Velian menyerahkan pakaiannya padaku. Meskipun basah, setidaknya aku memiliki sesuatu untuk menutupi tubuhku. Kini ia hanya memakai celana pendek dengan bertelanjang dada.
Sepanjang perjalanan menuju goa, aku memalingkan wajahku sambil menahan tawa. Aku hanya bisa terbahak-bahak dalam hati atas keberhasilanku memberi pelajaran pada dua iblis ini. Pertama, aku berhasil melukai Zealda dan sekarang aku berhasil membuat Velian melucuti pakaiannya.
“Hahah rasakan!” sorakku dalam hati.
Tak butuh waktu lama, kami sampai di depan goa dan di sana sudah ada Aleea dan Zealda. Sesuai dugaanku, mereka berdua terbahak-bahak begitu melihat Velian.
Aku membekap mulutku agar tidak ikut terbahak-bahak meskipun bahuku sedikit terguncang karena tawa. Aku benar-benar puas mendengar tawa mereka yang terkesan mempermalukan Velian.
“Velian, kau benar-benar tidak tahu malu,” ujar Zealda dan kembali tertawa.
“Kalian pikir ini lucu?!” teriaknya menggelegar.
Kami bertiga terkaput bisu seketika dari tawa. Ternyata Velian dalam keadaan marah lebih mengerikan dari yang kubayangkan. Aku menatapnya tegang ketika ia menatapku.
“Ini semua karenamu, jadi kau tidak berhak tertawa,” ujarnya tajam.
“Kau sendiri yang membuang pakaianku, jadi kau tidak berhak menyalahkanku,” balasku.
“Kau bahkan berani membalikkan ucapanku?”
“Kau pikir hanya kau saja yang bisa berbicara seperti itu?” sahutku dingin.
Velian menatapku tajam, namun sedetik kemudian ia tersenyum miring dan aku mendapat firasat buruk seketika.
“Kau boleh memakai pakaianku yang itu kalau kau mau,” ujarnya kemudian melengos pergi.
Keningku berkerut heran, namun aku tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik seringainya. Dan benar saja, ia keluar goa sudah bergantian pakaian sementara aku masih menggunakan pakaiannya yang basah. Sial!
Semakin lama, aku mulai menggigil dan aku terpaksa duduk di perapian sekaligus mengeringkan pakaian yang kukenakan. Aku sengaja menghindar dari mereka untuk menenangkan diri.
Lukaku kembali terasa nyeri karena lembab oleh kain basah. Kuraih obat herbal di dekatku dan mengoleskannya. Aku mengernyit kesakitan karena pedih lalu membiarkan lukaku terbuka.
“Valen.”
Aku menoleh ketika Aleea sudah berdiri di pintu goa. Ia mendekatiku dan langsung mengecek lukaku, lalu kembali berdiri dan membuka sebuah buntalan kain besar dan mengambil beberapa kain dan memilahnya.
“Kau bisa memakai pakaianku.” Aleea menyodorkan sepasang pakaiannya. “Di antara kami, tubuhku yang paling kecil karena aku yang paling muda. Setidaknya ukuran pakaianku lebih baik di tubuhmu, walau sedikit besar tapi tidak terlalu longgar untuk kau pakai.”
Aku menerima pakaian itu dengan senang hati. “Aku tidak mengerti, kenapa orang baik sepertimu bisa bergabung dengan mereka?”
“Karena mereka juga orang baik, tapi mereka tidak pandai mengekspresikannya.”
Aku mengerutkan kening sejenak sambil berpikir. “Mereka memang baik tapi...sikap menyebalkannya membuat kebaikannya tak terlihat. Ditambah, mereka suka main tangan seenaknya,” gumamku membatin.
“Aku cukup mengerti dengan keadaanmu,” ujarnya lagi membuyarkan lamunanku. “Sebenarnya mereka sendiri melakukan itu juga karena heran padamu. Terutama Velian, ia tidak menyangka kalau gadis yang ditolongnya bukan gadis feminin.”
“Kalau aku bukan gadis feminin, lalu kenapa tidak membiarkanku pergi saja?” gerutuku.
Aleea mendengus tertawa. “Tentu saja kami tidak akan melepaskanmu.”
“Alasannya?”
“Tanyakan saja pada mereka. Aku hanya mengikuti kemauan mereka.”
Aku menarik napas panjang. “Aku tidak yakin mendapat jawaban yang benar dari mereka.”
“Tidak perlu dipikirkan, sekarang kau ganti pakaianmu. Aku akan keluar.”
Aku mengangguk dan Aleea melangkah pergi. Mataku mengawasi pintu goa sejenak, lalu segera mengganti pakaianku setelah kupastikan bahwa mereka tidak akan masuk.
Ternyata memang benar, pakaian Aleea lebih baik ukurannya di tubuhku dari pada punya Velian. Aku merasa lega karena ada Aleea yang selalu membantuku di saat kesulitan.
