Rambutku berkibar diterpa angin malam ketika turun dari kereta kuda. Aku mengamati halaman istana yang begitu luas dan ramai hingga menuju ke pintu masuk. Aku mengenakan topeng pesta kemudian melangkah masuk perlahan dengan hati-hati agar kakiku tidak terkilir.
Aku terduduk di sudut ruangan dengan santai sambil mengamati keadaan sekitar. Kupandangi sosok pria paruh baya dengan baju kebesaran seorang raja sedang duduk di kursi besar di atas sana, sementara di samping kiri dan kanannya sudah didampingi dua wanita dengan pakaian khas kerajaan juga.
Tak jauh di sana, sudah berdiri seorang pemuda tampan yang jangkung memakai dengan jubah kebesaran seorang putra mahkota mengamati keadaan di sekitarnya. Aku tidak bisa mengawasi mereka dengan leluasa karena putra mahkota terlihat mengawasi para tamu undangan. Aku hanya sesekali melirik kearah mereka sambil berpura-pura menikmati pesta.
“Maaf nona, silahkan ambil minuman anda.”
Aku menoleh ke arah pria yang memakai baju pelayan dengan topengnya. Aku tersenyum ketika menyadari bahwa pelayan yang tadi menawariku minuman adalah Aleea.
“Oh, terimakasih tuan.” Aku meraih segelas air dari nampan yang dibawakan Aleea.
“Sudah menjadi tugasku nona.” Aleea membungkuk hormat padaku dan perutku terasa digelitiki. Ini—terasa aneh bagiku.
“Berhati-hatilah dengan putra mahkota,” bisiknya sebelum meninggalkanku sambil membawa beberapa gelas di nampannya.
Aku melirik kearah putra mahkota yang masih berdiri tegap di atas sana sebelum menyeruput minumanku sambil menikmati suasana pesta, meskipun tidak ada satu orang pun yang mengajakku berdansa. Yah, aku merasa lega karena aku tak harus berdansa malam ini. Aku sengaja mencari sudut yang terpencil namun bisa mengawasi sekitarku, termasuk yang mulia raja dan putra mahkota.
Aku meneguk minumanku lagi dan ketika aku melirik kearah singgasana untuk kesekian kalinya, putra mahkota sudah tidak ada. Aku mengedarkan pandangan, takut jika putra mahkota menyadari sesuatu sementara Velian dan Zealda masih beraksi di tempat lain.
“Kau tidak berdansa nona?
Aku mengerjap kaget ketika mendengar suara di belakangku. Mataku melebar dengan shock, bahkan aku hampir menjatuhkan gelas di tanganku.
“Yang mulia.” Aku mengangguk hormat sambil merendah. Bagaimana dia bisa di belakangku tanpa kusadari?
Aku mendongakkan kepala perlahan ketika melihat tangannya terulur padaku.
“Kau belum menjawab ku, nona.”
“Maaf yang mulia, saya tidak bisa berdansa,” kataku jujur.
“Kalau begitu, untuk apa kau di sini?” tanyanya menyelidik.
Aku terdiam sejenak dengan keringat dingin yang sudah membanjiri punggungku.
“Saya hanya memenuhi undangan. Sekali lagi saya minta maaf, yang mulia.”
Aku terpaku ketika ia meraih tanganku dan menggandengku menuju ke tengah aula. Bisikan dan tatapan dari berbagai mata membuatku merasa kurang nyaman.
“Yang mulia, saya sudah katakan kalau saya tidak bisa berdansa atau saya akan mempermalukan anda.”
“Injak kakiku dan ikuti gerakan ku,” titahnya.
“Ba-bagaimana mungkin saya menginjak kaki anda—”
“Ikuti saja!” Kali ini nadanya penuh penekanan.
Aku diam-diam melirik ke arah pelayan yang tidak lain adalah Aleea. Ia mengangguk sambil menatapku khawatir.
“Baiklah,” ujar ku menurut.
Aku melepas sepatu dan menginjak kakinya sambil merapatkan diri. Jantungku berdetak sangat kencang, rasa takut dan juga cemas melandaku seperti gelombang pasang tanpa peringatan. Aku mulai bergerak mengikuti gerakannya di iringi irama musik yang mengalun syahdu.
“Tubuhmu terlalu tegang. Cobalah sedikit santai,” ucapnya tanpa berhenti bergerak.
“Ini adalah pertama kalinya saya berdansa dengan putra mahkota. Bagaimana saya bisa santai? Saya tidak ingin mempermalukan anda dengan dansaku yang buruk, yang mulia.”
Ia melingkarkan tangannya di pinggangku semakin erat untuk menghapus jarak di antara kami dan aku semakin gugup ketika bibirnya mendekati telingaku lalu berbisik, “Katakan padaku, kau Assassin dari kerajaan mana?”
