Di tengah derasnya hujan, kudaku masih melaju kencang. Aku masih menggenggam tangan Velian agar tangannya tetap hangat, meskipun tangan dalam tali pacuan ku sudah membiru dan berkerut. Kubiarkan ia terkulai di bahuku. Tubuhnya yang mulai menggigil membuatku semakin cemas.
Tak lama, akhirnya kami sampai di goa. Aku segera memapah Velian yang sudah sangat lemah untuk masuk. Aku segera membetulkan perapian setelah ia sudah duduk dengan posisi hangat. Kuraih buntalan kain yang berisi pakaian Velian dan melemparnya.
“Cepat ganti pakaianmu. Aku akan pergi mencari makanan.”
“Valen.”
Aku menoleh sejenak. “Hmm?”
“Di luar sedang hujan. Biar aku saja yang mencari makanan.”
“Kondisimu sedang tidak baik, jadi...sadar diri lah. Aku usahakan tidak lama.”
Aku segera melesat keluar sebelum Velian berkomentar lebih banyak lagi. Rencananya, aku tidak bermaksud untuk berburu melainkan ingin kembali ke rumahku. Setidaknya...beberapa keping uang sudah cukup. Mungkin memang terlihat seperti perampok, tapi...menggasak rumah sendiri kurasa juga tidak cocok untuk di sebut perampok.
Aku memacu kudaku lebih cepat dan melawan udara dingin yang menggigit. Hujan deras membuat suasana di distrik ku sepi hingga aku bisa melaju tanpa hambatan. Tak butuh waktu lama aku sampai di rumahku yang terpencil.
Dengan mengamati keadaan sekitar, aku melompat masuk ke dalam rumah. Aku kembali masuk ke dalam kamarku untuk mengambil celengan ku dan memasukannya ke dalam tas. Aku juga masuk ke kamar ayah dan ibu, berharap menemukan petunjuk lagi.
Namun hingga satu jam, aku tidak menemukan petunjuk apapun dan kini tatapanku tertuju pada sebuah peti berukuran sedang. Mataku terpaku ketika melihat isi dari peti itu yang ternyata...adalah kepingan emas.
Rasa takut melandaku seperti gulungan awan hitam dan membuatku menjadi gugup. Untuk pertama kalinya aku melihat emas sebanyak ini. Aku menelan ludah sebelum akhirnya menutup peti itu dan memasukannya ke dalam tas.
“Ayah, maafkan aku. Aku tidak tahu bagaimana lagi caraku untuk hidup tanpa kalian. Aku berjanji akan menjaga harta ini dengan baik,” ucapku dalam hati.
Aku segera melesat keluar dan kembali menerobos hujan deras. Mungkin aku harus mampir ke beberapa penjual makanan dari distrik sebelah dan juga beberapa ramuan obat herbal. Aku mengeluarkan uang yang masih tersisa di sakuku dan mulai berbelanja.
Setelah semuanya cukup, aku kembali memacu kuda dan pulang ke goa. Tubuhku mulai menggigil akibat kedinginan. Aku bisa melihat ujung jariku yang pucat dengan kuku membiru. Pandanganku mulai buram dan kepalaku mulai terasa berat, namun aku harus tetap bertahan.
“Valen!” ujar Velian cemas setelah aku sampai di goa.
Aku berjalan dengan langkah tertatih kemudian membuka salah satu bingkisan kecil berisi makanan.
“Kau harus makan,” sodorku dengan tangan gemetar akibat dingin. “Aku juga sudah membawakan obat untukmu.”
Awalnya ia hanya terdiam namun sedetik kemudian ia menarik tanganku dan memelukku. Butuh waktu untuk sadar bahwa aku sudah dalam dekapannya yang hangat ketika aroma mint khasnya menguar dari tubuhnya.
“Veli-"
“Kau bisa bersandar padaku jika kau lelah,” potongnya.
Aku terdiam sejenak untuk menata pikiranku di antara rasa pening yang bergelayut. Namun sesaat kemudian, aku benar-benar menyandarkan kepalaku di dada bidangnya.
“Ya, aku memang...sedikit lelah. Tapi..." Aku kembali mengangkat kepalaku dan mendorongnya pelan. “Pakaianku masih basah, nanti bajumu juga ikut basah.”
Aku segera berpaling untuk meletakkan tasku dan mengambil beberapa helai pakaian.
“Maaf, hari ini aku tidak berburu tapi aku sudah membeli makanan di pasar distrik sebelah. Aku yakin, rasanya tidak terlalu mengecewakan,” ujarku sambil melangkah ke luar untuk membilas diri.
Setelah tubuhku bersih, aku kembali masuk dan kulihat Velian sudah membalikkan tubuh ke arah dinding dan membelakangiku. Aku segera berganti pakaian secepat mungkin meskipun awalnya ragu.