Kujemur pakaian Velian di dekat perapian supaya kering, kemudian kembali duduk. Perutku benar-benar lapar. Aku menarik napas sejenak kemudian mengambil pisauku lagi.
Mereka menatapku ketika aku melangkahkan kaki ke luar goa dan sedetik kemudian, Velian dan Zealda menatap Aleea dengan tatapan tajam sementara yang ditatap hanya meringis. Mereka sama sekali tak berkomentar dengan penampilanku.
“Mau kemana kau?” tanya Zealda.
“Tentu saja berburu,” sahutku tak acuh.
“Jangan bilang kau ingin berburu buaya lagi.” Kali ini Velian yang bersuara dengan nada menyindir.
Aku mendengus tertawa. “Kau pikir aku sebodoh itu sampai-sampai tidak tahu bahwa sungai itu tidak ada buayanya? Ingat, jangan menyusahkan dirimu untuk memburu sesuatu yang tidak ada.” Aku tersenyum menang, kemudian melengos pergi.
Aku kembali mematahkan ranting dan meruncingkan ujungnya untuk dijadikan tombak. Kali ini aku masuk ke hutan lebih dalam lagi dan beberapa saat kemudian, mataku melihat seekor kelinci hutan yang gemuk.
Aku mengendap-endap sambil menggenggam tombakku erat. Kuambil posisi siap untuk menembak, kemudian melemparkan tombak sekuat tenaga dan...yap, lemparanku berhasil mengenai kakinya.
Aku mencabut tombakku dan menangkap kelinci itu. Kutatap binatang itu sekali lagi, namun sejenak hatiku sedikit teriris. Dia...sangat imut sampai-sampai aku tidak tega untuk membunuhnya.
Aku memekakkan telinga ketika mendengar suara geraman dari semak-semak. Kelinci di tangan kuletakkan di bawah pohon, kemudian memasang posisi siaga.
Kutatap semak-semak itu dan mataku melihat sekumpulan rumput liar di sana bergerak. Aku masih terdiam sambil memicingkan mata.
Tubuhku mengerjap kaget ketika sosok binatang buas melompat ke arahku. Butuh waktu untuk menyadari bahwa binatang itu adalah Harimau kelaparan. Ia menggigit bahuku dan mengoyaknya. Aku menggenggam pisauku dan menyerang matanya.
Ia meraung kesakitan kemudian melompat pergi, namun ia mengaum keras dari kejauhan. Tanpa pikir panjang, aku langsung membawa Kelinci itu lari.
Aku menarik napas lega karena sudah keluar dari batas wilayahnya, kemudian terduduk di bawah pohon sambil meringis kesakitan. Luka di pinggangku kembali terasa nyeri di tambah bahuku juga terluka.
Aku berjalan dengan langkah gontai menuju goa sambil membawa si kelinci. Rasa bersalah mulai menyelimutiku ketika menyadari bahwa pakaian Aleea koyak dan ternoda oleh darahku. Sesuai dugaanku, mereka terpana melihatku.
“Valen, kau terluka!” Aleea langsung bangun dari duduknya dan menatap bahuku dengan nanar.
Aku melangkah mundur ketika ia hendak menyentuhnya. Aku sudah membayangkan sakitnya ketika bahuku disentuh.
Velian menatap kelinci dalam gendonganku dan bahuku bergantian. “Apa kau rebutan Kelinci dengan Harimau?”
Tebakannya menyadarkanku akan satu hal. Mungkin Harimau itu memang sedang mengincar kelinci ini ketika aku memburunya.
“Menurutmu?”
“Sepertinya dugaanku benar.”
Aku melengos pergi dan masuk ke dalam goa. Pedih dan pegal begitu terasa di bahuku. Aku menurunkan kelinci itu dan ia masih menggeliat mencoba untuk melarikan diri. Kuciduk sedikit air untuk membasuh lukaku sejenak, kemudian mengoleskan obat herbal di sana.
Kutatap kelinci itu lagi sambil menghela iba. Aku benar-benar tidak tega membunuhnya, dia imut sekali. Kuelus bulunya dan ia jinak seketika, membuat hatiku luluh dalam sekejap dan berniat untuk melepaskannya.
Lambungku kembali bergetar namun kali ini lebih terasa perih. Haruskah aku berburu lagi? Aku duduk dan bersandar sambil menahan lapar. Mungkin jika kubawa tidur laparku jadi hilang.
* * *
Aku membuka mata dan mereka bertiga sudah duduk mengelilingi perapian di dalam goa. Kulihat dari pintu goa, ternyata hari sudah menjelang petang. Aku mengedarkan pandangan dan...yah, kelinciku tidak ada.
“Lelap sekali tidurmu.” Zealda menggelengkan kepala dengan heran.
“Kalian lihat kelinci di sini?”
“Maksudmu...ini?” Velian mengangkat sepotong paha yang sudah di panggang.
Mataku melebar dan emosiku memuncak dalam sekejap ketika wajah imut itu terbayang dimataku. Aku meraih pisau dan melompat ke arahnya.
