‘Benarkah aku mencintai gadis bodoh itu? Tidak, tidak, tidak! Lagi pula, siapa yang sudi mencintai gadis bisu, sombong, angkuh, dan menyebalkan seperti si Bungo itu?’“Sudahlah, jangan merepek yang tidak-tidak!” Antaguna lalu melompat ringan mendekati kudanya. “Aku tak hendak lagi mendengar kata-katamu yang aneh dan menyebalkan itu.”Lalu dengan ringan pula dia melompat ke punggung kuda hitamnya. Sementara Gadih Cimpago tersenyum-senyum sembari menggeleng-gelengkan kepala menatap pria tinggi besar dan berotot itu yang sengaja menyembunyikan wajahnya yang merona.‘Dasar laki-laki!’“Tarigan!”Gadih Cimpago berhasil membuat Antaguna menghentikan langkah kudanya sebelum berlalu dari hadapannya.“Aku sudah melupakan nama itu!”“Baiklah, akan aku ingat itu baik-baik. Dengar, si Bungo mencari empat kelopak Teratai Abadi lainnya. Rajo Bungsu tidak ingin ada lagi korban nyawa berjatuhan disebabkan Teratai Abadi. Dan mungkin, sekarang gadis itu sedang berada di sekitar tebing timur Ngarai Sian
Di awal pagi itu, Dalan, si kusir kereta kuda sedang mengantarkan setumpuk kain pesanan orang istana. Ketika dia sampai di halaman belakang istana guna membongkar barang muatannya, dia melihat seseorang yang dibawa oleh sejumlah prajurit ke arah gerbang kecil penjara bawah tanah.Dalan tidak melihat sosok itu karena terhalang banyak prajurit, namun rasa penasarannya justru sangat besar.Dua orang prajurit lainnya membantu Dalan untuk menempatkan kain-kain yang ia bawakan itu, dua orang dayang berdiri di pinggir teras, menjaga kain-kain pesanan tersebut.“Hei, Tuan Prajurit,” panggil Dalan dengan suara pelan sembari menyusun tumpukan kain di tepi teras. “Ada kejadian apa? Kenapa sepagi ini sudah ramai sekali?”Dua prajurit saling pandang, lalu tersenyum, dan menggeleng-geleng sembari memandangi Dalan.Sebagai seorang pengantar barang dan tidak jarang mengantar orang-orang penting, Dalan sudah cukup dikenal oleh para prajurit. Dan dia sangat pintar memainkan perannya sehingga tidak seor
“Talago!” Rajo Bungsu beralih pada si Kumbang Janti.“Paduko.”“Aku tahu kau pasti masih bingung,” kata sang raja, “tapi simpan terlebih dahulu kebingunganmu, aku sengaja mengeluarkanmu dari penjara itu sebab ini adalah saat yang tepat bagimu membantu Datuk-Datuk Hulubalang lainnya, ini juga demi membuktikan sekaligus membersihkan nama baikmu.”“Paduko,” si Kumbang Janti menundukkan lagi kepalanya.“Pergilah!” titah sang raja.Semua orang membungkuk menerima titah, lalu mereka semua bergerak ke arah gerbang selatan.“Datuk Sukat,” si Kumbang Janti merapat pada datuk yang berpakaian panghulu serbamerah. “Apa yang sebenarnya telah terjadi.”“Si Lorana jahanam itu,” kemarahan jelas terlihat di wajah si Kabau Sirah. “Dia telah membebaskan Kadik Aruma secara diam-diam.”“Jadi begitu, ya?” si Kumbang Janti menghela napas dalam-dalam.“Tidak itu saja,” ujar si Kabau Sirah. “Selama ini, ternyata dia menjadi dalang penculikan gadis-gadis di seantero Andalas.”“Hah?!” si Kumbang Janti membelala
Di pagi yang sama, di satu titik di kawasan bagian timur Ngarai Sianok. Tidak begitu sulit bagi Puti Bungo Satangkai untuk menemukan makam ayahnya, Sialang Babega. Setidaknya, dia mengetahui ini semua dari Ratu Nan Sabatang, atau yang bernama asli Upik Andam.Kawasan di sebuah desa kecil atau jorong itu terlihat cukup liar, tapi ada dua titik yang terlihat lebih terang dan rapi.Yang satu adalah makam ayah dan ibu Ratu Nan Sabatang yang dikuburkan di tanah di mana dulu di sana ada sebuah gubuk tempat tinggal Upik Andam. Makam itu dipagari dengan dinding bata setinggi pinggang, belasan langkah di belakang makam, terdapat sebuah sumur tua.Dan yang satu lagi adalah makam Sialang Babega beserta keluarganya. Makam itu terdiri dari dua gundukan tanah, tidak ada yang tahu pasti di kuburan yang mana satu Sialang Babega dikuburkan.Sama seperti makam ayah dan ibu sang ratu, makam Sialang Babega dan keluarganya juga dipagari bata merah setinggi pinggang di sekelilingnya.Bungo tersenyum dan be
