“Pulang sama siapa?” Suara pria itu kembali terdengar. Begitu kulihat, ternyata dia Arjuna.“Pak, saya mohon sudah. Saya tidak mau terjadi salah paham lagi.” Suaraku melemah.“Dia ini siapa, Mbak?” tanya Nizam.“Kenalkan, Dek. Saya Arjuna, teman kakak kamu.” Arjuna mengulurkan tangan.Nizam menerima uluran tangan itu dan menciumnya takzim. Arjuna membelai rambut adikku itu sambil tersenyum.“Pemuda luar biasa.”“Saya permisi.” Aku langsung pamit setelah pintu lift terbuka.Bukannya berhenti mengikuti, Arjuna malah ikut masuk. Sementara Ustaz Sauqi dari tadi hanya diam. Dalam lift, diisi empat orang dan hanya aku satu-satunya wanita.“Pulang sama siapa, Dek?” Arjuna mengulang pertanyaan yang aku abaikan.“Sama temannya mbak saya, Mas,” jawab Nizam.“Mau saya antar?”“Terima kasih, tidak perlu.”Syukurlah Nizam menolak.Kalau boleh jujur, aku tambah tidak suka dengan Arjuna setelah dia menyatakan suka. Menurutku, dia itu pria seenaknya yang tidak bisa menempatkan diri. Jelas-jelas aku s
“Orangnya sopan-sopan, sih, Mbak. Mereka tanya apa benar orang yang fotonya ada di ponselnya itu benar tinggal di sekitar sini. Aku lihat itu foto Mbak Niha dan aku jawab iya. Lalu mereka pergi setelah ngucapin terima kasih.” Perasaanku mulai tidak enak. Keberadaanku di sini sepertinya sudah tidak lagi aman. Bisa jadi itu orang suruhan Mas Aqsal atau suruhan Dinda, atau bahkan Arjuna yang berniat buruk kepadaku. “Oh, ya, sudah. Makasih, ya, Bu, informasinya. Saya permisi dulu mau lanjutin jalan-jalan,” pamitku. Ibu itu mengangguk. Aku pun berjalan tergesa untuk kembali ke kos-kosan. Setelah Nizam pulang nanti, akan kuajak segera pindah dari sini. “Niha, tunggu!” teriak seseorang dari belakang sebelum aku sampai. Kukencangkan lari. Namun, suara sepatu yang beradu dengan aspal terdengar nyaring di telinga. Aku menebak orang itu sedang mengejarku. “Berhenti! Jangan menghindar lagi dariku!” Sebuah tangan mencekal pergelangan tanganku. “Lepas!” bentakku, sambil berusaha melepaskan di
Kakiku terpaku. Sekadar digerakkan pun entah mengapa rasanya sangat sulit. Nizam menggenggam telapak tangan ini erat. Pemandangan di hadapanku itu cukup membuat syok. Sahabat yang selama ini menemani, ternyata di sisi lain mengkhianati. Di depan memeluk, ternyata di belakang menu*uk. Dia dan pria yang bersama sahabatku itu mungkin–keduanya telah bersekongkol di belakangku. Bersekongkol menghancurkanku. Pria yang sedang bersama Asti itu, yang sedang saling tatap dan melempar senyum dengan sahabatku itu adalah ... Mas Aqsal. Suamiku. Suami yang selama ini kukenal kejam, ternyata lebih mengerikan dari sebilah pisau tajam. Suami yang di hadapanku, yang bersamaku bersikap bengis, dengan orang lain, dengan Asti justru bersikap manis. Sahabatku, Asti. Bisa dibilang dia cerminku, yang mana apa yang ada dalam diriku, dia tahu semua. Celah keburukan dalam diriku apa pun itu akan terlihat olehnya. Sahabatku, Asti. Dia selalu ada untukku. Namun, ternyata mungkin ada maksud tersembunyi. Dia se
