Lovy memberikan pelukan hangat kepada neneknya itu. Lovy yang sudah tinggal dengannya selama 5 tahun di Amerika meninggalkan Inggris, menatap neneknya dengan sedih.
"Aku akan selalu berkunjung tiap bulan. Kenapa kau tak ikut denganku saja, Elda?" tanya Lovy menggenggam kedua tangan Elda erat menahan air mata kesedihannya.
"Kau sudah dewasa. Mulailah jalani hidupmu. Nenek akan selalu menunggumu di rumah. Datanglah kapan pun kau mau, jangan kau paksakan pulang jika sibuk. Nenek bisa mengerti," ucap Elda sembari mengusap air mata yang menetes dari mata cantik cucunya.
Lovy mengangguk dan mengecup kening Elda dengan penuh kasih sayang. Elda memejamkan mata merasakan ketulusan hati Lovy yang begitu menyayanginya. Elda merelakan Lovy pergi membawa mobil tuanya ke Portland. Ia memasukkan segala perlengkapan ke dalam bagasi dan menyalakan GPS menuju Portland.
Lovy melambaikan tangan dan tersenyum manis kepada Elda. Nenek itu balas melambai dan menahan air matanya agar tak menetes. Pagi itu, seusai sarapan, Lovy melaju mobilnya meninggalkan Ithaca ke Portland dengan kecepatan sedang. Perjalanan dengan mobil selama 40 jam dipilih Lovy karena menghindari pencarian militer jika namanya terekam dalam daftar penerbangan.
Hingga akhirnya, Lovy tiba ke Portland setelah ia harus singgah ke beberapa kota dan hostel untuk beristirahat. Ia terlihat begitu bersemangat. Meski musim sudah memasuki semi, tapi udara dingin masih mengusiknya. Namun, hal itu tak membekukan semangatnya.
Lovy mententeng kopernya yang besar itu saat menaiki tangga. Ia tinggal di sebuah apartment kecil yang disewa untuk tempat tinggalnya selama di kota itu. Lovy gadis yang pintar dalam mengatur keuangan. Meski ia tak bekerja dan mendapatkan penghasilan seperti saat masih menjadi sniper dulu, tapi ia tak pernah mengeluh soal kehidupannya yang sederhana.
Ia menyukai hidupnya bersama Elda semenjak tragedi mengerikan yang terjadi pada kedua orang tuanya bertahun-tahun yang lalu. Lovy masuk ke rumah barunya yang hanya berukuran 50 meter persegi. Sebuah ruangan besar yang memiliki dua buah kamar. Sebuah toilet dengan bak, shower dan water heater. AC dan pemanas ruangan di tiap ruangan selain kamar mandi. Sebuah ruang tamu yang jadi satu dengan ruang keluarga dilengkapi televisi 40 inch. Sebuah dapur termasuk kitchen set, lemari pendingin dan kompor.
Terdapat balkon di bagian belakang untuk menjemur pakaian. Terlihat pemandangan kota Portland serta kolam renang di bagian bawah. Ia tinggal di lantai 13. Angka sial bagi kebanyakan orang, tapi bagi Lovy merupakan angka keberuntungan. Lovy termasuk beruntung karena tempat bekerjanya sebuahnya Travel Agent dan pemiliknya masih memiliki hubungan baik dengan mendiang almarhum ayahnya dulu.
Kawan semasa kuliah ayah Lovy yang tinggal di Portland, menawarkan pekerjaan kepada Lovy saat lelaki itu mengetahui, jika anak Richard berhasil selamat dari tragedi naas tersebut. Lelaki itu bahkan menawarkan apartment di mana ia dulu pernah tinggal di sana meski sekarang ia sudah memiliki hunian mewah di kota.
Lovy menerima segala tawaran karena Elda yang memintanya. Meski dengan berat hati ia harus meninggalkan Elda sendirian, tetapi nenek berhati lembut itu tak keberatan hidup sendiri demi kebaikan cucunya agar melupakan masa lalunya yang kelam.
"Hmm ... tidak buruk. Musim semi di Portland," ucapnya dengan mata terpejam saat merasakan embusan angin kencang menerpa tubuhnya hingga rambutnya melayang.
Lovy yang merasakan jika udara sore itu cukup kencang, segera masuk ke dalam dan menutup pintu teras belakang. Ia segera memasukkan seluruh pakaian yang dibawanya ke dalam almari baju yang sudah tersedia di kamarnya, berikut sebuah ranjang berukuran 180x200 cm. Sebuah meja bundar dari kayu dan kursi duduk kayu beralas bantalan empuk.
Lovy menghabiskan waktunya seharian membersihkan rumah barunya hingga malam. Ia yang kelelahan dan lapar, memilih untuk mandi berendam air hangat sebelum pergi mencari makan malam di sekitar tempat tinggal barunya. Saat Lovy sudah berpakaian dan memakai sepatu boots kesayangannya yang beronamen unik itu, ia mengurungkan niat. Lovy melihat bercak darah pada ujung sepatunya itu, yang ternyata ada sebuah pisau lipat tersembunyi di sana.
Lovy terdiam sejenak dan teringat akan kejadian saat ia akan diculik oleh para penjahat di malam tahun baru. Ia dipegangi erat dan hampir dilecehkan. Hal itulah yang membuat jiwa psikopatnya bangkit. Mulutnya dilakban agar tak bisa berteriak minta tolong. Namun, ia tak hilang akal. Lovy membenturkan kepalanya tepat ke wajah lelaki yang memegangi tangan kanannya kuat.
"Arghh!"
Penjahat itu merintih saat hidungnya berdarah karena dihantam kuat dan patah. Lelaki itu sontak melepaskan cengkeraman dan memegangi hidungnya yang berdarah karena wajahnya memerah. Penjahat lainnya tertegun. Lelaki yang memegangi tangan kiri Lovy mendapatkan pukulan kuat darinya dari kepalan tangan kanan tepat di salah satu matanya. Lelaki itu merintih hingga matanya terpejam seketika.
Saat semua orang panik mencoba menghentikan aksi gila wanita yang disanderanya, dengan cepat, Lovy menaikkan salah satu kaki kanannya ke depan dan ujung sepatunya mengenai perut lelaki tersebut yang duduk di samping sopir.
"ARGGHHH!"
Rintihan kembali terdengar. Sebuah ujung pisau tajam menusuk perut lelaki tersebut. Lelaki itu mengerang kesakitan memegangi perutnya yang berdarah hebat. Lovy kembali meneruskan aksinya. Ia melayangkan kaki kirinya ke samping kanan tepat ke lelaki yang hidungnya berdarah tadi dan mengenai lehernya.
"Ohok ... ohok ...."
Darah kembali mengucur dari robekan luka di jakun lelaki tersebut. Darah sudah mengenai jaket dan juga dudukan mobil. Rintihan dan aksi saling serang terjadi. Sopir yang masih selamat itu segera memutar kemudinya untuk berbalik arah. Ketika mobil yang sudah menghantam tiang listrik dan membuatnya berhenti seketika, suara tembakan terdengar. Lovy berhasil merampas salah satu pistol di balik pinggang lelaki yang tewas karena luka robek di lehernya itu.
Lelaki yang berada di kiri Lovy menjambak rambut panjangnya dengan kasar. Lovy merintih dan marah. Ia membalik tubuhnya dan DOR! Lelaki itu tewas saat Lovy malah merebahkan dirinya dengan sengaja dan menembak sopir mobil tepat di kepala belakangnya dalam posisi tidur. Lelaki yang tertindih punggung Lovy, melingkarkan lengan kekarnya untuk mencekik wanita tersebut. Lovy menempelkan ujung moncong pistolnya ke paha lelaki tersebut dan DOR!
"ARRGHHH!"
Erangan kembali terdengar saat sebuah peluru kembali terlontar melubangi bagian tubuh lelaki tersebut. Lelaki itu melepaskan cengkramannya dan menahan sakit di kakinya. Lovy bangkit dan menembak lagi. Ia menyelesaikan lelaki itu dengan sebuah peluru yang menembus salah satu mata hingga ke tengkoraknya. Semua penjahat dalam mobil itu tewas seketika.
Saat Lovy mulai menyadari perbuatannya, ia melihat Paul mendekati mobil yang ditumpanginya dengan gugup. Seringai Lovy muncul. Ia mengecek peluru dari pistolnya dan tersenyum tipis.
"Selamat tinggal, Paul," ucap Lovy meledek dan DOR!
Kaca mobil bagian depan pecah dan pelurunya mengenai dahi Paul dengan tepat. Lovy yang sudah menyelesaikan salah satu pekerjaannya malam itupun segera keluar dari mobil karena bau anyir menyeruak di dalam mobil yang dipenuhi oleh mayat-mayat para penjahat.
Tiba-tiba ....
TING TONG!
Lovy terkejut. Lamunannya buyar seketika saat mendengar bel pintu apartmentnya berbunyi. Ia segera menyembunyikan sepatunya di bawah kolong kasur dan membuka pintu untuk tamu pertamanya dengan bersiakap senormal mungkin. Lovy mengintip dari balik lubang pintu dan mendapati seorang pria muda berdiri di sana. Ia tak mengenalinya. Pistol sudah ia siagakan di balik pinggangnya. Lovy mengatur napas dan membuka pintu itu perlahan. Lovy menunjukkan senyum menawannya dan lelaki itupun terkesiap seketika.
