Menjemput Laura setelah pulang kerja menjadi kebiasaan Gino setelah gadis itu resmi menjadi kekasihnya. Jangan menilai dia murahan karena bersedia menjadi kekasih gelap. Gino sudah memikirkan kemungkinan untuk merebut Laura dari Russell. Jika kesempatan itu datang, dia akan maju selangkah lebih cepat dari laki-laki itu.
Bukankan hubungannya dan Laura telah meningkat pesat?
Selain partner di atas ranjang, perasaan gadis itu sepenuhnya tertuju pada Gino. Jadi, kekalahan yang sempat ditakutinya mustahil akan terjadi.
"Huh, menjemput kekasih hati!"
Ucapan pedas Lucy hanya berupa angin lalu sebab Gino sudah berada dalam perjalanan menuju restoran. Dia mampir sebentar di toko bunga dan membelikan satu buket Daisy.
Wajah Laura tampak bercahaya saat menyambut kedatangannya tepat ketika gadis itu baru saja menutup restoran. Efek jatuh cinta menyebabkan segala tentang Laura terlihat bersinar. Gino memeluk gadis itu dan melabuhkan kecupan singkat di bib
Melihat wajah Gino yang mirip orang tolol menyebabkan kemarahan Laura mereda. Jauh-jauh datang ke pantai rupanya disuguhkan oleh pemandangan laki-laki itu bermain selancar dengan perempuan berbikini seksi. Sejak awal, Laura sudah memperhatikan interaksi Gino dengan Ellie. Dia menolak ketika David dan Lucy mengajaknya menghampiri Gino. Alasannya, Laura sudah menyiapkan kejutan tersendiri. Namun, siapa sangka Gino justru memberinya kejutan besar.Melihat bagaimana Ellie memapah Gino yang sekarat dan tangan laki-laki itu menempel di bahu perempuan itu. Nyaris menyentuh dada Ellie jika Gino sedikit saja mengulurkan lengan. Laura tidak tahu apa yang dilakukan kedua orang itu di lautan. Mengingat Gino tidak terlalu mahir berenang dan Ellie berpakaian terbuka. Mau tidak mau Laura berpikiran lain. Gino dan segala sifat mesumnya bisa menimbulkan kesalahpahaman. Bercinta di alam terbuka dikelilingi lautan bisa saja terjadi. Meskipun memiliki peluang tenggelam atau d
Usai terombang-ambing di lautan selama satu jam, Gino merasakan tubuhnya kacau. Dia berhalusinasi Laura memeluk Mario dan gadis itu mengatakan tidak akan menikahinya. Setelah itu, Gino tidak merasakan apa-apa lagi selain bunyi samar di sekitarnya.Kini, matahari telah menerobos masuk ke dalam kamar hotel tempatnya menginap. Sadar saat ini masih berada di Las Vegas, Gino kembali teringat dengan Laura. Dia bangkit dari ranjang berniat menemui gadis itu, tapi langkahnya tertahan saat mendengar suara seseorang."Kondisimu belum pulih."Seorang laki-laki berjas putih duduk di sofa tidak jauh darinya. Gino merasa pernah melihat orang itu, tapi dia lupa kapan pernah melihatnya. Mata sipit serta wajah tanpa ekspresi itu menatapnya acuh."Terserah jika kau ingin mati," ucap laki-laki itu.Pintu terbuka mengalihkan perhatian Gino dari laki-laki bermata sipit itu. David berlari menghampirinya dengan wajah panik serta bulir keringat menetes di kening. Oh, ya s
