyaannya baru saja. Sudah jelas bahwa Lillian tidak baik-baik saja, tapi masih saja ia bertanya apakah Lillian baik-baik saja.

“Kau melihat Jayde?” tanya Lillian, saat menyadari hanya tinggal mereka berdua di area pemakaman.

Rahang Noam mengetat. Semakin menunjukkan garis rahangnya yang tajam. “Tadi dia di sini, tapi mendadak buru-buru pergi setelah menerima panggilan telepon.”

Lillian tersenyum tipis. Merasa yakin bahwa panggilan itu pasti berasal dari Rosalee. Hatinya berkecamuk, merasa murka karena pada situasi seperti saat ini, Jayde benar-benar tidak bisa menunjukkan rasa empatinya. 

“Kau mau pulang sekarang? Atau masih ingin berada di sini?” tanya Noam.

Lillian sekali lagi menatap makan kedua orang tuanya. Detik berikutnya, gerimis halus turun. Senyum tipis terlihat di wajah Lillian. “Tampaknya Mom dan Dad mengusirku dengan mendatangkan gerimis. Mereka tahu aku tidak suka basah.”

Noam tersenyum. Gestur tubuhnya terlihat sangat sopan saat berpamitan pada orang tua Lillian. Dalam hati, ia mengucapkan janji di antara dirinya sendiri dan semesta untuk selalu melindungi Lillian.

“Ayo,” Noam menggenggam tangan Lillian. “Kau akan sakit jika memaksa berada di sini. Kau pasti lapar, kan?”

Lillian tidak menjawab. Ia belum makan sedikit pun semenjak mendapat kabar bahwa orang tuanya meninggal. Namun, ia seakan tidak memiliki sedikit pun selera untuk makan. 

“Setidaknya, temani aku makan. Okay?” ucap Noam lagi.

Lillian tersenyum tipis, lalu menghela napas dalam-dalam. “Aku akan makan, Noam. kau tidak perlu khawatir.”

Senyum merekah dari wajah Noam, sembari sebelah tangannya membuka pintu mobil dan mempersilakan Lillian untuk masuk. “Kalau begitu, kau ingin makan apa? Aku akan ikut menu makanmu hari ini.”

Lilian tidak langsung menjawab. Tidak ada hal spesifik yang ingin ia pilih. “Bolehkah aku ikut menu makananmu saja? Aku terlalu lelah untuk memilih.”

Suara mesin mobil terdengar halus. Noam menginjak pedal gas, perlahan meninggalkan area pemakaman. “Well, kalau begitu aku akan membawamu ke sebuah restoran yang terkenal lezat dengan steak-nya. Setelah itu, kau mau es krim untuk makanan penutup?”

Lillian kembali tersenyum, dan mengangguk tanpa menoleh pada Noam. Kepalanya telah disandarkan pasrah pada sandaran kursi. Kedua matanya memejam, menahan rasa panas karena jejak dari tangisannya yang telah ditumpahkan semalaman. 

“Aku ikut apa pun yang kau lakukan, Noam.”

Noam menoleh sekilas, tersenyum tulus sebelum kembali fokus pada jalanan. “Tidurlah, aku akan membangunkanmu saat sampai.”

***

Lillian menjabat erat tangan seorang pengacara yang telah resmi ditunjuk sebagai seseorang yang akan mengurus perceraiannya dengan Jayde. Semua berkas yang harus diserahkan juga telah lengkap. Kali ini, ia hanya perlu menunggu sampai proses pengajuan perkara dan sidang berjalan dengan lancar.

Ia benar-benar telah muak dan lelah dengan semua sikap yang ditunjukkan, dan sengaja dilakukan oleh pria itu kepadanya.

Bahkan setelah pemakaman kedua orang tuanya, tidak satu pun ucapan yang terlontar untuknya dari pria tersebut. 

Tekadnya telah bulat. Cerai adalah satu-satunya jalan yang bisa ia tempuh untuk hubungannya dengan Jayde. Lagipula, untuk apa dipertahankan jika hanya akan membuatnya sakit?

Keluar dari kantor pengacara, Lillian bergegas kembali ke rumahnya. Dua koper besar dikeluarkan dari gudang penyimpanan. Semua barang miliknya dikemas cepat. Sebelum Jayde pulang, ia sudah harus menyelesaikannya.

Satu jam berlalu, Lillian menyeret kedua kopernya dengan hati yang mantap. Dengan cekatan ia buru-buru memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil. Sekali lagi, untuk terakhir kalinya, Lillian menoleh pada rumah yang telah dua tahun terakhir ini menjadi saksi kehidupan rumah tangganya yang berantakan.

Ok, Lilly. Saatnya kau membuka kehidupan baru. Lupakan Jayde, dan raih kebahagiaanmu sendiri,” ucapnya pada diri sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status