Para prajurit lantas menjauhkan tangan mereka dari Antaguna, bahkan mengembalikan sabuk merah dan pedang lebarnya.Antaguna melilitkan kembali Jaring Jerat Naga-nya ke pinggangnya, menempatkan kembali pedang lebar itu ke sarungnya di punggungnya.Lalu dengan langkah yang gontai sebab ia menderita luka dalam yang tidak kecil, dia meninggalkan halaman belakang istana, bermaksud hendak pergi dari kawasan itu selama-lamanya.Para prajurit menjadi ragu, sebagian mereka membiarkan saja pria tinggi besar itu berlalu, namun sebagian lainnya hendak mencoba mencegahnya. Namun gerakan tangan sang raja, membuat para prajurit menghentikan apa pun yang hendak mereka lakukan kepada Antaguna.“Antaguna!”Antaguna pun menghentikan langkahnya demi mendengar panggilan sang raja, dia melirik ke belakang dari ujung bahunya.“Apakah Anda kurang puas?” ujarnya masih dengan nada yang tidak bersahabat. “Atau Anda berubah pikiran? Ingin memancung leherku?”Para prajurit saling pandang, mereka dapat merasakan k
Dalam sekelipan mata saja, sosok itu telah berdiri di hadapan Antaguna, dan dia tidak lain adalah Gadih Cimpago.“Sebegitu kecewanyakah engkau sehingga kau langsung hendak meninggalkan kawasan ini?”Antaguna mendengus halus, ia terus melangkah dengan menggiring kudanya, Gadih Cimpago terpaksa mengiringi langkahnya dari samping kiri.“Tidak ada yang bisa melarangku untuk aku pergi ke mana pun aku suka,” ujar Antaguna. “Toh, tidak ada gunanya lagi aku berlama-lama di sini.”“Apakah kau mengenaliku?” tanya sang wanita.Pria tinggi besar dan berotot itu menyeringai. “Secara pribadi, tidak. Tapi aku mengenal jurus yang kau gunakan untuk menyerangku tadi,” dia tertawa tanpa suara. “Kau bahkan berniat membunuhku dengan Telapak Marapi.”“Begitu, ya?” Gadih Cimpago tersenyum sembari mengangguk-angguk, lalu menepuk-nepuk pelan tangan kiri sang pria. “Maaf tentang itu,” ujarnya. “Semenjak wafatnya Bundo Kanduang, aku ditugaskan oleh Rajo Bungsu untuk menjaga sang ratu dan putra mahkota.”“Tidak
“Apakah kau benar-benar tidak mengetahui hal ikhwal semua itu?” tanya Gadih Cimpago.Sang wanita duduk berjuntai kaki di tepi lantai balai-balai, begitu juga dengan Antaguna yang duduk di sebelah kiri sang wanita.Dia menggeleng lemah. “Setiap orang di Martapura yang mengetahui kejadian itu, selalu berkata bahwa ibuku seorang pelacur, setiap kali aku bertanya. Atau ayahku yang menggunakan guna-guna untuk memikat ibuku.”Tatapan pria itu begitu nanar memandangi langit malam. Gadih Cimpago menghela napas dalam-dalam.“Begitu, ya?” Dan semakin lengkap sudah penderitaannya, pikirnya. “Tapi dari apa yang aku dengar ketika itu, Sutan Rana sesungguhnya menyukai ibumu, menginginkan dia untuk menjadi istrinya sebagai penguasa Martapura di bawah perintah Paduko Rajo terdahulu.”“Aku tahu, tapi itu bukan berarti mereka bisa memfitnah ibu dan ayahku.”Gadih Cimpago tersenyum tipis, dan itu terlihat cukup menyedihkan. “Kau tidak akan tahu seperti apa busuknya hati manusia bila sesuatu yang diidam-
Ketika berusia 25 tahun, Antaguna yang tidak lagi dapat menahan-nahan dendamnya, lalu kembali ke Tanah Andalas. Hal pertama yang dia lakukan adalah membantai habis semua perampok di kawasan hutan paling selatan Andalas tanpa pandang bulu.Nama Antaguna mulai diperhitungkan oleh orang-orang dunia persilatan, dan dia sengaja melakukan itu agar orang-orang menjadi lengah sebab tidak ada yang mengetahui bahwa sesungguhnya dia adalah Tarigan.Saat tiba di Martapura, Antaguna menjadi bertambah berang. Dia baru mengetahui bahwa ternyata Sutan Rana yang bertanggung jawab atas kematian ayah dan ibunya justru telah lama mati dengan menggantung dirinya di satu pohon beringin.Kabar mengatakan bahwa Sutan Rana bunuh diri setelah dua purnama hidup dalam kegelisahan semenjak membantai ibu dan ayah Antaguna.Dendam di dalam dadanya tidak menghilang sama sekali, justru semakin berkobar mengerikan sebab dia tidak tahu lagi harus melampiaskan sakit hatinya itu kepada siapa. Setiap orang di Martapura ya
