Lovy memberikan pelukan hangat kepada neneknya itu.
Lovy yang sudah tinggal dengannya selama 5 tahun di Amerika meninggalkan Inggris, menatap neneknya dengan sedih.
"Aku akan selalu berkunjung tiap bulan. Kenapa kau tak ikut denganku saja, Elda?" tanya Lovy menggenggam kedua tangan Elda erat menahan air mata kesedihannya.
"Kau sudah dewasa. Mulailah jalani hidupmu. Nenek akan selalu menunggumu di rumah. Datanglah kapan pun kau mau, jangan kau paksakan pulang jika sibuk. Nenek bisa mengerti," ucap Elda sembari mengusap air mata yang menetes dari mata cantik cucunya.
Lovy mengangguk dan mengecup kening Elda dengan penuh kasih sayang. Elda memejamkan mata merasakan ketulusan hati Lovy yang begitu menyayanginya.
Elda merelakan Lovy pergi membawa mobil tuanya ke Portland. Ia memasukkan segala perlengkapan ke dalam bagasi dan menyalakan GPS menuju Portland.
Lovy melambaikan tangan dan tersenyum manis kepada Elda. Nenek itu balas melambai dan menahan air matanya agar tak menetes.
Pagi itu, seusai sarapan, Lovy melaju mobilnya meninggalkan Ithaca ke Portland dengan kecepatan sedang.
Perjalanan dengan mobil selama 40 jam dipilih Lovy karena menghindari pencarian militer jika namanya terekam dalam daftar penerbangan.
Hingga akhirnya, Lovy tiba ke Portland setelah ia harus singgah ke beberapa kota dan hostel untuk beristirahat. Ia terlihat begitu bersemangat.
Meski musim sudah memasuki semi, tapi udara dingin masih mengusiknya. Namun, hal itu tak membekukan semangatnya.
Lovy mententeng kopernya yang besar itu saat menaiki tangga. Ia tinggal di sebuah apartment kecil yang disewa untuk tempat tinggalnya selama di kota itu.
Lovy gadis yang pintar dalam mengatur keuangan.
Meski ia tak bekerja dan mendapatkan penghasilan seperti saat masih menjadi sniper dulu, tapi ia tak pernah mengeluh soal kehidupannya yang sederhana.
Ia menyukai hidupnya bersama Elda semenjak tragedi mengerikan yang terjadi pada kedua orang tuanya bertahun-tahun yang lalu.
Lovy masuk ke rumah barunya yang hanya berukuran 50 meter persegi. Sebuah ruangan besar yang memiliki dua buah kamar. Sebuah toilet dengan bak, shower dan water heater.
AC dan pemanas ruangan di tiap ruangan selain kamar mandi. Sebuah ruang tamu yang jadi satu dengan ruang keluarga dilengkapi televisi 40 inch. Sebuah dapur termasuk kitchen set, lemari pendingin dan kompor.
Terdapat balkon di bagian belakang untuk menjemur pakaian. Terlihat pemandangan kota Portland serta kolam renang di bagian bawah. Ia tinggal di lantai 13.
Angka sial bagi kebanyakan orang, tapi bagi Lovy merupakan angka keberuntungan.
Lovy termasuk beruntung karena tempat bekerjanya sebuahnya Travel Agent dan pemiliknya masih memiliki hubungan baik dengan mendiang almarhum ayahnya dulu.
Kawan semasa kuliah ayah Lovy yang tinggal di Portland, menawarkan pekerjaan kepada Lovy saat lelaki itu mengetahui, jika anak Richard berhasil selamat dari tragedi naas tersebut.
Lelaki itu bahkan menawarkan apartment di mana ia dulu pernah tinggal di sana meski sekarang ia sudah memiliki hunian mewah di kota.
Lovy menerima segala tawaran karena Elda yang memintanya.
Meski dengan berat hati ia harus meninggalkan Elda sendirian, tetapi nenek berhati lembut itu tak keberatan hidup sendiri demi kebaikan cucunya agar melupakan masa lalunya yang kelam.
"Hmm ... tidak buruk. Musim semi di Portland," ucapnya dengan mata terpejam saat merasakan embusan angin kencang menerpa tubuhnya hingga rambutnya melayang.
Lovy yang merasakan jika udara sore itu cukup kencang, segera masuk ke dalam dan menutup pintu teras belakang.
Ia segera memasukkan seluruh pakaian yang dibawanya ke dalam almari baju yang sudah tersedia di kamarnya, berikut sebuah ranjang berukuran 180x200 cm.
Sebuah meja bundar dari kayu dan kursi duduk kayu beralas bantalan empuk.
Lovy menghabiskan waktunya seharian membersihkan rumah barunya hingga malam.
Ia yang kelelahan dan lapar, memilih untuk mandi berendam air hangat sebelum pergi mencari makan malam di sekitar tempat tinggal barunya.
Saat Lovy sudah berpakaian dan memakai sepatu boots kesayangannya yang beronamen unik itu, ia mengurungkan niat. Lovy melihat bercak darah pada ujung sepatunya itu, yang ternyata ada sebuah pisau lipat tersembunyi di sana.
Lovy terdiam sejenak dan teringat akan kejadian saat ia akan diculik oleh para penjahat di malam tahun baru. Ia dipegangi erat dan hampir dilecehkan.
Hal itulah yang membuat jiwa psikopatnya bangkit. Mulutnya dilakban agar tak bisa berteriak minta tolong.
Namun, ia tak hilang akal. Lovy membenturkan kepalanya tepat ke wajah lelaki yang memegangi tangan kanannya kuat.
"Arghh!"
Penjahat itu merintih saat hidungnya berdarah karena dihantam kuat dan patah. Lelaki itu sontak melepaskan cengkeraman dan memegangi hidungnya yang berdarah karena wajahnya memerah.
Penjahat lainnya tertegun. Lelaki yang memegangi tangan kiri Lovy mendapatkan pukulan kuat darinya dari kepalan tangan kanan tepat di salah satu matanya.
Lelaki itu merintih hingga matanya terpejam seketika.
Saat semua orang panik mencoba menghentikan aksi gila wanita yang disanderanya, dengan cepat, Lovy menaikkan salah satu kaki kanannya ke depan dan ujung sepatunya mengenai perut lelaki tersebut yang duduk di samping sopir.
"ARGGHHH!"
Rintihan kembali terdengar. Sebuah ujung pisau tajam menusuk perut lelaki tersebut.
Lelaki itu mengerang kesakitan memegangi perutnya yang berdarah hebat.
Lovy kembali meneruskan aksinya. Ia melayangkan kaki kirinya ke samping kanan tepat ke lelaki yang hidungnya berdarah tadi dan mengenai lehernya.
"Ohok ... ohok ...."
Darah kembali mengucur dari robekan luka di jakun lelaki tersebut. Darah sudah mengenai jaket dan juga dudukan mobil.
Rintihan dan aksi saling serang terjadi. Sopir yang masih selamat itu segera memutar kemudinya untuk berbalik arah.
Ketika mobil yang sudah menghantam tiang listrik dan membuatnya berhenti seketika, suara tembakan terdengar.
Lovy berhasil merampas salah satu pistol di balik pinggang lelaki yang tewas karena luka robek di lehernya itu.
Lelaki yang berada di kiri Lovy menjambak rambut panjangnya dengan kasar. Lovy merintih dan marah.
Ia membalik tubuhnya dan DOR!
Lelaki itu tewas saat Lovy malah merebahkan dirinya dengan sengaja dan menembak sopir mobil tepat di kepala belakangnya dalam posisi tidur.
Lelaki yang tertindih punggung Lovy, melingkarkan lengan kekarnya untuk mencekik wanita tersebut.
Lovy menempelkan ujung moncong pistolnya ke paha lelaki tersebut dan DOR!
"ARRGHHH!"
Erangan kembali terdengar saat sebuah peluru kembali terlontar melubangi bagian tubuh lelaki tersebut.
Lelaki itu melepaskan cengkramannya dan menahan sakit di kakinya. Lovy bangkit dan menembak lagi.
Ia menyelesaikan lelaki itu dengan sebuah peluru yang menembus salah satu mata hingga ke tengkoraknya.
Semua penjahat dalam mobil itu tewas seketika.
Saat Lovy mulai menyadari perbuatannya, ia melihat Paul mendekati mobil yang ditumpanginya dengan gugup.
Seringai Lovy muncul. Ia mengecek peluru dari pistolnya dan tersenyum tipis.
"Selamat tinggal, Paul," ucap Lovy meledek dan DOR!
Kaca mobil bagian depan pecah dan pelurunya mengenai dahi Paul dengan tepat.
Lovy yang sudah menyelesaikan salah satu pekerjaannya malam itupun segera keluar dari mobil karena bau anyir menyeruak di dalam mobil yang dipenuhi oleh mayat-mayat para penjahat.
Tiba-tiba ....
TING TONG!
Lovy terkejut. Lamunannya buyar seketika saat mendengar bel pintu apartmentnya berbunyi.
Ia segera menyembunyikan sepatunya di bawah kolong kasur dan membuka pintu untuk tamu pertamanya dengan bersiakap senormal mungkin.
Lovy mengintip dari balik lubang pintu dan mendapati seorang pria muda berdiri di sana. Ia tak mengenalinya.
Pistol sudah ia siagakan di balik pinggangnya.
Lovy mengatur napas dan membuka pintu itu perlahan.
Lovy menunjukkan senyum menawannya dan lelaki itupun terkesiap seketika.
Lovy membuka pintu dan tersenyum menawan kepada lelaki yang berdiri di depannya. Lelaki tersebut terdiam selama beberapa detik hingga menyadari ketololannya."Hai, aku mm ...." Lelaki itu gugup sembari menyodorkan tangan mengajak Lovy berjabat tangan.Lovy menyambut jabat tangan itu dengan segera dan menunggu kelanjutan dari ucapan lelaki yang tak dikenalnya Namun, yang terjadi malah lelaki itu tak bicara lagi dan membuat Lovy mengambil alih."Aku Lovy, salam kenal," ucapnya memperkenalkan diri."Oh. Aku Sean. Senang mengenalmu," jawabnya yang kini ikut memperkenalkan diri. Lovy melepaskan jabat tangannya karena merasa cukup bersalaman dengan lelaki itu. "Aku anak dari pemilik perusahaan tempat kau akan bekerja besok, Lovy," ucapnya menambahkan."Oh, kau anak dari Tuan Wilver? Sean Wilver?" tanya Lovy memastikan.Sean mengangguk pelan membenarkan. Lovy melihat lelaki itu menenteng sebuah tas. Lovy lalu mengajaknya masuk ke dalam apartement-nya. Lovy terlihat kikuk karena Sean bukan tar
Akhirnya hari yang dinantikan itu tiba. Lovy sudah berdandan cantik dengan make up natural. Tak terlihat seperti seorang psikopat pembunuh keji di balik sosok menawannya sore itu. Ia mengenakan dress setinggi lutut yang merekah dengan ornamen bunga-bunga besar berwarna pink. Lovy secantik bunga-bunga yang sedang bermekaran di musim semi kota Portland.Lovy sudah menunggu di lobi apartment di mana Sean berjanji menjemputnya hari itu. Ia yang sudah menyimpan nomor ponsel Sean, mencoba untuk meneleponnya. Polisi tersebut berjanji menjemput pukul 5 sore, tetapi sudah 30 menit ia tak kunjung datang.Lovy mendadak merasa cemas dan takut jika Sean diincar oleh MI6 yang mungkin ditangkap atau diinterogasi oleh mereka. Hal itu bisa saja terjadi karena kedekatannya dengan Lovy meski baru bertemu dua kali di hari yang sama. Lovy mondar-mandir dan terlihat bingung karena Sean tak mengangkat teleponnya itu. Semua orang yang melewati loby hanya melirik dan berbisik membicarakannya karena Lovy
Lovy menatap wanita itu saksama di mana kini Sean mencoba mendekati dan membujuknya agar tak melompat dari atas jembatan untuk bunuh diri. Semua orang menaruh harapan pada polisi muda itu. "Hei, hei, siapa namamu? Kemarilah, bicaralah padaku," panggil Sean dengan tenang mencoba mendekati wanita itu perlahan. Wanita berambut sepunggung itu sudah berderai air mata. Ia menoleh ke arah Sean dengan isak tangis yang masih terdengar. Sean tersenyum manis padanya dan wanita itu berusaha menghentikan tangisannya. "Apa kau polisi?" tanya wanita itu. "Ya, kemarilah. Kita bicarakan dan aku akan membantumu. Percaya padaku," ucap Sean mengulurkan kedua tangannya. "Percaya padamu? Percaya pada polisi maksudmu? Karena kalianlah hidupku menjadi seperti ini! Apanya yang membantu warga lemah tak berdaya! Kalian hanya membantu untuk orang-orang yang memiliki uang saja! Kalian sama saja dengan penjahat-penjahat itu!" teriak wanita tersebut dengan mata melotot. Praktis, ucapannya mengejutkan
Merekapun tiba di apartment Lovy. Sean ikut turun dari mobil karena penasaran dengan pembicaraan antara Lovy dengan wanita bernama Nia. Lovy menyadari hal tersebut dan bersikap senormal mungkin. "Lovy, aku lihat yang kau berikan kepada wanita itu. Alamat siapa itu?" tanya Sean curiga. Lovy tersenyum manis dan menjawabnya dengan tenang. "Rumah nenekku, Elda. Aku meminta pada wanita itu agar tinggal sementara waktu di rumah nenek. Elda sendirian di rumah dan aku rasa mereka berdua akan cocok. Elda seorang motivator yang bagus." "Oh, begitu. Maaf, aku kira ...." ucap Sean terlihat kikuk seketika. "Kau pikir apa?" tanya Lovy yang malah kini mencurigai Sean. "Hmm, tak ada. Lalu kau menjanjikan apa pada wanita itu? Tak mudah membuat orang yang sudah membulatkan tekat untuk mengakhiri hidupnya bisa mundur begitu saja. Apa yang kau katakan pada wanita itu?" tanya Sean makin mendetail. "Aku hanya mengatakan akan mengenalkannya kepada seorang pengacara, kawan lamaku. Jadi, apa kau ak
Lovy mempersiapkan segala keperluan untuk menjalankan aksinya malam itu. Ia keluar dari pintu kamarnya dengan berkamuflase. Lovy mengenakan wig berwarna pirang lurus sampai ke punggung dengan poni rata menutup alis. Memakai lensa kontak berwarna biru menutupi warna aslinya dan anting besar berbentuk bulat di kedua telinga. Lovy bahkan mengganti sepatunya dengan sebuah heels setinggi 14 cm, menenteng sebuah clutch berwarna emas yang serasi dengan sepatu dan juga rambutnya. Ia bahkan mengganti pakaiannya dengan sebuah dress mini sepaha bercorak monochrome. Atasan tanpa lengan yang membuat belahan dadanya tampak begitu penuh. Lovy sengaja menanggalkan pakaian tempurnya karena melihat situasi untuk menyerang belum memungkinkan sebab target berada di hotel. Lovy berjalan menyusuri koridor dan melihat CCTV sekitar. Tas yang ia letakkan di depan perutnya itu memilki semacam kamera tersembunyi pada sisi kanan dan kiri. Komputer Peter yang sudah tersambung dengan mini cam itu ikut melihat se
Lovy gugup. Ia melirik Ramirez dan Geofani secara bergantian di mana pergelangan tangannya masih dicengkeram erat oleh target utama incarannya itu. Lovy yang tak ingin membuang waktunya lebih lama lagi karena ia sudah mendapatkan kesempatan melawan, segera meluncurkan aksinya. BUKK!! "Argh!" Ramirez merintih dan terkejut karena wanita yang mengaku bernama Patricia memukul wajahnya dengan tas miliknya. Tas tersebut memiliki tekstrur kasar yang membuat lelaki itu bisa merasakan benda kasar menggores wajahnya. Namun, cengkraman Ramirez tak terlepas. Lovy menambahkan serangan dengan menginjak kaki Ramirez menggunakan hak 14 cm dari sepatunya itu kuat. Heels tertancap di ujung sepatu lelaki tersebut. Sontak, pria tersebut mengerang kesakitan hingga matanya terpejam. Geofani terkejut. Ia meletakkan botol wine dan gelas crystal yang seharusnya menjadi teman bercengkrama mereka di malam yang hampir menjelang pagi itu. Saat Geofani akan mengeluarkan senjata dari laci meja dekat ia berdi
Lovy kebingungan. Ia mencoba mencari celah untuk bisa kabur dari kejaran petugas. Ia keluar dari kamar Geofani dengan tergesa untuk mengunci pintu ruang utama. Lovy juga menarik heels yang tertancap di rahang bawah Geofani dengan mencabutnya paksa. Ia mengamankan dua sepatu heelsnya dan membungkusnya pada syal yang ia temukan di sofa kamar Geofani. Lovy mengambil sebuah tas yang digeletakkan begitu saja di sofa ruang tamu. Ia memasukkan wig, sepasang sepatu heels, pistol miliknya dan tas kecil ke dalam tas kantoran berwarna hitam itu. TOK! TOK! TOK! Lovy terkejut. Pintu ruang utama mulai diketuk. Ia segera membuka jendela kamar Geofani yang berseberangan dengan jendela kamar Ramirez. Lovy kembali menghubungi Peter yang masih tersambung dengannya dari earphone. "Peter. Matikan CCTV di sekitarku. Aku akan menyusuri pinggiran sampai ke kamar Ramirez," ucapnya tergesa di mana angin kencang terasa menghempaskan tubuh rampingnya. "Oke! Lalu, kau akan pergi lewat mana? Lantaimu masih san
Lovy terbangun dari tidur lelap karena terkejut saat pintu kamar hotelnya diketuk dengan suara yang cukup kencang. Ia berjalan dengan terhuyung menuju ke pintu ruang utama hanya mengenakan kaos berwarna putih lengan pendek, tak memakai bra dan hanya memakai celana dalam.Membiarkan kaki jenjangnya terekspos karena ia memang terbiasa tidur dengan pakaian santai sebab tak ingin membebani tubuhnya. Ia ingin rileks saat tidur agar peredaran darahnya lancar. Lovy mengucek mata untuk mengembalikan fokus penglihatannya. Ia membiarkan rambutnya terlihat berantakan. Saat Lovy membuka pintu dengan cuek, tiga polisi yang berada di depan pintu kamar tertegun karena mendapati seorang gadis cantik berpakaian minim dan lekuk tubuhnya terlihat begitu menonjol terutama dibagian dada. Tiga polisi itu salah tingkah seketika."Selamat siang, Nona," sapa salah seorang polisi yang mencoba untuk tetap professional.Lovy terkejut karena polisi yang muncul di depannya. Lovy menelan ludah."Y-ya. Apa yang bis
Lovy bersama keluarga besar Lea terbang ke Ithaca pagi itu. Terlihat Lovy murung sedari tadi karena tak menyangka jika neneknya akan tewas mengenaskan karena orang suruhan Tuan Wilver.Mereka tiba siang itu dan langsung menuju ke tempat pemakaman. Suasana pemakaman tak seramai almarhum Tuan Wilver karena hanya datang segelintir orang termasuk keluarga Lea.Lovy menahan air matanya saat peti jenazah neneknya dimasukkan ke liang lahat dan mulai ditimbun tanah. Matthew tak pernah melihat Lovy sesedih ini karena ia terlihat seperti begitu kehilangan dan terpuruk.Selesai pemakaman, Lovy dan lainnya mendatangi rumah Elda yang kini tak lagi di tempati. Nia, wanita yang pernah diselamatkan oleh Lovy dan dibimbing untuk pergi ke Ithaca untuk tinggal sementara waktu bersama Elda dan pada akhirnya bekerja untuk Lea, sudah ada di kediaman Elda bersama beberapa anak buah Lea.Lovy tertegun saat melihat Nia sudah jauh berbeda tak seperti saat ia bertemu dengannya dulu. Nia menyambutnya dan mengaja
Tak terasa, pagi sudah menjelang. Lovy masih tertidur pulas di kamarnya, tetapi suasana di ruang keluarga sudah terlihat ramai oleh anak buah Harold. Terlihat Lea sedang mengobrol serius dengan suaminya."Ada apa?" tanya Matthew tiba-tiba.Sontak, hal itu mengejutkan semua orang yang ada di sana karena tak menyadari kedatangan putra Lea yang seperti hantu."Matt? Matthew? Kau 'kah itu?" tanya Lea keheranan sampai berkerut kening."Mengerikan. Kau bahkan sampai lupa jika aku adalah anakmu," gerutu Matthew di hari yang masih menunjukkan pukul 7 pagi.Harold dan Lea saling memandang. Harold berbisik di telinga Lea dan wanita itupun mengangguk paham."Kau terlihat tampan, Matt, tak seperti berandalan. Apa yang mengubahmu?" tanya Lea bernada menyindir."Jangan mulai. Sebaiknya, kau katakan apa yang terjadi? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Matthew ketus.Lea dan Harold tersenyum menghela napas. Mereka sudah paham dengan sifat dan perilaku pria yang sebenarnya berwajah tampan itu. Harold m
