Pikiranku terus berputar pada ucapan pria itu semalaman, sampai aku tidak bisa tidur. Aku mulai mencelupkan tubuh di air sungai. Meskipun segar, namun pikiranku masih saja kalut. Tanda lahir yang sama dengan putra ke empat raja terdahulu, pangeran Vel. Yang benar saja?
Aku sudah mengamati seluruh tubuhku tapi tidak kutemukan tanda lahir itu. Aku yakin sekali kalau tubuhku bersih dari yang namanya tanda lahir, bahkan aku sudah mengecek punggungku dan ternyata tidak ada. Apa mungkin di kepala dan tertutup rambut? Haruskah aku memotong rambut sampai botak untuk mengeceknya?
Hari ini aku akan pulang ke rumah dan aku harus menemukan petunjuk itu. Mungkin...aku perlu menggeledah kamar ayah.
Seusai mandi, aku segera bergegas mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah, sementara mereka bertiga sudah menyewa kuda untuk perjalanan kami. Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu penasaran dengan keluargaku, apa mereka juga mengetahui sesuatu?
“Berhentilah melamun!” Zealda menjitak kepalaku. “Dari semalam kau seperti memikirkan sesuatu. Apa yang mengganggumu?”
Aku mengusap-usap kepala dan menatap Zealda yang tampak berbeda dari sebelumnya. Ia tampak lebih ramah meskipun masih dengan cara yang menyebalkan. Bukan hanya itu, Velian juga mulai berubah sikapnya. Apa mereka benar-benar sudah menerimaku sebagai anggota dari kelompok ini sepenuhnya?
“Ada yang ingin kutanyakan padamu,” sahutku pada Zealda. “Apa...kau tahu mengenai ritual kerajaan dua puluh tahun yang lalu?”
“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?” Zealda memiringkan kepala sambil menatapku heran. “Sebenarnya itulah yang sedang kami selidiki.”
“Tidak apa-apa, aku hanya penasaran. Aku mendapat informasi kalau keluargaku dibunuh karena ada kaitannya dengan ritual itu.”
Kini tiga pasang mata menatapku tajam dengan jawabanku.
“Kau mendapat informasi itu dari mana?”
“Awalnya Aleea yang memberi tahuku, kemungkinan besar keluargaku di bunuh atas perintah raja. Tapi setelah aku menanyakan pada pelakunya langsung, peristiwa itu memang ada kaitannya dengan ritual kerajaan.” Aku menatap mereka satu persatu.
“Kita harus menyelidiki rumahmu secepatnya,” ujar Velian sambil menaiki kuda.
Kami semua mulai menaiki kuda dan memacunya. Sepanjang perjalanan, kami hanya terdiam dan terhanyut pada pemikiran masing-masing. Pikiranku masih di penuhi dengan tanda lahirku yang tak pernah ku tahu.
Tak lama, kami sampai di distrik Drys. Seperti biasa, aktifitas di distrik ini sangat padat. Pemandangan yang ada di sini membangkitkan kenangan masa kecilku, tapi semua berubah dari waktu ke waktu. Perjalanan masih berlanjut menuju rumahku yang berdiri tak jauh dari padang rumput di tepi hutan.
Perasaanku semakin gusar ketika aku hampir sampai di sana. Suasana sepi membuat rumahku mencekam dari kejauhan. Kutatap tiga pemuda di sebelahku bergantian dan mereka memasang wajah serius, menambah suasana tegang di sekitarku.
Aku menuruni kuda dan segera berlari ke dalam rumah. Pintu terbuka begitu saja ketika aku mendorongnya. Aku mengedarkan pandangan dan rumah ini begitu kosong, hanya meninggalkan bercak darah yang sudah mengering di lantai. Jasad ayah, ibu dan bibi sudah tidak ada entah siapa yang membawanya pergi.
Tanpa pikir panjang, aku langsung masuk ke kamar untuk mengambil pakaianku, kemudian masuk ke kamar ayah dan membuka lemari besar yang terkunci.
Kuambil pisau ku untuk menyongkel pintu lemari sekuat tenaga dan tak lama pintu terbuka, hanya setumpuk pakaian yang menggantung rapi ketika aku melihatnya.
Aku membuka laci lemari dan sebuah buku tebal terpampang, membuatku terpaku sejenak dengan rasa penasaran yang melanda. Aku meraih buku itu dan membukanya perlahan. Pikiranku berputar sejenak ketika melihat tulisan yang tak ku kenal, tapi aku sering melihat tulisan-tulisan ini dalam beberapa buku sihir.
Aku membuka halaman berikutnya dan terdapat sebuah gambar seorang perempuan dengan tangan mengadah ke langit dan di kelilingi banyak orang yang sedang bertekuk lutut. Kemudian aku membuka halaman berikutnya yang ternyata adalah sebuah peta Axylon. Sebenarnya buku apa ini? Bagaimana ayah bisa memiliki buku ini?