Aku terdiam tanpa bisa berkata apapun, namun pikiranku berputar dengan cepat. “Maaf yang mulia, saya tidak mengerti apa maksud anda.”
Putra mahkota memelukku semakin erat hingga aku kesulitan bernapas dan tangannya mencengkeram pinggangku sangat keras, begitu sakit rasanya.
“Yang mulia,” pekikku.
Aku berusaha melepaskan diri namun tubuhnya begitu kokoh.
“Kau pikir aku tidak tahu kau sedang mengawasi kami?” bisiknya lagi.
Mataku melebar seketika. Tak lama sebelum ini, Aleea sudah mengatakan bahwa aku harus hati-hati dengan putra mahkota tapi—kenapa aku tertangkap begitu cepat? Apa—misiku gagal secepat ini?
“Maaf yang mulia, saya—sungguh tidak mengerti apa maksud anda.”
Ia mendengus sambil menyeringai. “Jadi—kau tidak mau mengaku?”
“Saya berani bersumpah yang mulia, saya bukan mata-mata dari kerajaan lain. Saya juga rakyat dari kerajaan Axylon ini, sungguh!”
Ya, aku memang bukan mata-mata dari kerajaan lain, tapi aku mata-mata dari kerajaan Axylon sendiri, karena itu aku berani mengambil sumpah.
“Baiklah. Karena kau sudah bersumpah, kali ini aku percaya padamu. Tapi—malam ini kau harus menghabiskan malam bersamaku.”
“Apa?!” tanyaku shock.
Tanpa aba-aba ia langsung membopongku. Semua orang di sekitarku hanya bersorak gembira melihat putra mahkota kebanggaannya menggendong seorang gadis.
“Lepaskan!” Aku berusaha melepaskan diri namun tubuhnya tidak goyah sedikit pun seolah-olah pemberontakan ku seperti seekor kelinci yang menendang-nendang ketika tertangkap pemangsanya. “Yang mulia, saya mohon jangan seperti ini!”
Tak butuh waktu lama kami memasuki bangunan baru. Kedatangannya langsung disambut pelayan-pelayan cantik seperti bidadari. Apa ini—mansion putra mahkota?
“Periksa dia!” titahnya pada para pelayan setelah menurunkan ku dari gendongannya.
Mereka langsung meraba tubuhku bahkan hampir menelanjangiku. Aku tidak mengerti apa yang mereka cari dariku, tapi dari tatapan mereka sepertinya—mereka sedikit kecewa namun juga senang.
“Yang mulia,” ujar salah satu pelayan. “Kami tidak menemukan senjata satupun di tubuhnya. Kemungkinan besar dia memang bukan Assassin atau mata-mata dari kerajaan lain.”
Kali ini aku benar-benar berterimakasih pada Velian yang melarang ku membawa senjata rahasia atau apapun, seolah-olah ia sudah memprediksi jika hal ini akan terjadi.
“Bukankah tadi saya sudah mengatakannya, yang mulia? Saya hanya orang biasa. Bagaimana bisa anda mencurigai saya seperti itu?
Ia tersenyum miring. “Baiklah, aku tidak akan menuduhmu lagi.”
Percakapan kami terhenti oleh seorang pengawal yang datang tergopoh-gopoh. Ia membisiki sesuatu pada putra mahkota dan kulihat ekspresinya seperti tidak senang.
“Baiklah, aku sendiri yang akan membuatnya untuk bicara.” Putra mahkota tersenyum tipis kearah ku. “Kau ikutlah denganku. Aku ingin memberimu sebuah pertunjukkan kecil.”
Aku terdiam sejenak, namun pada akhirnya aku hanya menurut dan mengikutinya. Kami melewati lorong gelap kemudian menuruni tangga curam. Aroma lumut mengisyaratkan bahwa suasana di bawah sana begitu lembab.
Tak butuh waktu lama, kami sampai di sebuah jeruji besi dan di dalamnya sudah terdapat satu tahanan yang tampak terkulai dengan lemah.
“Yang mulia,” ujar salah satu penjaga tahanan. “Kami sudah menginterogasinya tapi ia masih tidak mau bicara.”
“Kalau begitu biar aku sendiri yang akan memaksanya.”
Aku masih terdiam dengan apa yang akan dilakukan putra mahkota terhadap tahanannya. Ia meraih belati yang mengkilap diterpa cahaya temaram.
“Nona, aku yakin kau akan menyukai pertunjukannya.” Putra mahkota menyeringai melihat reaksiku yang semakin membeku.
“Hei, aku tanya padamu sekali lagi.” Kali ini ia berbicara pada tahanan yang tampak pendiam namun ketakutan. "Siapa yang mengirim mu kemari? Apa kau orang kiriman dari Vainea?”
Pria itu hanya menggeleng tegas namun tubuhnya bergetar.