Aku menjepit lehernya dari belakang dengan lengan sambil menempelkan pisau di pipinya.
“Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhnya?” desisku.
Aleea dan Zealda terkesiap melihat aksiku.
“Sebenarnya kau memburu kelinci itu untuk dimakan atau dipelihara?”
“Bukan urusanmu!”
Velian mencengkeram bahuku yang terluka agar aku melepaskan lehernya. Sial, dia selalu menyerang titik kelemahanku.
“Rupanya kau ingin bertarung lagi denganku.” Velian bangkit dengan kesal kemudian menyerangku.
Aku mundur dan menghindari serangannya.
“Velian, hentikan!” Aleea ikut berdiri dan hendak melerai kami, namun Zealda sudah mencegahnya.
Aku menatap Aleea yang juga ribut dengan Zealda. Sebenarnya perkumpulan macam apa ini?
“Kau bahkan berani mengalihkan pandanganmu ketika melawanku?”
Tubuhku mengerjap dan Velian sudah melancarkan serangannya. Aku terpelanting karena lengah. Velian kembali melesat kearahku tanpa memberiku waktu untuk melawan. Ia membekap mulutku kemudian memutar tubuhku dengan tali. Butuh waktu untuk menyadari bahwa tubuhku sudah terikat. Bahuku kembali terasa nyeri dan tenagaku seperti terkuras.
Zealda membawa Aleea keluar dan meninggalkanku berdua bersama Velian. Ia menatapku tajam dan mengambil sepiring daging panggang. Ia melepas ikatan di tanganku dan meletakkan piring itu dengan kasar.
“Makan!”
Aku terdiam sambil menatapnya tak suka. “Aku tidak mau.”
“Jangan sampai aku memaksamu!”
“Kau tidak berhak memaksaku!”
Velian terdiam sejenak namun rahangnya mengencang. “Baiklah jika kau tidak mau makan. Jangan salahkan aku jika aku melakukan hal ini padamu.”
Velian menggigit sepotong daging di piring dan merobeknya kemudian menjepitkanya di bibir. Ia menatapku lagi, namun kali ini dengan mata redup. Ia mendekatkan wajahnya perlahan dan tangannya menahan kepalaku.
Pikiranku kosong seketika saat ia menekan bibirku lembut, dan mendorong daging kelinci yang terjepit di bibirnya agar masuk ke mulutku.
“Aku tidak mengerti kenapa kau begitu membenciku,” bisiknya lembut. “Meskipun begitu, makanlah sesuatu agar kau bisa hidup.”
Aku masih terdiam sambil mengunyah daging itu perlahan. Butuh waktu untuk menata pikiranku kembali. Apa-apaan yang tadi itu?
“Aku memanggangnya untukmu. Setidaknya rasanya lebih baik dari masakanmu.” Velian menggigit daging itu lagi dan menjepitnya di bibir.
Ia mendekatkan wajahnya lagi, namun kali ini aku menahan tubuhnya.
“Baiklah, aku akan makan,” sergahku. Aku bisa merasakan jantungku berdegup lebih kencang tanpa kutahu sebabnya.
Velian terdiam sejenak, kemudian ia menarik diri dan mengambil pisau di sebelahnya. Ia melepas ikatan di tubuhku dan mendekatkan piring itu di hadapanku, sementara ia duduk di sampingku.
Aku meraih sepotong paha lalu memakannya. Dan sialnya, rasanya memang lezat. Aku makan dengan lahap, pipiku bersemu saking enaknya dan suasana hatiku kembali membaik.
“Bagaimana kau bisa membuat makanan seenak ini? Sama seperti masakan ibuku,” gumamku.
“Apa ibumu tidak pernah mengajarimu memasak?”
Aku menelan makanan di mulutku sebelum menjawab, “Ayah yang melarangku. Dia akan menghukumku jika aku ketahuan belajar memasak. Bukan hanya itu, semua yang berbau feminin selalu dijauhkan dariku.”
Velian mengerutkan kening. “Apa ayahmu memiliki alasan kenapa melakukan hal itu?”
Aku mengendikkan bahu sambil menggigit daging di tanganku. “Entahlah. Setiap hari ia selalu memaksaku untuk bermain pedang. Setahuku, ia melakukan hal itu karena ia mendambakan anak laki-laki tapi ternyata aku terlahir perempuan. Aku berpikir bahwa ayah membenciku, karena itu aku melakukan apapun yang dia inginkan, meskipun sebenarnya aku tidak mau.”
Velian termanggut. “Kau bilang keluargamu dibantai waktu itu dan kau berhasil lolos,” gumamnya sambil berpikir. “Apa ayahmu merahasiakan sesuatu?”
Aku terdiam sejenak. Untuk pertama kalinya aku berbicara dengan Velian secara baik-baik tanpa pisau ataupun pertarungan. Dan yang membuatku heran, ia terlihat seperti sedang menyelidiki sesuatu. Aku bisa membaca keseriusannya ketika menanyakan kematian keluargaku.