Aku kembali menutup buku tebal di tanganku dan memasukannya ke dalam tas lalu menggendongnya. Kubuka lemari yang lain dengan hati-hati. Tatapanku tertuju pada secarik kertas yang terjatuh. Aku memungut kertas yang tampak lusuh itu dengan kening berkerut.
Kulihat sebuah corak sambung dan jika di perhatikan secara keseluruhan menjadi sebuah angka, yaitu angka empat. Pikiranku di penuhi tanya seketika, apa ayah mengetahui sesuatu?
“Valen, kita harus pergi sekarang juga!” Aleea sudah melompat dan menarikku. “Orang-orang itu ternyata menyamar sebagai warga biasa dan sekarang sedang mengawasi rumah ini.”
Aku segera memasukkan kertas itu ke dalam tas dan berlari bersama Aleea. Namun, Aleea mengajakku kabur lewat pintu belakang.
“Kenapa Velian dan Zealda tidak ikut bersama kita?” tanyaku di tengah lari.
“Velian memintaku untuk membawamu pergi karena sepertinya mereka mengincar mu.”
Aku terdiam sejenak, mereka mengincar ku. Itu berarti yang dikatakan orang waktu itu benar, mungkin aku memang ada kaitannya dengan ritual itu.
“Mereka...apa terlihat seperti orang suruhan dari istana?”
“Entahlah, tapi-"
“Aku harus memastikannya.”
Aku menarik tanganku dari Aleea dan berlari kembali menuju rumahku.
“Hei!”
Aku berlari sekuat tenaga, dalam benakku saat ini aku harus mendapatkan banyak informasi tentang ritual yang melibatkan keluargaku yang tak ku tahu.
“Valen!”
Aku terus berlari tanpa mengindahkan panggilan Aleea. Kulompati pagar dengan sekali loncatan ketika terdengar suara dentingan. Aku mencabut pedangku dan melompat ke arah mereka. Kulihat Zealda sudah terdesak dengan luka di lengannya.
Aku bergerak memutar dan menghunuskan pedangku tepat di jantungnya dari belakang. Kemudian bergerak memutar lagi dengan merebut pedang Zealda dan menebas dua orang sekaligus. Awalnya Velian dan Zealda menatapku nanar, namun sedetik kemudian, mereka kembali bersiaga.
Aleea yang berlari di belakangku langsung melompat sambil melemparkan sebuah belati dan tepat mengenai leher salah satu di antara mereka.
“Kita pergi dari sini.”
Kami berempat menaiki kuda dan memacunya dengan cepat, namun sebagian dari mereka mengejar kami. Kami mulai memasuki hutan dan mulai berpencar. Aku melaju bersama Zealda sementara Velian bersama Aleea.
Aku mengeluarkan pedangku sementara Zealda sudah mengeluarkan Hidden Blade di pergelangan tangannya. Ia melambatkan lajunya kemudian menunduk dengan tangan terbentang. Mata pisau dari Hidden Blade nya berhasil mengenai mereka. Aku mulai memutar pedangku sambil menghindari serangan mereka.
Mereka akhirnya tumbang satu persatu meskipun aku juga terluka. Kulihat luka Zealda kembali terbuka hingga ia sulit untuk bergerak.
“Hei, kau baik-baik saja?”
Zealda terdiam sambil memegangi lukanya. Kulihat ada goresan di bahunya dan setelah aku mengeceknya, ternyata mereka menggunakan senjata beracun.
Aku merobek kain yang menutupi bahunya dan segera menghisapnya untuk mengeluarkan racun. Aku segera memapahnya untuk naik ke kudaku ketika kesadarannya mulai berkurang.
Aku mengikat tangan Zealda di pinggangku agar tidak jatuh dan kubiarkan kepalanya terkulai di bahuku, kemudian membawa kuda Zealda lari bersama kudaku.
“Zealda bertahanlah!” gumamku.
Aku memacu kuda semakin cepat menuju goa tempat persembunyian kami. Kekhawatiranku semakin berlipat ketika aku memikirkan Aleea dan Velian. Aku tidak tahu bagaimana dengan mereka saat ini, tapi kuharap mereka baik-baik saja.
“Sepertinya...kau memang cocok menjadi ksatria,” gumam Zealda lemah. “Pertahananmu jauh lebih kuat meskipun daya serangmu kurang mematikan.”
Aku menarik napas panjang agar tidak kesal mendengar sindirannya. “Ya, aku tahu aku tidak sekuat kalian,” sergahku dengan sedikit penekanan. “Tapi setidaknya aku tahu cara bertahan dengan baik. Jadi kesimpulannya, terima kasih sudah memujiku.”
Aku bisa merasakan Zealda mendengus tertawa di bahuku. “Kau itu sangat sensitif. Baru disindir sudah kesal, sama sekali tidak ada selera humor sedikit pun.”
“Zealda, mungkin kau harus tahu satu hal. Kau benar, aku memang tidak memiliki selera humor karena aku dilatih untuk selalu serius. Aku tidak keberatan kau menyindirku semaumu, tapi kuharap kau juga tidak keberatan dengan tanggapanku atas sindiranmu.”
Zealda tertawa lemah. “Baiklah, nona.”
Meskipun terkadang aku suka menanggapinya sedikit sinis, tapi hatiku tidak bisa menahan diri untuk tersenyum.
* * *
Aku membaringkan Zealda setelah mengoles ramuan herbal yang telah di campur obat penawar racun di bahunya. Segera kuraih pedangku dan kupakai Hidden Blade milik Zealda yang terlihat mematikan. Aku memandang langit yang tampak gelap dengan sedikit rintik hujan.
“Baiklah, mungkin ini saatnya aku membunuh ala Assassin.”
Aku meraih jubah bertudung kepala di dalam tasku, kemudian memacukan kudaku dan meninggalkan Zealda dalam kondisi aman. Pikiranku kembali di penuhi Aleea dan Velian yang entah di mana mereka. Tapi seharusnya tidak jauh dari distrik Drysh.
Setelah berjam-jam mencari, tak lama aku masih mendengar dentingan pedang. Entah kenapa leher belakangku terasa panas seperti terbakar, sepertinya penyakitku kambuh lagi.
Aku tidak tahu kenapa tengkukku selalu terasa terbakar di saat-saat tertentu dan itu sudah terjadi sejak aku masih kecil. Meskipun rasanya sedikit sakit, tapi aku sudah terbiasa.
Di tengah pertempuran itu, aku melihat Aleea sudah tergeletak sementara Velian masih melawan dengan tubuh bersimbah darah. Aku menarik pedangku dan mengeluarkan belati dari Hidden Blade di tanganku. Aroma anyir dan hujan bercampur menjadi satu, aku melihat wajah lelah mereka berdua.
Aku menunduk sambil memutar pedangku dan menebas mereka dengan mata pisau yang mencuat dari Hidden Blade. Assassin hanya memiliki skill membunuh yang mematikan tapi untuk kemampuan bertarung, sepertinya mereka masih jauh di bawah rata-rata, mungkin karena prinsip mereka adalah membunuh tanpa bertarung alias diam-diam. Cukup merepotkan ternyata.
Aku bisa memaklumi hal itu atas kekalahan mereka berdua. Tapi sekarang aku ada di sini, dan aku siap bertarung untuk mereka. Aku turun dari kudaku dan kulihat lawanku lebih dari satu.
“Kalian pergilah! Aku yang akan menangani mereka.”
“Jangan berlagak pahlawan-"
“Bertarungmu payah!” timpalku, sebelum ucapannya selesai.
Aku segera berlari sambil mengangkat pedangku sebelum Velian bicara lebih banyak. Aku memunduk untuk menghindari serangan mereka, kemudian mencari celah untuk menyerangnya. Untung saja aku sudah memakai baju zirah di bagian tertentu agar terhindar dari serangan fatal.
Setelah menemukan celah, aku menyerang mereka satu persatu sambil menghindar dari serangan yang datang. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku bertarung dan tenagaku semakin terkuras. Tapi setidaknya masih ada sisa empat orang lagi dan aku harus membereskan semuanya.
Tanah yang kupijaki kini semerah darah dengan onggokan tubuh tak bernyawa di sekitarnya. Tanganku mulai gemetar dan lelah, namun aku tak boleh menyerah. Kulihat wajah mereka satu persatu yang juga tampak kelelahan.
Aku kembali melesat sambil memutar pedangku untuk mendapat serangan maksimal. Tak butuh waktu lama untuk menumbangkan dua di antaranya. Aku kembali mengayunkan pedangku sekuat tenaga dengan segala celah yang telah kudapatkan.
Velian bertepuk tangan setelah mereka tumbang semua. “Wow! Hebat, hebat.”
Aku segera menghampirinya dengan segala kecemasanku. “Kau baik-baik saja?” Kulihat tubuhnya sudah duduk terkulai di bawah pohon dengan penuh luka.
“Kau bawa Aleea terlebih dahulu, aku akan baik-baik saja di sini,” ucapnya.
Aku mengangguk. “Kau harus bertahan sampai aku kembali.”
Velian mengangguk. “Cepatlah kembali.”
Aku segera memapah tubuh Aleea, dibantu oleh Velian untuk menaiki kuda. Aku mengikat tangan Aleea di pinggangku dan membiarkan kepalanya terkulai di bahuku. Kutatap Velian sekali lagi, sebelum akhirnya kudaku melaju untuk meninggalkannya, berharap ia akan baik-baik saja sampai aku kembali.
Setelah sampai di goa, aku segera membaringkan Aleea dan mengobati lukanya. Untung saja, ia tidak terkena racun tapi luka sayatannya begitu dalam sampai ia kehabisan banyak darah. Aku berusaha menghentikan pendarahannya sebisa mungkin.
Aku mengacak-acak kotak ramuan dan beruntungnya, ada sebotol obat untuk menghentikan pendarahannya. Kulihat Zealda belum sadarkan diri, namun setelah ku cek lagi, kondisinya mulai membaik.
Setelah mengobati Aleea, aku kembali menaiki kudaku untuk menjemput Velian. Rasa cemas semakin melandaku dengan harapan ia akan baik-baik saja. Aku tidak mempedulikan tubuhku yang sudah basah kuyup.
Seorang pemuda berambut panjang yang berantakan duduk meringkuk di bawah pohon dengan wajah pucat. Aku menghela napas lega melihat ia masih dalam keadaan sadar.
“Velian!”
Velian menoleh dengan wajah lega setelah melihatku. Aku segera berlari dengan membawa mantel di punggungku.
“Maaf membuatmu menunggu lama.”
“Tidak apa-apa.”
Aku menggenggam tangannya yang sudah sedingin air hujan, wajahnya sudah putih pucat dan tubuhnya semakin melemah.
“Bertahanlah.”
Aku memakaikan mantelnya agar ia tidak terlalu kedinginan, kemudian memapahnya untuk menaiki kudaku sambil membawa lari kuda milik Velian dan Aleea. Dalam kondisi luka parah seperti ini, Velian tidak bisa membawa kuda sendirian dan aku tidak bisa membayangkan jika ia pingsan di tengah jalan dan jatuh dari kudanya. Akan semakin merepotkan tentunya.
Velian melingkarkan tangannya di pinggangku ketika aku melaju semakin cepat.
“Aku tidak mengikat tanganmu jadi jangan sampai pingsan.”
“Valen.”
“Hmm?”
Tubuhku mengerjap ketika Velian mengusap tengkukku.
“Hei, jangan sentuh bagian itu!” sergahku menahan sakit.
“Apa...ini sakit?”
“Ya,” sahutku jujur. “Memangnya ada apa di bagian tengkuk leherku? Kau lihat sesuatu?”
Velian tidak menjawab.
“Biasanya terasa sakit di saat-saat tertentu. Aku sendiri juga tidak tahu kenapa, tapi tengkuk leherku sering terasa pedih sejak kecil.”
“Dan kau tidak pernah menanyakannya?”
Aku menggeleng cepat. “Tidak.”
Velian terdiam cukup lama tapi aku bisa merasakan tubuhnya mematung.
“Tidak, tidak ada ada apa-apa di tengkuk lehermu,” gumamnya.
Keningku berkerut mendengar ucapannya yang terasa ragu di telingaku, tapi...sudahlah. Mungkin karena ia sedang terluka jadi nadanya seperti itu.
Velian memeluk pinggangku semakin erat sambil meletakkan kepalanya di bahuku. “Terima kasih sudah menolongku. Tidak, maksudku...menolong kami.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi...jantungku terasa berdetak lebih kencang. Ada perasaan aneh yang menjalar dan membuat punggungku terasa geli.
“Jika kau kehilangan kesadaran di tengah jalan, aku akan membiarkan tubuhmu terjatuh dari kuda.”
Velian mendengus tertawa. “Tidak akan.”
Aku memegangi tangan Velian yang terasa dingin agar tidak terlepas. Meskipun sedikit gelisah, entah kenapa aku ingin sekali tersenyum seolah-olah sesuatu yang hangat dan menyenangkan mengalir dalam benakku.
“Velian, bertahanlah!” gumamku dalam hati.
_______To be Continued_______
Di tengah derasnya hujan, kudaku masih melaju kencang. Aku masih menggenggam tangan Velian agar tangannya tetap hangat, meskipun tangan dalam tali pacuan ku sudah membiru dan berkerut. Kubiarkan ia terkulai di bahuku. Tubuhnya yang mulai menggigil membuatku semakin cemas. Tak lama, akhirnya kami sampai di goa. Aku segera memapah Velian yang sudah sangat lemah untuk masuk. Aku segera membetulkan perapian setelah ia sudah duduk dengan posisi hangat. Kuraih buntalan kain yang berisi pakaian Velian dan melemparnya. “Cepat ganti pakaianmu. Aku akan pergi mencari makanan.” “Valen.” Aku menoleh sejenak. “Hmm?” “Di luar sedang hujan. Biar aku saja yang mencari makanan.” “Kondisimu sedang tidak baik, jadi...sadar diri lah. Aku usahakan tidak lama.” Aku segera melesat keluar sebelum Velian berkomentar lebih banyak lagi. Rencananya, aku tidak bermaksud untuk berburu melainkan ingin kembali ke rumahku. Setidaknya...beberapa keping uang sud
“Ayah, aku pulang!” Aku menoleh ketika sosok gadis yang terlihat seumuran denganku datang melewati pintu begitu saja. Kami saling berpandangan sejenak, Velian dan paman Thomas sudah kembali dari obrolannya. Mata gadis itu melebar ketika melihat Velian. “Velian!” Velian terlihat syok melihat gadis yang langsung berlari ke arahnya. “Sarah?” Gadis bernama Sarah itu langsung memeluknya tanpa ragu. “Kapan kau datang?” “Sarah!” lerai paman Thomas. “Jaga sikapmu.” Sarah langsung melepaskan Velian dengan cemberut. “Belum lama ini,” jawab Velian dengan nada dingin khasnya, namun tidak terlihat kesal. “Aku ingin sekali pergi ke tempatmu tapi ayah selalu melarangku.” “Itu perjalanan yang berbahaya untuk anak gadis sepertimu,” sergah paman Thomas. “Paman benar. Tapi kalau kau mau ke tempatku, aku bisa menjemputmu.” “Benarkah?” tanyanya antusias dan Velian hanya mengangguk. Aku mengamati perca
Aku berlatih bersama Velian menggunakan senjata yang ada di tempat penyimpanan senjata milik paman Thomas. Ia benar-benar terlihat serius untuk menjalankan misi dan masuk ke dalam istana. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan saat ini, tapi aku bisa merasakan sedikit ambisinya. “Berhenti!” Aku dan Velian menoleh dan menghentikan serangan kami. Sarah menatapku lekat dengan wajah tidak suka. “Aku ingin melawan mu.” Aku hanya terdiam mendengar ucapannya yang lugas. “Tapi Sarah-" “Velian aku butuh teman berlatih juga.” Sarah melirik ke arahku. “Aku penasaran dengan kemampuannya.” Velian menghela napas dan pada akhirnya ia bilang, “baiklah, kalian berlatih saja. Aku akan membantu paman Thomas.” Sarah mengangguk, sementara Velian sudah menatapku. “Kau berlatih dulu dengan Sarah.” Ya,” sahutku seadanya. Aku dan Sarah saling menatap lekat, tapi aku masih tidak mengerti kenapa ia begitu sengit menatapku. Ia b
Pening bergelayut ketika tubuhku mengerjap. Perlahan kesadaran ku mulai mengalir dan kulihat langit-langit goa ketika membuka mata. Aku terbaring di atas tumpukan jerami dan melihat perapian sudah menyala.Aku mencoba untuk duduk sambil memegangi kepala yang ternyata—sudah di perban. Kemudian aku menyentuh ulu hatiku yang terasa seperti ada yang mengganjal. Kulihat sebuah buntalan kain yang entah apa isinya namun terasa hangat di kulit. Apa—Velian tahu ada memar di perutku?“Kau sudah sadar rupanya.”Aku menoleh ketika sosok pria berambut perak masuk dari luar goa. Kulihat Aleea mulai membaik dan ia sudah segar kembali.“Tunggu sebentar,” ujarnya lagi kemudian keluar.Tak lama mereka bertiga masuk, wajah mereka begitu cemas melihatku namun aku juga melihat kelegaan di mata mereka setelah melihat kondisiku.“Valen, bagaimana kondisimu?” Zealda yang pertama kali bertanya.“Yah, aku m
