Malam itu .
"Tidak, tolong ... jangan ... kalian silakan ambil apapun yang kalian inginkan, tapi tolong jangan sakiti keluargaku, tolong ...." ucap seorang lelaki paruh baya memohon dengan sangat.
Namun, "Richard!" teriak seorang wanita yang kedua tangannya sudah dipegangi dengan erat oleh dua lelaki berwajah bengis.
Dia yang sadar jika kalah kekuatan, membuatnya berdiri tak berdaya dengan air mata sudah menggenangi wajah cantiknya.
"Uhuk ... uhuk ... aggg," rintih lelaki bernama Richard. Ia sudah menggelepar di atas lantai dengan wajah babak belur berlumuran darah.
Seorang gadis kecil membungkam mulutnya rapat menahan teriakannya di dalam sebuah almari, tempat ayahnya menyimpan koleksi kulit hewan hasil buruannya untuk dijadikan karpet.
"Seperti permintaanmu. Akan kuambil semua barang berharga yang ada di rumah ini!" teriak lelaki yang menodongkan pistol di kepala Richard.
Pria itu, memerintahkan kepada dua anak buahnya untuk merampok seluruh kekayaan milik keluarga Richard.
Namun, para perampok berjumlah 5 orang itu seperti tak puas dengan harta yang sudah dirampasnya.
Ketua perampok itu malah mendekati wanita yang kini diikat kedua tangannya karena sedari tadi mencoba melawan. Mulutnya disumpal dengan kain.
Wanita itu ketakutan dan menangis karena lelaki berwajah bengis itu mendekatinya dengan senyum penuh maksud.
"Isterimu cantik sekali, Richard. Kau tak keberatan untuk membaginya, 'kan?" ucap ketua perampok itu sembari mengelus lembut pipi isteri Richard dengan seringainya.
"Jangan sentuh isteriku! Kalian sudah mendapatkan semuanya! Pergi kalian semua dari sini!" teriak Richard.
Ia begitu marah dan berusaha sekuat tenaga untuk bangun menyelamatkan isterinya dari tangan kotor para penjahat itu.
Isteri Richard menangis sedih. Namun, para perampok itu tak memperdulikannya. Dua lelaki yang sedari tadi memeganginya, menyeret wanita itu ke dalam kamar.
Mata Richard melebar seketika. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melawan meski kesulitan untuk bangun karena sudah babak belur.
"Hentikan!" teriak Richard geram, tetapi, "ARGGHHH!!" Richard merintih kesakitan saat kakinya diinjak hingga patah oleh ketua penjahat itu.
Isteri Richard meronta. Richard berusaha sekuat tenaga dengan merayap di atas lantai untuk menyelamatkan isteri yang akan diperkosa secara membabi buta oleh kelima perampok itu.
Mereka merobek pakaian wanita itu dan membuangnya begitu saja ke lantai. Para lelaki itu sengaja membuka pintu kamarnya agar Richard melihat perbuatan bejat yang mereka lakukan.
Isteri Richard menangis dengan isak tangis menyayat hati karena ia diperkosa secara brutal oleh kelima lelaki tersebut secara bergantian. Richard berteriak lantang mencoba menghentikan aksi bejat para perompak itu. Richard lalu menengok ke arah lemari tempat ia menyembunyikan anaknya.
Richard mengumpulkan seluruh kekuatannya dan mencoba bicara dengan tenang agar anaknya tak berteriak.
"Lovy, dengar. Ayah dan Ibu sangat menyayangimu. Pergilah dari sini segera. Pergilah sejauh mungkin dan temui polisi. Katakan apa yang terjadi di sini. Apapun yang kau lihat dan dengar setelah kau pergi dari rumah ini, tetaplah berjalan ke depan, jangan menoleh ke belakang. Kau mengerti?" ucap Richard dengan ekspresi yang sudah tak bisa digambarkan lagi.