Putra mahkota mendengus tersenyum miring. “Baiklah, sepertinya aku perlu mengupas kulitmu.”
“Yang mulia.” Aku menyela. “Maaf sebelumnya. Apa—harus dengan cara seperti itu untuk membuatnya mengaku?” tanyaku nanar.
“Pengawal, tahan wanita itu,” titahnya. “Pegangi kepalanya untuk melihat pertunjukan ku.”
Dengan sigap mereka sudah mengunci kedua tanganku. Aku bersiap untuk melawan dengan tendangan ku namun persendian ku dipukul hingga lutut ku terasa lemas.
Tubuhku bergetar melihat kekejaman yang terjadi di depan mataku secara langsung. Mereka bahkan takan membiarkanku menutup mata sekalipun. Pria itu terus saja menjerit kesakitan ketika kulitnya dikelupas perlahan dan parahnya lagi, putra mahkota sendiri yang melakukannya. Ia membiarkan jubah kebesarannya dipenuhi oleh noda darah dan penuh dosa.
“Tuan, aku mohon jawab saja agar penderitaan mu berakhir!” jeritku ngeri.
Awalnya pria itu tetap bersikukuh untuk bungkam namun putra mahkota melakukan hal yang lebih kejam lagi dengan menyayat dagingnya hingga menembus ke tulang, dan akhirnya pria itu mengaku bahwa ia memang seorang utusan dari Vainea atas perintah salah satu pejabat tinggi di sana.
Setelah pria itu mengaku, akhirnya putra mahkota menghentikan siksaannya, sementara aku hanya terduduk lemas di tanah tanpa mempedulikan gaunku yang kotor. Tubuhku gemetar ketakutan, baru kali ini aku melihat seseorang dengan kekejaman yang setara dengan iblis.
“Kau takut padaku, nona?” tanyanya sambil bertekuk lutut agar wajah kami sejajar, kemudian ia membuka topengku. “Kau cantik sesuai dugaan ku.”
Lidahku terasa kelu seketika akibat pikiranku yang menjadi kacau balau. Aku menarik napas panjang sebelum berkata, “Yang mulia, saya ingin—pulang. Mohon ijinkan saya untuk pergi.”
“Kau pikir kau bisa lolos dariku?” bisiknya.
“Apa saya telah melakukan kesalahan sampai anda menahanku, yang mulia?”
“Tidak ada,” jawabnya. “Hanya saja—kau sangat mencurigakan. Biasanya para Assassin menggunakan gadis cantik untuk mengalihkan perhatian hingga kami lemah, kemudian mereka menyerang kami di saat lengah.”
Tubuhku menjadi kaku seketika. Jika putra mahkota tahu aku juga seorang Assassin, mungkin ia benar-benar takan melepaskan ku sampai mati.
“Tapi anda sudah memeriksanya sendiri bukan?”
“Yah, mungkin kau memang bukan seorang Assassin tapi, apa kau pikir aku akan menyia-nyiakan gadis semanis dirimu?” ujarnya sambil menjepit daguku dengan ujung jemarinya.
“Yang mulia saya mohon,” kataku sambil memelas karena tak sanggup jika aku bersamanya lebih lama lagi.
Putra mahkota menatapku sejenak dan tatapannya meredup. “Baiklah. Untuk kali ini aku melepaskan mu, anggap saja aku sedang berbaik hati padamu.”
“Yang mulia?” Aku terpaku ketika ia menggendongku sementara ia hanya terdiam.
“Jika nanti kita bertemu lagi, mungkin aku tidak akan melepaskan mu,” ujarnya beberapa saat kemudian.
Aku merasa lega karena putra mahkota benar-benar melepaskan ku, tapi adegan kejam itu masih terekam jelas dalam ingatanku. Gambaran-gambaran ketika ia menyiksa tahanan itu dan juga suara jeritannya masih melekat kuat. Jika suatu saat posisi raja jatuh ke tangannya, apa jadinya negeri ini nanti? Aku bahkan tidak bisa membayangkan jika Axylon akan di pimpin oleh raja sepertinya.
Aku menjelaskan peristiwa itu pada bibi penyewa ketika ia melihat gaun yang kupinjam kotor penuh noda sambil meminta maaf.
“Kau masih beruntung karena putra mahkota melepaskan mu. Gaun ini nanti biar aku yang bersihkan, dan sekarang pulanglah!” ujar bibi lembut. “Tapi, lain kali kau harus berhati-hati jika kau bertemu putra mahkota lagi, dia memang kejam. Kau pasti sudah tahu, kebanyakan rakyat Axylon justru lebih takut pada putra mahkota dari pada yang mulia raja.”
“Tapi—jika posisi raja di digantikan oleh putra mahkota, apa masyarakat akan diam saja?” tanyaku untuk menyelidiki benak bibi penyewa gaun yang kini sedang mengamati noda gaun di tangannya.