“Entahlah. Jangankan memberitahuku rahasia, bahkan berbicara padaku pun hanya sesuatu yang perlu saja.”
Velian menarik napas. “Kasihan sekali. Tapi...sepertinya kau harus menyelidiki lagi keluargamu. Aku merasa ada sesuatu yang tersembunyi di sana.”
Aku berhenti mengunyah sejenak. “Maksudmu?”
“Besok pagi kita ke rumahmu.”
Aku mengangguk setuju. “Baiklah.”
“Namaku Velian Grey,” ujarnya. “Dari awal bertemu kita belum berkenalan secara resmi.”
“Aku sudah tahu,” sahutku. “Dan kupikir kau juga sudah tahu namaku.”
“Valen Trish.” Velian tersenyum miring. “Dan sekarang aku perlu tahu kenapa kau membenciku.”
“Karena kau pria yang kejam, dingin dan menyebalkan. Selain itu, kau membuat lukaku tak kunjung sembuh,” jawabku jujur.
Velian mendengus tertawa. “Ada hal lain?”
“Matikan semua perapian!”
Zealda melompat masuk bersama Aleea. Aku dan Velian terkesima dan segera bangkit.
“Ada apa?” tanyaku sedikit khawatir.
“Kau akan tahu nanti.”
Aku mengambil air untuk cuci tangan dan sisanya kusiramkan di perapian. Aku ikut merapatkan diri ke dinding goa yang gelap. Tak lama, aku mendengar derap kaki mendekat dan memasuki tempat ini.
Kulihat ada lima orang menggeledah tempat ini. Velian menyelipkan dagger di tanganku dan aku menggenggamnya erat. Aku mengamati pergerakan mereka dan memicingkan mata ketika aku merasa seperti tidak asing dengan orang itu.
Dia...yang bertarung denganku malam itu. Rasa kesal kembali melandaku, jika saja aku tidak tertembak panah, mungkin dia sudah mati di tanganku. Aku menarik dagger-ku dan bersiap menyerangnya.
“Hei apa yang kau lakukan?” bisik Zealda.
“Aku akan membereskannya dengan cepat.”
Aku melompat dan langsung menyayat leher mereka satu persatu. Satu berusaha kabur, namun aku segera melempar pisauku dan mengenai kepalanya.
Aku bergerak memutar untuk menghindari serangan yang lain dan aku kembali melompat untuk meraih pedang kesayanganku yang tak jauh dari jerami tempat tidurku.
Untung saja aku pernah berlatih di tempat gelap, jadi aku bisa bertarung tanpa harus ada cahaya. Aku terdiam ketika sebuah serangan mendekat ke arahku dan aku membalikkan tubuh seketika sambil mengacungkan pedangku ke arah depan. Pedangku menancap tepat di jantungnya.
Tinggal satu lagi, dia pria yang waktu itu bertarung denganku. Aku mengejarnya ketika ia berlari keluar goa.
Kuraih tombak yang tadi kugunakan untuk berburu, kemudian melemparkannya dan tepat mengenai tumitnya. Ia tersungkur ke tanah dan aku segera melompat ke arahnya.
“Katakan padaku siapa yang mengirimmu untuk membunuh keluargaku?” desisku sambil menempelkan dagger di lehernya.
“Baiklah, baiklah.” Tubuhnya bergetar ketakutan. “Aku hanya diutus untuk membunuh ayahmu dan seluruh keluargamu, termasuk dirimu.”
“Siapa yang mengutusmu dan apa alasannya?”
“Kepala militer dari kerajaan yang menyuruhku," jawabnya. "Dia bilang aku harus membunuh semua yang ada di rumahmu, karena setelah putri mereka berusia delapan belas tahun, yang mulia raja akan mengalami bahaya besar.”
“Aku tidak mengerti kenapa yang mulia raja berpikir bahwa keluargaku akan membahayakan nyawanya. Kau tahu? Kami hanya rakyat biasa!”
“Ka-kami hanya menjalankan perintah. Dan...kudengar itu berkaitan dengan ritual kerajaan dua puluh tahun yang lalu.”
“Ritual?” Keningku berkerut. “Ritual apa yang mereka lakukan? Apa hubungannya dengan keluargaku?”
“A-aku tidak tahu, ta-tapi kudengar kau memiliki tanda lahir yang sama dengan putra ke empat raja terdahulu, pangeran Vel-aggrhh!”
Pria di hadapanku ambruk dan kulihat seonggok anak panah sudah menancap di lehernya.
Aku menatap kearah datangnya panah itu dan kulihat semak belukar di sana bergerak, yang berarti dia sudah kabur.
“Sial!” Aku meninju pohon di sebelahku.
Ada banyak sekali pertanyaan dalam benakku. Aku yakin sekali, kalau aku terlahir dari keluarga biasa. Tapi bagaimana bisa aku memiliki tanda lahir yang sama dengan putra ke empat raja terdahulu? Siapa tadi namanya? Pangeran...Vel?