Lovy mengangguk dengan air mata menetes di wajahnya. Ia ketakutan dan membuka pintu lemarinya perlahan.
Richard segera merayap menuju ke dapur saat ia melihat anak gadisnya berhasil pergi dan kini menyelinap dari jendela ruang tengah untuk melarikan diri.
Richard memejamkan mata. Ia sudah tak sanggup mendengar rintihan dan jeritan menyedihkan dari isteri tercintanya itu karena sumpalan di mulutnya sengaja dilepas.
Isteri Richard ditampar berulang kali hingga wajahnya lebam dan bibirnya berdarah. Ia tergolek lemas dan air mata membasahi wajahnya yang dipenuhi kesedihan. Richard segera melepaskan selang gas dan mengeluarkan korek api gas dari balik sakunya karena ia biasa menyimpannya untuk menyalakan rokok.
"Ayah menyayangimu, Lovy. Hanya saja, kami tak bisa hidup dengan penderitaan yang lebih kejam setelah hari ini. Kami sangat mencintaimu...." ucap Richard saat gas sudah menyeruak di dalam rumahnya itu.
"Hei, bau apa ini?" tanya seorang perampok saat menyadari jika ada bau aneh yang tiba-tiba tercium oleh mereka.
Sontak, salah satu perampok yang masih mengenakan celana karena ia menunggu giliran untuk memperkosa isteri Richard, terkejut. Ia melihat Richard memegang korek api gas dalam genggamannya.
Mata isteri Richard terbelalak. Ia kini tengkurap tak berdaya dan sudah tak berbusana di atas kasur. Isteri Richard terkejut melihat aksi nekat sang suami.
Namun, ia mengangguk dengan air mata kesedihan, setuju dengan hal yang akan dilakukan oleh pria yang dicintainya itu.
Richard berkata lirih dari kejauhan menatap wajah isterinya yang menatapnya sambil meneteskan air mata.
"Aku mencintaimu, Sayang. Aku mencintaimu ...." ucap Richard lirih dengan air mata sudah membanjiri wajahnya.
Seketika, suara ledakan besar memekakkan telinga terjadi dan membuat Lovy kecil yang sudah berada jauh dari rumahnya itu terkejut seketika. Ia menoleh dan melihat kobaran api dahsyat melahap rumahnya.
Tubuhnya bergetar, ia tahu dengan apa yang terjadi kepada dua orang tuanya itu.
"Ayah! Ibu!" teriak Lovy yang berteriak histeris karena melihat rumahnya terbakar dalam gelapnya malam.
Lovy tak mengindahkan ucapan ayahnya. Ia berlari dengan air mata yang tumpah begitu deras, kembali ke rumahnya itu. Saat Lovy sudah di depan rumahnya, tiba-tiba ....
"AAAAA!"
Lovy terpental karena ledakan dahsyat terjadi lagi saat ia nekat mendekati rumahnya. Ia terkena pecahan kaca dari balik jendela ruang tengah saat ia menyelinap keluar tadi.
Lovy pingsan tergeletak di halaman rumahnya saat suara sirene mobil polisi, ambulance dan pemadam kebakaran terdengar menuju ke rumahnya.
Ketika Lovy tersadar dan membuka matanya ....
"Lo-Lovy ...."
"Hah! Hah ... hah .... Elda? Oh!" kejut Lovy saat ia tak sengaja mencekik sang nenek.
Ia segera melepaskan cengkeramannya. Elda memegangi lehernya yang sakit dan berusaha untuk kembali bernapas.
"A-aku minta maaf. Aku minta maaf, Elda," ucap Lovy merasa bersalah dan bingung dalam bersikap.
Lovy berkeringat dan segera mengelapnya dengan kedua tangan di keningnya. Elda yang kembali tenang, memberikan segelas air untuk Lovy minum, tetapi Lovy menolaknya.
"Minumlah, jangan membantah!" pinta Elda memaksa.