Rambutku berkibar diterpa angin malam ketika turun dari kereta kuda. Aku mengamati halaman istana yang begitu luas dan ramai hingga menuju ke pintu masuk. Aku mengenakan topeng pesta kemudian melangkah masuk perlahan dengan hati-hati agar kakiku tidak terkilir.Aku terduduk di sudut ruangan dengan santai sambil mengamati keadaan sekitar. Kupandangi sosok pria paruh baya dengan baju kebesaran seorang raja sedang duduk di kursi besar di atas sana, sementara di samping kiri dan kanannya sudah didampingi dua wanita dengan pakaian khas kerajaan juga.Tak jauh di sana, sudah berdiri seorang pemuda tampan yang jangkung memakai dengan jubah kebesaran seorang putra mahkota mengamati keadaan di sekitarnya. Aku tidak bisa mengawasi mereka dengan leluasa karena putra mahkota terlihat mengawasi para tamu undangan. Aku hanya sesekali melirik kearah mereka sambil berpura-pura menikmati pesta.“Maaf nona, silahkan ambil minuman anda.”Aku menoleh ke arah pria
Cahaya api yang hangat memberikan kesan oranye pada dinding goa ketika kami berempat duduk berkumpul di tengah udara malam yang dingin. Hasil dari misi kemarin adalah sebuah buku tebal yang sepertinya dijaga dengan ketat.Di dalam buku itu terdapat penjelasan mengenai ritual dua puluh tahun yang lalu dan kami bertiga hanya mendengarkan ketika Velian membacakannya.“Di sini dijelaskan bahwa ritual dua puluh tahun yang lalu bertujuan untuk menyelamatkan keturunan-keturunan raja Victor Leys alias raja terdahulu, jadi—bisa disimpulkan waktu itu ada perebutan tahta antara raja Victor dengan adiknya. Raja Victor dibunuh dan kini tahta dialihkan ke adiknya, Herrian Leys, raja Axylon yang sekarang,” tutur Velian dan ia kembali membaca. “Raja Victor sengaja mengikat jiwa-jiwa keturunannya dengan orang lain yang bukan dari keluarga kerajaan, dan itu bertujuan agar penerusnya tidak bisa mati dibunuh. Dan jiwa-jiwa yang diikat dengan jiwa keturunannya dinam
Aku membuka mata ketika fajar menyingsing, tidak ada seorangpun di sisiku seperti biasa. Sudah dua malam Velian menumpang tidur denganku meskipun awalnya aku mengira aku sedang bermimpi, tapi ternyata semua benar dan nyata.Aku tidak tahu mau sampai kapan Sarah akan tinggal di sini, ini sudah hari ketiga dan hidupku tidak tenang. Aku sudah menahan diri selama dua hari untuk tidak membuat masalah dengannya. Tapi jika dia terus saja berulah terhadapku, mungkin kesabaran ku akan menipis.Aku terduduk dan mengedarkan pandangan dengan malas. Semua masih terlelap kecuali—Velian yang sudah beranjak entah kemana. Itu tak membuatku merasa heran karena biasanya mereka bangun ketika matahari mulai tinggi, tapi di musim salju seperti ini—memang membuat raga enggan beranjak dari selimut hangat.Kulitku langsung meremang akibat dingin dan aku segera memakai jaket tebal ku saat keluar goa. Pagi ini aku berencana memburu ikan di sungai sekalian membasuh tubuhku mesk
Aku duduk sambil mengoleskan obat untuk kulit terbakar yang terasa pedih. Aku meringis kesakitan sambil menggigit kain, menahan perih yang membuat tubuhku sedikit bergetar.Aku melarang mereka masuk sampai proses pengobatan ku selesai, karena aku tak memakai pakaian. Jika aku tidak berlari ke hamparan salju, mungkin aku akan sekarat dan mati. Tak lupa juga, aku membalut luka di bahu dan pinggang dan beberapa luka sayatan akibat pertarungan ku tadi.Meskipun sakit, tapi aku bersyukur karena luka bakarnya tidak terlalu fatal. Jaket tebal ku terbakar meskipun tak sepenuhnya hangus. Aku tidak bisa membayangkan jika aku tidak menggunakan pakaian tebal, mungkin kulitku akan terbakar api secara langsung. Luka terparah di bagian paha hingga kaki, karena posisiku di perapian waktu itu berlutut dan sedikit tersungkur dengan tangan yang juga ikut terbakar.Aku mengambil kain besar dengan susah payah, kemudian melilitkannya untuk menutupi tubuhku layaknya jubah yang tak mem
Di lorong gelap nan lembab seorang wanita dengan jubah kebesaran seorang ratu melangkah dengan penuh dendam. Seutas cambuk berduri tergenggam erat di tangannya. Masa lalu yang merenggut cintanya takan dilupakan begitu saja hanya dengan sebutir kata maaf dan ampun. Sakit hati yang dirasakannya begitu kuat hingga membuat emosinya tak terkendali. Di penjara bawah tanah, seorang wanita sudah berlumuran darah kering dengan pakaian koyak dan wajah yang dipenuhi jelaga. Tangannya diikat ke atas hingga membuatnya menggantung dalam posisi berdiri. Dia adalah wanita pembawa kekacauan tersebut, dengan seringai jahatnya yang seolah-olah menuntut balas atas nasib yang dialaminya, meskipun sebenarnya ia tak memiliki harapan apapun. "Lavina," gumamnya. "Kenapa kau tidak cepat-cepat membunuhku? Apa kau takut jika arwahku menghantuimu?" ucapnya menyeringai. Satu cambukan mendarat ditubuh wanita itu disertai tatapan tajam sang ratu bijak yang kini menjelma menjadi iblis. "Kematian hanya mempercepat