“Mungkin—akan banyak pemberontakan terhadap kerajaan. Konflik akan menyebar luas dari berbagai distrik dan Axylon akan mengalami kekacauan besar. Jika itu terjadi, yang rakyat khawatirkan pasti kerajaan luar akan memanfaatkan situasi ini untuk menyerang Axylon terutama kerajaan Vainea. Kita sebagai rakyat biasa, apa yang akan kita perbuat?” Ia menghela napas sambil menatap jendela dengan hampa. “Kami hanya rakyat biasa, tidak ada yang mau membeli nyawa kami dengan harga mahal.”
Aku menatap wanita di hadapanku dengan perasaan carut marut. “Apa—bibi akan pasrah begitu saja?”
“Jika saja ada cara lain untuk mencegah hal itu.” Ia tersenyum masam sambil menerawang. “Oh iya, siapa namamu?”
“Valen Trish,” sahutku.
“Namaku Agatha. Senang bertemu denganmu Valen, jika kau butuh gaun kau bisa datang kemari,” ujarnya tersenyum. “Sekarang pulanglah. Kau butuh istirahat.”
“Terimakasih, bibi.”
Aku mulai berkuda untuk kembali ke goa ketika matahari mulai meninggi. Dan benar saja, mereka bertiga langsung menyambutku dengan khawatir ketika aku sampai di sana.
“Valen, akhirnya kau kembali.” Zealda tampak khawatir. “Kudengar kau semalam tertangkap oleh putra mahkota.”
“Kita baru saja ingin merencanakan sesuatu untuk menyelamatkanmu,” imbuh Aleea.
“Aku tidak apa-apa. Kalian tidak perlu khawatir.”
“Aku tidak menyangka kau bisa kembali setelah tertangkap oleh putra mahkota.” Kini Velian yang berbicara. “Bagaimana kau bisa lolos darinya?”
Aku terduduk di atas jerami yang biasa kugunakan untuk tidur. “Yah, putra mahkota sempat mencurigai ku, tapi untung saja aku tidak membawa senjata apapun, jadi—ia mengira aku gadis biasa dan melepaskan ku.”
“Tapi—“ Aleea tampak berpikir. “Putra mahkota bukanlah tipe orang yang akan melepaskan siapapun yang sudah berurusan dengannya, apa lagi pada seseorang yang sempat ia curigai. Dari pada itu, ia pasti akan langsung memilih untuk membunuhnya di tempat.”
“Hmm—mungkin karena Valen hanya seorang gadis biasa dan terbukti tidak membahayakan baginya, bisa jadi ia melepaskan Valen karena hal itu.” Zealda mengambil sebilah belati tak jauh darinya.
Aleea menghela napas kasar namun khawatir. “Dia akan bertindak kejam tanpa memandang dia laki-laki atau perempuan, itulah putra mahkota Axylon yang sekarang. Sepertinya—aku harus menyelidikinya lebih lanjut.”
“Yah itu perlu.” Zealda menyodorkan belati panjang pada Aleea. "Tapi sekarang—waktunya berburu atau kita tidak makan seharian.”
Zealda dan Aleea pergi terlebih dahulu dan kini tinggal aku dan Velian yang masih di dalam. Aku menatapnya sejenak, ada banyak sekali rahasia yang tersirat di matanya, layaknya sebuah peti harta karun yang tersembunyi jauh di dalam tanah.
“Putra mahkota—apa semalam melakukan sesuatu padamu?” tanyanya dalam keheningan.
“Ya, dia melakukan sesuatu,” jawabku. “Tapi bukan padaku melainkan pada tahanannya.”
Dalam sekejap adegan mengerikan itu kembali berkelebat dalam pikiranku. Aku menggelengkan kepala, berharap gambaran-gambaran itu menyingkir jauh dari sana. Aku memejamkan mata kuat-kuat sambil berusaha melupakannya, namun tubuhku kembali gemetar dan bayangan itu semakin melekat kuat
“Valen?”
“Dia—bukan manusia,” racau ku kalut, masih teringat kekejamannya.
Velian berusaha menenangkan ku sesaat kemudian. “Kau sudah aman sekarang.”