Lovy mengangguk dan akhirnya menerima gelas itu lalu meminumnya hingga habis. Elda bahagia karena Lovy masih mau mendengarkan ucapannya.
Lovy memberikan gelasnya lagi dan Elda menerimanya. Ia meletakkan di atas meja perlahan sembari mengelus kepala Lovy lembut.
"Aku tak apa. Sungguh, jangan merasa bersalah," ucap Elda seraya mengelus lembut punggung cucunya itu penuh kasih.
"Aku minta maaf," jawab Lovy dengan pandangan tertunduk. Ia hampir saja membunuh sang nenek yang sangat menyayanginya. "Kau tidur lama sekali. Bahkan kau tak makan malam. Sebentar lagi pagi, bangunlah, pasti kau lapar," ucap Elda penuh perhatian.
Lovy diam saja menatap neneknya itu. Elda yang merawatnya setelah kematian ayah ibunya yang begitu tragis bertahun-tahun lalu.
Lovy memeluk Elda erat dan berusaha menahan air mata kesedihannya. Elda balas memeluk Lovy dan mengelus rambut hitam panjangnya lembut dengan penuh kasih.
Elda tahu jika kenangan kelam itu masih selalu datang dan menjadi mimpi buruk bagi Lovy. Elda begitu iba padanya.
Meski Lovy masih bisa tersenyum dan tertawa, tetapi ia tahu jika kondisi psikisnya sudah hancur. Dendam menyelimuti jiwanya.
"Ah, kau bau. Mandilah, lalu segera turun dan makan bersamaku. Tak usah berdandan yang cantik, nanti aku iri," ucap Elda sembari melepaskan pelukannya dan memonyongkan bibir.
Lovy terkekeh karena sikap ganjen neneknya itu. Lovy mengangguk dengan senyum merekah.
Ia segera bangun dari tempat tidur dan berjalan menuju ke kamar mandi. Saat sudah di pintu, ia membalik tubuhnya dan menatap Elda seksama.
"Aku menyayangimu, Elda," ucap Lovy sembari menenteng handuk dalam genggamannya.
"Aku tahu. Aku juga menyayangimu," balas Elda dengan senyum menawan.
Lovy tersenyum dan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia merendam dirinya dalam bak berisi air hangat di hari yang dingin itu.
Elda merapikan tempat tidur Lovy sembari mengambil boneka beruang kesayangan peninggalan kedua orang tuanya.
"Jangan ambil nyawaku dulu, Tuhan. Aku ingin melihat cucuku bahagia. Aku ingin memastikan jika ia hidup bahagia sebelum kutinggalkan, ia layak mendapatkannya," ucap Elda memejamkan mata sembari menatap lekat boneka beruang itu.
Pagi itu, Lovy yang sudah bersiap dan berdandan layaknya gadis manis nan anggun, duduk di salah satu kursi meja makan yang terbuat dari kayu. Elda sudah menunggunya dengan senyum menawan sembari menuangkan susu cokelat kemasan untuk cucu cantiknya itu."Terima kasih, Nek," ucap Lovy dengan senyum mengembang.Elda membalasnya dengan senyum merekah. Ia lalu ikut duduk di seberang Lovy sembari menyendok sup ayam yang masih panas di hari yang dingin itu."Nenek. Apa benar kau tak apa jika kutinggal dan menetap di Portland? Siapa yang akan membantumu membereskan rumah?" tanya Lovy memelas.Elda kembali tersenyum sembari mengaduk supnya yang masih panas."Jangan khawatirkan aku. Mungkin aku memang sudah tua, tapi aku masih sangat sanggup melakukan apapun. Pergilah," ucap Elda meyakinkan."Baiklah, jika itu memang maumu. Hanya saja, aku akan ke Portland saat musim semi nanti. Aku harus mencari tempat tinggal baru selama di sana," jawab Lovy tegas."Kau tak usah mencemaskan tempat tinggalmu.
Lovy memberikan pelukan hangat kepada neneknya itu. Lovy yang sudah tinggal dengannya selama 5 tahun di Amerika meninggalkan Inggris, menatap neneknya dengan sedih."Aku akan selalu berkunjung tiap bulan. Kenapa kau tak ikut denganku saja, Elda?" tanya Lovy menggenggam kedua tangan Elda erat menahan air mata kesedihannya."Kau sudah dewasa. Mulailah jalani hidupmu. Nenek akan selalu menunggumu di rumah. Datanglah kapan pun kau mau, jangan kau paksakan pulang jika sibuk. Nenek bisa mengerti," ucap Elda sembari mengusap air mata yang menetes dari mata cantik cucunya.Lovy mengangguk dan mengecup kening Elda dengan penuh kasih sayang. Elda memejamkan mata merasakan ketulusan hati Lovy yang begitu menyayanginya. Elda merelakan Lovy pergi membawa mobil tuanya ke Portland. Ia memasukkan segala perlengkapan ke dalam bagasi dan menyalakan GPS menuju Portland.Lovy melambaikan tangan dan tersenyum manis kepada Elda. Nenek itu balas melambai dan menahan air matanya agar tak menetes. Pagi itu
Lovy membuka pintu dan tersenyum menawan kepada lelaki yang berdiri di depannya. Lelaki tersebut terdiam selama beberapa detik hingga menyadari ketololannya."Hai, aku mm ...." Lelaki itu gugup sembari menyodorkan tangan mengajak Lovy berjabat tangan.Lovy menyambut jabat tangan itu dengan segera dan menunggu kelanjutan dari ucapan lelaki yang tak dikenalnya Namun, yang terjadi malah lelaki itu tak bicara lagi dan membuat Lovy mengambil alih."Aku Lovy, salam kenal," ucapnya memperkenalkan diri."Oh. Aku Sean. Senang mengenalmu," jawabnya yang kini ikut memperkenalkan diri. Lovy melepaskan jabat tangannya karena merasa cukup bersalaman dengan lelaki itu. "Aku anak dari pemilik perusahaan tempat kau akan bekerja besok, Lovy," ucapnya menambahkan."Oh, kau anak dari Tuan Wilver? Sean Wilver?" tanya Lovy memastikan.Sean mengangguk pelan membenarkan. Lovy melihat lelaki itu menenteng sebuah tas. Lovy lalu mengajaknya masuk ke dalam apartement-nya. Lovy terlihat kikuk karena Sean bukan tar
Akhirnya hari yang dinantikan itu tiba. Lovy sudah berdandan cantik dengan make up natural. Tak terlihat seperti seorang psikopat pembunuh keji di balik sosok menawannya sore itu. Ia mengenakan dress setinggi lutut yang merekah dengan ornamen bunga-bunga besar berwarna pink. Lovy secantik bunga-bunga yang sedang bermekaran di musim semi kota Portland.Lovy sudah menunggu di lobi apartment di mana Sean berjanji menjemputnya hari itu. Ia yang sudah menyimpan nomor ponsel Sean, mencoba untuk meneleponnya. Polisi tersebut berjanji menjemput pukul 5 sore, tetapi sudah 30 menit ia tak kunjung datang.Lovy mendadak merasa cemas dan takut jika Sean diincar oleh MI6 yang mungkin ditangkap atau diinterogasi oleh mereka. Hal itu bisa saja terjadi karena kedekatannya dengan Lovy meski baru bertemu dua kali di hari yang sama. Lovy mondar-mandir dan terlihat bingung karena Sean tak mengangkat teleponnya itu. Semua orang yang melewati loby hanya melirik dan berbisik membicarakannya karena Lovy