“Apakah kau menyesal?” tanya Antaguna.Kembali Gadih Cimpago tersenyum. “Entahlah,” ujarnya. “Aku bukan seorang yang munafik, Tarigan. Tentu saja, sesekali perasaan itu muncul menghantuiku. Akan tetapi, aku punya kehidupanku sendiri. Menuruti dendam, tidak akan ada habisnya. Mantiko Sati membunuh ayah dan kakak laki-lakiku, lalu katakanlah aku berhasil membunuh dia, lalu apa? Tidakkah kau berpikir bahwa anak keturunannya nanti akan menuntut balas padaku?”Antaguna menghela napas dalam-dalam. Dia tidak menjawab pertanyaan itu. Kekecewaan di dalam hatinya memaksanya untuk tetap diam.Sang wanita tertawa tanpa suara. “Di atas langit masih ada langit, Tarigan. Kau mendatangi istana, lalu bertanya tentang Puti Bungo Satangkai. Dengan mempertimbangkan hal ini, aku tahu bahwa setidaknya, kau mengenal gadis itu, bukan?”Lagi-lagi Antaguna hanya diam saja.“Bukankah ini hal yang lucu?” Gadih Cimpago terkikik halus.Antaguna mengernyit memandangi wanita sakti di samping kanannya itu. Apanya yan
‘Benarkah aku mencintai gadis bodoh itu? Tidak, tidak, tidak! Lagi pula, siapa yang sudi mencintai gadis bisu, sombong, angkuh, dan menyebalkan seperti si Bungo itu?’“Sudahlah, jangan merepek yang tidak-tidak!” Antaguna lalu melompat ringan mendekati kudanya. “Aku tak hendak lagi mendengar kata-katamu yang aneh dan menyebalkan itu.”Lalu dengan ringan pula dia melompat ke punggung kuda hitamnya. Sementara Gadih Cimpago tersenyum-senyum sembari menggeleng-gelengkan kepala menatap pria tinggi besar dan berotot itu yang sengaja menyembunyikan wajahnya yang merona.‘Dasar laki-laki!’“Tarigan!”Gadih Cimpago berhasil membuat Antaguna menghentikan langkah kudanya sebelum berlalu dari hadapannya.“Aku sudah melupakan nama itu!”“Baiklah, akan aku ingat itu baik-baik. Dengar, si Bungo mencari empat kelopak Teratai Abadi lainnya. Rajo Bungsu tidak ingin ada lagi korban nyawa berjatuhan disebabkan Teratai Abadi. Dan mungkin, sekarang gadis itu sedang berada di sekitar tebing timur Ngarai Sian
Di awal pagi itu, Dalan, si kusir kereta kuda sedang mengantarkan setumpuk kain pesanan orang istana. Ketika dia sampai di halaman belakang istana guna membongkar barang muatannya, dia melihat seseorang yang dibawa oleh sejumlah prajurit ke arah gerbang kecil penjara bawah tanah.Dalan tidak melihat sosok itu karena terhalang banyak prajurit, namun rasa penasarannya justru sangat besar.Dua orang prajurit lainnya membantu Dalan untuk menempatkan kain-kain yang ia bawakan itu, dua orang dayang berdiri di pinggir teras, menjaga kain-kain pesanan tersebut.“Hei, Tuan Prajurit,” panggil Dalan dengan suara pelan sembari menyusun tumpukan kain di tepi teras. “Ada kejadian apa? Kenapa sepagi ini sudah ramai sekali?”Dua prajurit saling pandang, lalu tersenyum, dan menggeleng-geleng sembari memandangi Dalan.Sebagai seorang pengantar barang dan tidak jarang mengantar orang-orang penting, Dalan sudah cukup dikenal oleh para prajurit. Dan dia sangat pintar memainkan perannya sehingga tidak seor
“Talago!” Rajo Bungsu beralih pada si Kumbang Janti.“Paduko.”“Aku tahu kau pasti masih bingung,” kata sang raja, “tapi simpan terlebih dahulu kebingunganmu, aku sengaja mengeluarkanmu dari penjara itu sebab ini adalah saat yang tepat bagimu membantu Datuk-Datuk Hulubalang lainnya, ini juga demi membuktikan sekaligus membersihkan nama baikmu.”“Paduko,” si Kumbang Janti menundukkan lagi kepalanya.“Pergilah!” titah sang raja.Semua orang membungkuk menerima titah, lalu mereka semua bergerak ke arah gerbang selatan.“Datuk Sukat,” si Kumbang Janti merapat pada datuk yang berpakaian panghulu serbamerah. “Apa yang sebenarnya telah terjadi.”“Si Lorana jahanam itu,” kemarahan jelas terlihat di wajah si Kabau Sirah. “Dia telah membebaskan Kadik Aruma secara diam-diam.”“Jadi begitu, ya?” si Kumbang Janti menghela napas dalam-dalam.“Tidak itu saja,” ujar si Kabau Sirah. “Selama ini, ternyata dia menjadi dalang penculikan gadis-gadis di seantero Andalas.”“Hah?!” si Kumbang Janti membelala
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau