Mas Aqsal masih terpejam saat suara seraknya terucap. Ketika ingin meloloskan diri, aku gagal. Kungkungannya terasa kian kuat.“Lepas! Aku bukan Dinda,” desisku. Bukannya melonggar, kunciannya justru mengetat.Aku mencoba mengendalikan rasa takut dan trauma. Jika berontak malah membuat pria ini makin menjadi, akhirnya tubuh ini kubuat sesantai mungkin.Tenang, Niha, tenang. Aku harus bisa menguasai keadaan.Mas Aqsal memiringkan tubuh, otomatis tubuhku ikut miring.Mumpung Mas Aqsal sedang mabuk, aku ingin mengorek lebih dalam perasaannya. Mungkin dia juga tidak sadar kalau yang dipeluknya aku, bukan Dinda atau wanita lain yang mungkin biasa dibelinya di luaran sana. Ini kesempatan baik.Beberapa hal belakangan yang dilakukan kepadaku dan yang terlihat saat bermesraan dengan Dinda, mematahkan asumsiku kalau pria ini penyuka sesama. Mas Aqsal sepertinya pria normal yang punya nafsu dengan lawan jenis. Hanya saja, dia terlalu dingin dan kasar. Mungkin, tetapi aku belum tahu pasti.Setel
Keinginan berangkat pagi aku urungkan. Akhirnya aku menuju kamar Mama. Rasa sedih, kecewa, marah, hilang jika sudah melihat wajah tak berdaya Mama Elena.Dulu, saat Mama masih sehat, sikap Mas Aqsal hanya sebatas dingin, tidak kasar seperti ini. Walaupun tak ada kehangatan dalam pernikahan kami, setidaknya dia bersikap manis kepadaku saat di depan mamanya. Kini, semua telah berubah. Tidak berubah menjadi lebih baik, tetapi justru makin buruk.“Mama makan dulu, ya,” ucapku, sambil menyendok susu ke mulutnya. Beliau menurut.Walaupun tidak sepenuhnya aku yang merawat beliau, tetapi selalu aku sempatkan berinteraksi dengannya. Entah itu menyuapi makan, kadang memandikannya, atau bahkan mengganti popoknya.“Mama harus sembuh, nanti kita sama-sama ke baitullah. Mau?” tanyaku. Beliau terlihat mengangguk-angguk, lalu bulir air menetes dari matanya. Racauan tak jelas juga keluar dari mulutnya. Mungkin beliau bahagia, atau terharu. Entahlah.Aku dan Mama memang pernah punya keinginan umrah ber
Aku kembali menghubungi Sasi untuk memastikan apakah Mama masih ada di rumah atau sudah dibawa ke rumah sakit. Akan tetapi, panggilan dan pesan tidak ada yang direspons. Mungkin wanita itu sedang sibuk mengurus Mama. Aku pun memutuskan untuk pulang dulu saja.“Halo, Mbak Fatim. Titip konfeksi. Mama kolaps, saya mau ngurus mama dulu,” ucapku kepada Fatim melalui telepon.Sepeda motor kulajukan dengan kecepatan penuh. Sepanjang perjalanan, aku terus berdoa semoga Mama tetap baik-baik saja.Begitu tiba di rumah, ternyata Mama sudah tidak ada.“Mama dibawa ke rumah sakit mana, Mbak Sa?”“Dibawa ke rumah sakit kayak biasanya, Mbak. Mbak Niha langsung ke sana saja. Sakitnya Nyonya ini kayak mendadak gitu,” jawab Mbak Sa.Aku pun langsung menuju ke rumah sakit di mana Mama biasa ditangani. Di jalan, air mataku terus berderai. Sungguh, aku belum siap jika harus kehilangan Mama.Mama memang sering kejang, tetapi biasanya Sasi bisa menangani dengan baik. Namun, jika parah, perawat itu tidak ber
