Biasanya Gino menangani kasus perceraian orang lain dan mendengar keluh kesah mereka mengenai alasan untuk berpisah. Sekarang, Gino justru menyelesaikan kasus perceraiannya dengan Ajeng. Dia terkejut ketika Ajeng menyarankan untuk berpisah setelah pernikahan tanpa cinta itu digelar. Alasannya, Ajeng tidak mencintai Gino dan merasa bersalah jika Laura mengetahui seseorang yang Gino nikahi adalah Ajeng. Dia bersyukur tidak terjebak dalam hubungan palsu tanpa cinta.
Satu jam setelah sidang perceraian itu berakhir. Gino berziarah ke makam kedua orang tuanya. Dia meminta maaf tidak bisa menuruti keinginan terakhir ibunya dan juga permintaan Malik untuk menjaga Ajeng dan bayinya. Gino tidak ingin menjalani hidup seperti itu. Hidupnya adalah miliknya sendiri dan keputusan berada di tangannya.
"Aku cinta sama Laura. Maaf mas, aku nggak bisa jaga Ajeng seperti keinginanmu," ucap Gino lirih. Dia menatap makam Malik lalu bangkit dari duduknya. "Semoga keputusanku buat mas paham
Keluar dari rumah sakit merupakan hal membahagiakan bagi Laura. Dia tersenyum lebar sesaat setelah berada di luar gedung rumah sakit. Udara luar lebih menyegarkan daripada aroma rumah sakit yang dibencinya itu. "Laura." "Russell?" ucap Laura tidak percaya kembali bertemu dengan petugas polisi itu. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya. "Aku ingin mengantarmu pulang." Terlambat menolak karena Russell sudah menyeretnya menuju mobil dan memasang sabuk pengaman di tubuh Laura. Sekilas dia bisa melihat wajah Russell dari jarak dekat. Kulit wajah putih mulus dan bibir tipis berwarna merah itu sesaat menghipnotis Laura. Jika dilihat secara keseluruhan, Russell sangat tampan. Ini pertama kalinya setelah dua tahun, Laura tidak pernah memperhatikan rupa seseorang. "Laura?" Laura tersadar dari lamunannya. "Ada apa?" tanyanya. "Apakah lukamu sudah membaik?" Laura mengangguk. "Sudah." "Bukan luka tembakan itu," "A
Insiden malam itu menjadi mimpi buruk bagi Laura. Belum lagi pertanyaan Lucy mengenai hubungannya dan Russell lalu alasan Laura membiarkan laki-laki itu menyentuhnya. Dia tidak akan menjelaskan bahwa Russell membuatnya tertarik dan mengakui kejadian malam itu merupakan keinginannya. Laura hanya mendengarkan ocehan Lucy sementara pikirannya melayang entah ke mana. Makanan yang mereka pesan dianggurkan begitu saja. Pertemuan mingguan itu David tidak hadir karena alasan pekerjaan dan Jessica berada di rumah Jean sementara Mario justru duduk manis di kursi seberangnya. Menyeruput kopi sambil memperhatikan Laura dengan ekspresi sulit diartikan. "Lala, apa kau akan menikah dengan laki-laki itu?" tanya Mario setelah meletakkan cangkirnya di atas meja. "Aku tidak akan menikah," ucap Laura. "Lala sudah dewasa, biarkan dia menentukan pilihannya. Ibu ingin kau kembali ke Queen's. Rambutnya hampir memutih akibat merindukanmu s
Seminggu berada di Queen's seolah berada di penjara. Jean melarangnya bepergian. Lucy juga bersekongkol dengan Mario sehingga Laura terpaksa berdiam diri di rumah dengan pelayan melayaninya. Dia bukan nyonya besar, tapi pelayan-pelayan itu menganggapnya sebagai tamu spesial. Jean yang dulunya bermulut pedas berubah begitu lembut dan Laura lebih menyukai perempuan itu menghinanya. Suara ribut menarik perhatian Laura. Di halaman Jessica menangis keras sementara para pelayan tidak berhasil membujuk anak itu. Laura menghampiri Jessica lalu menggendongnya. "Bibi akan membawamu keluar," ucap Laura. Di temani pelayan pribadi Jessica, Laura memasuki sebuah kafe tidak jauh dari kediaman Jean. Untungnya, Jean tidak ada di rumah sehingga Laura bisa bebas keluar tanpa larangan. "Ibumu memang gila." Laura mengusap pipi Jessica yang belepotan terkena kue. "Dia pergi sesuka hati tanpa mengurusmu." Pelayan yang berdiri di belakang Jessica berdehem mengingatka