Suara itu, suara Asti.Tanggul pertahanan yang sejak tadi kubangun, akhirnya jebol juga. Air mata ini berhamburan terjun bebas di pipi. Pasukan air mata ini seolah-olah ikut merasakan dahsyatnya perang batin yang kurasa.Maaf. Satu kata yang punya banyak makna. Maaf. Bisa saja berarti orang yang dulu mengaku sahabatku ini berbuat licik di belakangku entah sejak kapan.Lalu siapa sekretaris Mas Aqsal itu? Apa mereka ada hubungan? Siapa Dinda? Apa Dinda dan Mas Aqsal betul-betul menikah? Apa mereka wayang yang pemerannya atas perintah Asti? Masih banyak yang belum aku tahu. Aku terlalu bodoh untuk memahami semua ini.Jika bertanya untuk menjawab semua rasa penasaran itu, kepada siapa? Untuk saat ini, tidak ada yang bisa kupercaya.“Maaf, Ti? Katakan padaku maaf untuk apa? Lalu sejak kapan kamu bersalah kepadaku?” tanyaku balik, tak kalah lirih.“Kekerasan Mas Aqsal yang dilayangkan kepadaku, lalu dia benar-benar menikah lagi. Apa itu semua kamu ikut andil di dalamnya?” Aku kembali berta
Tidak. Aku tidak boleh melunak. Mungkin itu hanya akting Mas Aqsal saja pura-pura tertabrak lalu jatuh. Lagian, di sana ada Asti yang akan membantunya.Mungkin, terkesan aku ini jahat. Namun, aku juga lelah dijahati terus-terusan. Mas Aqsal pernah mengabaikanku, sekarang aku akan melakukan hal yang sama. Balas dendam? Mungkin. Sebab hatiku sudah kebas dengan perilakunya.“Sudah, Bu. Berhenti di sini saja,” ujarku setelah sampai di jalan raya.Aku turun, lalu membuka tas dan menyerahkan uang dua puluh ribu kepada ibu itu. Aku rasa ini sudah cukup karena jaraknya tidak jauh.“Terima kasih banyak karena sudah memberikan tumpangan ke saya, Bu.”“Nggak usah, Mbak. Kebetulan saya juga arah ke sini.” Ibu itu menolaknya. Aku paksa, akhirnya beliau menerima.“Sekali lagi terima kasih. Bantuan Ibu sangat berarti buat saya. Semoga Allah membalas kebaikan Ibu dengan hal yang lebih indah.”“Aamiin. Saya jalan dulu. Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam.” Ibu itu berlalu setelah kujawab salamnya.Aku
Mataku membola. “Apa? Bukannya Mas Aqsal habis kecelakaan? Kenapa bisa datang?”“Aku nggak tahu, Mbak. Udah, jangan banyak tanya. Ayo bawa yang penting saja.”Apa, sih, maunya mereka?Kuikuti instruksi Nizam. Dompet dan beberapa baju kumasukkan ke dalam tas, lalu kami keluar melalui pintu belakang.Kos-kosan ini bentuknya memanjang. Kamar mandi terletak di dalam. Belakang kos-kosan masih ada sedikit lahan kecil yang biasanya digunakan untuk menjemur baju. Di sampingnya sebelum tembok tinggi, ada jalan kecil. Kami berjalan melewati jalan tersebut. Tiba di kos-kosan paling ujung, belakang rumahnya ditutup asbes. Kami kebingungan bagaimana cara agar sampai di jalan depan.“Gimana ini, Zam?” Aku mulai diserang kebingungan.“Kita ketuk pemilik kos-kosan aja kali, ya. Kita izin buat lewat bentar.”Aku mengangguk dengan idenya. Pintu belakang yang terbuat dari seng itu kuketuk. Namun, tidak ada tanggapan.“Kayaknya nggak ada orang, deh, Mbak.”“Cari jalan lain coba.”Nizam berjalan ke sana k
Mobil itu berhenti. Kaca depan yang terbuka, menampakkan seorang pria.“Kalian mau ke mana?” Pria yang berada di kursi kemudi itu bertanya.“Mau balik ke pondok, Ustaz,” jawab Nizam.“Kenapa jalan kaki? Ayo masuk, barengan.”Nizam melihatku, mungkin sedang meminta pendapat. Aku mengangguk. Tidak apalah menumpang. Lagi pula, rasa nyerinya sudah tidak tertahan lagi.Nizam membuka pintu depan, aku pintu belakang.Mobil melaju. Aku menyenderkan kepala di kursi, lantas terpejam. Dadaku bekas jahitan terasa makin berdenyut sakit.“Ustaz dari mana tadi?” tanya Nizam.“Servis mobil abah. Kebetulan pas mau balik ke pondok. Kamu dari mana mau ke mana?”“Dari kos-kosan mau ke pesantren.”“Oh.”Inilah yang kusuka dari Ustaz Sauqi. Dia tidak terlalu kepo. Bertanya pun hanya sekadar.Dua pria itu mengobrolkan banyak hal tentang pelajaran dan pesantren.Aku bersyukur, ternyata Ustaz Sauqi yang tadi memanggil kami. Entah kebetulan melintas atau mungkin memang sengaja dikirim Allah untuk menolong.“Se