Lovy menatap wanita itu saksama di mana kini Sean mencoba mendekati dan membujuknya agar tak melompat dari atas jembatan untuk bunuh diri. Semua orang menaruh harapan pada polisi muda itu. "Hei, hei, siapa namamu? Kemarilah, bicaralah padaku," panggil Sean dengan tenang mencoba mendekati wanita itu perlahan. Wanita berambut sepunggung itu sudah berderai air mata. Ia menoleh ke arah Sean dengan isak tangis yang masih terdengar. Sean tersenyum manis padanya dan wanita itu berusaha menghentikan tangisannya. "Apa kau polisi?" tanya wanita itu. "Ya, kemarilah. Kita bicarakan dan aku akan membantumu. Percaya padaku," ucap Sean mengulurkan kedua tangannya. "Percaya padamu? Percaya pada polisi maksudmu? Karena kalianlah hidupku menjadi seperti ini! Apanya yang membantu warga lemah tak berdaya! Kalian hanya membantu untuk orang-orang yang memiliki uang saja! Kalian sama saja dengan penjahat-penjahat itu!" teriak wanita tersebut dengan mata melotot. Praktis, ucapannya mengejutkan
Merekapun tiba di apartment Lovy. Sean ikut turun dari mobil karena penasaran dengan pembicaraan antara Lovy dengan wanita bernama Nia. Lovy menyadari hal tersebut dan bersikap senormal mungkin. "Lovy, aku lihat yang kau berikan kepada wanita itu. Alamat siapa itu?" tanya Sean curiga. Lovy tersenyum manis dan menjawabnya dengan tenang. "Rumah nenekku, Elda. Aku meminta pada wanita itu agar tinggal sementara waktu di rumah nenek. Elda sendirian di rumah dan aku rasa mereka berdua akan cocok. Elda seorang motivator yang bagus." "Oh, begitu. Maaf, aku kira ...." ucap Sean terlihat kikuk seketika. "Kau pikir apa?" tanya Lovy yang malah kini mencurigai Sean. "Hmm, tak ada. Lalu kau menjanjikan apa pada wanita itu? Tak mudah membuat orang yang sudah membulatkan tekat untuk mengakhiri hidupnya bisa mundur begitu saja. Apa yang kau katakan pada wanita itu?" tanya Sean makin mendetail. "Aku hanya mengatakan akan mengenalkannya kepada seorang pengacara, kawan lamaku. Jadi, apa kau ak
Lovy mempersiapkan segala keperluan untuk menjalankan aksinya malam itu. Ia keluar dari pintu kamarnya dengan berkamuflase. Lovy mengenakan wig berwarna pirang lurus sampai ke punggung dengan poni rata menutup alis. Memakai lensa kontak berwarna biru menutupi warna aslinya dan anting besar berbentuk bulat di kedua telinga. Lovy bahkan mengganti sepatunya dengan sebuah heels setinggi 14 cm, menenteng sebuah clutch berwarna emas yang serasi dengan sepatu dan juga rambutnya. Ia bahkan mengganti pakaiannya dengan sebuah dress mini sepaha bercorak monochrome. Atasan tanpa lengan yang membuat belahan dadanya tampak begitu penuh. Lovy sengaja menanggalkan pakaian tempurnya karena melihat situasi untuk menyerang belum memungkinkan sebab target berada di hotel. Lovy berjalan menyusuri koridor dan melihat CCTV sekitar. Tas yang ia letakkan di depan perutnya itu memilki semacam kamera tersembunyi pada sisi kanan dan kiri. Komputer Peter yang sudah tersambung dengan mini cam itu ikut melihat se
