Bab 110Membuka lembaran baru"Maaf Bu. Mulai hari ini, tidak ada drama menantu taat pada mertua. Kalau ibu mau makan enak. Ibu harus menyuruh Mas Arif bekerja!" Sinta melenggang meninggalkan Bu Wongso.Bu Wongso terkejut mendengar perkataan Sinta."Apa maksudmu?" Bu Wongso mencekal pergelangan tangan Sinta. Sama seperti yang dilakukan oleh Arif."Aku tidak ada uang lagi, Bu. Jadi, jika ibu mau makan enak. Maka beli sendiri!" Sinta melepas cengkraman tangan Bu Wongso dengan kasar.Bu Wongso terbelalak mendengar perkataan Sinta. Tidak menyangka kalau menantu yang sangat diinginkan nya begitu tega membentak dirinya."Nggak bisa gitu, dong. Kamu harus bayar karena Arif sendiri nggak bekerja!" pungkas Bu Wongso membuat Sinta tertawa sinis."Kalau tahu anak ibu nggak kerja, makanya jangan besar gaya, dong, Bu. Aku lagi hamil. Banyak kebutuhan yang harus disiapkan!" Sinta menatap tajam Bu Wongso."Keperluan bayi udah banyak. Nggak perlu dipikirkan!" ujar Bu Wongso menatap Sinta dengan tajam
Bab 111**** Yana menatap Asri dengan lekat.Bagaimana mungkin Asri memberikan pinjaman kepada Yana sedangkan Ia sendiri tak tau kapan akan mendapat insentif . "Tapi, kan, Yana gak tahu kapan bisa mendapatkan insentif Mbak!" pungkas Yana."Nggak apa-apa. Mbak ikhlas, kok. Yang penting Mbak nggak memberikan ini secara gratis. Karena sebelum kamu, guru-guru yang lain juga Mbak perlakukan seperti itu. Jadi kalau mbak gratiskan untuk kamu, khawatirnya, guru yang lain akan cemburu," jawab Asri tersenyum.Yana benar-benar semakin kagum pada ketulusan Asri dalam melindungi para guru dalam masalah pendidikan."Makasih ya Mbak maaf karena Yana merepotkan." ujar Yana tersipu malu"Enggak, kok. Sedikit pun kamu nggak ngerepotin Mbak. Ini sudah menjadi kewajiban Mbak sebagai kepala sekolah. Yang bertanggung jawab atas para pendidiknya!" sahut Asri.Yana merasa lega. Karena akhirnya Ia akan mendapatkan ilmu tentang cara dan trik mengajar, Melalui diklat tersebut. Yana berharap, dengan Diklat das
Bab 112Ancaman Arif******Setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit, akhirnya Arif sampai di tempat yang dimaksud. Arif merasa lega. Karena disana Arif melihat Dila sedang asyik bermain perosotan didampingi seorang perempuan mengenakan hijab lebar. "Dila ...!" seru Arif mengulurkan tangannya.Yana menoleh karena merasa mengenali suara tersebut. Dan sangat terkejut karena ternyata itu benar-benar Arif. Mantan suaminya."Mas Arif?" Yana terkejut karena Arif sudah berada di sana."Dila ... Apa kabar? Papa rindu!" Arif berusaha mendekati Dila. Namun, bocah itu bukannya mendekati Papanya, malah semakin mundur. Sembunyi di balik kerudung Yana."Mau ngapain mas ke sini?" Yana menatap Arif dengan tajam."Mas merindukanmu dan Dila!" sahut Arif melangkah maju mendekati Yana."Jangan maju, Mas. Aku tidak suka," ujar Yana seraya mundur beberapa langkah."Mas datang ke sini tidak untuk membuat kerusuhan. Mas hanya rindu pada Dila,' ujar Arif dengan wajah sendu."Mas masih ingat pada D
Bab 113*****"Arif menuntut hak asuh Dila?" Pak Bejo terbelalak. Begitupun dengan Intan."Kita harus bagaimana, Pak?" Intan menoleh kearah Pak Bejo yang terlihat menahan emosi."Tidak ada jalan lain. Secepatnya, kita harus menemui Arka. dan kembali minta bantuannya." ujar Pak Bejo menatap anak dan istrinya.Mereka pun sepakat untuk berangkat ke kota Jambi. Menemui Fikri dan Arka untuk meminta bantuan.******"Kamu tuh gimana, sih? masa nggak tahu Arif ke mana?" Bu Wongso mendelik ke arah Sinta yang terlihat gelisah. Karena sejak kemarin Arif tidak pulang ke rumah."Mana Sinta tahu Bu. Mas Arif bilang hanya pergi sebentar, tidak tahu setelah itu dia ke mana. Karena ponselnya tidak bisa dihubungi," ujar Sinta.Bu Wongso mengusap kasar wajahnya. Bu Wongso khawatir kalau Arif akan pergi dari rumah. Karena tidak tahan dengan tekanan demi tekanan dari Sinta.Bu Wongso paham betul karakter Arif. Anak semata wayangnya tersebut tidak suka diatur oleh siapapun. Sedangkan Sinta, selalu membatas