“Aku sudah selesai,” ucapku dan Velian kembali berbalik.
Aku mengambil posisi duduk berseberangan dengannya sambil menatap perapian. Kuambil sehelai kain untuk menyelimuti tubuhku dari udara dingin yang masih terasa.
Aku menatap Zealda dan Aleea yang masih terbaring. Meskipun kondisinya tidak seburuk di awal, tapi mereka belum sadarkan diri dan itu membuatku cemas.
“Terima kasih untuk bantuannya hari ini,” ucapnya tanpa mengalihkan tatapannya dari perapian.
“Kau sudah mengatakannya.”
“Dan aku ingin mengatakannya lagi.”
Aku menatap Velian dan tatapannya begitu kosong dengan wajah pucat.
“Apa yang sudah kau dapat dari rumahmu? Apa kau sudah menemukan petunjuk?”
Ah, aku hampir lupa soal itu. Tanpa pikir panjang aku langsung mengeluarkan buku tebal dan juga secarik kertas yang berisi corak membentuk angka empat.
Velian mengerutkan kening ketika aku menyodorkan buku tebal itu dan menerimanya dalam diam. Ia membukanya perlahan dan matanya semakin menyipit dengan tatapan dingin khasnya.
“Jadi...keluargamu menyimpan buku ini?”
“Aku tidak tahu sebelumnya. Mereka juga tidak pernah membicarakannya.” Aku mengambil posisi duduk di sampingnya. “Menurutmu buku apa itu?”
“Ini...adalah buku ritual kerajaan. Biasanya kerajaan melakukan ritual untuk melindungi keluarga mereka dari berbagai serangan dan marabahaya.”
“Tapi...kenapa rakyat biasa yang bukan dari keluarga kerajaan bisa terlibat?”
“Entahlah. Tapi...kudengar mereka hanyalah mediator.”
Keningku berkerut tak paham. “Maksudmu mediator?”
“Itulah yang ingin kucari tahu.”
Velian menutup buku itu kemudian menatap perapian. “Mungkin...kita harus bergerak lebih cepat. Setelah semuanya pulih, kita harus bergegas.”
“Apa yang akan kita lakukan?”
“Kita akan menyusup ke istana.”
Aku menatap hampa perapian tapi pikiranku berputar. “Istana memiliki penjagaan yang sangat ketat. Menyusup ke sana bukan lah hal yang mudah.”
“Justru karena itu. Kita persiapkan semuanya dari sekarang.”
* * *
Dua hari telah berlalu, meskipun kondisi Aleea dan Zealda membaik, mereka belum juga sadarkan diri. Sepanjang hari aku hanya latihan bersama Velian cara menggunakan Dagger dan Hidden Blade dengan baik. Kecepatan dalam pergerakan juga di butuhkan dengan beberapa keahlian.
Aku melompat dari ketinggian tanpa merasa takut ke dalam sungai, kemudian bergerak ke tepian dengan cepat lalu berlari ke hutan sambil melempar belati ke beberapa pohon yang sudah kutandai.
Di sini, Velian sudah memasang perangkap berupa tali dan jaring. Aku terus berlari sambil sesekali berguling untuk menghindari tali-tali yang tersembunyi. Selain itu, aku juga melompat untuk menghindari jebakan agar tidak terkena jaring.
Aku terdiam sejenak ketika mendengar langkah kaki yang bergerak cepat. Aku mengamati keadaan dengan waspada karena aku tahu, Velian mulai beraksi. Aku memekakkan telinga dan menatap arah sumber suara.
Aku menarik pedang kecil yang tersembunyi di pinggangku, kemudian berlari secepat mungkin untuk menyerangnya. Tapi nihil, Velian tidak ada di sana. Kuedarkan lagi pandanganku dan aku mendengar suara dari atas.
Aku mendongak ke atas dan sedetik kemudian, melompat menghindari serangan Velian. Desingan belati yang saling bergesekan dengan sengit membuat telingaku berdengung. Aku terus melawannya sambil mencari celah dari pergerakannya.
Namun pergerakan Velian begitu cepat, ia menangkap tanganku kemudian memutar. Pergerakan ku terkunci dan sebilah mata pisau dari Hidden Blade di tangannya mencuat. Ia menghentikan gerakannya agar mata pisau itu tidak menggores leherku.
“Lumayan,” ujarnya. “Setidaknya ada perkembangan dalam kelincahan mu.”
Velian melepaskan ku dan membiarkan ku menghirup udara.
“Tidak kusangka, kau ahli dalam menyamarkan diri. Bukan hanya itu, kau juga mampu mengecoh lawan,” sahutku sambil meraih sebotol air dan meneguknya.
“Yah, setidaknya bergerak tanpa diketahui adalah hal yang harus diperhatikan.” Velian terduduk di sampingku sambil meneguk air minum miliknya.
“Bagaimana dengan lukamu?” Aku mengamati bekas lukanya akibat pertarungan waktu itu. “Apa masih terasa sakit?”
“Setidaknya sudah mulai membaik,” jawabnya.
Aku termanggut-manggut lega. “Syukurlah.”
“Valen, aku ingin mengenalkan mu pada seseorang.” Velian berdiri untuk memunguti senjatanya. “Ikut aku.”
Meskipun ingin tahu, aku hanya mengikuti langkahnya tanpa bertanya. Kami berjalan mengikuti jalur setapak hingga akhirnya kami sampai di sebuah rumah di tepi hutan.
Kepulan asap putih sudah mengepul dari cerobong asap dan kulihat sosok pria paruh baya menatap kedatangan kami.
“Paman, aku ingin menyewa dua kuda,” ujar Velian setelah sampai.
Pria itu menatapku dan Velian bergantian sebelum menyahut, “Kudaku ada di kandang belakang. Kau tinggal pilih saja.”
“Baiklah, terima kasih paman.” Velian memberikan sebuah kantung kecil berisi keping uang kepada pria tua itu.
Kami langsung menuju ke kandang belakang dan di sana sudah terdapat puluhan kuda.
“Jadi di sini Velian biasa menyewa kuda,” pikirku.
Velian langsung menarik seekor kuda dari kandangnya dan siap untuk menaikinya.
“Nah nona, kau mau pilih yang mana?” Kini pria tua itu bertanya padaku.
Aku terdiam menatap kuda satu persatu dan mataku tertuju pada kuda jantan berwarna hitam yang paling ujung.
“Paman, aku mau yang itu,” tunjuk ku.
Pria tua itu merasa heran sejenak, namun sedetik kemudian sudah menarik kuda itu keluar dari kandangnya.
“Kau yakin ingin menaiki kuda ini, nona?” tanyanya sambil mengelus kudanya. “Dia masih sedikit liar dan kadang susah dikendalikan.”
Aku menatap kuda itu lagi, dan kulihat matanya sedikit redup. Aku penasaran, seliar apa kuda yang satu ini?
“Iya paman. Aku mau yang ini.”
“Baiklah aku serahkan padamu, tapi berhati-hatilah, nona,” ujarnya sambil membantuku untuk menaikinya.
“Terima kasih.”
Aku mulai melaju mengikuti kuda Velian. Kami bergerak menuju distrik Rivira yang tepatnya di Axylon utara dan jaraknya lumayan jauh. Entah aku yang lemah atau kudaku yang kelebihan energi, aku merasa kudaku berlari begitu cepat bahkan mendahului kuda Velian. Aku harus berhenti setiap kali Velian tertinggal jauh, karena dia petunjuk jalannya.
“Meskipun kau menyukainya, tapi kuda perang tidak cocok untuk perjalanan santai seperti ini,” gumamnya setelah melewati ku.
“Kuda perang?” tanyaku baru tahu. “Oh pantas saja dia terlihat gagah.”
Velian hanya menggelengkan kepala namun aku tahu dia tersenyum.
Tak lama, kami sampai di distrik Rivira. Aroma kayu manis tercium begitu jelas ketika melewati rumah kayu yang berkesan hangat. Kemudian, udara berganti menjadi aroma coklat hangat dari sebuah kedai dan kembali berganti menjadi aroma tembaga panas ketika melewati tempat penempa senjata.
“Kita sudah sampai.”
Kami menuruni kuda ketika sampai di sebuah rumah kayu mungil yang juga berkesan hangat. Aroma jahe menguar dari dalam, diiringi suara besi yang sedang di tempa.
Velian memberiku aba-aba untuk mengikutinya masuk ke dalam dan aku hanya menurut. Seorang pria tua gemuk dengan wajah segar langsung menyambut kedatangan kami, terutama Velian. Mereka berpelukan dan terlihat akrab.
“Lama sekali kau tidak kemari. Dasar anak nakal!” ujar pria itu sambil menjitak kepala Velian, sementara yang dijitak hanya meringis.
Jujur, untuk pertama kalinya aku melihat Velian yang meringis seperti itu, karena biasanya ia hanya tersenyum tipis, tertawa mengejek atau memasang wajah dingin dan selalu serius. Bersama pria tua itu, Velian menjadi berbeda dan terlihat hangat. Apa hubungannya dengan pria itu?
“Yah, akhir-akhir ini aku sedang menyelidiki sesuatu paman. Jadi...belum sempat kemari. Dan ini-" Velian menunjukku. “Valen, temanku.”
“Valen, ini paman Thomas. Dia ahli membuat senjata.”
“Salam kenal, paman.” Aku membungkuk sopan.
Paman Thomas tersenyum sambil menepuk bahuku. “Ah, akhirnya Velian mengajak seorang gadis kemari. Aku senang sekali.”
Aku hanya tersenyum dan sedikit tersipu. “Kami hanya kebetulan bertemu dan berteman.”
“Yah meskipun begitu-" Paman Thomas mendekati telingaku dan berbisik. “Aku bisa merasakan aura tubuhmu mirip dengan aura Velian.”
Aku mematung dengan ucapannya dan pikiranku dipenuhi tanya. “Maaf paman, aku...masih belum mengerti.”
“Ehmm.” Velian berdeham menginterupsi obrolan paman Thomas denganku. “Begini paman, kedatanganku kemari karena aku ingin meminta bantuan paman.”
“Apa kau kehabisan senjata?” tebak paman Thomas sambil membimbing kami menuju ruang tamu. “Kalian datang dari jauh, silahkan duduk.”
Kami menuruti titahnya untuk duduk, sembari menikmati udara hangat yang muncul dari perapian.
“Paman, aku butuh senjata yang lebih ringan. Mungkin bentuknya seperti pedang kecil tapi lebih ramping dan kokoh.”
“Bukankah tiga bulan yang lalu aku sudah memberimu sebuah Dagger?”
“Ah, sebenarnya itu...bukan untukku, tapi untuk Valen,” jawabnya.
Aku langsung menoleh kearahnya dengan bingung tanpa bertanya.
“Dia...belum ahli menggunakan Dagger dan Hidden Blade yang paman buatkan untukku,” lanjutnya. “Bisakah paman membuatkan Hidden Blade khusus untuknya?”
Paman Thomas menatapku dan Velian bergantian sebelum akhirnya dia berkata, “Velian aku ingin berbicara denganmu empat mata.”
Velian menatapku yang masih bingung, kemudian mengangguk pada paman yang berarti menyetujuinya. Tak butuh waktu lama, mereka berdua meninggalkanku yang masih terduduk di ruang tamu.
Aku tidak mengerti kenapa Velian meminta paman Thomas membuatkan senjata untukku. Apa aku seburuk itu menggunakan Hidden Blade miliknya?
“Kau yakin ingin menjadikan gadis polos seperti itu menjadi pembunuh?”
Keningku berkerut ketika tidak sengaja mendengar percakapan mereka dengan nada pelan, namun masih terdengar sedikit di telingaku.
“Dia tidak sepolos yang paman pikirkan.”
Aku memekakkan telinga ketika Velian yang bersuara.
“Dia pandai menggunakan pedang dan bisa bertarung,” lanjutnya.
Paman Thomas terdiam cukup lama.
“Dia hanya memiliki satu pedang dan dia butuh senjata yang lebih kecil dari pedangnya. Di tambah, Hidden Blade yang paman buatkan untukku membuat pergerakan tangannya sulit dan terlihat berat. Tangannya sangat kecil jadi butuh waktu lama untuk mengaitkan talinya.”
“Hmm...kalau begitu. Aku akan membuat desainnya terlebih dahulu, tapi aku tidak bisa menjamin akan selesai dalam waktu cepat. Meskipun begitu, aku akan mencoba membuat senjata yang cocok dengannya.”
“Ah, terima kasih paman.”
“Tapi Velian, aku merasa bahwa gadis itu memiliki kesamaan sepertimu.”
Keningku berkerut seketika mendengar ucapannya.
“Tidak semua orang memiliki perbedaan kan? Mungkin...dia hanya kebetulan.”
Paman Thomas terdiam cukup lama, namun pada akhirnya ia berkata, “Seharusnya kau melindunginya, tapi kau malah memintaku membuat senjata untuknya?”
“Maaf paman, hanya itu cara satu-satunya agar ia selalu terlindungi. Dia bisa melindungi dirinya.”
Paman Thomas seperti menarik napas berat. “Baiklah kalau begitu. Aku akan membuatnya.”
Berbagai pertanyaan kembali mengisi pikiranku. Namun yang paling mengganggu ketika paman Thomas mengatakan bahwa auraku sama dengan Velian.
Sejenak aku teringat pada ucapan pembunuh itu. Apa Velian mengetahui sesuatu tentang putra raja terdahulu? Berdasarkan reaksinya ketika melihat bukuku, dia seperti mengetahui sesuatu tapi...ia juga terlihat ingin mengetahui sesuatu.
