Dengan mengumpulkan kembali kekhusyukan yang berserak, aku memilih melanjutkan salat. Toh, Tuhanku lebih utama dari segalanya. Urusan duniawi, pikir nanti.Setelah salam, aku tidak langsung berdiri dan mengejar Dinda. Namun, aku bersujud. Kutumpahkan segala kegamanganku kepada-Nya.“Allah, tolong hamba. Tetaplah selalu menyertai langkah hamba.”Setelah zikir dan berdoa sebentar, aku pun melepas mukena. Hatiku sudah sedikit tenteram karena ingat masih memiliki rekaman itu di kartu memori yang terpasang di CCTV. Setelah salat, aku akan langsung pulang untuk mengamankannya. Semoga tidak keduluan Dinda.“Iblis bertemu iblis. Memang cocok kalian berdua,” gumamku.Dari musala, aku mencari Dinda untuk meminta ponselku kembali, tetapi wanita itu tidak ada. Aku lantas menemui Sasi di depan poli syaraf untuk memberinya uang agar membeli makan sendiri. Pasti Mas Aqsal tidak akan kepikiran memberinya makan.“Titip mama,” pesanku kepada Sasi sebelum benar-benar pergi.Tiba di rumah, aku langsung b
“Kalau kamu butuh pendampingan hukum mau melaporkan suamimu ke polisi atau menggugat cerai dia di pengadilan agama, Om siap bantu,” ujar papanya Asti suatu malam.Entah apa yang diceritakan Asti kepada orang tuanya hingga mereka sepertinya tahu banyak tentangku.“Aku sangat ingin, Om. Tapi aku nggak punya bukti kuat kekerasannya dan lagi pula, surat nikahku ditahan.”“Itu bisa dibicarakan sama pengacara nanti. Besok temuilah pengacara kenalan Om. Kamu bisa konsultasi.”“Om, terima kasih. Maaf kalau aku merepotkan dan menjadi benalu di rumah ini. Aku janji secepatnya nyari tempat baru.”“Kamu jangan bicara seperti itu. Saya dan orang tuamu sudah kenal baik. Ke Jakarta sini juga, Om yang ngajak. Kamu tanggung jawab Om. Di sini saja sama Asti. Dia nggak ada temannya juga di rumah.”“Iya, Ha. Kalau pernikahanmu sudah tidak sehat, memang harus dilepaskan. Pikirkan kesehatan mentalmu.” Mamanya Asti menimpali.“Tuh, mama papaku aja udah ngasih alarm kalau pernikahanmu itu toksik. Jadi, jalan
“Mas!” Aku berteriak. Pandanganku dan Mas Aqsal bertemu. Entah mengapa, aku takut jika pria ini yang terluka, mengingat ucapan Sasi yang pernah kudengar. Namun, sesuatu yang aneh justru kurasakan pada tubuhku.Basah dan sakit. Rasa sakitnya makin lama makin menjadi.“Aah ....” Aku terduduk. Cekalan tangan Mas Aqsal terlepas. Kupegangi dada kanan, sumber rasa sakitnya. Kuraba di sana, basah. Telapak tangan kulihat, berwarna merah. Itu berarti, aku yang terluka.“Niha!” Suara bersahut-sahutan memanggil namaku. Mas Aqsal jongkok di sampingku.Dor!Lagi, suara tembakan terdengar.“Mas Aqsal!” Dinda berteriak heboh. Dia menubruk tubuh Mas Aqsal dari belakang.Masih bisa kulihat, seorang pria menyeret paksa Dinda.“Mas Aqsal, tolong aku!” teriak Dinda yang terus dipaksa ikut pria asing tersebut.Mataku terus mengawasi Mas Aqsal. Pria itu sepertinya bingung. Bergantian dia melihat ke arahku dan Dinda.Mas Aqsal berdiri, tetapi aku mencekal lengannya. Aku masih sempat mengambil memori card da
“Suara pria? Suaraku mungkin,” jawab Nizam. “Enggak. Tadi Mbak kayak denger kamu bertengkar atau bergumam dengan orang laki-laki.” Nizam diam. “Mbak salah denger mungkin. Atau mungkin Mbak saat dalam keadaan bawah sadar, jadi bawaannya gitu.” Aku mengangguk-angguk. “Mungkin.” Akan tetapi, aku mendengar meski tidak terlalu jelas. Atau hanya perasaanku saja? “Zam, Mbak haus.” “Udah bisa buang gas? Kata Dokter tadi, Mbak harus membatasi minum dan makan sebelum bisa buang gas.” Aku mengangguk. “Udah, barusan.” Dengan sigap, Nizam mengambil botol air mineral. Dia membantuku minum. “Kamu nggak sekolah?” “Izin dulu sampai Mbak diperbolehkan pulang.” “Tapi kamu sudah kelas tiga, jangan kebanyakan absen. Nanti kamu ketinggalan banyak pelajaran.” “Pelajaran bisa dikejar, Mbak. Tapi kalau nyawa atau keselamatan Mbak yang kayak kemarin, aku nggak bisa mengejarnya kalau sampai terjadi hal yang tidak kuinginkan. Untung Kak Asti mengabariku langsung setelah Mbak tertembak. Saat itu juga,