Suara riuh di dalam ruangan membuatku tersadar bahwa aku telah meninggalkan pesta terlalu lama hingga akhirnya, kuputuskan untuk kembali dengan kaki pincang tanpa alas kaki. Saat memasuki ruangan, kulihat sudah ada putri Selena di sana.Malam ini ia mengenakan gaun beludru berwarna putih dengan hiasan bunga mawar berwarna biru yang membuatnya terlihat anggun. Penampilannya begitu sederhana dengan dandanan natural dan tidak berlebihan. Rambutnya pun hanya digelung dengan hiasan pita mungil.Aku hanya berdiri menyendiri di sudut ruangan dan terpisah dari keluargaku, menatap sosok anggun di sana dengan kagum. Ternyata acara sudah berjalan sejak tadi dan aku terlambat masuk. Sejenak aku teringat ucapan bibi Theony bahwa ia lebih mirip denganku daripada dengan yang mulia raja atau ratu.Sepertinya memang benar, dia memang tak mirip keduanya, aku justru seperti sedang bercermin saat melihat matanya. Dia...memiliki mata yang sama denganku.Aku segera menyingkirkan pikiran gila itu dari kepal
___23 Tahun Kemudian___Namaku Valen. Katanya, nama ini pemberian raja Zealda, tentu saja itu adalah sebuah kehormatan besar untukku dan keluargaku. Bahkan katanya, ratu Liz sempat menggendongku beberapa kali. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisiku saat itu, semoga saja aku tidak melakukan hal aneh dalam gendongannya seperti mengotori gaunnya dengan muntahanku atau mengencinginya.Pada saat aku lahir, yang mulia ratu katanya sedang mengandung, usia kehamilannya masih sangat muda saat itu. Ayahku berharap bisa menikahkanku dengan pangeran. Namun ternyata yang mulia ratu melahirkan anak perempuan dan ayahku sedikit kecewa, walaupun begitu ia juga bahagia atas kelahiran tuan putri. Namanya putri Selena, gadis imut yang berhati dingin.Aku pernah bertemu tuan putri saat memergoki dirinya sedang menyamar menjadi laki-laki, entah apa yang dia lakukan. Saat penyamarannya terbongkar, dia ternyata memegang sebilah pedang di tangannya.Tuan putri mengangkat pedangnya ke arahku dan meng
Kami berjalan menyusuri lorong gelap setelah melewati pintu rahasia yang selama ini belum kutahu. Udara dingin nan lembab membuat mentelku sedikit berembun, begitu pun dengan Velian yang berjalan mendahuluiku dengan membawa lentera.Aku tak menyangka bahwa mahkota itu di simpan begitu jauh dan tersembunyi. Entah dari mana Velian mengetahui lokasinya, tapi yang jelas lorong di sini membuatku sedikit sesak.Tunggu sebentar, tiba-tiba aku--ingin muntah. Langkahku terhenti sejenak seraya menutup mulut. Kepalaku sedikit pening diiringi rasa mual yang mengganggu."Kau baik-baik saja?" tanya Velian yang menyusulku di belakang. "Wajahmu terlihat pucat."Aku tak menjawab sampai kondisiku sedikit membaik. Mataku basah seiring pergolakan dari perutku. Rasanya--isi lambungku seperti ingin keluar semua.Kutarik napas panjang untuk menenangkan diri. Velian membantuku bersandar di dinding berlumut yang dingin."Aku baik-baik saja. Mungkin ini efek dari tidur panjangku karena aku tidak makan selama i
Aku membuka mata perlahan dengan tubuh yang terasa lemah. Kepalaku masih nyaman untuk tetap tergeletak di pembaringan hingga rasanya aku enggan untuk terbangun. Velian sudah tak di sampingku entah sejak kapan dan kini masih ada satu sosok lagi yang masih mendekapku. Seonggok tubuh dingin yang masih utuh dengan cahaya orange yang berpendar di lapisan kulitnya.Aku memiringkan tubuh agar kami berhadapan. Tanganku bergerak menggapai wajahnya yang terlihat tenang. Air mataku menetes ketika pikiranku mulai mengenang tentangnya yang menyebalkan, berbahaya dan juga perasaannya yang membuatku terjerat di sisinya.Pikiranku menembus dimensi waktu dalam sekejap. Di pertemuan pertama, kami berdansa meskipun waktu itu gerakanku begitu kaku. Pikiranku kembali melayang pada saat ia menangkapku dengan seringai puas karena mengetahui kedokku, lalu pertarunganku dengan putri Chelia dan pernikahan kami yang di luar rencana.Aku juga mengenang ketika ia terluka setelah perburuan di hutan Stigrear, ketik
