Tak terasa, hari sudah berganti lagi, seolah begitu cepat. Memori indah terekam oleh beberapa orang karena kemeriahan pesta kembang api merayakan pergantian tahun di Midtown. Pesta kembang api selalu memberikan kesan tersendiri bagi beberapa orang yang merayakannya. Namun, seorang wanita yang terlibat baku tembak dan aksi pembunuhan lima orang lelaki semalam, ternyata memberikan kesan tersendiri bagi makhluk bertubuh seksi itu.
Ia tidur dalam bak mandi, menutupi dirinya dengan selimut karena hanya mengenakan pakaian dalam saja. Ia menggunakan bantal sebagai alas kepala. Ranjang empuk di kamar mewahnya tak ia gunakan dan dibiarkan sendirian tanpa seorang pun yang tidur di atasnya. Ia sudah membuka matanya pagi itu. Televisi ia biarkan menyala semalaman untuk melihat dan mendengar laporan berita kriminal tentang aksi pembunuhan yang dilakukannya.
Hingga akhirnya, ia mendengar berita yang dinantikannya. Ia diam saja di dalam bak. Riasan yang telah dihapus dari wajah cantik polosnya, membuatnya tak terlihat seperti wanita penggoda seperti semalam. Paras itu berubah dan terlihat seperti gadis lugu berumur 25 tahun yang memiliki senyum manis, meski tubuhnya terlihat begitu menggoda bak super model.
Wanita itu bangkit dari bak dengan menyelimuti tubuhnya menggunakan selimut tebal. Ia berjalan perlahan tanpa alas kaki menuju ke kamar, menyaksikan berita yang ia nantikan semalam. Sebuah breaking news dari salah satu stasiun televisi paling populer di Amerika Serikat. Ia berdiri dalam diam, menyimak berita itu.
"Pembunuhan kembali terjadi dan kini berada di kawasan Midtown, Manhattan. Di malam tahun baru yang berlangsung meriah semalam, ternyata tindak kejahatan terjadi di sekitar area tersebut. Empat lelaki tewas terpanggang dalam sebuah mobil van dengan luka tembak, tusukan dan robekan di beberapa bagian tubuh. Seorang lelaki tewas tertembak di dekat lokasi ledakan. Polisi menduga, korban tewas dibunuh dengan senjata tajam sebelum mobil itu sengaja diledakkan. Polisi masih melakukan otopsi dan olah TKP untuk menyelidiki siapa pelaku pembunuhan ini karena tak ada saksi mata dalam aksi tersebut. Dihimbau kepada seluruh warga, agar berhati-hati saat akan keluar rumah karena status pembunuh masih buron. Demikian berita kriminal kami sampaikan. Nantikan breaking news selanjutnya. Selamat tahun baru."
Wanita itu memalingkan wajah begitu breaking news selesai disampaikan. Ia berjalan perlahan menuju ke jendela besar menatap indahnya kota New York dari lantai 10 di kamarnya.
"Masih belum bisa menemukanku, ya? Payah," sindir wanita itu dan segera berpaling melepaskan selimutnya.
Ia segera bersiap untuk check out dari hotel itu. Ia merapikan semua barang bawaannya yang hanya membawa sebuah koper saja. Wanita itu mengendarai sebuah mobil sedan Chevrolet Camaro tipe lawas tahun 68 warna merah, membelah jalanan aspal meninggalkan kota metropolitan menuju ke Ithaca.
Wanita itu membiarkan rambut hitamnya tergerai indah dengan menutup rapat kaca mobil karena udara dingin di luar. Mengenakan dress lengan panjang berbahan kaos setinggi lutut bermotif bunga cantik berwarna peach dan sepatu boots semalam, membuat gadis itu terlihat begitu manis seperti remaja yang masuh duduk di bangku kuliah tanpa riasan tebal.
Perjalanan selama hampir 5 jam tak membuatnya lelah. Ia sempat mampir untuk mengisi bahan bakar, membeli kopi dan roti untuk sarapan yang ia nikmati sembari menikmati perjalanan. Ia sengaja tak mengambil fasilitas sarapan di hotel agar sosoknya tak dikenali, mengingat berita tentang pembunuhan semalam telah tersiar.
Hingga akhirnya, ia tiba di sebuah kawasan ladang anggur di mana salju sudah menutupi pekarangan dan rumah-rumah. Mobil Chevrolet itu masuk ke sebuah pekarangan rumah yang memiliki halaman cukup luas. Wanita itu memarkirkan mobilnya di garasi dan segera menutup rapat pintu besi yang bisa dinaik-turunkan.