Bab 114Menerima Fikri*******Pagi-pagi sekali, Bu Bejo dan Intan sudah menyiapkan sarapan pagi. Sedangkan Yana disibukkan dengan Dila yang ngotot ingin berangkat ke sekolah. Yana sudah meminta izin kepada Asri kalau hari ini dan beberapa hari ke depan tidak bisa masuk di karenakan akan berangkat ke Kota Jambi untuk menemui Arka dan Fikri.Asri memberi izin dan memberi support pada Yana agar percaya pada keadilan."Percaya sama Mbak. Kamu akan memenangkan hak asuh Dila. Arif tidak akan mendapatkan Dila saat ini," ujar Asri mengusap bahu Yana ketika perempuan berstatus janda itu menangis di hadapan Asri."Yana takut, Mbak. Yana khawatir kalau setelah berusia 17 tahun, Dila akan tinggal bersama Mas Arif. Itu berarti, Yana berpisah dengan Dila," sahut Yana ditengah isak tangisnya."Yana, 15 tahun itu bukanlah waktu yang sebentar. Kamu dan Dila sudah saling mengisi. Diusia itu, Dila sudah besar, bahkan sudah matang. Dia pasti bisa mengambil sikap. Yang terpenting, saat ini, Dila bersama
Bab 115*****Bu Indah mempersilahkan tamunya untuk makan siang bersama. Setelah itu, mereka langsung istirahat menjelang Fikri pulang dari dinas."Ada masalah apa, Nak?" Bu Indah menghampiri Yana yang sedang duduk di ruang tamu."Masalah?" Yana mengerutkan keningnya."Ibu yakin, kalian sedang dalam masalah. Ada apa?" Bu Indah menatap Yana dengan seksama.Yana yang memang merasa nyaman berada di samping Bu Indah segera berhambur memeluknya. Ia pun terisak menangis di pelukan Bu Indah. Bu Indah mengusap punggung Yana dengan lembut. Perempuan yang pernah menjalani hidup dalam kesulitan bersamanya itu adalah harapan Bu Indah untuk menjadi menantunya."Mas Arif mau ambil hak asuh Dila, Bu!" ujar Yana menyeka air matanya."Arif? Bagaimana mungkin?" Bu Indah mengerutkan keningnya."Mas Arif kemarin kemari. Dia mau ambil Dila secara baik-baik. Tapi Yana tolak. Mas Arif mengancam akan membawa ke pengadilan!" sahut Yana masih dengan Isak tangisnya."Keterlaluan! Bisa-bisanya dia mau ambil hak
Bab 116Perasaan yang berbeda*****"Sayang, Papa ganti baju dulu. Setelah itu kita jalan-jalan, ya," ujar Fikri membujuk Dila dengan lembut.Dila mengangguk dan duduk di sofa. Di samping Bu Indah. "Fikri ganti baju dulu ya, Pak! Bu!" ujar Fikri memberi hormat pada Pak Bejo dan istrinya.Pasangan suami istri itu tersenyum. Mereka melanjutkan mengobrol ringan. Bu Indah sangat bahagia dikunjungi oleh Yana dan keluarganya. Karena dalam keseharian, Bu Indah hanya berdua dengan Fikri. Untuk mengusir kebosanan, terkadang Bu Indah ikut bantu-bantu di restoran."Sering-sering ke sini ya, Pak! Bu! Saya suka rumah dalam keadaan ramai," ujar Bu Indah.Fikri telah selesai berganti pakaian. Segera bergabung bersama ibunya dan keluarga Yana.Yana mengingat satu hal, dulu, Fikri suka meminta ibunya untuk membuatkan kopi jika sedang ngobrol seperti saat ini.Yana beranjak ke dapur. Membuat kopi untuk Fikri. Senyum terus terbit dari wajahnya. Yana sering tersenyum jika mengingat senyum yang Fikri l