“Zam, kakakmu ada di sini!” teriak Ustaz Sauqi. Aku melotot ke arahnya. Aku sudah lemas, tidak mungkin bisa berlari menghindar lagi. Tidak lama berselang, Nizam datang dengan napas terengah-engah. Remaja yang wajahnya penuh keringat ini mencekal lenganku dan menatapku lekat. “Aku bener-bener nggak bisa ninggalin Mbak sendiri. Maaf, Mbak, maaf. Jangan hukum aku kayak gini.” Mataku memanas. “Mbak minta aku belajar yang rajin, kan? Tapi bagaimana bisa semua itu kulakukan sementara pikiranku terus mengkhawatirkan Mbak dan Mbak pergi dariku dalam keadaan marah.” “Saya tahu, saya telah salah bicara. Timing-nya nggak tepat. Saya juga minta maaf.” Ustaz Sauqi ambil suara. Aku bernapas panjang, lalu menatap Nizam. “Zam, di usiamu ini, kamu memang hanya perlu belajar. Biar Mbak yang pikirkan hal lain. Mbak bisa jaga diri. Kamu tenang saja. Mbak sudah terbiasa, kan, hidup kayak gini? Nyari kontrakan ke sana kemari.” “Iya, itu dulu saat kondisi Mbak sehat dan Mbak pergi dariku tanpa kemar
“Mas, dingin,” keluh Niha sambil menyatukan kedua tangan di depan dada. Aqsal terkekeh. “Kamu terlalu keras kepala, Sayang. Baru pulih, sudah nyari penyakit lagi. Sini, aku peluk.” Pria itu duduk di belakang istrinya, memeluk erat dari belakang. Niha leluasa menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Atau meletakkan di lemgan suaminya. Baginya, tidak ada tempat bersandar terbaik selain di sana. Aqsal tiada bosan menciumi puncak kepala istrinya yang terbungkus kupluk jaket. Keduanya sedang menunggu sunrise di gunung Bromo. Tepatnya di Love Hill atau spot sunrise point pananjakan 3. Niha kukuh merengek mengajak ke sana padahal baru saja pulih dari sakit. Terpaksa Aqsal menuruti meski dengan berat hati. Mereka tidak jadi dinikahkan ulang oleh warga sebab Niha dan Aqsal berhasil menjelaskan jika mereka memang pasangan suami istri. Keduanya memilih pergi dari lingkungan itu dan mencari tempat tinggal baru. Aqsal membeli sebuah rumah di kota Batu, berdekatan dengan kota sebelumny
Niha mendorong dada Arif agar menjauh dari hadapannya. Wanita itu menghapus air matanya kasar, lalu mengembuskan napas panjang. Ia menatap Arif sungguh-sungguh. “Mas, pernikahan itu bukan permainan. Pun identitas. Aku nggak tahu apa hukumnya menikah lagi denganmu, dengan identitasmu yang berbeda padahal kita masih suami istri. Lalu misal jika kita menikah lagi, siapa walinya? Sementara Nizam jauh di Mesir. Kemudian tentang identitas. Jangan sembarangan menggunakan identitas orang. Meskipun dosa ditanggung masing-masing kepala, tapi aku tetap takut jika dosa dan kesalahan yang kamu perbuat, Arif di alam sana ikut menanggungnya. Ya, meskipun itu kedengarannya tidak mungkin, setidaknya untuk berjaga-jaga. Cukup jadilah Aqsal, bukan orang lain. Setidaknya hormati almarhum Arif. Biarkan dia di sana hidup damai dan tenang, jangan mengusik dengan menggunakan identitasnya,” ucap Niha panjang lebar. Arif terdiam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, ia nyaman dengan identitas itu kar