_______To be Continued_______
“Ayah, aku pulang!” Aku menoleh ketika sosok gadis yang terlihat seumuran denganku datang melewati pintu begitu saja. Kami saling berpandangan sejenak, Velian dan paman Thomas sudah kembali dari obrolannya. Mata gadis itu melebar ketika melihat Velian. “Velian!” Velian terlihat syok melihat gadis yang langsung berlari ke arahnya. “Sarah?” Gadis bernama Sarah itu langsung memeluknya tanpa ragu. “Kapan kau datang?” “Sarah!” lerai paman Thomas. “Jaga sikapmu.” Sarah langsung melepaskan Velian dengan cemberut. “Belum lama ini,” jawab Velian dengan nada dingin khasnya, namun tidak terlihat kesal. “Aku ingin sekali pergi ke tempatmu tapi ayah selalu melarangku.” “Itu perjalanan yang berbahaya untuk anak gadis sepertimu,” sergah paman Thomas. “Paman benar. Tapi kalau kau mau ke tempatku, aku bisa menjemputmu.” “Benarkah?” tanyanya antusias dan Velian hanya mengangguk. Aku mengamati perca
Aku berlatih bersama Velian menggunakan senjata yang ada di tempat penyimpanan senjata milik paman Thomas. Ia benar-benar terlihat serius untuk menjalankan misi dan masuk ke dalam istana. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan saat ini, tapi aku bisa merasakan sedikit ambisinya. “Berhenti!” Aku dan Velian menoleh dan menghentikan serangan kami. Sarah menatapku lekat dengan wajah tidak suka. “Aku ingin melawan mu.” Aku hanya terdiam mendengar ucapannya yang lugas. “Tapi Sarah-" “Velian aku butuh teman berlatih juga.” Sarah melirik ke arahku. “Aku penasaran dengan kemampuannya.” Velian menghela napas dan pada akhirnya ia bilang, “baiklah, kalian berlatih saja. Aku akan membantu paman Thomas.” Sarah mengangguk, sementara Velian sudah menatapku. “Kau berlatih dulu dengan Sarah.” Ya,” sahutku seadanya. Aku dan Sarah saling menatap lekat, tapi aku masih tidak mengerti kenapa ia begitu sengit menatapku. Ia b
Pening bergelayut ketika tubuhku mengerjap. Perlahan kesadaran ku mulai mengalir dan kulihat langit-langit goa ketika membuka mata. Aku terbaring di atas tumpukan jerami dan melihat perapian sudah menyala.Aku mencoba untuk duduk sambil memegangi kepala yang ternyata—sudah di perban. Kemudian aku menyentuh ulu hatiku yang terasa seperti ada yang mengganjal. Kulihat sebuah buntalan kain yang entah apa isinya namun terasa hangat di kulit. Apa—Velian tahu ada memar di perutku?“Kau sudah sadar rupanya.”Aku menoleh ketika sosok pria berambut perak masuk dari luar goa. Kulihat Aleea mulai membaik dan ia sudah segar kembali.“Tunggu sebentar,” ujarnya lagi kemudian keluar.Tak lama mereka bertiga masuk, wajah mereka begitu cemas melihatku namun aku juga melihat kelegaan di mata mereka setelah melihat kondisiku.“Valen, bagaimana kondisimu?” Zealda yang pertama kali bertanya.“Yah, aku m
Rambutku berkibar diterpa angin malam ketika turun dari kereta kuda. Aku mengamati halaman istana yang begitu luas dan ramai hingga menuju ke pintu masuk. Aku mengenakan topeng pesta kemudian melangkah masuk perlahan dengan hati-hati agar kakiku tidak terkilir.Aku terduduk di sudut ruangan dengan santai sambil mengamati keadaan sekitar. Kupandangi sosok pria paruh baya dengan baju kebesaran seorang raja sedang duduk di kursi besar di atas sana, sementara di samping kiri dan kanannya sudah didampingi dua wanita dengan pakaian khas kerajaan juga.Tak jauh di sana, sudah berdiri seorang pemuda tampan yang jangkung memakai dengan jubah kebesaran seorang putra mahkota mengamati keadaan di sekitarnya. Aku tidak bisa mengawasi mereka dengan leluasa karena putra mahkota terlihat mengawasi para tamu undangan. Aku hanya sesekali melirik kearah mereka sambil berpura-pura menikmati pesta.“Maaf nona, silahkan ambil minuman anda.”Aku menoleh ke arah pria