Ketika ratusan prajurit yang dipimpin oleh enam Datuk Hulubalang Kerajaan Minanga tiba di kawasan pelacuran di tengah hutan itu, keadaan di sana langsung menjadi kacau balau.Puluhan pesilat tangguh yang bekerja di bawah Pandan Arum sempat memberikan perlawanan, tapi itu tidak berarti banyak di hadapan enam Datuk Hulubalang yang terkenal cukup sakti.Sebagian besar dari mereka tertangkap, sebagian kecil tewas, dan sebagian lainnya berhasil melarikan diri.Para lelaki hidung belang yang sedang berada di tempat pelacuran itu, semuanya ditahan, dan akan dibawa ke istana untuk diadili bersama dengan para pesilat yang membantu si pemilik tempat pelacuran tersebut.Begitu juga dengan para gadis penghibur, mereka semua dikumpulkan, dan akan dibawa ke istana sebelum akhirnya nanti akan dipulangkan ke daerah mereka masing-masing.“Berengsek!” dengus si Kabau Sirah.“Yah,” timpal si Kumbang Janti. “Seseorang pasti telah mengetahui bahwa kita akan menggerebek tempat ini, lalu dia melapor kepada
Setelah keduanya telanjang tanpa busana sepotong pun, Kadik Aruma menuntun Pandan Arum turun ke dalam sungai kecil, dangkal, dan berair jernih.Keduanya saling peluk, saling menggerayangi tubuh lawan jenis masing-masing, di tengah aliran sungai yang hanya sepaha mereka saja.Seolah tidak mampu lagi menahan-nahan nafsunya yang sudah di ubun-ubun, Kadik Aruma mendorong punggung Pandan Arum hingga wanita itu membungkuk di tepi sungai, setengah menungging dengan manja.Pandan Arum mengerang panjang dan terputus-putus seiring Kadik Aruma menusuknya dari belakang.Sementara Dalan, si kusir itu hanya menyeringai saja mendengar suara-suara erangan beberapa langkah di depan sana, atau suara kecipak air karena pengaruh sesuatu. Dia tetap mengipas-ngipas beberapa potong daging yang ia bakar setelah menyalakan api unggun.Dia sudah lama mendengar kelainan pada wanita yang menjadi majikannya itu, tapi baru kali inilah dia melihat langsung kelainan itu sendiri. Bersetubuh dengan ayah sendiri? Yah,
Pagi datang setelah jubah keemasan di ufuk timur tergantikan oleh cahaya yang lebih terang, penuh kehangatan, seakan menjanjikan hari baru yang lebih baik pada setiap makhluk. Kicau-kicau burung di pepohonan, atau suara menguik hewan-hewan di dalam hutan, semua menyambut kehangatan yang diberikan oleh sang mentari, menambah semarak alam sekitar.Suhu yang masih dingin itu tidak membuat Puti Bungo Satangkai bermalas-malasan atau enggan untuk turun ke dalam aliran dangkal di antara bebatuan sungai kecil. Tidak ada seorang pun di tengah-tengah belantara itu, kenyataannya aliran kecil berair sangat bening itu diapit rumpun belukar di sepanjang sisi kiri dan kanannya.Dengan tubuh telanjangnya yang sangat indah itu sang gadis turun ke dalam aliran yang ternyata hanya sebatas pahanya saja. Tapi itu cukup baginya.Kesejukan air yang mengalir lambat itu membuat Bungo berpikir untuk melakukan sedikit pertapaan demi mengulang kembali pelajaran yang telah ia dapatkan, terutama terhadap kesaktian
“Akhir-akhir ini banyak terjadi kasus penculikan,” ujar seseorang di antara para pria di dalam warung. “Gadis-gadis dari satu desa ke desa lainnya diculik, dan tidak pernah kembali.”Percakapan mereka menarik perhatian Puti Bungo Satangkai, dan ketika tatapannya tertuju pada para pria itu, pria yang tadi berbicara mengatakan sesuatu kepada Bungo.“Kau juga, gadis manis,” ujar pria paruh baya tersebut. “Sedapat mungkin, berhati-hatilah dalam melangkah.”Bungo tersenyum dan mengangguk. Bagaimanapun, pria itu bermaksud baik. Tentu saja, karena dia melakukan perjalanan seorang diri, juga lantaran dia yang seorang gadis yang cantik. Mungkin inilah yang dikhawatirkan pria paruh baya itu. Meskipun, dia sendiri sudah mengetahui hal ini, bahkan sempat menggagalkan satu upaya penculikan para gadis sebelumnya.“Tapi dari yang aku dengar,” ujar seorang pria lainnya. “Rajo Bungsu telah bertindak untuk menghentikan semua itu.”“Tahu dari mana kau?” tanya pria lainnya pula.Pria kedua mereguk kopiny