VROOM!!Lovy bahkan menyempatkan melambaikan tangan kepada satpam penjaga di pos yang membukakan portal tempat parkir mobil. Lovy melajukan mobil barunya dengan kecepatan penuh dan pandangan lurus ke depan. Matthew bisa merasakan amarah dan ketegangan dalam diri Lovy."Mm, Lovy ....""Diam. Jangan katakan apapun," ucap Lovy menunjukkan telunjuknya tepat di wajah Matthew."Oke. Hanya saja, kita mau ke mana? Jika kau tak keberatan, bagaimana kalau ke bandara? Pesawat pribadiku ada di sana," jawab Matthew gugup karena Lovy berkendara layaknya pembalap.Lovy diam saja, tapi ia langsung membanting setir. Matthew yang tahu jika Lovy sedang marah itupun diam karena tak mau dilempar dari mobil. Matthew akhirnya menyadari jika Lovy sedang membawanya ke bandara."Tinggalkan saja mobilnya, nanti aku akan meminta anak buahku membawanya ke Kansas," ucap Matthew menyarankan, tetapi Lovy diam saja tanpa ekspresi di wajah.Matthew menghela napas. Ia diam selama perjalanan hingga akhirnya mereka tiba
Lovy segera masuk ke lift dan menuju ke lantai 4. Dengan napas menderu, ia mendatangi ruangan tempatnya bekerja di mana ruangan milik Tuan Wilver juga berada di sana. Sean yang panik karena lift tak kunjung datang, nekat menaiki tangga dengan tergesa karena takut jika ayahnya tewas di tangan istrinya yang sedang gelap mata itu. Sean berlari sekuat tenaga dengan napas tersengal dari lantai satu menuju ke lantai 4 secepat yang ia bisa. TING!Pintu lift terbuka dan Lovy melihat sekitar yang gelap karena kantor libur hari itu. Lovy melangkahkan kakinya dengan tatapan kosong karena pikiran dan hatinya kini berkecamuk. Ia menggenggam senjata milik Matthew di tangan kanannya dengan mantap.Lovy melangkahkan kakinya perlahan memasuki ruangan tempat biasa ia duduk dengan Bob dan Isabel. Ia melihat lampu di ruangannya menyala, tetapi tak ada orang. Pintu juga tak dikunci dan Lovy cukup mendorongnya untuk bisa masuk ke dalam.Namun, ia mendengar ada orang berbincang di dalam ruangan Tuan Wilve
Semua orang di ruangan itu tertegun dengan jantung berdebar dan kepanikan melanda."Jangan diam saja! Kita harus segera ke Ithaca!" pekik Matthew yang membuat Lovy dan Sean tersadar dari keterkejutan mereka.Sean segera membangunkan Lovy yang masih gemeteran dan menangis. Mereka bergegas pergi meninggalkan apartment. Terlihat Matthew berjalan di depan dan menghubungi seseorang untuk mengurus sesuatu.Dua bodyguard Matthew segera menyiapkan mobil saat mereka bertiga kini menunggu di lobi. Namun, saat dua bodyguard Matthew sedang berjalan tergesa mendekati mobil dan salah satu lelaki itu menyalakan kunci pembuka jarak jauh, tiba-tiba ....PIP! PIP!DWUARRRR!!"Oh my God!" pekik Sean terkejut dan langsung memeluk Lovy erat.Dua bodyguard Matthew terpental dan menghantam mobil yang berada di dekat mereka. Matthew terkejut dan langsung menarik senjata dari balik pinggangnya. "Kembali ke dalam cepat!" teriak Matthew yang mengajak Sean dan Lovy masuk ke dalam.Mereka bertiga bergegas kembal