Cahaya api yang hangat memberikan kesan oranye pada dinding goa ketika kami berempat duduk berkumpul di tengah udara malam yang dingin. Hasil dari misi kemarin adalah sebuah buku tebal yang sepertinya dijaga dengan ketat.Di dalam buku itu terdapat penjelasan mengenai ritual dua puluh tahun yang lalu dan kami bertiga hanya mendengarkan ketika Velian membacakannya.“Di sini dijelaskan bahwa ritual dua puluh tahun yang lalu bertujuan untuk menyelamatkan keturunan-keturunan raja Victor Leys alias raja terdahulu, jadi—bisa disimpulkan waktu itu ada perebutan tahta antara raja Victor dengan adiknya. Raja Victor dibunuh dan kini tahta dialihkan ke adiknya, Herrian Leys, raja Axylon yang sekarang,” tutur Velian dan ia kembali membaca. “Raja Victor sengaja mengikat jiwa-jiwa keturunannya dengan orang lain yang bukan dari keluarga kerajaan, dan itu bertujuan agar penerusnya tidak bisa mati dibunuh. Dan jiwa-jiwa yang diikat dengan jiwa keturunannya dinam
Aku membuka mata ketika fajar menyingsing, tidak ada seorangpun di sisiku seperti biasa. Sudah dua malam Velian menumpang tidur denganku meskipun awalnya aku mengira aku sedang bermimpi, tapi ternyata semua benar dan nyata.Aku tidak tahu mau sampai kapan Sarah akan tinggal di sini, ini sudah hari ketiga dan hidupku tidak tenang. Aku sudah menahan diri selama dua hari untuk tidak membuat masalah dengannya. Tapi jika dia terus saja berulah terhadapku, mungkin kesabaran ku akan menipis.Aku terduduk dan mengedarkan pandangan dengan malas. Semua masih terlelap kecuali—Velian yang sudah beranjak entah kemana. Itu tak membuatku merasa heran karena biasanya mereka bangun ketika matahari mulai tinggi, tapi di musim salju seperti ini—memang membuat raga enggan beranjak dari selimut hangat.Kulitku langsung meremang akibat dingin dan aku segera memakai jaket tebal ku saat keluar goa. Pagi ini aku berencana memburu ikan di sungai sekalian membasuh tubuhku mesk
Aku duduk sambil mengoleskan obat untuk kulit terbakar yang terasa pedih. Aku meringis kesakitan sambil menggigit kain, menahan perih yang membuat tubuhku sedikit bergetar.Aku melarang mereka masuk sampai proses pengobatan ku selesai, karena aku tak memakai pakaian. Jika aku tidak berlari ke hamparan salju, mungkin aku akan sekarat dan mati. Tak lupa juga, aku membalut luka di bahu dan pinggang dan beberapa luka sayatan akibat pertarungan ku tadi.Meskipun sakit, tapi aku bersyukur karena luka bakarnya tidak terlalu fatal. Jaket tebal ku terbakar meskipun tak sepenuhnya hangus. Aku tidak bisa membayangkan jika aku tidak menggunakan pakaian tebal, mungkin kulitku akan terbakar api secara langsung. Luka terparah di bagian paha hingga kaki, karena posisiku di perapian waktu itu berlutut dan sedikit tersungkur dengan tangan yang juga ikut terbakar.Aku mengambil kain besar dengan susah payah, kemudian melilitkannya untuk menutupi tubuhku layaknya jubah yang tak mem
Sunyi, itulah hal yang kurasakan ketika membuka mata. Hanya bara api yang mengeluarkan suara-suara kayu yang terbakar dan meninggalkan abu hangat di sekitarnya. Aku terduduk dengan susah payah sambil memegangi pinggangku, kemudian mengedarkan pandangan ke sekitar dengan bingung. Kemana mereka semua?Aku terdiam sejenak setelah menyadari luka di kulitku sudah mulai mengering, namun sudah diolesi obat baru dan juga—kain di tubuhku sudah di ganti dengan yang baru. Pikiranku langsung tertuju pada Velian dan sejenak aku teringat kejadian semalam.“Sepertinya semalam aku mimpi aneh yang menggelikan,” pikirku. “Mana mungkin Velian begitu.” Aku menggelengkan kepala cepat, berharap pikiran terkutuk itu menyingkir. “Itu pasti cuma mimpi.”Aku mencium kain yang ku kenakan dan sepertinya—kain ini miliknya. Aroma mint berbaur dengan udara lembab yang berarti—kain ini lama tidak dipakai.Aku tak sengaja melihat sepo
Di lorong gelap nan lembab seorang wanita dengan jubah kebesaran seorang ratu melangkah dengan penuh dendam. Seutas cambuk berduri tergenggam erat di tangannya. Masa lalu yang merenggut cintanya takan dilupakan begitu saja hanya dengan sebutir kata maaf dan ampun. Sakit hati yang dirasakannya begitu kuat hingga membuat emosinya tak terkendali. Di penjara bawah tanah, seorang wanita sudah berlumuran darah kering dengan pakaian koyak dan wajah yang dipenuhi jelaga. Tangannya diikat ke atas hingga membuatnya menggantung dalam posisi berdiri. Dia adalah wanita pembawa kekacauan tersebut, dengan seringai jahatnya yang seolah-olah menuntut balas atas nasib yang dialaminya, meskipun sebenarnya ia tak memiliki harapan apapun. "Lavina," gumamnya. "Kenapa kau tidak cepat-cepat membunuhku? Apa kau takut jika arwahku menghantuimu?" ucapnya menyeringai. Satu cambukan mendarat ditubuh wanita itu disertai tatapan tajam sang ratu bijak yang kini menjelma menjadi iblis. "Kematian hanya mempercepat