Lovy gugup. Ia melirik Ramirez dan Geofani secara bergantian di mana pergelangan tangannya masih dicengkeram erat oleh target utama incarannya itu. Lovy yang tak ingin membuang waktunya lebih lama lagi karena ia sudah mendapatkan kesempatan melawan, segera meluncurkan aksinya. BUKK!! "Argh!" Ramirez merintih dan terkejut karena wanita yang mengaku bernama Patricia memukul wajahnya dengan tas miliknya. Tas tersebut memiliki tekstrur kasar yang membuat lelaki itu bisa merasakan benda kasar menggores wajahnya. Namun, cengkraman Ramirez tak terlepas. Lovy menambahkan serangan dengan menginjak kaki Ramirez menggunakan hak 14 cm dari sepatunya itu kuat. Heels tertancap di ujung sepatu lelaki tersebut. Sontak, pria tersebut mengerang kesakitan hingga matanya terpejam. Geofani terkejut. Ia meletakkan botol wine dan gelas crystal yang seharusnya menjadi teman bercengkrama mereka di malam yang hampir menjelang pagi itu. Saat Geofani akan mengeluarkan senjata dari laci meja dekat ia berdi
Lovy bersama keluarga besar Lea terbang ke Ithaca pagi itu. Terlihat Lovy murung sedari tadi karena tak menyangka jika neneknya akan tewas mengenaskan karena orang suruhan Tuan Wilver.Mereka tiba siang itu dan langsung menuju ke tempat pemakaman. Suasana pemakaman tak seramai almarhum Tuan Wilver karena hanya datang segelintir orang termasuk keluarga Lea.Lovy menahan air matanya saat peti jenazah neneknya dimasukkan ke liang lahat dan mulai ditimbun tanah. Matthew tak pernah melihat Lovy sesedih ini karena ia terlihat seperti begitu kehilangan dan terpuruk.Selesai pemakaman, Lovy dan lainnya mendatangi rumah Elda yang kini tak lagi di tempati. Nia, wanita yang pernah diselamatkan oleh Lovy dan dibimbing untuk pergi ke Ithaca untuk tinggal sementara waktu bersama Elda dan pada akhirnya bekerja untuk Lea, sudah ada di kediaman Elda bersama beberapa anak buah Lea.Lovy tertegun saat melihat Nia sudah jauh berbeda tak seperti saat ia bertemu dengannya dulu. Nia menyambutnya dan mengaja
Tak terasa, pagi sudah menjelang. Lovy masih tertidur pulas di kamarnya, tetapi suasana di ruang keluarga sudah terlihat ramai oleh anak buah Harold. Terlihat Lea sedang mengobrol serius dengan suaminya."Ada apa?" tanya Matthew tiba-tiba.Sontak, hal itu mengejutkan semua orang yang ada di sana karena tak menyadari kedatangan putra Lea yang seperti hantu."Matt? Matthew? Kau 'kah itu?" tanya Lea keheranan sampai berkerut kening."Mengerikan. Kau bahkan sampai lupa jika aku adalah anakmu," gerutu Matthew di hari yang masih menunjukkan pukul 7 pagi.Harold dan Lea saling memandang. Harold berbisik di telinga Lea dan wanita itupun mengangguk paham."Kau terlihat tampan, Matt, tak seperti berandalan. Apa yang mengubahmu?" tanya Lea bernada menyindir."Jangan mulai. Sebaiknya, kau katakan apa yang terjadi? Apa yang kalian bicarakan?" tanya Matthew ketus.Lea dan Harold tersenyum menghela napas. Mereka sudah paham dengan sifat dan perilaku pria yang sebenarnya berwajah tampan itu. Harold m
VROOM!!Lovy bahkan menyempatkan melambaikan tangan kepada satpam penjaga di pos yang membukakan portal tempat parkir mobil. Lovy melajukan mobil barunya dengan kecepatan penuh dan pandangan lurus ke depan. Matthew bisa merasakan amarah dan ketegangan dalam diri Lovy."Mm, Lovy ....""Diam. Jangan katakan apapun," ucap Lovy menunjukkan telunjuknya tepat di wajah Matthew."Oke. Hanya saja, kita mau ke mana? Jika kau tak keberatan, bagaimana kalau ke bandara? Pesawat pribadiku ada di sana," jawab Matthew gugup karena Lovy berkendara layaknya pembalap.Lovy diam saja, tapi ia langsung membanting setir. Matthew yang tahu jika Lovy sedang marah itupun diam karena tak mau dilempar dari mobil. Matthew akhirnya menyadari jika Lovy sedang membawanya ke bandara."Tinggalkan saja mobilnya, nanti aku akan meminta anak buahku membawanya ke Kansas," ucap Matthew menyarankan, tetapi Lovy diam saja tanpa ekspresi di wajah.Matthew menghela napas. Ia diam selama perjalanan hingga akhirnya mereka tiba
