Beranda / Fantasi / Shirea / Chapter 1

Share

Shirea
Shirea
Penulis: Indah Riera

Chapter 1

Penulis: Indah Riera
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-08 17:25:35

“Sudah kubilang berapa kali, kau harus belajar merangkai bunga. Ingat! Kau ini perempuan. Cobalah untuk bersikap manis.”

Aku hanya garuk-garuk kepala ketika bibi Alya kembali mengoceh untuk kesekian kalinya. Aku menarik napas panjang sambil menatap sekeranjang bunga berwarna-warni yang tampak segar baru dipetik.

“Tanganku sudah terbiasa memegang pedang, jadi tidak tahu cara merangkai bunga dengan bagus, bibi. Aku bahkan tidak tahu bunga apa saja yang ada di depanku kecuali..." Aku meraih setangkai bunga merah yang merekah sempurna. “Mawar.”

“Kalau kau terus seperti itu, mana ada pria yang tertarik padamu.” Bibi Alya meraih seikat bunga berwarna ungu di keranjang. “Selain itu, kau jangan terlalu dekat dengan kudamu. Pria mana yang mau dengan gadis bau kuda?”

Aku langsung mengendus aroma tubuhku yang tak terasa bau apapun. “Mana ada seperti itu. Lagi pula bau badanku baik-baik saja.”

“Tetap saja, kau itu terlalu sembarangan. Kau harus rajin-rajin menata rambutmu, pakailah korset agar tubuhmu terlihat lebih menarik, kau juga perlu pita di bajumu dan-"

“Aku sudah tidak tertarik,” sahutku meraih Apel di piring, kemudian menggigitnya. “Lagi pula jika aku berdandan, ayah pasti akan menghukumku.”

“Ah, ayahmu itu sudah tidak waras.” Bibi Alya melepas ikatan bunga berikutnya dengan sedikit kasar. “Meskipun ia ingin memiliki anak laki-laki, tapi setidaknya jangan perlakukan anak perempuan seperti anak laki-laki.”

Aku hanya mengendikkan bahu mendengar gerutuannya. Tidak ada yang bisa menentang keinginan ayah jika sudah berkehendak. Jujur, aku sendiripun tak jarang dihukum jika sesekali aku menyentuh sesuatu yang berbau feminin seperti memetik bunga, memasak dan sebagainya.

Ya, itu juga yang membuat ayah bersikap tak acuh padaku. Sejak kecil, aku sudah diminta untuk latihan bermain pedang, memanjat pohon, melompati pagar, berkuda dengan kecepatan tinggi atau...yang lebih parahnya, aku pernah disuruh untuk melompati sungai deras selebar lima meter dan aku hampir mati tenggelam dan terseret arus. Semua kulakukan demi agar ayah tidak membenciku hanya karena aku terlahir sebagai perempuan.

Tapi sikap ayah padaku mulai menuai banyak keributan, tak jarang aku melihat ayah dan ibu berdebat hanya karena aku dididik layaknya anak laki-laki. Selain itu, penduduk sekitar juga menganggapku gadis aneh. Pasalnya,  wanita dan anak gadis di distrik tempatku tinggal adalah wanita tulen yang anggun dan sangat memperhatikan penampilan, terutama gaya rambut dan pita-pita mereka.

Saat aku kecil, aku juga pernah menginginkan gaun atau dress dan ibu membelikannya. Dia bilang...aku cantik. Namun ayah menjadi dingin setelah melihatku dan seketika itu, ayah memintaku untuk melawannya bermain pedang dengan dress yang kukenakan. Aku pun sadar bahwa bertarung menggunakan dress sangat lah sulit.

Semakin lama, aku mulai tidak perduli dengan semua itu. Aku hanya menyimpan dress-ku di lemari tanpa pernah kusentuh lagi. Hingga saat ini, aku lebih nyaman dengan setelan celana kasual dan kaos atau pun rompi pria yang berlengan pendek dan tentunya...menyesuaikan tubuhku.

Tak ada hari tanpa pedang dalam hidupku, latihan demi latihan kujalani setiap hari di bawah pengawasan ayah dan aku mulai akrab dengan pedangku. Aku sudah menganggapnya sebagai teman yang tangguh dan aku menyayanginya. Sejak saat itu pula, menjadi ksatria adalah impian terbesarku.

Tubuhku langsung menegang ketika mendengar suara dari ruang utama, suara derap kaki disusul dengan jeritan ibu. Aku langsung melompat meraih pedangku sebelum kearah pintu. Bibi mengikutiku dari belakang.

Ruangan utama begitu gelap, aku segera menyalakan lentera besar dan kulihat lantai sudah banjir darah. Aku menatap sekeliling dengan nanar dan aku melihat dua tubuh sudah tergeletak.

“Ibu!”

Aku segera berlari menghampiri tubuhnya yang sudah tergeletak di sudut ruangan. Kutatap tanganku yang sudah berlumuran darah dan kulihat bekas tusukan dan sayatan di lehernya. Mataku berkaca-kaca dan tanganku mengepal agar tidak menetes.