Kiriman bunga terjadi hampir setiap hari sehingga Laura menyediakan tempat khusus supaya bunga-bunga pemberian Gino tidak cepat layu. Grace tidak bertanya perihal bunga, tapi terkadang menatap Laura seperti sedang mencari informasi. Dia menebak Grace sering bertukar kabar dengan Russell. Apa pun itu, selama Russell baik-baik saja, Laura tidak keberatan disebut perempuan serakah."Kau terlihat bahagia," ucap Grace."Aku hanya ingin bahagia, Grace.""Meskipun harus menyakiti Russell?"Laura mengangguk. "Aku minta maaf soal itu.""Sebaiknya kau bicarakan hal ini." Grace menatap Laura sekilas. "Dia kembali ke New York.""Bagaimana kondisinya?" tanya Laura."Dia memaksakan diri."Dengan langkah berat serta pikiran berkecamuk akhirnya Laura mendatangi apartemen Russell. Dia tidak langsung menekan bel melainkan berdiri dalam diam. Menimbang keputusan bertemu Russell atau mengakhiri semuanya di sini. Jika pilihannya sederhana, ma
"Lala?!"Wajah buram Mario perlahan terlihat jelas. Laura terbatuk-batuk hingga Mario menyerahkan segelas air putih. Dia meneguknya dengan rakus mengabaikan keberadaan laki-laki bermata sipit yang berdiri di samping Mario."Mingye, bagaimana kondisinya?" tanya Mario cemas."Terlambat sedikit saja namanya akan tertulis di nisan," jawab Mingye.Ugh, separah itukah kondisinya?Laura menyentuh kepalanya yang terasa nyeri bahkan dadanya sesak. Dia tidak berniat bunuh diri, tapi tatapan menuduh Mario membuatnya mengurungkan niatnya menjelaskan kejadian itu.Laura mengangguk saat Mingye berpamitan menggunakan bahasa isyarat seperti kebiasaan laki-laki itu dulu. Setelah kepergian Mingye, Mario duduk di sampingnya sambil menyentuh keningnya lembut."Kau hampir celaka jika Mingye tidak menolongmu.""Aku hanya ingin berenang," ucap Laura."Mingye melihatmu melompat ke dalam air dan terbawa ombak, apa kau menyangkal kejadian itu?" M
Ajakan Gino tentu saja Laura tolak mentah-mentah. Dia masih waras menerima lamaran seseorang di tengah trauma masa lalunya. Hingga dua hari kemudian Laura tiba di New York, Gino langsung mencegatnya di apartemen. Laki-laki itu masih mengenakan pakaian rumahan pertanda belum mandi. Mudah sekali menebak kebiasaan Gino setelah menjadi kekasihnya.Tunggu dulu ... Kekasihnya?"Apa kabar, La?" tanya Gino disertai cengiran lebar.Laura memicingkan mata curiga Gino sengaja menyambut kedatangannya. Dia melipat tangannya dan memberikan atensi penuh pada sosok di depannya."Kalau kamu tanya kabar hati." Laura menarik napas dalam-dalam. "Jawabannya nggak baik.""Nggak baik bukan berarti nggak membaik, 'kan?"Laura mengangguk. "Iya.""Hari ini aku punya rencana seru." Gino mencondongkan wajahnya. "Kamu tertarik ikutan?""Aku
Bolak-balik rumah sakit menjadi rutinitas Laura selama beberapa hari terakhir. Perempuan yang merawat Russell tidak terlihat sejak malam itu. Artinya, Laura memiliki waktu seharian penuh menjaga Russell. Seperti sore ini, dia membawa seluruh perlengkapan yang barangkali dibutuhkan selama menginap di rumah sakit.Lift terbuka sebelum Laura menekan tombol dan tubuhnya membeku menyadari Gino yang berdiri di sana. Laki-laki itu membisu, tapi tidak kunjung keluar dari lift membuat Laura terjebak dalam situasi canggung. Dia memutar tubuhnya menuju tangga darurat. Namun, Gino lebih dulu menariknya ke dalam lift dan membawa mereka turun ke lantai dasar."Kamu mau ke rumah sakit?" tanya Gino tanpa melirik Laura. Tatapannya lurus ke depan. "Gimana kondisinya?""Baik," ucap Laura lirih."Baguslah," sahut Gino pendek.Selebihnya mereka terjebak keheningan hingga Laura keluar dari lift meninggalkan Gino di belakangnya. Dia menghentikan taksi, tapi sebuah