_______To be Continued_______
Cahaya api yang hangat memberikan kesan oranye pada dinding goa ketika kami berempat duduk berkumpul di tengah udara malam yang dingin. Hasil dari misi kemarin adalah sebuah buku tebal yang sepertinya dijaga dengan ketat.Di dalam buku itu terdapat penjelasan mengenai ritual dua puluh tahun yang lalu dan kami bertiga hanya mendengarkan ketika Velian membacakannya.“Di sini dijelaskan bahwa ritual dua puluh tahun yang lalu bertujuan untuk menyelamatkan keturunan-keturunan raja Victor Leys alias raja terdahulu, jadi—bisa disimpulkan waktu itu ada perebutan tahta antara raja Victor dengan adiknya. Raja Victor dibunuh dan kini tahta dialihkan ke adiknya, Herrian Leys, raja Axylon yang sekarang,” tutur Velian dan ia kembali membaca. “Raja Victor sengaja mengikat jiwa-jiwa keturunannya dengan orang lain yang bukan dari keluarga kerajaan, dan itu bertujuan agar penerusnya tidak bisa mati dibunuh. Dan jiwa-jiwa yang diikat dengan jiwa keturunannya dinam
Aku membuka mata ketika fajar menyingsing, tidak ada seorangpun di sisiku seperti biasa. Sudah dua malam Velian menumpang tidur denganku meskipun awalnya aku mengira aku sedang bermimpi, tapi ternyata semua benar dan nyata.Aku tidak tahu mau sampai kapan Sarah akan tinggal di sini, ini sudah hari ketiga dan hidupku tidak tenang. Aku sudah menahan diri selama dua hari untuk tidak membuat masalah dengannya. Tapi jika dia terus saja berulah terhadapku, mungkin kesabaran ku akan menipis.Aku terduduk dan mengedarkan pandangan dengan malas. Semua masih terlelap kecuali—Velian yang sudah beranjak entah kemana. Itu tak membuatku merasa heran karena biasanya mereka bangun ketika matahari mulai tinggi, tapi di musim salju seperti ini—memang membuat raga enggan beranjak dari selimut hangat.Kulitku langsung meremang akibat dingin dan aku segera memakai jaket tebal ku saat keluar goa. Pagi ini aku berencana memburu ikan di sungai sekalian membasuh tubuhku mesk
Aku duduk sambil mengoleskan obat untuk kulit terbakar yang terasa pedih. Aku meringis kesakitan sambil menggigit kain, menahan perih yang membuat tubuhku sedikit bergetar.Aku melarang mereka masuk sampai proses pengobatan ku selesai, karena aku tak memakai pakaian. Jika aku tidak berlari ke hamparan salju, mungkin aku akan sekarat dan mati. Tak lupa juga, aku membalut luka di bahu dan pinggang dan beberapa luka sayatan akibat pertarungan ku tadi.Meskipun sakit, tapi aku bersyukur karena luka bakarnya tidak terlalu fatal. Jaket tebal ku terbakar meskipun tak sepenuhnya hangus. Aku tidak bisa membayangkan jika aku tidak menggunakan pakaian tebal, mungkin kulitku akan terbakar api secara langsung. Luka terparah di bagian paha hingga kaki, karena posisiku di perapian waktu itu berlutut dan sedikit tersungkur dengan tangan yang juga ikut terbakar.Aku mengambil kain besar dengan susah payah, kemudian melilitkannya untuk menutupi tubuhku layaknya jubah yang tak mem
Sunyi, itulah hal yang kurasakan ketika membuka mata. Hanya bara api yang mengeluarkan suara-suara kayu yang terbakar dan meninggalkan abu hangat di sekitarnya. Aku terduduk dengan susah payah sambil memegangi pinggangku, kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar dengan bingung. Kemana mereka semua?Aku terdiam sejenak setelah menyadari luka di kulitku sudah mulai mengering, namun sudah diolesi obat baru dan juga—kain di tubuhku sudah di ganti dengan yang baru. Pikiranku langsung tertuju pada Velian dan sejenak aku teringat kejadian semalam.“Sepertinya semalam aku mimpi aneh yang menggelikan,” pikirku. “Mana mungkin Velian begitu.” Aku menggelengkan kepala cepat, berharap pikiran terkutuk itu menyingkir. “Itu pasti cuma mimpi.”Aku mencium kain yang ku kenakan dan sepertinya—kain ini miliknya. Aroma mint berbaur dengan udara lembab yang berarti—kain ini lama tidak dipakai.Aku tak sengaja melihat sepo
