Bab 106Resmi bercerai*****"Apa guru-guru lain tidak keberatan, Mbak?" tanya Yana."Mereka tidak akan keberatan selagi kamu tidak menuntut untuk dibayar insentif dari mereka!" terang Asri lagi."Kamu siap, mengabdi pada sekolah terlebih dahulu untuk menambah pengetahuan dan wawasan?" Asri mencondongkan tubuhnya mendekati Yana.Yana tersenyum dan mengangguk."Yana siap, Mbak. Yana akan belajar untuk bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah," jawab Yana mantap.Mereka sampai di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, ketika hampir siang. Asri langsung menemui Bu Dwi, tempat mendaftar kuliah Universitas Terbuka."Baru Lima belas orang yang daftar, Sri. Mudah-mudahan kuota mencukupi, jadi kita bisa belajar di Batang Hari," ujar Bu Dwi."Nanti ibu kabari saja kalau sudah terisi kuotanya," sahut Asri tersenyum.Setelah berbincang-bincang sejenak, Asri segera pamit dan mengajak Yana langsung pulang."Besok kamu mulai ngajar. Soal pakaian, kamu pakai pakaian biasa aja. Yang penting rapi da
Bab 107Sesampai di sekolah, ternyata Asri sudah datang. Perempuan anggun itu sangat cantik dengan mengenakan seragam guru."Pagi, Yana!" sapa Asri kepada Yana."Pagi, Mbak!" Yana menyalami Asri.Asri memperkenalkan Yana kepada para majelis guru dan meminta mereka untuk membimbing Yana dalam mengajar. "Untuk sementara, kamu hanya menjadi guru pendamping. Nanti, setelah kamu kuliah dan memasuki ajaran baru, Mbak baru meletakkan kamu di kelas sebagai guru Inti," papar Asri."Iya, Mbak. Nggak apa-apa!" jawab Yana.Asri memperkenalkan Yana kepada anak didik dan wali murid yang kebetulan masih berada di sekolah."Saya harap, ibu-ibu wali murid menghormati Bu Guru Yana seperti guru yang lainnya. Terkait isu tentang Bu Yana, tolong jangan dijadikan bahan gibahan di sekolah, pun luar sekolah. Saya berharap, ibu-ibu memiliki attitude yang baik. Sehingga dapat dicontoh oleh anak-anak kita!" Asri berbicara di hadapan para wali murid yang menunggu anaknya di saung sekolah.Para wali murid mengiy
Bab 108Menjalani status janda****Air mata Yana semakin deras mengalir. Tidak menyangka jika Arif telah menikah dan melupakan janjinya untuk kembali menjemput Yana."Mulailah hidup baru. Mengenang masa lalu itu boleh. Untuk dijadikan pelajaran hidup mendatang. Bukan untuk diratapi dan disesali!" Arka menatap Yana yang masih terisak."Abang do'akan, setelah ini kamu mampu bangkit dari keterpurukan. Ingat satu hal. Ada Dila yang butuh support kamu!" lanjut Arka lagi.Yana hanya mengangguk. Dan meresapi tiap perkataan yang di ucapkan oleh Arka.Yana menyerahkan kembali ponsel Arka dan memandangi surat cerai yang diterimanya.Setelah berbincang-bincang ringan, Arka dan Fikri segera pamit pulang ke kota Jambi."Kalau butuh sesuatu, kamu telpon aja Abang!" Fikri menatap Yana yang masih terlihat berduka."Makasih, Bang!" sahut Yana singkat.Sepeninggal Arka dan Fikri. Yana lebih banyak diam. Masih terbayang Poto pernikahan Arif dan Sinta yang dilihatnya di ponsel Arka."Secepat itu kamu me
Bab 109****Sudah hampir empat bulan usia pernikahan mereka. Namun, Arif tak kunjung bekerja. Hanya mengandalkan uang hasil panen sawah yang dikirimkan dari desa.Tabungan Sinta semakin menipis karena Bu Wongso, mertuanya selalu meminta ini dan itu. Jika tidak diberikan, Bu Wongso akan mengomel sepanjang hari. Membuat sakit telinga dan kepala Sinta. Kekesalan Sinta semakin memuncak. Karena Bu Wongso tidak mau masak dan selalu memesan Goo food. Yang pada akhirnya, Sinta yang harus membayar."Jadi mantu itu memang harus begitu. Berbakti pada mertua dan suami!" celoteh Bu Wongso setiap Sinta protes membayar pesanan Goo Food.Pernah, Sinta meminta uang pada kedua kakaknya. Yang terjadi, Seno dan Sakti akan menghajar Arif karena dianggap tidak bisa membahagiakan Sinta.Karena cinta yang begitu besar terhadap Arif, Sinta tidak lagi meminta uang kepada kedua saudaranya itu. Takut kalau Seno atau Sakti akan menghajar Arif.Sinta berjalan ke dapur dan membuka tudung saji. Kosong. Tidak ada a