Gino tidak marah pada pertemuannya dengan Laura di depan gedung apartemen. Dia hanya kecewa gadis itu lebih memilih Russell dan hingga detik ini tidak bisa dihubungi. Lucy pun tidak mengetahui keberadaan Laura yang hilang bak ditelan bumi.Seminggu ini Gino kehilangan semangat hidup dan jam tidurnya pun berantakan. Tengah malam menjadi kebiasaan menyelinap ke apartemen Laura. Melihat setiap sudut ruangan yang menyimpan banyak kenangan.Minggu berikutnya Gino semakin uring-uringan dan berdampak pada pekerjaannya hingga David menegurnya. Dia tidak menanggapi celotehan David akibat kepalanya dipenuhi bayangan Laura.Sebenarnya di mana gadis itu?Lucy menjadi kalut hingga seisi perusahaan menghindari kontak dengan perempuan itu. Termasuk David yang hari ini memilih mendekam di ruangan Gino daripada terjebak bersama perempuan barbar seperti Lucy.Satu jam atau mungkin lebih David berbicara panjang lebar sementara Gino masih asyik terme
Mendatangi klub malam merupakan keputusan paling bodoh yang pernah Gino lakukan. Dia bersumpah tidak akan mendatang tempat itu dan terjebak bersama perempuan liar. Gino bernapas lega berhasil tiba di apartemen tanpa kekurangan anggota tubuhnya. Berbeda dengan David yang mabuk berat dan mengigau mengenai Lucy."Kau istri yang tidak berperasaan!"Gino menyingkir sebelum David menendangnya karena menganggap dirinya sebagai Lucy.Udara malam di musim semi masih meninggalkan hawa dingin sisa musim dingin. Gino berdiri di balkon sambil memeluk guling membayangkan benda itu adalah Laura.Jika gadis itu bersama Mario dan terjebak perbincangan serius, maka Gino menjadi orang pertama yang berniat menghajar laki-laki itu.Sayangnya keinginan itu buyar ketika ponselnya berbunyi menampilkan nomor asing. Gino hendak memutuskan sambungan itu ketika sebuah pesan singkat lebih dulu ma
Ada banyak tempat yang menjadi pilihan, tapi Laura justru memilih Aussie dan tinggal bersama Rahma. Merawat Yuki dan Darren sedikit mengurangi kesedihannya akibat kepergian bayinya. Hubungannya dengan Rahma pun perlahan membaik begitu pula ketika Ajeng berkunjung ke Aussie. Laura sudah bisa tetawa lepas seolah bebannya di masa lalu terangkat. Satu tahun berlalu setelah Laura meninggalkan New York dan memutus komunikasi dengan orang-orang di sana. Dia tidak ingin mengingat semua kejadian yang terjadi di sana, meski Mario dan Lucy bukan orang yang seharusnya dihindari. Namun, mengingat mereka sama saja membuka luka yang berusaha Laura lupakan.Biarkan saja New York menjadi kenangan sama seperti Jogja.Hidup barunya dimulai di Aussie bersama keluarga kecil Rahma.Setahun itu pula Laura menghindari pembahasan yang berkaitan dengan Gino, meski dia mendengar dari Ajeng perihal laki-laki itu yang juga menetap di Aussie. Dia berharap tidak pernah dipertemukan deng
Bab 99“Kalau kamu ngerasa gitu, untuk apa kamu datang ke sini?”Laura tidak bisa untuk tidak melayangkan tatapan sinis. Dia tidak habis pikir Gino mengucapkan kalimat seperti laki-laki brengsek. Jika di dunia ini terdapat banyak bajingan yang berkeliaran, maka Gino adalah salah satunya.“Aku mau lihat kondisi kamu.” Gino mengalihkan tatapannya pada perut Laura yang tertutup selimut. “Juga turut berduka buat bayi itu.”“Kamu brengsek, No,” ucap Laura.“Maaf.”“Kamu nggak ingat?” Laura menatap Gino kecewa. “Kamu nikah sama Ajeng setelah mutusin aku dan kamu balik ke sini ganggu hidupku yang mulai tertata. Kamu buat aku nyakiti Russell padahal dia tulus cinta sama aku. No, kamu nggak tahu gimana sulitnya aku bertahan selama ini?” Laura menggeleng. “Kamu nggak tahu karena kamu cuma peduli sama perasaanmu sendiri. Aku yang bertahan, tapi kamu seenaknya