"Ah sial, kenapa paman ini mati sebelum mengucapkan kalimatnya secara tuntas, dan sebenarnya ritual apa yang melibatkan keluargaku?" racauku dalam hati.
_______To be Continued_______
Pikiranku terus berputar pada ucapan pria itu semalaman, sampai aku tidak bisa tidur. Aku mulai mencelupkan tubuh di air sungai. Meskipun segar, namun pikiranku masih saja kalut. Tanda lahir yang sama dengan putra ke empat raja terdahulu, pangeran Vel. Yang benar saja? Aku sudah mengamati seluruh tubuhku tapi tidak kutemukan tanda lahir itu. Aku yakin sekali kalau tubuhku bersih dari yang namanya tanda lahir, bahkan aku sudah mengecek punggungku dan ternyata tidak ada. Apa mungkin di kepala dan tertutup rambut? Haruskah aku memotong rambut sampai botak untuk mengeceknya? Hari ini aku akan pulang ke rumah dan aku harus menemukan petunjuk itu. Mungkin...aku perlu menggeledah kamar ayah. Seusai mandi, aku segera bergegas mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah, sementara mereka bertiga sudah menyewa kuda untuk perjalanan kami. Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu penasaran dengan keluargaku, apa mereka juga mengetahui sesuatu? “Berhentilah melamun!”
Di tengah derasnya hujan, kudaku masih melaju kencang. Aku masih menggenggam tangan Velian agar tangannya tetap hangat, meskipun tangan dalam tali pacuan ku sudah membiru dan berkerut. Kubiarkan ia terkulai di bahuku. Tubuhnya yang mulai menggigil membuatku semakin cemas. Tak lama, akhirnya kami sampai di goa. Aku segera memapah Velian yang sudah sangat lemah untuk masuk. Aku segera membetulkan perapian setelah ia sudah duduk dengan posisi hangat. Kuraih buntalan kain yang berisi pakaian Velian dan melemparnya. “Cepat ganti pakaianmu. Aku akan pergi mencari makanan.” “Valen.” Aku menoleh sejenak. “Hmm?” “Di luar sedang hujan. Biar aku saja yang mencari makanan.” “Kondisimu sedang tidak baik, jadi...sadar diri lah. Aku usahakan tidak lama.” Aku segera melesat keluar sebelum Velian berkomentar lebih banyak lagi. Rencananya, aku tidak bermaksud untuk berburu melainkan ingin kembali ke rumahku. Setidaknya...beberapa keping uang sud
“Ayah, aku pulang!” Aku menoleh ketika sosok gadis yang terlihat seumuran denganku datang melewati pintu begitu saja. Kami saling berpandangan sejenak, Velian dan paman Thomas sudah kembali dari obrolannya. Mata gadis itu melebar ketika melihat Velian. “Velian!” Velian terlihat syok melihat gadis yang langsung berlari ke arahnya. “Sarah?” Gadis bernama Sarah itu langsung memeluknya tanpa ragu. “Kapan kau datang?” “Sarah!” lerai paman Thomas. “Jaga sikapmu.” Sarah langsung melepaskan Velian dengan cemberut. “Belum lama ini,” jawab Velian dengan nada dingin khasnya, namun tidak terlihat kesal. “Aku ingin sekali pergi ke tempatmu tapi ayah selalu melarangku.” “Itu perjalanan yang berbahaya untuk anak gadis sepertimu,” sergah paman Thomas. “Paman benar. Tapi kalau kau mau ke tempatku, aku bisa menjemputmu.” “Benarkah?” tanyanya antusias dan Velian hanya mengangguk. Aku mengamati perca
Aku berlatih bersama Velian menggunakan senjata yang ada di tempat penyimpanan senjata milik paman Thomas. Ia benar-benar terlihat serius untuk menjalankan misi dan masuk ke dalam istana. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan saat ini, tapi aku bisa merasakan sedikit ambisinya. “Berhenti!” Aku dan Velian menoleh dan menghentikan serangan kami. Sarah menatapku lekat dengan wajah tidak suka. “Aku ingin melawan mu.” Aku hanya terdiam mendengar ucapannya yang lugas. “Tapi Sarah-" “Velian aku butuh teman berlatih juga.” Sarah melirik ke arahku. “Aku penasaran dengan kemampuannya.” Velian menghela napas dan pada akhirnya ia bilang, “baiklah, kalian berlatih saja. Aku akan membantu paman Thomas.” Sarah mengangguk, sementara Velian sudah menatapku. “Kau berlatih dulu dengan Sarah.” Ya,” sahutku seadanya. Aku dan Sarah saling menatap lekat, tapi aku masih tidak mengerti kenapa ia begitu sengit menatapku. Ia b