Lovy segera masuk ke lift dan menuju ke lantai 4. Dengan napas menderu, ia mendatangi ruangan tempatnya bekerja di mana ruangan milik Tuan Wilver juga berada di sana. Sean yang panik karena lift tak kunjung datang, nekat menaiki tangga dengan tergesa karena takut jika ayahnya tewas di tangan istrinya yang sedang gelap mata itu. Sean berlari sekuat tenaga dengan napas tersengal dari lantai satu menuju ke lantai 4 secepat yang ia bisa. TING!Pintu lift terbuka dan Lovy melihat sekitar yang gelap karena kantor libur hari itu. Lovy melangkahkan kakinya dengan tatapan kosong karena pikiran dan hatinya kini berkecamuk. Ia menggenggam senjata milik Matthew di tangan kanannya dengan mantap.Lovy melangkahkan kakinya perlahan memasuki ruangan tempat biasa ia duduk dengan Bob dan Isabel. Ia melihat lampu di ruangannya menyala, tetapi tak ada orang. Pintu juga tak dikunci dan Lovy cukup mendorongnya untuk bisa masuk ke dalam.Namun, ia mendengar ada orang berbincang di dalam ruangan Tuan Wilve
Semua orang di ruangan itu tertegun dengan jantung berdebar dan kepanikan melanda."Jangan diam saja! Kita harus segera ke Ithaca!" pekik Matthew yang membuat Lovy dan Sean tersadar dari keterkejutan mereka.Sean segera membangunkan Lovy yang masih gemeteran dan menangis. Mereka bergegas pergi meninggalkan apartment. Terlihat Matthew berjalan di depan dan menghubungi seseorang untuk mengurus sesuatu.Dua bodyguard Matthew segera menyiapkan mobil saat mereka bertiga kini menunggu di lobi. Namun, saat dua bodyguard Matthew sedang berjalan tergesa mendekati mobil dan salah satu lelaki itu menyalakan kunci pembuka jarak jauh, tiba-tiba ....PIP! PIP!DWUARRRR!!"Oh my God!" pekik Sean terkejut dan langsung memeluk Lovy erat.Dua bodyguard Matthew terpental dan menghantam mobil yang berada di dekat mereka. Matthew terkejut dan langsung menarik senjata dari balik pinggangnya. "Kembali ke dalam cepat!" teriak Matthew yang mengajak Sean dan Lovy masuk ke dalam.Mereka bertiga bergegas kembal
Lovy mengelus punggung Sean lembut dan mengajaknya duduk di kursi meja makan. Mereka berdua duduk bersebelahan di depan Matthew yang terlihat masih menikmati makanan di depannya. "Biar kutebak. Ini masakanmu, ya, Lovy sayang? Kenapa kau tak pernah memasak untukku?" tanya Matthew cemberut. "Sudah kubilang jangan memanggil istriku sayang!" teriak Sean lantang yang mengejutkan semua orang di ruangan itu. Matthew menghentikan makan dan menatap Sean yang memandanginya penuh emosi. "Oke ... baiklah. Jadi begini maksud kedatanganku, Lovy sayang ...." BRAKK!! "Keparat kurang ajar! Kemari kau, biar kuhajar wajahmu dan kulempar dari jendela rumahku!" Lovy terkejut karena Sean sampai menggebrak meja dan langsung berdiri. Namun, saat Sean akan mencengkeram baju Matthew, dua bodyguard lelaki itu langsung memegangi kedua tangan Sean kuat. Matthew tertawa terbahak dan terlihat begitu gembira. "Matthew! Jika kau sungguh menghargai persahabatan kita di masa lalu, jangan membuatku kecewa denga