Bab 117********Yana terbangun ketika jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Yana merasa tenggorokannya kering.Yana segera beranjak dari tempat tidur dan melangkah menuju dapur. Yana segera mengambil gelas kosong dan berjalan menuju dispenser. Karena Yana terbiasa minum air hangat kuku.CeklekLampu dapur menyala. Yana terkejut begitu melihat Fikri yang mengenakan piyama berada di dapur.Mereka sama-sama terperanjat."Ngapain kamu di dapur?" tanya Fikri menatap Yana yang sedang memegang gelas berisi air putih."Yana haus," ujar Yana menundukkan kepalanya."Abang sendiri. Ngapain ke dapur?" tanya Yana."Abang juga haus. Biasanya Abang bawa air minum sebelum tidur ke dalam kamar. Tapi tadi malam Abang lupa," sahut Fikri.Yana meletakkan gelas ke atas meja."Ya udah, Yana kembali ke kamar dulu!" ujar Yana segera berlalu dari hadapan Fikri.Ketika Yana melewati Fikri, dengan sigap, Fikri memegang tangan Yana. Menarik perempuan itu ke dalam pelukannya. Jantung Yana bertalu-talu
Bab 158*****Burhan segera menyalami Fikri dan menceritakan kepada Yana tentang keadaan Bu Wongso yang saat ini tengah sakit dan dirawat oleh warga."Mas mohon kepadamu untuk bersedia menemui Bu Wongso. Kasihan dia," ujar Burhan dengan penuh penekanan.Yana menoleh kearah Fikri untuk meminta persetujuan. Laki-laki Itu tampak berpikir sejenak lalu membuka percakapan."Abang izinkan kamu untuk berangkat ke Pati dengan syarat Abang, ibu, dan Dila ikut menemani kamu ke sana," sahut Fikri.Yana tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Fikri. Mereka pun segera berkemas karena hari itu kebetulan Fikri sedang libur dinas selama dua hari.Sesampai di Pati Yana terkejut melihat keadaan Bu Wongso yang kurus kering tinggal tulang. Perempuan yang dulu bermata tajam dan selalu menyakiti hatinya saat ini menatapnya dengan sendu dan penuh dengan uraian air mata.Yana meraih tangan Bu Wongso lalu menciumnya dengan takzim. Tidak ada kebencian di hati Yana terhadap mantan mertuanya itu. Yana masih
Bab 157*****Bu Lidya pun menyodorkan video yang berada di dalam ponsel Yana ke hadapan Bu Linda. Mata Bu Linda membulat sempurna melihat video perbuatannya berada di dalam ponsel milik Yana."Maaf Bu Linda, saya tidak bisa membiarkan Anda menghancurkan reputasi saya. Jadi saya harus melakukan ini." Yana mengambil ponsel yang berada di hadapan Bu Linda dan segera memasukkannya ke dalam saku blazer nya.Akhirnya dengan penuh malu Bu Linda membereskan semua perangkat pengajarnya dan meninggalkan sekolah elit tersebut.Para majelis Guru yang melihat kejadian itu terheran-heran karena seharusnya Yana yang dipecat bukan Bu Indah.Bu Lidya selaku kepala sekolah segera menjelaskan kepada majelis Guru tentang kebenaran dari peristiwa pencurian tersebut."Wah Bu Yana hebat, ya, punya kamera tersembunyi," puji Bu Maya kepada Yana seluruh.Majelis Guru pun sependapat kalau Yana adalah perempuan yang cerdas.Yana mengulum senyum. Semua berkat bantuan Cinta karena Cinta yang telah meminjamkan kam
Bab 156Kebahagiaan yang sempurna*******Pagi itu sekolah dihebohkan dengan siswa yang kehilangan sebuah jam tangan mahal. Jam tangan pintar seharga lima juta itu lenyap di dalam tas siswa yang bernama Nico. Bocah berumur enam tahun tersebut meletakkan jam tangan pintarnya di dalam tas ketika dia hendak mencuci tangan di wastafel. Wali kelas yang mengajar saat itu adalah Yana dan Bu Linda."Saya yakin banget, Bu, pasti Yana yang telah mengambil jam tangan milik Nico. Secara, kan, Bu Yana baru kali ini melihat jam tangan pintar yang keren seperti milik Nico." Bu Linda menemui kepala Sekolah di ruangannyaBu Lidya selaku kepala sekolah terdiam sesaat. Perempuan berhijab lebar tersebut tidak yakin kalau Yana yang mengambil jam tangan pintar milik Nico. Yana memang berasal dari desa. Namun saat ini Yana berstatus istri seorang dokter terkenal. Tidak mungkin jika dia mengambil jam tangan pintar milik Nico.Linda pun menyarankan kepada kepala sekolah untuk menggeledah tas Yana agar mendapa