Suara riuh di dalam ruangan membuatku tersadar bahwa aku telah meninggalkan pesta terlalu lama hingga akhirnya, kuputuskan untuk kembali dengan kaki pincang tanpa alas kaki. Saat memasuki ruangan, kulihat sudah ada putri Selena di sana.Malam ini ia mengenakan gaun beludru berwarna putih dengan hiasan bunga mawar berwarna biru yang membuatnya terlihat anggun. Penampilannya begitu sederhana dengan dandanan natural dan tidak berlebihan. Rambutnya pun hanya digelung dengan hiasan pita mungil.Aku hanya berdiri menyendiri di sudut ruangan dan terpisah dari keluargaku, menatap sosok anggun di sana dengan kagum. Ternyata acara sudah berjalan sejak tadi dan aku terlambat masuk. Sejenak aku teringat ucapan bibi Theony bahwa ia lebih mirip denganku daripada dengan yang mulia raja atau ratu.Sepertinya memang benar, dia memang tak mirip keduanya, aku justru seperti sedang bercermin saat melihat matanya. Dia...memiliki mata yang sama denganku.Aku segera menyingkirkan pikiran gila itu dari kepal
___23 Tahun Kemudian___Namaku Valen. Katanya, nama ini pemberian raja Zealda, tentu saja itu adalah sebuah kehormatan besar untukku dan keluargaku. Bahkan katanya, ratu Liz sempat menggendongku beberapa kali. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisiku saat itu, semoga saja aku tidak melakukan hal aneh dalam gendongannya seperti mengotori gaunnya dengan muntahanku atau mengencinginya.Pada saat aku lahir, yang mulia ratu katanya sedang mengandung, usia kehamilannya masih sangat muda saat itu. Ayahku berharap bisa menikahkanku dengan pangeran. Namun ternyata yang mulia ratu melahirkan anak perempuan dan ayahku sedikit kecewa, walaupun begitu ia juga bahagia atas kelahiran tuan putri. Namanya putri Selena, gadis imut yang berhati dingin.Aku pernah bertemu tuan putri saat memergoki dirinya sedang menyamar menjadi laki-laki, entah apa yang dia lakukan. Saat penyamarannya terbongkar, dia ternyata memegang sebilah pedang di tangannya.Tuan putri mengangkat pedangnya ke arahku dan meng
Kami berjalan menyusuri lorong gelap setelah melewati pintu rahasia yang selama ini belum kutahu. Udara dingin nan lembab membuat mentelku sedikit berembun, begitu pun dengan Velian yang berjalan mendahuluiku dengan membawa lentera.Aku tak menyangka bahwa mahkota itu di simpan begitu jauh dan tersembunyi. Entah dari mana Velian mengetahui lokasinya, tapi yang jelas lorong di sini membuatku sedikit sesak.Tunggu sebentar, tiba-tiba aku--ingin muntah. Langkahku terhenti sejenak seraya menutup mulut. Kepalaku sedikit pening diiringi rasa mual yang mengganggu."Kau baik-baik saja?" tanya Velian yang menyusulku di belakang. "Wajahmu terlihat pucat."Aku tak menjawab sampai kondisiku sedikit membaik. Mataku basah seiring pergolakan dari perutku. Rasanya--isi lambungku seperti ingin keluar semua.Kutarik napas panjang untuk menenangkan diri. Velian membantuku bersandar di dinding berlumut yang dingin."Aku baik-baik saja. Mungkin ini efek dari tidur panjangku karena aku tidak makan selama i
Aku membuka mata perlahan dengan tubuh yang terasa lemah. Kepalaku masih nyaman untuk tetap tergeletak di pembaringan hingga rasanya aku enggan untuk terbangun. Velian sudah tak di sampingku entah sejak kapan dan kini masih ada satu sosok lagi yang masih mendekapku. Seonggok tubuh dingin yang masih utuh dengan cahaya orange yang berpendar di lapisan kulitnya.Aku memiringkan tubuh agar kami berhadapan. Tanganku bergerak menggapai wajahnya yang terlihat tenang. Air mataku menetes ketika pikiranku mulai mengenang tentangnya yang menyebalkan, berbahaya dan juga perasaannya yang membuatku terjerat di sisinya.Pikiranku menembus dimensi waktu dalam sekejap. Di pertemuan pertama, kami berdansa meskipun waktu itu gerakanku begitu kaku. Pikiranku kembali melayang pada saat ia menangkapku dengan seringai puas karena mengetahui kedokku, lalu pertarunganku dengan putri Chelia dan pernikahan kami yang di luar rencana.Aku juga mengenang ketika ia terluka setelah perburuan di hutan Stigrear, ketik