Ia mengambil tas jinjing dan membawanya masuk ke rumah. Suasana hangat menyelimuti kediaman itu, ditambah aroma masakan yang baru saja matang dari dalam oven. Senyum wanita itu merekah dan segera mendatangi si pembuat sajian penggugah selera dengan pelukan hangat penuh kasih sayang dari belakang.
"Hai, merindukanku?" tanya wanita itu sembari menunjukkan senyum menawannya kepada seorang wanita tua yang sedang meletakkan pie di atas meja makan menggunakan sarung pengaman di kedua tangannya.
"Oh, kau sudah pulang. Selamat datang kembali, sayangku," ucapnya sembari memberi kecupan di pipi wanita cantik itu.
"Bagaimana malam tahun baru dengan teman-temanmu? Apakah menyenangkan?" tanya nenek itu seraya menaikkan kedua alisnya.
"Ya, hebat!" jawabnya dengan penuh semangat dan mulai duduk di kursi makan.
"Jika aku masih muda, aku pasti akan ikut bersenang-senang denganmu," sahut wanita tua itu terlihat kecewa pada dirinya sendiri karena sudah menua. Wanita cantik itu hanya tertawa sembari memotong pie yang masih panas. "Aku sempat khawatir. Aku mendengar berita di televisi ada pembunuhan di dekat kau menginap. Nenek takut terjadi hal buruk padamu," sambungnya terlihat cemas.
Wanita cantik itu diam seketika dan menurunkan ritme saat memotong pie tersebut.
"Oh, buktinya aku baik-baik saja, Elda. Jangan khawatir," ucap wanita itu memanggil nama sang nenek.
Elda mengangguk dan ikut duduk sembari menuangkan teh hangat di kedua cangkir kosong untuknya dan cucu kesayangannya itu.
"Lovy, aku sudah memikirkan hal ini dengan serius. Sebaiknya kau tinggal saja di Portland. Kau mendapatkan pekerjaan bagus di sana, sesuai dengan keinginanmu. Kota ini, terlalu banyak meninggalkan kenangan buruk untukmu," ucap Elda sembari menyentuh punggung tangan si wanita cantik bernama Lovina dengan lembut. Lovy diam saja dan menghentikan aktivitasnya. "Nenek tahu, kau yang melakukan pembunuhan itu, 'kan? Hentikan Lovy, jangan lakukan lagi, sudah cukup," pinta Elda penuh permohonan.
Lovy menjatuhkan pisau yang digenggamnya tadi. Ia melepaskan sentuhan Elda di tangannya. Wanita cantik itu berdiri dan terlihat seperti menahan marah.
"Mereka pantas mendapatkannya, Elda. Lelaki-lelaki busuk itu pantas mati. Tak ada satu pun kehidupan yang layak mereka terima," ucap Lovy penuh kebencian.
"Tidak, Lovy, tidak. Kau tak bisa menilai seseorang dari sisi buruknya saja. Semua tindak kejahatan pasti ada alasan pemicunya."
"Ya! Sama denganku! Apa kau tahu? Lelaki yang tewas kutembak di luar van itu menjualku. Empat lelaki di mobil ingin membawaku ke bajingan tengik dan menjadikanku pelacur. Beruntung aku yang mereka tangkap. Bagaimana jika gadis lugu tak berdaya yang dibawa oleh mereka? Aku adalah dewi pelindung bagi para wanita lemah di luar sana, Elda," ucap Lovy penuh penekanan menatap neneknya itu tajam.
Elda menghela napas. Saat Elda akan kembali bicara untuk menasehati cucunya itu, Lovy beranjak dari tempatnya dengan tergesa, menaiki tangga dengan air mata berlinang.
"Kau tak tahu persaanku, Elda ... kau tak tahu," ucapnya menahan kesedihan tak menatap neneknya itu.
Elda memejamkan mata. Ia tahu betul bagaimana perasaan cucu kesayangannya itu. Elda diam saja menatap potongan pie yang dipotong begitu rapi dan simetris, gaya khas Lovy. Di kamar, Lovy meneteskan air mata meski isak tangisnya tak terdengar. Ia memeluk sebuah boneka beruang yang ada di atas ranjangnya dengan perasaan sedih yang mendalam.
Ia teringat akan kenangan masa lalunya saat masih kecil dulu. Saat kedua orang tuanya masih ada menemani hari-harinya di Inggris. Begitu pula kenangan saat ia menjadi seorang sniper MI6 di usianya yang masih sangat muda. Lovy memejamkan mata, berusaha membendung segala kerinduan masa lalunya yang kelam. Hanya saja, kebahagiaannya yang telah sirna, menjadikan dirinya pembunuh keji seperti sekarang.