Tepat ketika ucapanku berakhir, tenaga medis membawa Mama keluar dari ruang inap.“Urusanku sama kalian berdua belum selesai.” Mas Aqsal menunjukku dan Dinda bergantian, lalu mengekor mengikuti ke mana Mama dibawa. Dinda ikut serta mengejar pria itu.Kepalaku terasa pusing, tubuhku tidak bertenaga, mata berkunang-kunang. Kududukkan tubuh di kursi tunggu. Menghadapi mereka ternyata menguras banyak energi.Dinda, jangan pernah berpikir aku ini wanita lemah dan bo*oh!Aku mengoperasikan ponsel Mama yang baru beberapa hari ini tersambung dengan CCTV yang terpasang di beberapa sudut rumah. Ini juga bertujuan agar aku dengan mudah mengumpulkan bukti kekerasan Mas Aqsal jika sewaktu-waktu menggugat cerai.Aku mengirim rekaman ke Mas Aqsal di mana Dinda menyuapi Mama dengan kasar, lalu berbisik sesuatu entah apa. Sasi terlihat masuk, lalu mengambil alih susu dan menyuapi Mama dengan telaten. Setelah itu, Mama istirahat. Tidak lama berselang, Dinda kembali membawa makanan sejenis makanan lunak
Dengan mengumpulkan kembali kekhusyukan yang berserak, aku memilih melanjutkan salat. Toh, Tuhanku lebih utama dari segalanya. Urusan duniawi, pikir nanti.Setelah salam, aku tidak langsung berdiri dan mengejar Dinda. Namun, aku bersujud. Kutumpahkan segala kegamanganku kepada-Nya.“Allah, tolong hamba. Tetaplah selalu menyertai langkah hamba.”Setelah zikir dan berdoa sebentar, aku pun melepas mukena. Hatiku sudah sedikit tenteram karena ingat masih memiliki rekaman itu di kartu memori yang terpasang di CCTV. Setelah salat, aku akan langsung pulang untuk mengamankannya. Semoga tidak keduluan Dinda.“Iblis bertemu iblis. Memang cocok kalian berdua,” gumamku.Dari musala, aku mencari Dinda untuk meminta ponselku kembali, tetapi wanita itu tidak ada. Aku lantas menemui Sasi di depan poli syaraf untuk memberinya uang agar membeli makan sendiri. Pasti Mas Aqsal tidak akan kepikiran memberinya makan.“Titip mama,” pesanku kepada Sasi sebelum benar-benar pergi.Tiba di rumah, aku langsung b
“Kalau kamu butuh pendampingan hukum mau melaporkan suamimu ke polisi atau menggugat cerai dia di pengadilan agama, Om siap bantu,” ujar papanya Asti suatu malam.Entah apa yang diceritakan Asti kepada orang tuanya hingga mereka sepertinya tahu banyak tentangku.“Aku sangat ingin, Om. Tapi aku nggak punya bukti kuat kekerasannya dan lagi pula, surat nikahku ditahan.”“Itu bisa dibicarakan sama pengacara nanti. Besok temuilah pengacara kenalan Om. Kamu bisa konsultasi.”“Om, terima kasih. Maaf kalau aku merepotkan dan menjadi benalu di rumah ini. Aku janji secepatnya nyari tempat baru.”“Kamu jangan bicara seperti itu. Saya dan orang tuamu sudah kenal baik. Ke Jakarta sini juga, Om yang ngajak. Kamu tanggung jawab Om. Di sini saja sama Asti. Dia nggak ada temannya juga di rumah.”“Iya, Ha. Kalau pernikahanmu sudah tidak sehat, memang harus dilepaskan. Pikirkan kesehatan mentalmu.” Mamanya Asti menimpali.“Tuh, mama papaku aja udah ngasih alarm kalau pernikahanmu itu toksik. Jadi, jalan
“Mas!” Aku berteriak. Pandanganku dan Mas Aqsal bertemu. Entah mengapa, aku takut jika pria ini yang terluka, mengingat ucapan Sasi yang pernah kudengar. Namun, sesuatu yang aneh justru kurasakan pada tubuhku.Basah dan sakit. Rasa sakitnya makin lama makin menjadi.“Aah ....” Aku terduduk. Cekalan tangan Mas Aqsal terlepas. Kupegangi dada kanan, sumber rasa sakitnya. Kuraba di sana, basah. Telapak tangan kulihat, berwarna merah. Itu berarti, aku yang terluka.“Niha!” Suara bersahut-sahutan memanggil namaku. Mas Aqsal jongkok di sampingku.Dor!Lagi, suara tembakan terdengar.“Mas Aqsal!” Dinda berteriak heboh. Dia menubruk tubuh Mas Aqsal dari belakang.Masih bisa kulihat, seorang pria menyeret paksa Dinda.“Mas Aqsal, tolong aku!” teriak Dinda yang terus dipaksa ikut pria asing tersebut.Mataku terus mengawasi Mas Aqsal. Pria itu sepertinya bingung. Bergantian dia melihat ke arahku dan Dinda.Mas Aqsal berdiri, tetapi aku mencekal lengannya. Aku masih sempat mengambil memori card da