“Ayah!”

Aku menghampiri tubuh ayah yang juga tergeletak di dekat kursi. Tubuh ayah sudah berlumuran darah dengan belati menancap di jantungnya. Tubuhnya sudah tak bernyawa.

“Agghhh!!!”

Aku segera melesat ketika mendengar suara bibi Alya mengerang, namun terlambat, ia sudah tersungkur di lantai dengan kepala berlumuran darah bersama bunga-bunga di keranjang yang berserakan di lantai.

“Valen, pergilah!” ujarnya ketika aku menghampirinya. “Cepat lari!”

Aku meraih pedangku ketika aku mendengar pergerakan di belakangku. Dan benar saja, dua orang sudah bersiap menyerangku. Aku segera menangkis serangan mereka dan bergerak memutar untuk menghindari serangan berikutnya.

“Siapa yang memberimu perintah untuk membunuh keluargaku?”

Pria bertudung itu hanya terdiam, namun aku bisa melihat matanya dan ia sedang menyeringai meski pun mulutnya tertutup cadar. Mereka melompat dan menyerangku lagi.

Aku menggenggam pedangku semakin erat dan kembali menangkis serangan mereka. Suara dentingan pedang kami cukup membuat telingaku berdengung.

“Katakan padaku, siapa kalian!”

“Kau tidak perlu tahu soal kami, yang penting adalah kau dan seluruh keluargamu harus mati malam ini.”

Pria itu kembali menyerangku dan aku melompat mundur hingga akhirnya punggungku membentur dinding. Aku menahan dua pedang sekaligus dengan pedangku, dan di saat itu satu orang lagi menyerangku dari sisi lain dengan panah.

Aku mengerang ketika panahnya berhasil menghujam pinggangku. Aku menendang mereka berdua dan aku menebaskan pedangku ke tubuh mereka. Namun seranganku yang buruk akibat terluka, hanya melukai mereka tanpa membunuhnya.

“Sial!”

Aku melompat melalui jendela dan segera melepaskan kudaku. Kupacu dengan cepat ketika mereka mengejarku. Guncangan membuat pinggangku semakin nyeri dengan anak panah yang masih menancap.

Rasa sakit yang mendera membuatku semakin lemas. Keseimbanganku mulai berkurang karena pandanganku yang semakin buram. Aku terjatuh dari kudaku dan berguling ke jurang. Aku mengerang kesakitan ketika anak panah yang menancap di pinggangku semakin menusukku.

Ternyata mereka tak berhenti sampai disitu. Aku berusaha untuk bangun ketika derap kaki menuruni jurang. Aku menahan sakit luar biasa sambil berlarian menyusuri hutan gelap. Jantungku berdegup kencang dengan kecemasan luar biasa. Ditambah, napasku sudah tak beraturan.

Di tengah kepanikanku, seseorang tiba-tiba membekap mulutku dari balik pohon besar dan menarikku untuk bersembunyi. Aku berusaha memberontak sambil melawan bekapannya, namun ia mendesis sambil meletakan telunjuk di bibirnya, pertanda aku harus diam.

Aku terdiam dan patuh ketika suara derap kaki mendekat dan melintas di sekitar kami. Tubuh pria itu beraroma mint yang maskulin. Tangan kekarnya sudah mendekapku sambil menatap waspada akan derap langkah kaki yang masih terdengar.

“Sial! Gadis itu lolos!” umpat salah satu dari mereka, sebelum kembali berlari untuk mencariku.

Aku memberontak dari bekapannya setelah keadaan sudah cukup aman. Namun tangannya terlalu kuat dan terasa berat. Aku tidak bisa melepaskan diri darinya.

“Lepaskan aku!”

“Kau pikir kau bisa pergi begitu saja setelah aku menolongmu?”

Aku kembali mengerang ketika anak panah yang masih menancap perlahan bergerak. Pemuda itu menyadari lukaku dan kembali membekap mulutku.

“Tahanlah, mungkin ini sedikit sakit.” Ia mencabut anak panah di pinggangku perlahan, sementara tanganku sudah mencengkeram lengannya karena menahan sakit.

Tubuhku mengerjap ketika panah itu berhasil terlepas. Tak lama, aku mulai melemas dan pemuda itu langsung membopongku, kemudian melesat membawaku entah kemana.

Kesadaranku semakin menipis karena kehilangan banyak darah dan aku terkulai di bahunya yang nyaman.

* * *

Aku membuka mata perlahan. Aroma batu dan tanah menyelimuti penciumanku serta udara yang terasa dingin. Aku terduduk dan mendapatiku berada di atas tumpukan jerami dengan kain yang hangat. Kusentuh lukaku yang sudah diobati dan aku pun sadar bahwa aku berada di sebuah goa.

Sebuah perapian cukup membuat tempat ini sedikit hangat di tengah hawa yang sedingin es. Aku mendekati perapian dan kulihat ada sepotong daging masih tergeletak di atas batu.