Pening bergelayut ketika tubuhku mengerjap. Perlahan kesadaran ku mulai mengalir dan kulihat langit-langit goa ketika membuka mata. Aku terbaring di atas tumpukan jerami dan melihat perapian sudah menyala.Aku mencoba untuk duduk sambil memegangi kepala yang ternyata—sudah di perban. Kemudian aku menyentuh ulu hatiku yang terasa seperti ada yang mengganjal. Kulihat sebuah buntalan kain yang entah apa isinya namun terasa hangat di kulit. Apa—Velian tahu ada memar di perutku?“Kau sudah sadar rupanya.”Aku menoleh ketika sosok pria berambut perak masuk dari luar goa. Kulihat Aleea mulai membaik dan ia sudah segar kembali.“Tunggu sebentar,” ujarnya lagi kemudian keluar.Tak lama mereka bertiga masuk, wajah mereka begitu cemas melihatku namun aku juga melihat kelegaan di mata mereka setelah melihat kondisiku.“Valen, bagaimana kondisimu?” Zealda yang pertama kali bertanya.“Yah, aku m
Rambutku berkibar diterpa angin malam ketika turun dari kereta kuda. Aku mengamati halaman istana yang begitu luas dan ramai hingga menuju ke pintu masuk. Aku mengenakan topeng pesta kemudian melangkah masuk perlahan dengan hati-hati agar kakiku tidak terkilir.Aku terduduk di sudut ruangan dengan santai sambil mengamati keadaan sekitar. Kupandangi sosok pria paruh baya dengan baju kebesaran seorang raja sedang duduk di kursi besar di atas sana, sementara di samping kiri dan kanannya sudah didampingi dua wanita dengan pakaian khas kerajaan juga.Tak jauh di sana, sudah berdiri seorang pemuda tampan yang jangkung memakai dengan jubah kebesaran seorang putra mahkota mengamati keadaan di sekitarnya. Aku tidak bisa mengawasi mereka dengan leluasa karena putra mahkota terlihat mengawasi para tamu undangan. Aku hanya sesekali melirik kearah mereka sambil berpura-pura menikmati pesta.“Maaf nona, silahkan ambil minuman anda.”Aku menoleh ke arah pria
Cahaya api yang hangat memberikan kesan oranye pada dinding goa ketika kami berempat duduk berkumpul di tengah udara malam yang dingin. Hasil dari misi kemarin adalah sebuah buku tebal yang sepertinya dijaga dengan ketat.Di dalam buku itu terdapat penjelasan mengenai ritual dua puluh tahun yang lalu dan kami bertiga hanya mendengarkan ketika Velian membacakannya.“Di sini dijelaskan bahwa ritual dua puluh tahun yang lalu bertujuan untuk menyelamatkan keturunan-keturunan raja Victor Leys alias raja terdahulu, jadi—bisa disimpulkan waktu itu ada perebutan tahta antara raja Victor dengan adiknya. Raja Victor dibunuh dan kini tahta dialihkan ke adiknya, Herrian Leys, raja Axylon yang sekarang,” tutur Velian dan ia kembali membaca. “Raja Victor sengaja mengikat jiwa-jiwa keturunannya dengan orang lain yang bukan dari keluarga kerajaan, dan itu bertujuan agar penerusnya tidak bisa mati dibunuh. Dan jiwa-jiwa yang diikat dengan jiwa keturunannya dinam
Aku membuka mata ketika fajar menyingsing, tidak ada seorangpun di sisiku seperti biasa. Sudah dua malam Velian menumpang tidur denganku meskipun awalnya aku mengira aku sedang bermimpi, tapi ternyata semua benar dan nyata.Aku tidak tahu mau sampai kapan Sarah akan tinggal di sini, ini sudah hari ketiga dan hidupku tidak tenang. Aku sudah menahan diri selama dua hari untuk tidak membuat masalah dengannya. Tapi jika dia terus saja berulah terhadapku, mungkin kesabaran ku akan menipis.Aku terduduk dan mengedarkan pandangan dengan malas. Semua masih terlelap kecuali—Velian yang sudah beranjak entah kemana. Itu tak membuatku merasa heran karena biasanya mereka bangun ketika matahari mulai tinggi, tapi di musim salju seperti ini—memang membuat raga enggan beranjak dari selimut hangat.Kulitku langsung meremang akibat dingin dan aku segera memakai jaket tebal ku saat keluar goa. Pagi ini aku berencana memburu ikan di sungai sekalian membasuh tubuhku mesk
Di lorong gelap nan lembab seorang wanita dengan jubah kebesaran seorang ratu melangkah dengan penuh dendam. Seutas cambuk berduri tergenggam erat di tangannya. Masa lalu yang merenggut cintanya takan dilupakan begitu saja hanya dengan sebutir kata maaf dan ampun. Sakit hati yang dirasakannya begitu kuat hingga membuat emosinya tak terkendali. Di penjara bawah tanah, seorang wanita sudah berlumuran darah kering dengan pakaian koyak dan wajah yang dipenuhi jelaga. Tangannya diikat ke atas hingga membuatnya menggantung dalam posisi berdiri. Dia adalah wanita pembawa kekacauan tersebut, dengan seringai jahatnya yang seolah-olah menuntut balas atas nasib yang dialaminya, meskipun sebenarnya ia tak memiliki harapan apapun. "Lavina," gumamnya. "Kenapa kau tidak cepat-cepat membunuhku? Apa kau takut jika arwahku menghantuimu?" ucapnya menyeringai. Satu cambukan mendarat ditubuh wanita itu disertai tatapan tajam sang ratu bijak yang kini menjelma menjadi iblis. "Kematian hanya mempercepat