Aku terbaring dengan nyaman di sebuah pembaringan yang entah bagaimana rupanya. Sorak bahagia nan ramai membuat suasana riuh di luar sana atas berhasilnya mengusir pasukan Vainea, bahkan mereka merasa bangga karena berhasil menumbangkan seorang putra mahkota dari kerajaan lawan.Aku tidak tahu apakah kabar kematiannya sudah sampai ke Vainea atau belum, yang jelas raja Vainea pasti akan murka dan menuntut balas.Meski saat ini aku tak merasakan apapun, tapi kesadaranku masih bisa kukendalikan bahkan telingaku terasa lebih peka dari biasanya. Aku mencium aroma wangi di pembaringanku dan saat ini aku terbaring dalam posisi elegan.Dua hari telah berlalu. Demi menyelamatkanku, Erick menyebarkan kabar kematianku pada semua orang termasuk bibi Athea dan yang mulia ratu, walau sebenarnya berita ini tidak berpengaruh pada Velian.Mereka yang sebelumnya bersorak atas kemenangan besar kini berkabung atas kematianku dan raja Herrian. Sorakan yang menyanjungi namaku sebagai tuan putri yang berani
Suara desingan, erangan dan gemuruh yang diiringi aroma darah kini membanjiri tanah. Semua terpampang jelas di mataku saat melihat kerumunan dan hampir tiba. Aku menarik kedua pedangku yang sudah berlumuran darah dan bersiap untuk menyerang orang-orang dari Vainea.Sebagian dari mereka menatapku heran sekaligus takjub, seolah-olah baru pertama kali melihat wanita turun ke medan perang. Tentu saja, ini adalah kesempatan yang bagus untuk menghabisi mereka karena telah berani terpesona oleh kedatanganku."Fokus pada musuh dan lindungi diri kalian sendiri!" teriakku pada pasukan yang hendak membuat formasi untuk melindungiku. "Jangan pikirkan keberadaanku! Coba pikirkan diri sendiri untuk tetap bertahan hidup!"Satu persatu orang-orang Vainea tumbang, kedatanganku membuat semua pasukanku yang tersisa kembali bangkit dengan semangat dan mematuhi ucapanku."Menarik sekali! Benar benar menarik!" Seseorang bertepuk tangan.Sosok pemuda berkuda dengan jubah kebesaran seorang pangeran berwarna
Aku berjalan menuju kediaman yang mulia ratu dengan langkah cepat, disusul bibi Athea. Para pasukan yang tersisa semua berkumpul di halaman dan beberapa ada yang sudah bersiaga di benteng istana dan pintu gerbang sesuai perintahku.Ketiadaan yang mulia raja dan beberapa petinggi istana membuat yang ada di sini kocar kacir dan bingung. Aku terpaksa mengatur berapa strategi untuk memanfaatkan jumlah yang tersisa.Kudengar Vainea sudah berhasil menerobos ibukota. Aku sudah meminta tim evakuasi untuk memindahkan seluruh warga ibukota ke kota Reydane yang tak jauh dari sini. Satu-satunya jalur yang masih aman adalah jalur selatan. Kuharap prosesnya berjalan lancar.Setelah mencari beberapa informasi selama ini, aku baru tahu jika ayahku adalah mantan petinggi istana yang memegang komando pertahanan, maka aku pun harus seperti dirinya sebagai putri Kanz. Aku mengatur rencana sedemikian rupa dalam waktu yang cukup mendesak. Pikiranku terus berputar hingga kepalaku terasa pening.Aku sengaja
Sudah hampir lima belas menit Sarah tak sadarkan diri dan aku masih menunggunya dengan sabar. Aku hanya terdiam melihatnya terkulai dengan tangan terikat ke atas. Ruangan ini begitu berdebu dan tak tersentuh sama sekali. Saat aku meminta beberapa penjaga untuk menyiapkan penjara, ternyata mereka memberitahuku bahwa sebenarnya aku memiliki penjaraku sendiri. Lokasinya sama seperti penjara putra mahkota, tepatnya di bawah tanah, tapi di sini terasa kering dan dingin, tidak seperti penjara miliknya yang lembab dan bau darah di mana-mana."Bangunkan dia!" titahku dingin pada salah satu penjaga yang sedari tadi sudah siaga dan menunggu perintahku."Baik, yang mulia."Sarah akhirnya terbangun setelah guyuran air dingin menyirami tubuhnya. Ia seperti terkejut dan mengamati lingkungannya dengan tatapan tak percaya lalu tak lama, ia menatapku."Valen," gumamnya. Ia seperti baru menyadari tangannya terikat saat ia mencoba bergerak. "Kau--""Kenapa? Apa sekarang kau marah padaku karena memenjara