"Gino, sebaiknya kau datang ke rumah sakit."Di sinilah sekarang Gino berada. Menatap Laura yang terbaring dengan peralatan medis terpasang di tubuh gadis itu. Dia ingin menghampiri Laura, tapi sebuah pukulan lebih dulu melayang di wajahnya. Rasa nyeri menjalar seakan tulang pipinya remuk, tapi dia hanya mematung alih-alih membalas pukulan Mario."Laura hampir tidak tertolong jika Mingye terlambat mengambil tindakan." David menepuk bahu Gino pelan. "Dia juga kehilangan bayinya.""Laura berpesan apa pun yang terjadi, dia ingin bayinya selamat." Mario berujar dengan nada dingin. "Sayangnya dia harus terluka karena bajingan yang tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Kaki Gino seolah terpaku di tempat mendengar berita tentang bayi yang dikandung Laura. Maksud ucapan Mario seperti menuduhnya seolah dia adalah ayah dari bayi malang itu."Atas dasar apa kau menuduhku?!" tanya Gino keras."Atas dasar kau laki-laki brengsek!"Sebelum Mario
Guncangan kasar menyebabkan Laura terbangun dan segera bangkit dari ranjang. Dia membuka laci meja riasnya dan mengeluarkan beberapa butir obat. Dalam sekali tegukan obat itu telah berpindah menuju perutnya.Laura kembali mengonsumsi obat, meski Mingye melarangnya. Dia tidak bisa bertahan tanpa obat karena bayangan masa lalunya perlahan muncul.Bayangan yang mati-matian Laura lupakan.Membuka pintu kamarnya dan menemukan keheningan di apartemen. Langit telah gelap, tapi tidak menyurutkan niatnya mendatangi restoran dua puluh empat jam. Dia duduk di salah satu kursi paling pojok untuk mencari ketenangan. Meskipun restoran itu hanya berisi beberapa orang saja. Laura tidak ingin berbaur dengan mereka atau sekadar menatap orang-orang di sana.Pukul tiga dini hari berdiam diri di restoran dua puluh empat jam. Tidak pernah ada dalam bayangan Laura selama tinggal di New York. Namun, malam ini adalah titik di mana dia merasa gagal menjadi manusi
Musim semi telah berakhir digantikan musim panas mewarnai langit New York. Seperti musim yang berganti, maka kehidupan pun terus berjalan. Hari ini Laura menerima tawaran Mario mengunjungi rumah tepi danau. Bukan untuk bernostalgia atau bersantai melainkan ada kabar mengejutkan perihal kehamilannya.Sebenarnya Laura sudah merasakan keanehan di tubuhnya, tapi kesedihan membuatnya mengabaikan perubahan itu. Namun, Mario menghubunginya dan mengajaknya ke rumah tepi danau untuk bertemu Mingye. Dokter bermata sipit itu tinggal di sana selama musim panas. Sehingga bisa dipastikan tidak akan memenuhi permintaan Mario memeriksa kehamilan Laura.Dokter juga membutuhkan liburan.Begitu setidaknya pengakuan Mingye.Dua jam perjalanan akhirnya mobil itu berhenti di rumah kayu. Tempat paling nyaman ketika Laura masih menjalin hubungan dengan Mario. Tidak terasa waktu berputar begitu cepat merubah status mereka menjadi mantan kekasih."Lala, kau mela