Aku terbaring dengan nyaman di sebuah pembaringan yang entah bagaimana rupanya. Sorak bahagia nan ramai membuat suasana riuh di luar sana atas berhasilnya mengusir pasukan Vainea, bahkan mereka merasa bangga karena berhasil menumbangkan seorang putra mahkota dari kerajaan lawan.Aku tidak tahu apakah kabar kematiannya sudah sampai ke Vainea atau belum, yang jelas raja Vainea pasti akan murka dan menuntut balas.Meski saat ini aku tak merasakan apapun, tapi kesadaranku masih bisa kukendalikan bahkan telingaku terasa lebih peka dari biasanya. Aku mencium aroma wangi di pembaringanku dan saat ini aku terbaring dalam posisi elegan.Dua hari telah berlalu. Demi menyelamatkanku, Erick menyebarkan kabar kematianku pada semua orang termasuk bibi Athea dan yang mulia ratu, walau sebenarnya berita ini tidak berpengaruh pada Velian.Mereka yang sebelumnya bersorak atas kemenangan besar kini berkabung atas kematianku dan raja Herrian. Sorakan yang menyanjungi namaku sebagai tuan putri yang berani
Suara desingan, erangan dan gemuruh yang diiringi aroma darah kini membanjiri tanah. Semua terpampang jelas di mataku saat melihat kerumunan dan hampir tiba. Aku menarik kedua pedangku yang sudah berlumuran darah dan bersiap untuk menyerang orang-orang dari Vainea.Sebagian dari mereka menatapku heran sekaligus takjub, seolah-olah baru pertama kali melihat wanita turun ke medan perang. Tentu saja, ini adalah kesempatan yang bagus untuk menghabisi mereka karena telah berani terpesona oleh kedatanganku."Fokus pada musuh dan lindungi diri kalian sendiri!" teriakku pada pasukan yang hendak membuat formasi untuk melindungiku. "Jangan pikirkan keberadaanku! Coba pikirkan diri sendiri untuk tetap bertahan hidup!"Satu persatu orang-orang Vainea tumbang, kedatanganku membuat semua pasukanku yang tersisa kembali bangkit dengan semangat dan mematuhi ucapanku."Menarik sekali! Benar benar menarik!" Seseorang bertepuk tangan.Sosok pemuda berkuda dengan jubah kebesaran seorang pangeran berwarna
Aku berjalan menuju kediaman yang mulia ratu dengan langkah cepat, disusul bibi Athea. Para pasukan yang tersisa semua berkumpul di halaman dan beberapa ada yang sudah bersiaga di benteng istana dan pintu gerbang sesuai perintahku.Ketiadaan yang mulia raja dan beberapa petinggi istana membuat yang ada di sini kocar kacir dan bingung. Aku terpaksa mengatur berapa strategi untuk memanfaatkan jumlah yang tersisa.Kudengar Vainea sudah berhasil menerobos ibukota. Aku sudah meminta tim evakuasi untuk memindahkan seluruh warga ibukota ke kota Reydane yang tak jauh dari sini. Satu-satunya jalur yang masih aman adalah jalur selatan. Kuharap prosesnya berjalan lancar.Setelah mencari beberapa informasi selama ini, aku baru tahu jika ayahku adalah mantan petinggi istana yang memegang komando pertahanan, maka aku pun harus seperti dirinya sebagai putri Kanz. Aku mengatur rencana sedemikian rupa dalam waktu yang cukup mendesak. Pikiranku terus berputar hingga kepalaku terasa pening.Aku sengaja
Sudah hampir lima belas menit Sarah tak sadarkan diri dan aku masih menunggunya dengan sabar. Aku hanya terdiam melihatnya terkulai dengan tangan terikat ke atas. Ruangan ini begitu berdebu dan tak tersentuh sama sekali. Saat aku meminta beberapa penjaga untuk menyiapkan penjara, ternyata mereka memberitahuku bahwa sebenarnya aku memiliki penjaraku sendiri. Lokasinya sama seperti penjara putra mahkota, tepatnya di bawah tanah, tapi di sini terasa kering dan dingin, tidak seperti penjara miliknya yang lembab dan bau darah di mana-mana."Bangunkan dia!" titahku dingin pada salah satu penjaga yang sedari tadi sudah siaga dan menunggu perintahku."Baik, yang mulia."Sarah akhirnya terbangun setelah guyuran air dingin menyirami tubuhnya. Ia seperti terkejut dan mengamati lingkungannya dengan tatapan tak percaya lalu tak lama, ia menatapku."Valen," gumamnya. Ia seperti baru menyadari tangannya terikat saat ia mencoba bergerak. "Kau--""Kenapa? Apa sekarang kau marah padaku karena memenjara