Bab 155*****Yana yang melihat Fikri tetap bergeming, memutuskan untuk keluar dari kamar"Loh, Kamu kemana, Yan?" tanya Fikri melihat Yana membawa sebuah bantal keluar kamar."Kalau abang mau Reka juga tidur di sini. Lebih baik Yana keluar dari kamar dan tidur di kamar Dila. Terserah Abang mau ngapain. Mau balikan sama Reka juga nggak apa-apa," sahut Yana dengan wajah sinis."Yan, Tunggu dulu." Fikri menahan pergerakan Yana lalu menoleh kearah Reka yang sedang menenangkan bayinya."Sekarang kamu lihat, kan. Farhan itu tidak merasa nyaman berada di dekatku. Lalu untuk apa kalian tinggal disini? Bukankah lebih baik kalian pergi dari rumah ini karena tidak ada untungnya keberadaan kalian di rumah ini," ujar Fikri menoleh mereka dengan tajam.Reka yang mendengar perkataan Fikri tercekat. Dia tidak menyangka kalau Fikri mengambil kesimpulan seperti itu."Farhan tidak nyaman tidur dengan abang di sini karena kehadiran Yana, Bang. Kalau abang tidurnya sama Aku, Farhan pasti merasa nyaman,"
Bab 154Reka diusir dari rumah Fikri*******Matahari bersinar dengan cerah, sisa-sisa embun masih terasa menyejukkan kulit. Yana membuka tirai jendela lalu menatap jalan raya di bawah sana. Beberapa kendaraan sudah berlalu lalang melintasi perumahan elit tersebut. Ada juga beberapa orang lansia yang sedang berjalan-jalan pagi untuk menjaga kesehatannya.Yana menarik nafas berat, dia belum bisa melupakan perlakuan Bu Wongso kepada dirinya. Perempuan yang dulu sangat dihormatinya itu tidak pernah melupakan Yana sebagai orang yang paling dibencinya. Yana pikir setelah kematian Arif, dan pernikahannya dengan Fikri, Bu Wongso tidak akan lagi mengganggu kehidupannya, tapi ternyata Yana salah. Bu Wongso masih terus meneror bahkan mendatangi kediaman Fikri untuk menuntut harta yang sudah diberikan Arif kepada Dila.Fikri berdiri di belakang Yana, menatap sosok yang sudah beberapa bulan menjadi istrinya. Laki-laki bertubuh tegap itu seakan menyadari kalau istrinya sedang dilema. Fikri membiar
Bab 153*******"Bu Wongso disiksa oleh Bik Yem dan Bik Yem mengambil semua barang Bu Wongso?" ujar Burhan ketika warga tersebut menjemputnya."Benar Mas Burhan, kondisi Bu Wongso saat ini sangat memprihatinkan. Dia kami bawa ke rumah sakit. Bu Wongso meminta kami untuk menjemput Mas Burhan. Kami tidak tahu tujuannya apa tapi sepertinya sangat penting." warga tersebut menyahut.Tanpa banyak bicara, Burhan segera bersiap untuk menemui Bu Wongso di rumah sakit.Mendiang Arif adalah sahabat terbaiknya. Burhan tidak ingin Bu Wongso menderita setelah kepergian Arif karena biar bagaimanapun, Bu Wongso pernah begitu baik kepada dirinya semasa Burhan dan Arif bersahabat dengan baik.Sesampai di rumah sakit, Burhan menangis melihat keadaan Bu Wongso.Perempuan yang dahulu berbadan gemuk itu saat ini kurus kering tinggal tulang. Kondisinya sangat memprihatinkan."Maafkan Burhan, Bu. Maaf karena Burhan telah salah dalam mempercayai orang untuk merawat ibu," ujar Burhan mencium tangan Bu Wongso.