“Omong kosong apa lagi ini hah!” teriak Niha. “Sayang, kumohon percayalah. Aku–“ “Tolo–“ Keduanya saling memotong ucapan sebelum akhirnya Arif membekap mulut Niha yang hendak berteriak minta tolong. “Sumpah demi Allah kalau aku ini Aqsal, suamimu. Aku bisa menjelaskan. Aku akan melepaskan bekapan, tapi tolong jangan teriak. Oke?” Suara Arif berubah. Suara itu membuat degup jantung Niha berdetak menggila. Suara Arif yang biasanya berat, berubah menjadi suara yang lama dirindukan. Suara itu suara Aqsal. Wanita itu membeku. Merasa Niha tidak bereaksi, Arif melepaskan telapak tangannya di mulut Niha. “Arif, jangan bercanda! Ini nggak lucu!” bentak Niha. “Aku nggak bohong, Sayang. Aku sudah menyebut sumpah atas nama Allah. Bukankah sumpah atas nama suci itu sumpah tertinggi?" Niha menatung. “Rif, aku sakit, jadi jangan mempermainkanku.” Niha menunduk, lelah berbicara dengan nada tinggi pada pria itu. “Sayang, lihat mataku. Apa kamu tidak mengenali mata suamimu? Apa kamu sudah lup
“Arif! Selamanya aku nggak akan pernah mau nikah sama kamu!” teriak Niha.“Sudah, tenang dulu.” Ketua RT menengahi.“Saya siap jika harus diarak keliling kota, Pak. Atau jika didenda berapa pun akan saya bayar. Saya juga janji akan pergi selamanya dari kota ini. Asal saya tidak dinikahkan dengan pria menjijikkan itu. Saya masih punya suami,” ujar Niha dengan napas tersengal-sengal sambil menatap Arif.“Arif, sebenarnya di sini kuncinya hanya kamu. Kamu tinggal jujur apa yang terjadi semalam. Dan saya yakin tidak terjadi apa-apa. Niha dalam kondisi sakit dan saya rasa kamu tidak tega melakukan hal buruk padanya. Kecuali kalau kamu pria bej*t,” ujar Gita.Arif memilih bungkam. Baginya, entah mengapa disuruh menikahi Niha terdengar lebih seru daripada jujur tentang kejadian semalam.“Andai semua orang di sini berpikiran sama denganmu, Mbak, pasti tidak akan ada fitnah dan semua tidak serumit ini,” sahut Arif akhirnya.“Kamu yang membuat semuanya rumit! Kalau kamu ingin menjebakku, carany
Tubuh Niha panas jika disentuh, tetapi ia merasa kedinginan. Arif memeluknya erat dari belakang sambil terus menahan diri agar tidak melewati batas. Apalagi aroma rambut Niha begitu menggelitik hidung, membuatnya harus ekstra menjinakkan gejolak khas orang dewasa dalam dirinya. Niha yang biasa tampil dengan penutup kepala, kini hanya mengenakan baju dan celana pendek. Tidak dipungkiri, Arif tergoda dengan kecantikannya. Pria itu terus mengendalikan sesuatu yang tiba-tiba mengeras di salah satu tubuhnya. “Jangan pergi, Mas.” “Aku rindu.” “Mas Aqsal.” Niha terus mengigau, tubuhnya masih menggigil, giginya bergemeletuk. Tangannya memegangi tangan Arif di perutnya, seolah-olah tidak ingin pria itu pergi. Arif merutuki diri sendiri. Yang dilakukan ini tidak sepatutnya dilakukan, ia tahu itu. Namun, hawa nafsu berbisik bahwa ini bukan hal yang salah. Toh, semua untuk menolong Niha dan tidak sampai menodai. Mana mungkin juga menodai seorang wanita yang kondisinya memprihatinkan seperti
“B-bu Endang!" Niha tergagap sambil berusaha bangkit dari atas tubuh Arif.Endang, pemilik rumah bergaya minimalis yang ditempati Niha mendekat dan menatap dua manusia di hadapannya nyalang.“B-bu, ta-tadi saya nggak sengaja jatuh ka-karena tadi.” Niha berdiri, lalu menggeleng, mendadak lidahnya kelu.“Rif! Jelaskan ke Bu Endang!” teriak Niha. Sementara Arif masih menepuk-nepuk pantatnya yang sakit sambil mendesis.“Mata saya masih normal melihat mana yang sengaja dan tidak. Arif tadi memelukmu! Apa kalian berzina?” bentak Endang.“Eng-enggak, Bu. Ta-tadi kata Arif–““Bu Endang nyium bau gas nggak?” potong Arif.Endang mengendus-endus ruangan.“Hidung Niha mati rasa, Bu. Dia nggak bisa nyium segala bau. Gas bocor pun dia nggak tahu. Daripada nanti rumah Ibu terbakar, saya ingin memperingatkan dia agar tidak menyalakan kompor. Saya tarik tubuhnya, dan terjadilah yang tadi. Telat sedetik, beneran ada ledakan tadi,” jelas Arif panjang lebar.Niha memicing. Arif sedetail itu tahu tentang