Malam itu ...."Tidak, tolong ... jangan ... kalian silakan ambil apapun yang kalian inginkan, tapi tolong jangan sakiti keluargaku, tolong ...." ucap seorang lelaki paruh baya memohon dengan sangat.Namun, "Richard!" teriak seorang wanita yang kedua tangannya sudah dipegangi dengan erat oleh dua lelaki berwajah bengis. Dia yang sadar jika kalah kekuatan, membuatnya berdiri tak berdaya dengan air mata sudah menggenangi wajah cantiknya."Uhuk ... uhuk ... aggg," rintih lelaki bernama Richard. Ia sudah menggelepar di atas lantai dengan wajah babak belur berlumuran darah.Seorang gadis kecil membungkam mulutnya rapat menahan teriakannya di dalam sebuah almari, tempat ayahnya menyimpan koleksi kulit hewan hasil buruannya untuk dijadikan karpet."Seperti permintaanmu. Akan kuambil semua barang berharga yang ada di rumah ini!" teriak lelaki yang menodongkan pistol di kepala Richard.Pria itu, memerintahkan kepada dua anak buahnya untuk merampok seluruh kekayaan milik keluarga Richard. Namun
Pagi itu, Lovy yang sudah bersiap dan berdandan layaknya gadis manis nan anggun, duduk di salah satu kursi meja makan yang terbuat dari kayu. Elda sudah menunggunya dengan senyum menawan sembari menuangkan susu cokelat kemasan untuk cucu cantiknya itu."Terima kasih, Nek," ucap Lovy dengan senyum mengembang.Elda membalasnya dengan senyum merekah. Ia lalu ikut duduk di seberang Lovy sembari menyendok sup ayam yang masih panas di hari yang dingin itu."Nenek. Apa benar kau tak apa jika kutinggal dan menetap di Portland? Siapa yang akan membantumu membereskan rumah?" tanya Lovy memelas.Elda kembali tersenyum sembari mengaduk supnya yang masih panas."Jangan khawatirkan aku. Mungkin aku memang sudah tua, tapi aku masih sangat sanggup melakukan apapun. Pergilah," ucap Elda meyakinkan."Baiklah, jika itu memang maumu. Hanya saja, aku akan ke Portland saat musim semi nanti. Aku harus mencari tempat tinggal baru selama di sana," jawab Lovy tegas."Kau tak usah mencemaskan tempat tinggalmu.
Lovy memberikan pelukan hangat kepada neneknya itu. Lovy yang sudah tinggal dengannya selama 5 tahun di Amerika meninggalkan Inggris, menatap neneknya dengan sedih."Aku akan selalu berkunjung tiap bulan. Kenapa kau tak ikut denganku saja, Elda?" tanya Lovy menggenggam kedua tangan Elda erat menahan air mata kesedihannya."Kau sudah dewasa. Mulailah jalani hidupmu. Nenek akan selalu menunggumu di rumah. Datanglah kapan pun kau mau, jangan kau paksakan pulang jika sibuk. Nenek bisa mengerti," ucap Elda sembari mengusap air mata yang menetes dari mata cantik cucunya.Lovy mengangguk dan mengecup kening Elda dengan penuh kasih sayang. Elda memejamkan mata merasakan ketulusan hati Lovy yang begitu menyayanginya. Elda merelakan Lovy pergi membawa mobil tuanya ke Portland. Ia memasukkan segala perlengkapan ke dalam bagasi dan menyalakan GPS menuju Portland.Lovy melambaikan tangan dan tersenyum manis kepada Elda. Nenek itu balas melambai dan menahan air matanya agar tak menetes. Pagi itu, s
Malam hari di kota Manhattan, Amerika Serikat. Hiruk pikuk kota metropolitan dengan gemerlap lampu berwarna-warni memanjakan mata, menjadikan suasana malam itu begitu indah meski tak terlihat kilauan bintang di langit. Bagaikan serangga, orang-orang dari berbagai ras berkumpul di kota itu untuk menikmati indahnya malam pergantian tahun di sekitar kawasan Midtown yang akan berlangsung dua jam lagi.Semua orang datang berbondong-bondong bersama kekasih, teman, saudara, bahkan keluarga untuk ikut memeriahkan acara pesta kembang api yang akan diselenggarakan di tempat itu. Namun, terlihat seorang wanita berambut hitam panjang sepunggung dan memiliki gelombang indah tergerai menutupi tubuhnya yang molek. Sorot mata tajam, hidung mancung dan bibir tebal karena sebuah lipstik merah menyala menghiasi bibir cantiknya.Wanita bertubuh atletis yang terlihat dari kedua lengannya karena sedikit berotot. Kaki jenjang yang tertutupi celana jeans panjang dan sepatu boots beronamen bunga di samping se