“Suara pria? Suaraku mungkin,” jawab Nizam. “Enggak. Tadi Mbak kayak denger kamu bertengkar atau bergumam dengan orang laki-laki.” Nizam diam. “Mbak salah denger mungkin. Atau mungkin Mbak saat dalam keadaan bawah sadar, jadi bawaannya gitu.” Aku mengangguk-angguk. “Mungkin.” Akan tetapi, aku mendengar meski tidak terlalu jelas. Atau hanya perasaanku saja? “Zam, Mbak haus.” “Udah bisa buang gas? Kata Dokter tadi, Mbak harus membatasi minum dan makan sebelum bisa buang gas.” Aku mengangguk. “Udah, barusan.” Dengan sigap, Nizam mengambil botol air mineral. Dia membantuku minum. “Kamu nggak sekolah?” “Izin dulu sampai Mbak diperbolehkan pulang.” “Tapi kamu sudah kelas tiga, jangan kebanyakan absen. Nanti kamu ketinggalan banyak pelajaran.” “Pelajaran bisa dikejar, Mbak. Tapi kalau nyawa atau keselamatan Mbak yang kayak kemarin, aku nggak bisa mengejarnya kalau sampai terjadi hal yang tidak kuinginkan. Untung Kak Asti mengabariku langsung setelah Mbak tertembak. Saat itu juga,
“Mas, dingin,” keluh Niha sambil menyatukan kedua tangan di depan dada. Aqsal terkekeh. “Kamu terlalu keras kepala, Sayang. Baru pulih, sudah nyari penyakit lagi. Sini, aku peluk.” Pria itu duduk di belakang istrinya, memeluk erat dari belakang. Niha leluasa menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Atau meletakkan di lemgan suaminya. Baginya, tidak ada tempat bersandar terbaik selain di sana. Aqsal tiada bosan menciumi puncak kepala istrinya yang terbungkus kupluk jaket. Keduanya sedang menunggu sunrise di gunung Bromo. Tepatnya di Love Hill atau spot sunrise point pananjakan 3. Niha kukuh merengek mengajak ke sana padahal baru saja pulih dari sakit. Terpaksa Aqsal menuruti meski dengan berat hati. Mereka tidak jadi dinikahkan ulang oleh warga sebab Niha dan Aqsal berhasil menjelaskan jika mereka memang pasangan suami istri. Keduanya memilih pergi dari lingkungan itu dan mencari tempat tinggal baru. Aqsal membeli sebuah rumah di kota Batu, berdekatan dengan kota sebelumny
Niha mendorong dada Arif agar menjauh dari hadapannya. Wanita itu menghapus air matanya kasar, lalu mengembuskan napas panjang. Ia menatap Arif sungguh-sungguh. “Mas, pernikahan itu bukan permainan. Pun identitas. Aku nggak tahu apa hukumnya menikah lagi denganmu, dengan identitasmu yang berbeda padahal kita masih suami istri. Lalu misal jika kita menikah lagi, siapa walinya? Sementara Nizam jauh di Mesir. Kemudian tentang identitas. Jangan sembarangan menggunakan identitas orang. Meskipun dosa ditanggung masing-masing kepala, tapi aku tetap takut jika dosa dan kesalahan yang kamu perbuat, Arif di alam sana ikut menanggungnya. Ya, meskipun itu kedengarannya tidak mungkin, setidaknya untuk berjaga-jaga. Cukup jadilah Aqsal, bukan orang lain. Setidaknya hormati almarhum Arif. Biarkan dia di sana hidup damai dan tenang, jangan mengusik dengan menggunakan identitasnya,” ucap Niha panjang lebar. Arif terdiam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, ia nyaman dengan identitas itu kar