Bab 152**********Malam itu tetangga Bu Wongso yang bernama Bu Nani melirik ke arah rumah Bu Wongso. Rumah itu dalam keadaan gelap dari luar bahkan sampai ke dalam. Bu Nani mengernyitkan keningnya karena setahu dia Bu Wongso tidak bisa kemana-mana."Pak, kenapa ya, rumah Bu Wongso gelap gulita?" tanya Bu Nani kepada suaminya.Suami Bu Nani meletakkan koran yang dibacanya, lalu melirik ke arah rumah Bu Wongso yang memang gelap gulita. Sepasang suami itu saling pandang."Ibu udah dua minggu nggak besuk Bu Wongso. Apa malam ini kita lihat ke sana, ya, pak? Mungkin listriknya mati," ujar Bu Nani kepada suaminya."Tapi, kan, Bu Wongso dirawat sama Bik Yem, dan keuangan Bu Wongso juga dipegang oleh Bik Yem? Masa bisa listrik enggak dibayar," sahut suami Bu Nani dengan heran.Akhirnya sepasang suami istri itu memutuskan untuk mendatangi rumah Bu Wongso.Mereka terkejut ketika berada di depan pintu rumah Bu Wongso karena pintu tersebut dikunci dari luar dan kuncinya masih berada di pintu ter
Bab 151Karma untuk Bu Wongso***Bu Wongso membuka matanya perlahan. Kepalanya terasa teramat sangat sakit, begitupun dengan seluruh anggota tubuhnya. Bibirnya kelu. Tatapan matanya kosong. Bu Wongso menoleh ke samping, istri Burhan tampak sedang terkantuk-kantuk duduk di samping brangkar Bu Wongso.Dia memanggil istri Burhan, tapi suaranya tidak tembus. Bu Wongso berkali-kali mencoba menggerakkan lidahnya. Namun tetap kelu. Begitupun dengan tangan dan kakinya, begitu kaku sehingga tidak bisa digerakkan.Bu Wongso terus memanggil istri Burhan sehingga menimbulkan suara gagu yang tidak menentu. Istri Burhan membuka matanya dan tersenyum kearah Bu Wongso. Perempuan berwajah sendu itu memegang tangan Bu Wongso dan menanyakan bagaimana keadaan Bu Wongso. Namun, perempuan tua itu hanya menjawab dengan suara gagu, dan tidak jelas apa yang dikatakannya.Burhan masuk ke dalam ruangan dan segera menghampiri Bu Wongso."Ibu sudah sadar?" tanya Burhan bahagia.Bu Wongso menjawab, tapi suaranya
Bab 150*****Bu Wongso melanjutkan perjalanannya pulang ke Pati. Sedangkan Reka kembali ke rumah Fikri dengan senyum seringainya. Reka merasa puas karena hari ini melihat Yana terluka.Sesampai di rumah Fikri, Reka melihat sebuah pemandangan yang membuat dadanya terasa panas. Di sofa ruang tamu, terlihat Fikri sedang membelai wajah Yana yang memerah karena tamparan Bu Wongso."Enggak nyangka, ya, ternyata perempuan kampung bisa juga berotak licik," ujar Reka seraya duduk di seberang sofa Yana dan Fikri."Apa maksud kamu?" tanya Fikri dengan wajah merah padam."Aku hanya nggak nyangka aja, ternyata Yana itu munafik. Diam-diam dia menyimpan harta warisan dari mantan suaminya seolah-olah bang Fikri tidak mampu membiayai hidupnya." Reka bersidekap di depan dada.Fikri menoleh ke arah Reka. "Kalau kamu masih ingin tinggal di sini, tutup mulutmu dengan rapat, atau aku akan menendangmu dan memisahkanmu dari Farhan," sahut Fikri geram.Reka terkejut mendengar perkataan Fikri. Perempuan itu t