Malam hari di kota Manhattan, Amerika Serikat. Hiruk pikuk kota metropolitan dengan gemerlap lampu berwarna-warni memanjakan mata, menjadikan suasana malam itu begitu indah meski tak terlihat kilauan bintang di langit. Bagaikan serangga, orang-orang dari berbagai ras berkumpul di kota itu untuk menikmati indahnya malam pergantian tahun di sekitar kawasan Midtown yang akan berlangsung dua jam lagi.Semua orang datang berbondong-bondong bersama kekasih, teman, saudara, bahkan keluarga untuk ikut memeriahkan acara pesta kembang api yang akan diselenggarakan di tempat itu. Namun, terlihat seorang wanita berambut hitam panjang sepunggung dan memiliki gelombang indah tergerai menutupi tubuhnya yang molek. Sorot mata tajam, hidung mancung dan bibir tebal karena sebuah lipstik merah menyala menghiasi bibir cantiknya.Wanita bertubuh atletis yang terlihat dari kedua lengannya karena sedikit berotot. Kaki jenjang yang tertutupi celana jeans panjang dan sepatu boots beronamen bunga di samping se
Tak terasa, hari sudah berganti lagi, seolah begitu cepat. Memori indah terekam oleh beberapa orang karena kemeriahan pesta kembang api merayakan pergantian tahun di Midtown. Pesta kembang api selalu memberikan kesan tersendiri bagi beberapa orang yang merayakannya. Namun, seorang wanita yang terlibat baku tembak dan aksi pembunuhan lima orang lelaki semalam, ternyata memberikan kesan tersendiri bagi makhluk bertubuh seksi itu.Ia tidur dalam bak mandi, menutupi dirinya dengan selimut karena hanya mengenakan pakaian dalam saja. Ia menggunakan bantal sebagai alas kepala. Ranjang empuk di kamar mewahnya tak ia gunakan dan dibiarkan sendirian tanpa seorang pun yang tidur di atasnya. Ia sudah membuka matanya pagi itu. Televisi ia biarkan menyala semalaman untuk melihat dan mendengar laporan berita kriminal tentang aksi pembunuhan yang dilakukannya.Hingga akhirnya, ia mendengar berita yang dinantikannya. Ia diam saja di dalam bak. Riasan yang telah dihapus dari wajah cantik polosnya, memb
Malam itu ...."Tidak, tolong ... jangan ... kalian silakan ambil apapun yang kalian inginkan, tapi tolong jangan sakiti keluargaku, tolong ...." ucap seorang lelaki paruh baya memohon dengan sangat.Namun, "Richard!" teriak seorang wanita yang kedua tangannya sudah dipegangi dengan erat oleh dua lelaki berwajah bengis. Dia yang sadar jika kalah kekuatan, membuatnya berdiri tak berdaya dengan air mata sudah menggenangi wajah cantiknya."Uhuk ... uhuk ... aggg," rintih lelaki bernama Richard. Ia sudah menggelepar di atas lantai dengan wajah babak belur berlumuran darah.Seorang gadis kecil membungkam mulutnya rapat menahan teriakannya di dalam sebuah almari, tempat ayahnya menyimpan koleksi kulit hewan hasil buruannya untuk dijadikan karpet."Seperti permintaanmu. Akan kuambil semua barang berharga yang ada di rumah ini!" teriak lelaki yang menodongkan pistol di kepala Richard.Pria itu, memerintahkan kepada dua anak buahnya untuk merampok seluruh kekayaan milik keluarga Richard. Namun
Pagi itu, Lovy yang sudah bersiap dan berdandan layaknya gadis manis nan anggun, duduk di salah satu kursi meja makan yang terbuat dari kayu. Elda sudah menunggunya dengan senyum menawan sembari menuangkan susu cokelat kemasan untuk cucu cantiknya itu."Terima kasih, Nek," ucap Lovy dengan senyum mengembang.Elda membalasnya dengan senyum merekah. Ia lalu ikut duduk di seberang Lovy sembari menyendok sup ayam yang masih panas di hari yang dingin itu."Nenek. Apa benar kau tak apa jika kutinggal dan menetap di Portland? Siapa yang akan membantumu membereskan rumah?" tanya Lovy memelas.Elda kembali tersenyum sembari mengaduk supnya yang masih panas."Jangan khawatirkan aku. Mungkin aku memang sudah tua, tapi aku masih sangat sanggup melakukan apapun. Pergilah," ucap Elda meyakinkan."Baiklah, jika itu memang maumu. Hanya saja, aku akan ke Portland saat musim semi nanti. Aku harus mencari tempat tinggal baru selama di sana," jawab Lovy tegas."Kau tak usah mencemaskan tempat tinggalmu.