Aku terduduk melamun di tepi sungai. Mencerna kenyataan yang begitu mengejutkan hingga napas ku terasa sesak. Kini aku tahu bahwa Velian adalah putra ke empat yang selama ini membuatku penasaran tanpa sempat kucari. Dia menyembunyikan identitasnya dengan baik selama ini sampai-sampai Zealda dan Aleea tidak menyadari betapa penting keberadaannya.Bahkan paman Thomas sendiri yang telah merawatnya sejak kecil tidak tahu menahu soal ini, yang berarti—aku adalah orang pertama dan satu-satunya yang mengetahui dirinya yang sejati.Tapi—bagaimana caraku untuk menyembunyikannya? Meskipun dia memintaku untuk bersikap biasa dan pura pura tak tahu, namun hati, pikiran bahkan ragaku tidak bisa berbohong bahwa dia seorang pangeran, dan itu membuatku canggung secara refleks.Mengingat ia yang menyentuhku untuk merawat lukaku telah membuat pipiku bersemu memalukan dalam sekejap, ditambah aku mengingat mimpi aneh yang terasa begitu nyata itu. Sialan, aku tak bisa men
Aku masih terkejut dengan perubahan kulitku yang sudah sembuh total, bahkan pergelangan tanganku sudah pulih tanpa menyisakan rasa sakit. Aku harus segera menyelidiki gadis itu secepatnya, dikhawatirkan ini akan membahayakan Velian dan yang lainnya.“Valen.”Aku langsung mencelupkan diri hingga seleher untuk menutupi tubuhku meskipun terasa dingin. “Zealda?”Zealda terhenti sejenak ketika melihatku. “Aku akan mengambilkan kain untukmu.”“Jangan!” sergahku. “Tolong ambilkan pakaianku.”“Pakaian?” Zealda terlihat heran namun sedetik kemudian mengangguk kaku. “Baiklah, tunggu sebentar.”Tak lama Zealda kembali dengan membawa satu setel pakaianku kemudian kembali ke goa setelah aku memintanya mendahuluiku. Aku segera mengenakan pakaianku dan kembali ke goa dengan tergesa-gesa, membayangkan gadis itu masih di sana.Dan—benar saja, gadis itu terduduk d
Tiga hari telah berlalu, latihan demi latihan kami jalani untuk mempersiapkan misi berikutnya. Kini tambah lagi satu orang di kelompok kami. Kulihat Liz sama sekali tidak berbahaya meskipun terkadang kami begitu waspada padanya. Tapi setelah dipikir-pikir Lavina juga tidak seburuk yang kupikirkan. Sikapnya memang sedikit urakan, tapi itu tak menganggu kami sedikit pun. Aleea membuka selembar perkamen besar yang berisi sebuah peta yang entah dari mana ia mendapatkannya. Itu bukan peta istana melainkan peta sebuah kediaman yang bisa dipastikan bangunanannya megah dan memiliki halam luas. Misi kali ini menculik salah satu petinggi istana yang di duga terlibat pada peristiwa sihir itu, Nyonya Jevera. Sesekali aku melirik gadis yang sedang terduduk dengan gaya angkuhnya di tengah latihan. Ia hanya menonton dan mengamati kami latihan sambil memakan buah yang ia dapat dari hasil mencuri dari kebun seseorang. Ya, saat ini dia bukan Liz, melainkan Lavina. Keningku berkerut ketika menatapnya.
Aku terpaku di tengah rasa sakitku sekaligus dengan degup jantung yang lebih cepat dari biasanya. Teringat kembali peristiwa yang terjadi di penjara bawah tanah, ketika seorang tahanan dikuliti hidup-hidup dengan kejam, dan—orang inilah yang melakukannya. Kali ini—mungkin aku takan bisa lolos darinya. Sial!“Yang mulia,” lirihku. “Apa—kali ini kau akan mengulitiku juga?”Tampak seringai dari sorot matanya. “Aku akan melakukan hal yang lebih dari itu,” sahutnya. “Kau berhasil menipuku.”Gawat! Aku tak bisa seperti ini. Velian akan dalam bahaya jika aku sampai mati di tangan putra mahkota. Sial! Apa yang harus kulakukan?Aku meraih salah satu pedang kecilku, berniat untuk menyerangnya, namun ia menyadari pergerakanku sambil tersenyum menang. Ia berhasil merebut pedang kecil milikku dan menyimpannya di balik jubahhnya.Tubuhku mengerjap ketika sebuah jarum menembus lenganku dan sesuatu masuk kedalam tubuhku. Rasa sakitku hilang perlahan disusul juga dengan hilangnya kesadaranku.“Kau tak
Di lorong gelap nan lembab seorang wanita dengan jubah kebesaran seorang ratu melangkah dengan penuh dendam. Seutas cambuk berduri tergenggam erat di tangannya. Masa lalu yang merenggut cintanya takan dilupakan begitu saja hanya dengan sebutir kata maaf dan ampun. Sakit hati yang dirasakannya begitu kuat hingga membuat emosinya tak terkendali. Di penjara bawah tanah, seorang wanita sudah berlumuran darah kering dengan pakaian koyak dan wajah yang dipenuhi jelaga. Tangannya diikat ke atas hingga membuatnya menggantung dalam posisi berdiri. Dia adalah wanita pembawa kekacauan tersebut, dengan seringai jahatnya yang seolah-olah menuntut balas atas nasib yang dialaminya, meskipun sebenarnya ia tak memiliki harapan apapun. "Lavina," gumamnya. "Kenapa kau tidak cepat-cepat membunuhku? Apa kau takut jika arwahku menghantuimu?" ucapnya menyeringai. Satu cambukan mendarat ditubuh wanita itu disertai tatapan tajam sang ratu bijak yang kini menjelma menjadi iblis. "Kematian hanya mempercepat