Lovy mengelus punggung Sean lembut dan mengajaknya duduk di kursi meja makan. Mereka berdua duduk bersebelahan di depan Matthew yang terlihat masih menikmati makanan di depannya. "Biar kutebak. Ini masakanmu, ya, Lovy sayang? Kenapa kau tak pernah memasak untukku?" tanya Matthew cemberut. "Sudah kubilang jangan memanggil istriku sayang!" teriak Sean lantang yang mengejutkan semua orang di ruangan itu. Matthew menghentikan makan dan menatap Sean yang memandanginya penuh emosi. "Oke ... baiklah. Jadi begini maksud kedatanganku, Lovy sayang ...." BRAKK!! "Keparat kurang ajar! Kemari kau, biar kuhajar wajahmu dan kulempar dari jendela rumahku!" Lovy terkejut karena Sean sampai menggebrak meja dan langsung berdiri. Namun, saat Sean akan mencengkeram baju Matthew, dua bodyguard lelaki itu langsung memegangi kedua tangan Sean kuat. Matthew tertawa terbahak dan terlihat begitu gembira. "Matthew! Jika kau sungguh menghargai persahabatan kita di masa lalu, jangan membuatku kecewa denga
Pagi itu, mereka bersiap terbang dengan pesawat komersil menuju ke Portland. Lovy dan Sean sudah duduk dengan nyaman di bangku masing-masing. Lovy terlihat gugup karena ia khawatir jika nanti akan bermimpi buruk lagi dan mengejutkan semua penumpang."Kenapa? Kau takut jika mengamuk lagi? Jangan khawatir, Sayang. Kau akan baik-baik saja. Kau sudah menceritakan ketakutanmu padaku. Seharusnya, mimpi buruk itu tak lagi mengusikmu," ucap Sean menenangkan sembari memegang salah satu tangan Lovy erat."Jika datang kembali?" tanyanya gugup."Aku akan mengatakan pada semua orang jika kau habis menonton film horor dan terbawa sampai mimpi," jawab Sean santai dan Lovy spontan tertawa kecil.Sean balas tertawa karena ia sudah yakin jika istrinya pasti memikirkan hal itu kembali. Lovy mengangguk dan tak masalah jika Sean harus membuat skenario seperti yang ia katakan agar tak menimbulkan kepanikan para penumpang.Ternyata, ketakutan Lovy dan Sean tak terjadi. Mereka tiba di Portland dengan selamat
Terlihat Lovy mulai terbiasa dengan gaya ranjang Sean. Lovy juga mulai bisa melakukan gaya lainnya yang membuat sang suami makin mabuk kepayang.nLovy sudah tak terlihat kikuk lagi saat menggoyangkan pinggulnya kuat hingga Sean tak berhenti mengerang. Malah Lovy yang terlihat paling bersemangat ketika Sean mengajaknya bertarung di ranjang penuh peluh dan kenikmatan. Tampak Lovy seperti paling menyukai ketika Sean menyodokkan miliknya dari belakang. Lovy bisa bertahan hingga waktu yang lama dan tak berhenti meremas kuat Junior di dalam sana. Namun, Sean yang malah kuwalahan karena ia merasa daging panjangnya dipijat enak di dalam sana, hingga seluruh tubuhnya menegang dan kakinya terasa lemas. "Sayang, kenapa kau belum keluar juga?" keluh Sean sampai keningnya berkerut karena Lovy tak berhenti menekan miliknya hingga tertelan semua di dalam sana. "Kau lelah?" ledeknya. "Kali ini kuakui, yes ... hah, aku sudah tak sanggup lagi, Sayang," rintih Sean dengan wajah sudah memerah tak bis
Mereka berdua yang kelelahan setelah bertarung panas di ranjang, tertidur lelap dengan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Mereka kini menyadari jika berada di sarang MI6. Kejadian buruk bisa menimpa mereka kapan saja dan keduanya pun semakin waspada.Meskipun demikian, Lovy dan Sean tetap harus melanjutkan honeymoon di negara itu meski mata mereka tak berhenti mengawasi sekitar untuk melihat siapapun yang dirasa mencurigakan, bahkan mungkin dianggap ancaman.Mereka mendatangi Istana Kensington yang memiliki taman di dalamnya. Taman ini ditata dengan sangat indah dan rapi. Ada sebuah kolam yang menenangkan dan menyejukkan serta dikelilingi oleh berbagai macam jenis bunga. Lovy dan Sean tak henti-hentinya mengabadikan moment indah ini dalam jepretan kamera hingga keduanya merasa malu sendiri."Aku seperti orang tak tahu diri," ucap Sean terkekeh melihat wajahnya dalam foto yang terlihat begitu gembira dengan senyum lebar dalam tiap foto.Lovy sampai tertawa terbahak karena melihat