Pagi itu, mereka bersiap terbang dengan pesawat komersil menuju ke Portland. Lovy dan Sean sudah duduk dengan nyaman di bangku masing-masing. Lovy terlihat gugup karena ia khawatir jika nanti akan bermimpi buruk lagi dan mengejutkan semua penumpang."Kenapa? Kau takut jika mengamuk lagi? Jangan khawatir, Sayang. Kau akan baik-baik saja. Kau sudah menceritakan ketakutanmu padaku. Seharusnya, mimpi buruk itu tak lagi mengusikmu," ucap Sean menenangkan sembari memegang salah satu tangan Lovy erat."Jika datang kembali?" tanyanya gugup."Aku akan mengatakan pada semua orang jika kau habis menonton film horor dan terbawa sampai mimpi," jawab Sean santai dan Lovy spontan tertawa kecil.Sean balas tertawa karena ia sudah yakin jika istrinya pasti memikirkan hal itu kembali. Lovy mengangguk dan tak masalah jika Sean harus membuat skenario seperti yang ia katakan agar tak menimbulkan kepanikan para penumpang.Ternyata, ketakutan Lovy dan Sean tak terjadi. Mereka tiba di Portland dengan selamat
Terlihat Lovy mulai terbiasa dengan gaya ranjang Sean. Lovy juga mulai bisa melakukan gaya lainnya yang membuat sang suami makin mabuk kepayang.nLovy sudah tak terlihat kikuk lagi saat menggoyangkan pinggulnya kuat hingga Sean tak berhenti mengerang. Malah Lovy yang terlihat paling bersemangat ketika Sean mengajaknya bertarung di ranjang penuh peluh dan kenikmatan. Tampak Lovy seperti paling menyukai ketika Sean menyodokkan miliknya dari belakang. Lovy bisa bertahan hingga waktu yang lama dan tak berhenti meremas kuat Junior di dalam sana. Namun, Sean yang malah kuwalahan karena ia merasa daging panjangnya dipijat enak di dalam sana, hingga seluruh tubuhnya menegang dan kakinya terasa lemas. "Sayang, kenapa kau belum keluar juga?" keluh Sean sampai keningnya berkerut karena Lovy tak berhenti menekan miliknya hingga tertelan semua di dalam sana. "Kau lelah?" ledeknya. "Kali ini kuakui, yes ... hah, aku sudah tak sanggup lagi, Sayang," rintih Sean dengan wajah sudah memerah tak bis
Mereka berdua yang kelelahan setelah bertarung panas di ranjang, tertidur lelap dengan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Mereka kini menyadari jika berada di sarang MI6. Kejadian buruk bisa menimpa mereka kapan saja dan keduanya pun semakin waspada.Meskipun demikian, Lovy dan Sean tetap harus melanjutkan honeymoon di negara itu meski mata mereka tak berhenti mengawasi sekitar untuk melihat siapapun yang dirasa mencurigakan, bahkan mungkin dianggap ancaman.Mereka mendatangi Istana Kensington yang memiliki taman di dalamnya. Taman ini ditata dengan sangat indah dan rapi. Ada sebuah kolam yang menenangkan dan menyejukkan serta dikelilingi oleh berbagai macam jenis bunga. Lovy dan Sean tak henti-hentinya mengabadikan moment indah ini dalam jepretan kamera hingga keduanya merasa malu sendiri."Aku seperti orang tak tahu diri," ucap Sean terkekeh melihat wajahnya dalam foto yang terlihat begitu gembira dengan senyum lebar dalam tiap foto.Lovy sampai tertawa terbahak karena melihat