Suara riuh di dalam ruangan membuatku tersadar bahwa aku telah meninggalkan pesta terlalu lama hingga akhirnya, kuputuskan untuk kembali dengan kaki pincang tanpa alas kaki. Saat memasuki ruangan, kulihat sudah ada putri Selena di sana.Malam ini ia mengenakan gaun beludru berwarna putih dengan hiasan bunga mawar berwarna biru yang membuatnya terlihat anggun. Penampilannya begitu sederhana dengan dandanan natural dan tidak berlebihan. Rambutnya pun hanya digelung dengan hiasan pita mungil.Aku hanya berdiri menyendiri di sudut ruangan dan terpisah dari keluargaku, menatap sosok anggun di sana dengan kagum. Ternyata acara sudah berjalan sejak tadi dan aku terlambat masuk. Sejenak aku teringat ucapan bibi Theony bahwa ia lebih mirip denganku daripada dengan yang mulia raja atau ratu.Sepertinya memang benar, dia memang tak mirip keduanya, aku justru seperti sedang bercermin saat melihat matanya. Dia...memiliki mata yang sama denganku.Aku segera menyingkirkan pikiran gila itu dari kepal
___23 Tahun Kemudian___Namaku Valen. Katanya, nama ini pemberian raja Zealda, tentu saja itu adalah sebuah kehormatan besar untukku dan keluargaku. Bahkan katanya, ratu Liz sempat menggendongku beberapa kali. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisiku saat itu, semoga saja aku tidak melakukan hal aneh dalam gendongannya seperti mengotori gaunnya dengan muntahanku atau mengencinginya.Pada saat aku lahir, yang mulia ratu katanya sedang mengandung, usia kehamilannya masih sangat muda saat itu. Ayahku berharap bisa menikahkanku dengan pangeran. Namun ternyata yang mulia ratu melahirkan anak perempuan dan ayahku sedikit kecewa, walaupun begitu ia juga bahagia atas kelahiran tuan putri. Namanya putri Selena, gadis imut yang berhati dingin.Aku pernah bertemu tuan putri saat memergoki dirinya sedang menyamar menjadi laki-laki, entah apa yang dia lakukan. Saat penyamarannya terbongkar, dia ternyata memegang sebilah pedang di tangannya.Tuan putri mengangkat pedangnya ke arahku dan meng
Kami berjalan menyusuri lorong gelap setelah melewati pintu rahasia yang selama ini belum kutahu. Udara dingin nan lembab membuat mentelku sedikit berembun, begitu pun dengan Velian yang berjalan mendahuluiku dengan membawa lentera.Aku tak menyangka bahwa mahkota itu di simpan begitu jauh dan tersembunyi. Entah dari mana Velian mengetahui lokasinya, tapi yang jelas lorong di sini membuatku sedikit sesak.Tunggu sebentar, tiba-tiba aku--ingin muntah. Langkahku terhenti sejenak seraya menutup mulut. Kepalaku sedikit pening diiringi rasa mual yang mengganggu."Kau baik-baik saja?" tanya Velian yang menyusulku di belakang. "Wajahmu terlihat pucat."Aku tak menjawab sampai kondisiku sedikit membaik. Mataku basah seiring pergolakan dari perutku. Rasanya--isi lambungku seperti ingin keluar semua.Kutarik napas panjang untuk menenangkan diri. Velian membantuku bersandar di dinding berlumut yang dingin."Aku baik-baik saja. Mungkin ini efek dari tidur panjangku karena aku tidak makan selama i
Aku membuka mata perlahan dengan tubuh yang terasa lemah. Kepalaku masih nyaman untuk tetap tergeletak di pembaringan hingga rasanya aku enggan untuk terbangun. Velian sudah tak di sampingku entah sejak kapan dan kini masih ada satu sosok lagi yang masih mendekapku. Seonggok tubuh dingin yang masih utuh dengan cahaya orange yang berpendar di lapisan kulitnya.Aku memiringkan tubuh agar kami berhadapan. Tanganku bergerak menggapai wajahnya yang terlihat tenang. Air mataku menetes ketika pikiranku mulai mengenang tentangnya yang menyebalkan, berbahaya dan juga perasaannya yang membuatku terjerat di sisinya.Pikiranku menembus dimensi waktu dalam sekejap. Di pertemuan pertama, kami berdansa meskipun waktu itu gerakanku begitu kaku. Pikiranku kembali melayang pada saat ia menangkapku dengan seringai puas karena mengetahui kedokku, lalu pertarunganku dengan putri Chelia dan pernikahan kami yang di luar rencana.Aku juga mengenang ketika ia terluka setelah perburuan di hutan Stigrear, ketik