Katanya waktu obat terbaik untuk melupakan, tapi teori tersebut tidak berlaku untuk Argino Mahendra. Dengan tidak tahu malu, anggap saja bermuka tembok, Gino memberanikan diri menekan bel unit apartemen Laura. Sepuluh menit berlalu, pintu apartemen tak kunjung terbuka. Sepertinya Laura tidak berada di apartemen. Akhir pekan pada pagi hari tidak mungkin Laura bekerja karena seingatnya, restoran itu tutup saat weekend. Gino mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi David, detik ketiga sambungan itu terhubung sebuah teriakan menyapa telinganya. "Brengsek! Lebih baik kau mati!" Telinganya hampir tuli mendengar teriakan Lucy, kebodohan David sudah sampai tingkat akhir. Menikahi Lucy seperti bunuh diri karena temperamen buruk perempuan itu menyebabkan seseorang mati di usia muda. Dan David buta karena cinta. "Aku ingin bicara pada David," ucap Gino setelah teriakan Lucy reda. "Aku tidak ingin bicara pada perempuan aneh sepertimu." "David tidak akan bi
Lucy memang gila. Menjelang petang datang ke apartemennya dengan omelan panjang. Semenjak menikah, Lucy selalu merepotkan Laura. Meskipun mengurus Jessica merupakan keinginannya, tapi berbeda kalau Lucy mulai berceloteh tanpa henti. Entah kerasukan setan apa, Lucy terus menyebut nama Gino sejak Laura membuka pintu apartemennya. Satu jam berlalu tidak ada tanda-tanda Lucy mengakhiri percakapan. Laura menyumpal kedua telinganya dengan headset lalu memutar sebuah lagu. Akhir-akhir ini Laura suka sekali mendengarkan lagu Jepang. Meski, tidak tahu artinya, dia tetap mendengarnya. Hingga Lucy menarik headset dari telinganya. Kesenangan Laura pun berakhir. "Gino kembali ke New York." "Bukan urusanku," ucapnya singkat. "Dia meminta David melakukan sesuatu, semoga bukan rencana gila." Laura menggeleng. "Aku tidak tertarik." &
Berdiri di balkon pada tengah malam ditemani secangkir kopi tidak cukup mengusir hawa dingin. Mungkin di masa lalu, Laura bahagia dengan kehadiran Gino di sisinya, tapi semuanya sudah berakhir. Dua tahun lalu. Gino tidak berbicara justru asyik menikmati kopi buatannya. Laura menahan kantuknya setelah setengah jam menemani Gino berdiri di balkon. Entah untuk alasan apa, dia sendiri tidak membutuhkan penjelasan. Kehadiran Gino lebih mengganggu dari kedatangan Lucy sore tadi. "La," Panggilan Gino terdengar berbeda. Atau mungkin Laura tidak ingin mendengar laki-laki itu memanggilnya seperti dulu. "Aku nggak tahu mulai dari mana. Kesalahanku sangat besar, aku nggak pantas berharap lebih sama kamu." Gino tertawa getir. "Aku merasa lucu sama diri aku sendiri." Gino masih terjebak di masa lalu padahal Laura sudah melangkah ke depan. Menyimpan kenangan mereka di tempat lain. Pikirannya berjalan, seperti hidupnya yang tidak mungkin berhe
Selasa pagi Laura baru menginjakkan kaki di restoran. Dua karyawannya sudah membersihkan meja dan samar-samar tercium aroma burger. Laura mengganti pakaiannya di loker kemudian menuju meja kasir untuk memeriksa laporan keuangan. Sejak insiden penembakan jumlah pengunjung semakin berkurang. Sekarang Laura percaya isu lebih cepat menyebar ketimbang virus mematikan. Dia harus bekerja keras untuk mengembalikan pelanggannya yang kabur. Seperti menaruh selebaran sebagai bentuk promosi, tapi tidak mungkin karena isu penembakan sudah tersebar. Laura ingin merobek mulut orang yang telah menyebarkan isu. Sayang sekali dia tidak tahu siapa pelakunya. "Satu buket lily, mawar putih, dan anyelir. Silakan tanda tangan di sini." Laura membubuhkan tanda tangannya lalu mengucapkan terima kasih pada pengantar bunga. Dia meletakkan buket bunga tanpa nama pengirim itu di atas meja. Aroma bunga menusuk hidungnya, Laura tidak menyukai bu
"Kamu lagi sibuk?" Gino meletakkan ponselnya di antara telinga dan bahu sambil memeriksa berkas pekerjaannya. Alasan Gema merindukannya menyebabkan Gino tidak bisa menolak panggilan dari Ajeng. "Aku bisa ngobrol sambil kerja," ucap Gino berbohong, dia tidak bisa membagi fokusnya secara bersamaan. Namun, demi Gema, dia mengalah. "Kalau ada waktu aku mau bawa Gema ke New York sekalian ketemu Lala, udah lama banget kami nggak ketemu. Dia belum tahu kita pernah nikah. Istilah teman makan teman lagi trending dan aku nggak mau dia kecewa. Kamu bisa simpan rahasia ini 'kan, No?" Tentu saja Gino harus menyimpan rahasia pernikahannya dengan Ajeng. Misi mengejar Laura tidak boleh gagal hanya karena pernikahan palsu. "Tenang aja, aku nggak bakal ngomong apa-apa," ucap Gino datar. "Bagus deh." "Kapan kamu bawa Gema ke New York?" tanya G