Suara riuh di dalam ruangan membuatku tersadar bahwa aku telah meninggalkan pesta terlalu lama hingga akhirnya, kuputuskan untuk kembali dengan kaki pincang tanpa alas kaki. Saat memasuki ruangan, kulihat sudah ada putri Selena di sana.Malam ini ia mengenakan gaun beludru berwarna putih dengan hiasan bunga mawar berwarna biru yang membuatnya terlihat anggun. Penampilannya begitu sederhana dengan dandanan natural dan tidak berlebihan. Rambutnya pun hanya digelung dengan hiasan pita mungil.Aku hanya berdiri menyendiri di sudut ruangan dan terpisah dari keluargaku, menatap sosok anggun di sana dengan kagum. Ternyata acara sudah berjalan sejak tadi dan aku terlambat masuk. Sejenak aku teringat ucapan bibi Theony bahwa ia lebih mirip denganku daripada dengan yang mulia raja atau ratu.Sepertinya memang benar, dia memang tak mirip keduanya, aku justru seperti sedang bercermin saat melihat matanya. Dia...memiliki mata yang sama denganku.Aku segera menyingkirkan pikiran gila itu dari kepal
___23 Tahun Kemudian___Namaku Valen. Katanya, nama ini pemberian raja Zealda, tentu saja itu adalah sebuah kehormatan besar untukku dan keluargaku. Bahkan katanya, ratu Liz sempat menggendongku beberapa kali. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisiku saat itu, semoga saja aku tidak melakukan hal aneh dalam gendongannya seperti mengotori gaunnya dengan muntahanku atau mengencinginya.Pada saat aku lahir, yang mulia ratu katanya sedang mengandung, usia kehamilannya masih sangat muda saat itu. Ayahku berharap bisa menikahkanku dengan pangeran. Namun ternyata yang mulia ratu melahirkan anak perempuan dan ayahku sedikit kecewa, walaupun begitu ia juga bahagia atas kelahiran tuan putri. Namanya putri Selena, gadis imut yang berhati dingin.Aku pernah bertemu tuan putri saat memergoki dirinya sedang menyamar menjadi laki-laki, entah apa yang dia lakukan. Saat penyamarannya terbongkar, dia ternyata memegang sebilah pedang di tangannya.Tuan putri mengangkat pedangnya ke arahku dan meng
Kami berjalan menyusuri lorong gelap setelah melewati pintu rahasia yang selama ini belum kutahu. Udara dingin nan lembab membuat mentelku sedikit berembun, begitu pun dengan Velian yang berjalan mendahuluiku dengan membawa lentera.Aku tak menyangka bahwa mahkota itu di simpan begitu jauh dan tersembunyi. Entah dari mana Velian mengetahui lokasinya, tapi yang jelas lorong di sini membuatku sedikit sesak.Tunggu sebentar, tiba-tiba aku--ingin muntah. Langkahku terhenti sejenak seraya menutup mulut. Kepalaku sedikit pening diiringi rasa mual yang mengganggu."Kau baik-baik saja?" tanya Velian yang menyusulku di belakang. "Wajahmu terlihat pucat."Aku tak menjawab sampai kondisiku sedikit membaik. Mataku basah seiring pergolakan dari perutku. Rasanya--isi lambungku seperti ingin keluar semua.Kutarik napas panjang untuk menenangkan diri. Velian membantuku bersandar di dinding berlumut yang dingin."Aku baik-baik saja. Mungkin ini efek dari tidur panjangku karena aku tidak makan selama i
Aku membuka mata perlahan dengan tubuh yang terasa lemah. Kepalaku masih nyaman untuk tetap tergeletak di pembaringan hingga rasanya aku enggan untuk terbangun. Velian sudah tak di sampingku entah sejak kapan dan kini masih ada satu sosok lagi yang masih mendekapku. Seonggok tubuh dingin yang masih utuh dengan cahaya orange yang berpendar di lapisan kulitnya.Aku memiringkan tubuh agar kami berhadapan. Tanganku bergerak menggapai wajahnya yang terlihat tenang. Air mataku menetes ketika pikiranku mulai mengenang tentangnya yang menyebalkan, berbahaya dan juga perasaannya yang membuatku terjerat di sisinya.Pikiranku menembus dimensi waktu dalam sekejap. Di pertemuan pertama, kami berdansa meskipun waktu itu gerakanku begitu kaku. Pikiranku kembali melayang pada saat ia menangkapku dengan seringai puas karena mengetahui kedokku, lalu pertarunganku dengan putri Chelia dan pernikahan kami yang di luar rencana.Aku juga mengenang ketika ia terluka setelah perburuan di hutan Stigrear, ketik