Aku terbaring dengan nyaman di sebuah pembaringan yang entah bagaimana rupanya. Sorak bahagia nan ramai membuat suasana riuh di luar sana atas berhasilnya mengusir pasukan Vainea, bahkan mereka merasa bangga karena berhasil menumbangkan seorang putra mahkota dari kerajaan lawan.Aku tidak tahu apakah kabar kematiannya sudah sampai ke Vainea atau belum, yang jelas raja Vainea pasti akan murka dan menuntut balas.Meski saat ini aku tak merasakan apapun, tapi kesadaranku masih bisa kukendalikan bahkan telingaku terasa lebih peka dari biasanya. Aku mencium aroma wangi di pembaringanku dan saat ini aku terbaring dalam posisi elegan.Dua hari telah berlalu. Demi menyelamatkanku, Erick menyebarkan kabar kematianku pada semua orang termasuk bibi Athea dan yang mulia ratu, walau sebenarnya berita ini tidak berpengaruh pada Velian.Mereka yang sebelumnya bersorak atas kemenangan besar kini berkabung atas kematianku dan raja Herrian. Sorakan yang menyanjungi namaku sebagai tuan putri yang berani
Suara desingan, erangan dan gemuruh yang diiringi aroma darah kini membanjiri tanah. Semua terpampang jelas di mataku saat melihat kerumunan dan hampir tiba. Aku menarik kedua pedangku yang sudah berlumuran darah dan bersiap untuk menyerang orang-orang dari Vainea.Sebagian dari mereka menatapku heran sekaligus takjub, seolah-olah baru pertama kali melihat wanita turun ke medan perang. Tentu saja, ini adalah kesempatan yang bagus untuk menghabisi mereka karena telah berani terpesona oleh kedatanganku."Fokus pada musuh dan lindungi diri kalian sendiri!" teriakku pada pasukan yang hendak membuat formasi untuk melindungiku. "Jangan pikirkan keberadaanku! Coba pikirkan diri sendiri untuk tetap bertahan hidup!"Satu persatu orang-orang Vainea tumbang, kedatanganku membuat semua pasukanku yang tersisa kembali bangkit dengan semangat dan mematuhi ucapanku."Menarik sekali! Benar benar menarik!" Seseorang bertepuk tangan.Sosok pemuda berkuda dengan jubah kebesaran seorang pangeran berwarna
Aku berjalan menuju kediaman yang mulia ratu dengan langkah cepat, disusul bibi Athea. Para pasukan yang tersisa semua berkumpul di halaman dan beberapa ada yang sudah bersiaga di benteng istana dan pintu gerbang sesuai perintahku.Ketiadaan yang mulia raja dan beberapa petinggi istana membuat yang ada di sini kocar kacir dan bingung. Aku terpaksa mengatur berapa strategi untuk memanfaatkan jumlah yang tersisa.Kudengar Vainea sudah berhasil menerobos ibukota. Aku sudah meminta tim evakuasi untuk memindahkan seluruh warga ibukota ke kota Reydane yang tak jauh dari sini. Satu-satunya jalur yang masih aman adalah jalur selatan. Kuharap prosesnya berjalan lancar.Setelah mencari beberapa informasi selama ini, aku baru tahu jika ayahku adalah mantan petinggi istana yang memegang komando pertahanan, maka aku pun harus seperti dirinya sebagai putri Kanz. Aku mengatur rencana sedemikian rupa dalam waktu yang cukup mendesak. Pikiranku terus berputar hingga kepalaku terasa pening.Aku sengaja
Sudah hampir lima belas menit Sarah tak sadarkan diri dan aku masih menunggunya dengan sabar. Aku hanya terdiam melihatnya terkulai dengan tangan terikat ke atas. Ruangan ini begitu berdebu dan tak tersentuh sama sekali. Saat aku meminta beberapa penjaga untuk menyiapkan penjara, ternyata mereka memberitahuku bahwa sebenarnya aku memiliki penjaraku sendiri. Lokasinya sama seperti penjara putra mahkota, tepatnya di bawah tanah, tapi di sini terasa kering dan dingin, tidak seperti penjara miliknya yang lembab dan bau darah di mana-mana."Bangunkan dia!" titahku dingin pada salah satu penjaga yang sedari tadi sudah siaga dan menunggu perintahku."Baik, yang mulia."Sarah akhirnya terbangun setelah guyuran air dingin menyirami tubuhnya. Ia seperti terkejut dan mengamati lingkungannya dengan tatapan tak percaya lalu tak lama, ia menatapku."Valen," gumamnya. Ia seperti baru menyadari tangannya terikat saat ia mencoba bergerak. "Kau--""Kenapa? Apa sekarang kau marah padaku karena memenjara