“Omong kosong apa lagi ini hah!” teriak Niha. “Sayang, kumohon percayalah. Aku–“ “Tolo–“ Keduanya saling memotong ucapan sebelum akhirnya Arif membekap mulut Niha yang hendak berteriak minta tolong. “Sumpah demi Allah kalau aku ini Aqsal, suamimu. Aku bisa menjelaskan. Aku akan melepaskan bekapan, tapi tolong jangan teriak. Oke?” Suara Arif berubah. Suara itu membuat degup jantung Niha berdetak menggila. Suara Arif yang biasanya berat, berubah menjadi suara yang lama dirindukan. Suara itu suara Aqsal. Wanita itu membeku. Merasa Niha tidak bereaksi, Arif melepaskan telapak tangannya di mulut Niha. “Arif, jangan bercanda! Ini nggak lucu!” bentak Niha. “Aku nggak bohong, Sayang. Aku sudah menyebut sumpah atas nama Allah. Bukankah sumpah atas nama suci itu sumpah tertinggi?" Niha menatung. “Rif, aku sakit, jadi jangan mempermainkanku.” Niha menunduk, lelah berbicara dengan nada tinggi pada pria itu. “Sayang, lihat mataku. Apa kamu tidak mengenali mata suamimu? Apa kamu sudah lup
“Arif! Selamanya aku nggak akan pernah mau nikah sama kamu!” teriak Niha.“Sudah, tenang dulu.” Ketua RT menengahi.“Saya siap jika harus diarak keliling kota, Pak. Atau jika didenda berapa pun akan saya bayar. Saya juga janji akan pergi selamanya dari kota ini. Asal saya tidak dinikahkan dengan pria menjijikkan itu. Saya masih punya suami,” ujar Niha dengan napas tersengal-sengal sambil menatap Arif.“Arif, sebenarnya di sini kuncinya hanya kamu. Kamu tinggal jujur apa yang terjadi semalam. Dan saya yakin tidak terjadi apa-apa. Niha dalam kondisi sakit dan saya rasa kamu tidak tega melakukan hal buruk padanya. Kecuali kalau kamu pria bej*t,” ujar Gita.Arif memilih bungkam. Baginya, entah mengapa disuruh menikahi Niha terdengar lebih seru daripada jujur tentang kejadian semalam.“Andai semua orang di sini berpikiran sama denganmu, Mbak, pasti tidak akan ada fitnah dan semua tidak serumit ini,” sahut Arif akhirnya.“Kamu yang membuat semuanya rumit! Kalau kamu ingin menjebakku, carany
Tubuh Niha panas jika disentuh, tetapi ia merasa kedinginan. Arif memeluknya erat dari belakang sambil terus menahan diri agar tidak melewati batas. Apalagi aroma rambut Niha begitu menggelitik hidung, membuatnya harus ekstra menjinakkan gejolak khas orang dewasa dalam dirinya. Niha yang biasa tampil dengan penutup kepala, kini hanya mengenakan baju dan celana pendek. Tidak dipungkiri, Arif tergoda dengan kecantikannya. Pria itu terus mengendalikan sesuatu yang tiba-tiba mengeras di salah satu tubuhnya. “Jangan pergi, Mas.” “Aku rindu.” “Mas Aqsal.” Niha terus mengigau, tubuhnya masih menggigil, giginya bergemeletuk. Tangannya memegangi tangan Arif di perutnya, seolah-olah tidak ingin pria itu pergi. Arif merutuki diri sendiri. Yang dilakukan ini tidak sepatutnya dilakukan, ia tahu itu. Namun, hawa nafsu berbisik bahwa ini bukan hal yang salah. Toh, semua untuk menolong Niha dan tidak sampai menodai. Mana mungkin juga menodai seorang wanita yang kondisinya memprihatinkan seperti
“B-bu Endang!" Niha tergagap sambil berusaha bangkit dari atas tubuh Arif.Endang, pemilik rumah bergaya minimalis yang ditempati Niha mendekat dan menatap dua manusia di hadapannya nyalang.“B-bu, ta-tadi saya nggak sengaja jatuh ka-karena tadi.” Niha berdiri, lalu menggeleng, mendadak lidahnya kelu.“Rif! Jelaskan ke Bu Endang!” teriak Niha. Sementara Arif masih menepuk-nepuk pantatnya yang sakit sambil mendesis.“Mata saya masih normal melihat mana yang sengaja dan tidak. Arif tadi memelukmu! Apa kalian berzina?” bentak Endang.“Eng-enggak, Bu. Ta-tadi kata Arif–““Bu Endang nyium bau gas nggak?” potong Arif.Endang mengendus-endus ruangan.“Hidung Niha mati rasa, Bu. Dia nggak bisa nyium segala bau. Gas bocor pun dia nggak tahu. Daripada nanti rumah Ibu terbakar, saya ingin memperingatkan dia agar tidak menyalakan kompor. Saya tarik tubuhnya, dan terjadilah yang tadi. Telat sedetik, beneran ada ledakan tadi,” jelas Arif panjang lebar.Niha memicing. Arif sedetail itu tahu tentang