Aku terbaring dengan nyaman di sebuah pembaringan yang entah bagaimana rupanya. Sorak bahagia nan ramai membuat suasana riuh di luar sana atas berhasilnya mengusir pasukan Vainea, bahkan mereka merasa bangga karena berhasil menumbangkan seorang putra mahkota dari kerajaan lawan.Aku tidak tahu apakah kabar kematiannya sudah sampai ke Vainea atau belum, yang jelas raja Vainea pasti akan murka dan menuntut balas.Meski saat ini aku tak merasakan apapun, tapi kesadaranku masih bisa kukendalikan bahkan telingaku terasa lebih peka dari biasanya. Aku mencium aroma wangi di pembaringanku dan saat ini aku terbaring dalam posisi elegan.Dua hari telah berlalu. Demi menyelamatkanku, Erick menyebarkan kabar kematianku pada semua orang termasuk bibi Athea dan yang mulia ratu, walau sebenarnya berita ini tidak berpengaruh pada Velian.Mereka yang sebelumnya bersorak atas kemenangan besar kini berkabung atas kematianku dan raja Herrian. Sorakan yang menyanjungi namaku sebagai tuan putri yang berani
Suara desingan, erangan dan gemuruh yang diiringi aroma darah kini membanjiri tanah. Semua terpampang jelas di mataku saat melihat kerumunan dan hampir tiba. Aku menarik kedua pedangku yang sudah berlumuran darah dan bersiap untuk menyerang orang-orang dari Vainea.Sebagian dari mereka menatapku heran sekaligus takjub, seolah-olah baru pertama kali melihat wanita turun ke medan perang. Tentu saja, ini adalah kesempatan yang bagus untuk menghabisi mereka karena telah berani terpesona oleh kedatanganku."Fokus pada musuh dan lindungi diri kalian sendiri!" teriakku pada pasukan yang hendak membuat formasi untuk melindungiku. "Jangan pikirkan keberadaanku! Coba pikirkan diri sendiri untuk tetap bertahan hidup!"Satu persatu orang-orang Vainea tumbang, kedatanganku membuat semua pasukanku yang tersisa kembali bangkit dengan semangat dan mematuhi ucapanku."Menarik sekali! Benar benar menarik!" Seseorang bertepuk tangan.Sosok pemuda berkuda dengan jubah kebesaran seorang pangeran berwarna
Aku berjalan menuju kediaman yang mulia ratu dengan langkah cepat, disusul bibi Athea. Para pasukan yang tersisa semua berkumpul di halaman dan beberapa ada yang sudah bersiaga di benteng istana dan pintu gerbang sesuai perintahku.Ketiadaan yang mulia raja dan beberapa petinggi istana membuat yang ada di sini kocar kacir dan bingung. Aku terpaksa mengatur berapa strategi untuk memanfaatkan jumlah yang tersisa.Kudengar Vainea sudah berhasil menerobos ibukota. Aku sudah meminta tim evakuasi untuk memindahkan seluruh warga ibukota ke kota Reydane yang tak jauh dari sini. Satu-satunya jalur yang masih aman adalah jalur selatan. Kuharap prosesnya berjalan lancar.Setelah mencari beberapa informasi selama ini, aku baru tahu jika ayahku adalah mantan petinggi istana yang memegang komando pertahanan, maka aku pun harus seperti dirinya sebagai putri Kanz. Aku mengatur rencana sedemikian rupa dalam waktu yang cukup mendesak. Pikiranku terus berputar hingga kepalaku terasa pening.Aku sengaja
Sudah hampir lima belas menit Sarah tak sadarkan diri dan aku masih menunggunya dengan sabar. Aku hanya terdiam melihatnya terkulai dengan tangan terikat ke atas. Ruangan ini begitu berdebu dan tak tersentuh sama sekali. Saat aku meminta beberapa penjaga untuk menyiapkan penjara, ternyata mereka memberitahuku bahwa sebenarnya aku memiliki penjaraku sendiri. Lokasinya sama seperti penjara putra mahkota, tepatnya di bawah tanah, tapi di sini terasa kering dan dingin, tidak seperti penjara miliknya yang lembab dan bau darah di mana-mana."Bangunkan dia!" titahku dingin pada salah satu penjaga yang sedari tadi sudah siaga dan menunggu perintahku."Baik, yang mulia."Sarah akhirnya terbangun setelah guyuran air dingin menyirami tubuhnya. Ia seperti terkejut dan mengamati lingkungannya dengan tatapan tak percaya lalu tak lama, ia menatapku."Valen," gumamnya. Ia seperti baru menyadari tangannya terikat saat ia mencoba bergerak. "Kau--""Kenapa? Apa sekarang kau marah padaku karena memenjara