Bab 110Membuka lembaran baru"Maaf Bu. Mulai hari ini, tidak ada drama menantu taat pada mertua. Kalau ibu mau makan enak. Ibu harus menyuruh Mas Arif bekerja!" Sinta melenggang meninggalkan Bu Wongso.Bu Wongso terkejut mendengar perkataan Sinta."Apa maksudmu?" Bu Wongso mencekal pergelangan tangan Sinta. Sama seperti yang dilakukan oleh Arif."Aku tidak ada uang lagi, Bu. Jadi, jika ibu mau makan enak. Maka beli sendiri!" Sinta melepas cengkraman tangan Bu Wongso dengan kasar.Bu Wongso terbelalak mendengar perkataan Sinta. Tidak menyangka kalau menantu yang sangat diinginkan nya begitu tega membentak dirinya."Nggak bisa gitu, dong. Kamu harus bayar karena Arif sendiri nggak bekerja!" pungkas Bu Wongso membuat Sinta tertawa sinis."Kalau tahu anak ibu nggak kerja, makanya jangan besar gaya, dong, Bu. Aku lagi hamil. Banyak kebutuhan yang harus disiapkan!" Sinta menatap tajam Bu Wongso."Keperluan bayi udah banyak. Nggak perlu dipikirkan!" ujar Bu Wongso menatap Sinta dengan tajam
Bab 111**** Yana menatap Asri dengan lekat.Bagaimana mungkin Asri memberikan pinjaman kepada Yana sedangkan Ia sendiri tak tau kapan akan mendapat insentif . "Tapi, kan, Yana gak tahu kapan bisa mendapatkan insentif Mbak!" pungkas Yana."Nggak apa-apa. Mbak ikhlas, kok. Yang penting Mbak nggak memberikan ini secara gratis. Karena sebelum kamu, guru-guru yang lain juga Mbak perlakukan seperti itu. Jadi kalau mbak gratiskan untuk kamu, khawatirnya, guru yang lain akan cemburu," jawab Asri tersenyum.Yana benar-benar semakin kagum pada ketulusan Asri dalam melindungi para guru dalam masalah pendidikan."Makasih ya Mbak maaf karena Yana merepotkan." ujar Yana tersipu malu"Enggak, kok. Sedikit pun kamu nggak ngerepotin Mbak. Ini sudah menjadi kewajiban Mbak sebagai kepala sekolah. Yang bertanggung jawab atas para pendidiknya!" sahut Asri.Yana merasa lega. Karena akhirnya Ia akan mendapatkan ilmu tentang cara dan trik mengajar, Melalui diklat tersebut. Yana berharap, dengan Diklat das
Bab 112Ancaman Arif******Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit, akhirnya Arif sampai di tempat yang dimaksud. Arif merasa lega. Karena disana Arif melihat Dila sedang asyik bermain perosotan didampingi seorang perempuan mengenakan hijab lebar. "Dila ...!" seru Arif mengulurkan tangannya.Yana menoleh karena merasa mengenali suara tersebut. Dan sangat terkejut karena ternyata itu benar-benar Arif. Mantan suaminya."Mas Arif?" Yana terkejut karena Arif sudah berada di sana."Dila ... Apa kabar? Papa rindu!" Arif berusaha mendekati Dila. Namun, bocah itu bukannya mendekati Papanya, malah semakin mundur. Sembunyi di balik kerudung Yana."Mau ngapain mas ke sini?" Yana menatap Arif dengan tajam."Mas merindukanmu dan Dila!" sahut Arif melangkah maju mendekati Yana."Jangan maju, Mas. Aku tidak suka," ujar Yana seraya mundur beberapa langkah."Mas datang ke sini tidak untuk membuat kerusuhan. Mas hanya rindu pada Dila,' ujar Arif dengan wajah sendu."Mas masih ingat pada D
Bab 113*****"Arif menuntut hak asuh Dila?" Pak Bejo terbelalak. Begitupun dengan Intan."Kita harus bagaimana, Pak?" Intan menoleh kearah Pak Bejo yang terlihat menahan emosi."Tidak ada jalan lain. Secepatnya, kita harus menemui Arka. dan kembali minta bantuannya." ujar Pak Bejo menatap anak dan istrinya.Mereka pun sepakat untuk berangkat ke kota Jambi. Menemui Fikri dan Arka untuk meminta bantuan.******"Kamu tuh gimana, sih? masa nggak tahu Arif ke mana?" Bu Wongso mendelik ke arah Sinta yang terlihat gelisah. Karena sejak kemarin Arif tidak pulang ke rumah."Mana Sinta tahu Bu. Mas Arif bilang hanya pergi sebentar, tidak tahu setelah itu dia ke mana. Karena ponselnya tidak bisa dihubungi," ujar Sinta.Bu Wongso mengusap kasar wajahnya. Bu Wongso khawatir kalau Arif akan pergi dari rumah. Karena tidak tahan dengan tekanan demi tekanan dari Sinta.Bu Wongso paham betul karakter Arif. Anak semata wayangnya tersebut tidak suka diatur oleh siapapun. Sedangkan Sinta, selalu membatas