“Niha, hati-hati kalau lari!” Suara familier itu terdengar saat tubuh Niha menubruk dada seseorang. Kalau saja pria itu tidak memeluknya, Niha pasti akan jatuh.Sambil tersenyum tidak enak, Niha pun melepaskan diri.“Dokter Dico. Ma-maaf.”“Ya, nggak apa-apa. Untung aku yang kamu tubruk. Kalau orang lain gimana? Dan kenapa lari kayak ketakutan gini?”“A-ada pria menyeramkan, Dok. Dia tetangga baru di kontrakanku. Mungkin dia sengaja mengikutiku. Aku takut.”“Menyeramkan?”“Ho'oh. Oh, ya, kenapa bisa kebetulan Dokter ada di sini?”Dico terkekeh. “Aku tadi baca status W* kamu, katanya OTW ke sini. Ya udah, aku susul ke sini sengaja nggak ngasih tahu. Buat tantangan juga bisa menemukanmu apa enggak di pantai seluas ini. Eh, ternyata bisa.”“Kok cepet? Dari Jakarta?”“Enggak. Aku tiba di kota ini semalam. Jum’at sore kemarin setelah dinas, aku berangkat biar bisa di sini agak lama. Nginep di hotel, lalu pagi ini di sini, kita bertemu ini. Bukankah aku sudah bilang akan menyusul?”Niha ter
“Dok.” Niha memanggil saat Dico mengabaikan pertanyaannya. Justru ada suara seperti gumaman di seberang sana.“Eh, iya. Sebentar ya, lagi ngomong sama seseorang.” Dico menimpali. Suara yang didengar Niha sebuah suara tidak jelas.“Halo, Niha,” ujar Dico setelah selesai.“Ada kabar apa?”“Nggak jadi. Kemarin kamu bilang nggak tertarik sama si mantan musuh. Jadi, nggak usah aja.” Dico terkekeh. “Oh, ya, kamu lagi ada di mana ini?”Mantan musuh? Niha berpikir mungkin itu kabar tentang Asti. Ia tidak peduli.“Kasih tahu nggak ya?” Niha tertawa.Di seberang, Dico ikut tertawa. “Kali aja aku minat ingin ke sana juga. Pengen nyusul.”“Dokter, kok, hobi menguntit. Aku lagi di Malang, Dok. Dan langsung jatuh cinta sama tempat ini. Di sini sejuk, cenderung dingin. Hal yang nggak didapat di Jakarta.”“Ya sudah. Jangan lupa oleh-olehnya kalau balik.”“Siap, Bos.”“Niha.”“Ya.”“Ah, nggak jadi.”“Dasar. Ya udah, aku tutup teleponnya. Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam. Enjoy your holiday, Niha.”
Akibat perbuatannya, Robin dijerat pasal berlapis mulai dari kepemilikan senjata api ilegal, rencana pembunuhan pada Niha dan Aqsal, juga terkuaknya kasus terdahulu yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Ia dipenjara sepuluh tahun dan denda yang tidaklah sedikit.Sementara Asti, Niha tidak terlalu paham karena benar-benar memutus sambungan dengan wanita itu. Terakhir yang diketahui, Asti dijodohkan oleh orang tuanya.Setahun belakangan ini, Niha tinggal di sebuah apartemen elite yang dibeli dari uang peninggalan sang suami. Rumah pribadinya dibiarkan kosong. Hanya saja, tetap ada orang yang ditugaskan membersihkan. Ia masih ada di Jakarta, menunggu jika sewaktu-waktu Aqsal datang. Aqsal sendiri seperti ditelan bumi. Pihak kepolisian, detektif, mencari lewat media sosial, bahkan dukun dikerahkan untuk mencari. Namun, hasilnya nihil.“Aku nggak jadi ke Mesir aja, Mbak. Nemeni Mbak di sini,” ujar Nizam dulu sesaat setelah lulus.“Jangan karena masalah Mbak, jadi penghalang cita-citamu. Mb