“Niha, hati-hati kalau lari!” Suara familier itu terdengar saat tubuh Niha menubruk dada seseorang. Kalau saja pria itu tidak memeluknya, Niha pasti akan jatuh.Sambil tersenyum tidak enak, Niha pun melepaskan diri.“Dokter Dico. Ma-maaf.”“Ya, nggak apa-apa. Untung aku yang kamu tubruk. Kalau orang lain gimana? Dan kenapa lari kayak ketakutan gini?”“A-ada pria menyeramkan, Dok. Dia tetangga baru di kontrakanku. Mungkin dia sengaja mengikutiku. Aku takut.”“Menyeramkan?”“Ho'oh. Oh, ya, kenapa bisa kebetulan Dokter ada di sini?”Dico terkekeh. “Aku tadi baca status W* kamu, katanya OTW ke sini. Ya udah, aku susul ke sini sengaja nggak ngasih tahu. Buat tantangan juga bisa menemukanmu apa enggak di pantai seluas ini. Eh, ternyata bisa.”“Kok cepet? Dari Jakarta?”“Enggak. Aku tiba di kota ini semalam. Jum’at sore kemarin setelah dinas, aku berangkat biar bisa di sini agak lama. Nginep di hotel, lalu pagi ini di sini, kita bertemu ini. Bukankah aku sudah bilang akan menyusul?”Niha ter
“Dok.” Niha memanggil saat Dico mengabaikan pertanyaannya. Justru ada suara seperti gumaman di seberang sana.“Eh, iya. Sebentar ya, lagi ngomong sama seseorang.” Dico menimpali. Suara yang didengar Niha sebuah suara tidak jelas.“Halo, Niha,” ujar Dico setelah selesai.“Ada kabar apa?”“Nggak jadi. Kemarin kamu bilang nggak tertarik sama si mantan musuh. Jadi, nggak usah aja.” Dico terkekeh. “Oh, ya, kamu lagi ada di mana ini?”Mantan musuh? Niha berpikir mungkin itu kabar tentang Asti. Ia tidak peduli.“Kasih tahu nggak ya?” Niha tertawa.Di seberang, Dico ikut tertawa. “Kali aja aku minat ingin ke sana juga. Pengen nyusul.”“Dokter, kok, hobi menguntit. Aku lagi di Malang, Dok. Dan langsung jatuh cinta sama tempat ini. Di sini sejuk, cenderung dingin. Hal yang nggak didapat di Jakarta.”“Ya sudah. Jangan lupa oleh-olehnya kalau balik.”“Siap, Bos.”“Niha.”“Ya.”“Ah, nggak jadi.”“Dasar. Ya udah, aku tutup teleponnya. Assalamualaikum.”“Waalaikumussalam. Enjoy your holiday, Niha.”
Akibat perbuatannya, Robin dijerat pasal berlapis mulai dari kepemilikan senjata api ilegal, rencana pembunuhan pada Niha dan Aqsal, juga terkuaknya kasus terdahulu yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Ia dipenjara sepuluh tahun dan denda yang tidaklah sedikit.Sementara Asti, Niha tidak terlalu paham karena benar-benar memutus sambungan dengan wanita itu. Terakhir yang diketahui, Asti dijodohkan oleh orang tuanya.Setahun belakangan ini, Niha tinggal di sebuah apartemen elite yang dibeli dari uang peninggalan sang suami. Rumah pribadinya dibiarkan kosong. Hanya saja, tetap ada orang yang ditugaskan membersihkan. Ia masih ada di Jakarta, menunggu jika sewaktu-waktu Aqsal datang. Aqsal sendiri seperti ditelan bumi. Pihak kepolisian, detektif, mencari lewat media sosial, bahkan dukun dikerahkan untuk mencari. Namun, hasilnya nihil.“Aku nggak jadi ke Mesir aja, Mbak. Nemeni Mbak di sini,” ujar Nizam dulu sesaat setelah lulus.“Jangan karena masalah Mbak, jadi penghalang cita-citamu. Mb