Rencana menanyakan perihal kehamilan gagal total saat mendapati Laura menangis di apartemen. Minggu sore Gino berniat mengajak gadis itu keluar. Namun, yang dilihatnya justru Laura yang meringkuk di lantai sambil menangis.Tangisan Laura terdengar sesenggukan menyebabkan hati Gino teriris. Menangisi seseorang yang sudah meninggal memiliki banyak arti. Jika Laura sedih karena rasa bersalah, maka Gino sama sekali tidak keberatan. Namun, jika Laura sedih karena gadis itu mencintai Russell, maka sampai mati pun Gino tidak pernah ikhlas."Aku pikir kamu udah baikan," ucap Gino."Aku takut, No.""Takut kenapa?""Takut jadi orang jahat."Ungkapan itu seolah menyiratkan perasaan Laura pasca kematian Russell. Perlahan Gino merasa lega karena gadis itu tidak mencintai Russell kecuali perasaan bersalah."Manusia pasti punya sisi buruknya
Melihat Laura kehilangan semangat hidup membuat Gino merasa tidak berguna. Dia meminta saran David dan dijawab oleh laki-laki itu agar dia menerima kenyataan Laura terpukul akibat kepergian Russell. Entah benar atau tidak, Gino hanya ingin menjadi orang berguna.Sepulang dari perusahaan dia memutuskan mengunjungi Laura. Pada ketukan kedua gadis itu menyambutnya dengan senyuman. Gino terpaku selama beberapa detik menyadari penampilan Laura jauh lebih baik. Rona wajah gadis itu telah kembali, meski masih sedikit tirus."Aku mau numpang makan malam," ucap Gino mencari alasan."Mie instan?"Gino mengangguk. "Asal kenyang.""Batu rasa apel juga mau, No?"Eh?Laura tertawa pelan membuat Gino terhipnotis dengan tawa gadis itu. Benarkah sosok itu adalah Laura?Seingatnya Laura jarang tertawa bahkan saat dia melontarkan humor garing pun. Gadis itu masih tidak menunjukkan apa-apa. Namun, pemandangan kali ini seperti sebuah ke
Seminggu penuh Laura mengurung diri di apartemen hingga Lucy meminta bantuan Gino. Namun, dia menolak kehadiran laki-laki itu kala mengingat Russell.Laura juga menolak harta yang diwariskan Russell dan meminta Katy menjaga properti di Norwegia. Meskipun perempuan itu keberatan, tapi Laura berhasil meyakinkan jika Russell tidak menginginkan harta peninggalan orangtuanya dipindah tangankan.Urusan harta benda itu tidak menarik minat Laura dan larut pada kepergian Russell yang terlalu mendadak. Fakta jantung laki-laki itu tidak berfungsi setelah mendengar Laura bertemu Gino. Bukankah artinya dia yang membunuh laki-laki itu?Semua orang mengatakan kepergian Russell merupakan takdir yang sudah digariskan. Namun, Laura tidak berhenti menyalahkan diri sendiri. Hingga di sore hari yang tertutup mendung, dia mendengar pintu apartemennya terbuka.Gino, Lucy, David, dan Mario berdiri di sana. Menatapnya seolah dia makhluk paling menyedihkan yang hidup d
Katy langsung menarik Laura menuju ruang perawatan di mana dokter dan perawat sudah berkumpul di sana. Dia melangkahkan kakinya menuju ranjang perawatan Russell. Kain putih menutupi seluruh tubuh laki-laki itu dan peralatan medis telah dimatikan. Laura mencoba memahami situasi tersebut dengan cara mengguncang tubuh Russell. Namun, laki-laki itu tetap diam membiarkan kain putih itu menutupi sekujur tubuh."Dia ingin dikuburkan di Norwegia," ucap Katy."Kenapa kau tidak memberi kabar sebelumnya?" tanya Laura lirih."Russell yang memintanya. Dia tidak ingin memaksamu tinggal di sisinya. Sekarang semuanya sudah berakhir, kau bisa menjalani kehidupan seperti sebelumnya."Katy berserta dokter meninggalkannya di ruangan itu bersama jasad Russell yang terbujur kaku. Laura menyibak kain putih itu dan menatap wajah Russell yang pucat. Tidak ada senyuman atau ucapan perpisahan seperti kebanyakan orang yang akan meninggal. Russell sungguh meminta waktu satu tahun bag