Nizam terdiam cukup lama, hingga akhirnya berucap, “Ya. Karena dia, Mbak celaka. Karena dia, aku kehilangan sosok Mbak yang dulu ceria dan sekarang jadi kurus menderita. Mbak, cukup! Mulai sekarang, kita akhiri hubungan kita sama dia.” “Baiklah. Tapi Mbak ingin pisah secara baik-baik. Jangan membuat ulah sama dia, ya, Zam. Mbak mohon. Karena dia itu berbahaya. Mbak takut kamu malah celaka. Kalau dia datang, biarkan saja. Toh kita akan pergi dari kota ini.” Nizam mengangguk. Mau tidak mau, ucapan Asti membuatku takut. Belum lagi Mas Aqsal yang sering mengancam mencelakai adikku itu. Entah bagaimana Mas Aqsal di luar sana atau bagaimana masa lalunya, yang pasti semua itu harus dibuat kewaspadaan. Penyakit kelamin? Apa Mas Aqsal menderita penyakit berbahaya itu? Semua memang belum pasti kebenarannya sebelum keluar pernyataan resmi dari yang bersangkutan. Jika berita masih simpang siur, itu tidak bisa dipercaya. Lalu aku yang pernah disentuhnya bagaimana? Apa ikut tertular? Ah, semoga
Aku bergeming saat pria yang masih menggunakan jas itu melotot dan berjalan ke arahku. Tidak ada keinginan untuk membela diri atau menjelaskan kalau yang dilakukan Arjuna tadi hanya pertolongan, bukan hal yang perlu dibuat berlebihan.Mataku berkaca-kaca saat melihatnya. Awalnya, aku berniat meminta maaf jika bertemu dengannya. Namun, bayangan ketika dia justru pergi mengejar Dinda sementara aku terkapar kesakitan, malah ditinggalkan. Itu membuat hatiku beku. Aku tidak se-berguna itu untuknya.Kenapa juga Mas Aqsal dan Arjuna datang di saat bersamaan? Sungguh menyebalkan.Aku memalingkan wajah saat pria itu terus menatapku yang kutahu dari ekor mata.“Gimana keadaanmu?” tanya Mas Aqsal dengan nada dingin.Aku hanya mengangguk, lalu menunduk. Aku mengharap kedatangannya, tetapi setelah dia datang ternyata rasanya justru sesak.“Gimana nggak baik, kalau di sampingnya ada pria lain selain suaminya yang rela menolong naik ranjang dan mengambilkan apa yang dibutuhkan kapan saja. Luar biasa
Tangisku kian pecah hingga bersuara. Aku tidak peduli siapa yang telah menggotongku sampai tubuhku kini mendarat di ranjang. Pun tidak peduli terlihat begitu memprihatinkan seperti ini. Aku sudah lelah berpura-pura tegar. Sesekali menunjukkan sisi lemah tidak ada salahnya bukan?Meski tubuhku sudah aman di atas ranjang pasien, orang yang mengangkatku belum melepaskan dekapan. Aku bisa merasa pucuk kepalaku semacam disentuh atau mungkin dicium sekilas. Entah.Aku masih terpejam. Kalau membuka mata, jika yang melakukan ini Arjuna, aku takut Mas Aqsal akan berang saat melihatnya. Namun, bila Mas Aqsal yang melakukannya, ketika mata kubuka, aku takut disuguhi wajah bengis dan dinginnya. Bukan tidak mungkin dia akan bertindak buruk.Pelan, kurasakan orang ini melepas pelukan, tetapi masih bisa kurasakan keberadaannya sangat dekat denganku sebab detakan jantungnya masih kudengar jelas. Mungkin, dadanya ada tepat di depanku.Kucoba membuka mata, benar saja. Sebuah tubuh tegap yang berbalut k
“Pulang sama siapa?” Suara pria itu kembali terdengar. Begitu kulihat, ternyata dia Arjuna.“Pak, saya mohon sudah. Saya tidak mau terjadi salah paham lagi.” Suaraku melemah.“Dia ini siapa, Mbak?” tanya Nizam.“Kenalkan, Dek. Saya Arjuna, teman kakak kamu.” Arjuna mengulurkan tangan.Nizam menerima uluran tangan itu dan menciumnya takzim. Arjuna membelai rambut adikku itu sambil tersenyum.“Pemuda luar biasa.”“Saya permisi.” Aku langsung pamit setelah pintu lift terbuka.Bukannya berhenti mengikuti, Arjuna malah ikut masuk. Sementara Ustaz Sauqi dari tadi hanya diam. Dalam lift, diisi empat orang dan hanya aku satu-satunya wanita.“Pulang sama siapa, Dek?” Arjuna mengulang pertanyaan yang aku abaikan.“Sama temannya mbak saya, Mas,” jawab Nizam.“Mau saya antar?”“Terima kasih, tidak perlu.”Syukurlah Nizam menolak.Kalau boleh jujur, aku tambah tidak suka dengan Arjuna setelah dia menyatakan suka. Menurutku, dia itu pria seenaknya yang tidak bisa menempatkan diri. Jelas-jelas aku s