Aku mengedarkan pandangan sebelum akhirnya meraih daging itu dan memakannya. Pikiranku berputar seketika dan sejenak, aku teringat pada pemuda yang menolongku. Siapa dia? Apa dia yang membawaku kemari?

Aku kembali menyentuh bekas lukaku yang masih terasa nyeri, namun sudah sedikit membaik. Meskipun begitu, aku masih sulit untuk bergerak aktif.

Tak lama, aku mendengar suara derap langkah mendekat. Langkah itu terdengar seperti banyak orang. Buluku meremang seketika dan aku segera meraih kayu yang belum terbakar.

Aku segera menghabiskan daging di tanganku dan memasang tubuh dengan waspada.

Kuangkat kayu di tanganku dengan posisi siap menyerang, namun kembali terdiam ketika tiga sosok pemuda muncul dari balik pintu goa yang tertutup sulur tanaman.

“Oh, kau sudah sadar rupanya.”

Aku kenal suara ini. Kupandangi pria jangkung berambut hitam dengan panjang sebahu, disusul dua pria di belakangnya. Yang satu hampir semuran dengannya dan yang satunya tampak lebih muda. Mereka mengelilingiku dengan tatapan intens, sama halnya denganku yang menatap mereka tajam.

“Siapa kalian?” tanyaku dingin.

“Hei tenanglah!” sahut pria asing berambut hitam pendek. “Turunkan senjatamu dan mari kita bicara baik-baik.”

Aku terdiam sejenak dan menatap pria berambut panjang yang tampak tak acuh itu, kemudian aku kembali menatap pria yang barusan mengajakku bicara. Aku menurunkan tongkat kayuku perlahan dan berdiri menjaga jarak dengan mereka.

“Kau memakan dagingku?”

Kini pria berambut panjang itu kembali bersuara hanya untuk...menanyakan daging?

“Ya, aku yang memakannya,” jawabku jujur.

“Aku membawamu dan menyelamatkanmu,” tuturnya. “Tapi kau malah memakan dagingku?”

Keningku berkerut melihat reaksinya. “Maaf, tadi aku lapar sekali. Tapi jika kau mau, aku akan berburu untuk mengganti jatah makan malammu.”

Pria itu menyeringai sambil melemparkan sebuah belati berdarah ke batu datar. “Dengan luka seperti itu kau pikir bisa berburu?”

Aku terdiam sejenak. Lukanya memang masih sakit dan sulit digerakan, mana mungkin aku bisa berburu dengan kondisi tubuh seperti ini?

“Kalau begitu aku akan mencari makanan lain untukmu.”

“Kau tidak perlu terburu-buru seperti itu, nona.” Si pria lainnya mendekatiku dan merebut tongkat kayu yang kugenggam. Awalnya aku tidak melepaskannya, namun ia menariknya paksa hingga tanganku tergores.

“Zealda, bersikaplah sedikit lembut padanya. Kau akan melukainya.” Kini pria muda berambut perak yang bersuara.

“Ah Aleea, kau juga jangan terlalu baik padanya. Itu akan membuatmu lemah.”

“Tapi aku tidak lemah!”

Pria di hadapanku mengendikkan bahu dan tersenyum miring. “Lalu apa sebutannya bagi orang yang tidak berani menghunuskan senjatanya?”

“Aku bukannya tidak berani, sasaranku hanya meleset,” sahutnya dingin.

“Bisakah kalian diam?” Pria berambut panjang menatapku tajam setelah melerai kedua temannya.

Aku menatap pemuda yang barusan bersuara. Kini ia menatapku dingin namun sedikit santai. Dua pemuda lainnya saling memunggungi dan duduk dengan jarak yang terpisah. Pria yang tadi menggodaku kini menenggak minuman dari bambu.

Aku kembali meraih kayu lainnya dan langsung mengambil posisi siaga ketika pemuda berambut panjang itu mendekatiku perlahan. Kakiku berjalan mundur seiring langkahnya yang mendekat.

“Kau juga Velian, jangan menatapnya seperti itu. Itu akan membuatnya ketakutan,” ujar si rambut perak lagi.

Pria di hadapanku meliriknya tajam, kemudian kembali menatapku. “Kau ketakutan hanya karena aku menatapmu?”

“Aku tahu kau telah menyelamatkanku. Terima kasih, berkat dirimu aku berhasil lolos dari mereka. Tapi, meskipun begitu aku tidak mengenalmu dan kau juga terlihat seperti bukan orang baik-baik.”

Pria di hadapanku bergerak begitu cepat tanpa memberiku kesempatan untuk menyadarinya. Ia sudah memelintir tanganku ke belakang dan mengunci pergerakanku. Napasku tercekat ketika sebuah belati sudah siap menghujam leherku.

“Katakan padaku, kenapa orang-orang itu mengejarmu?”

“Apa untungnya bagiku jika memberitahumu?”

Aku mengerang saat tanganku dipelintir semakin kuat hingga tulangku terasa mau patah.

“Dengarkan aku baik-baik, nona,” ujarnya di telingaku. “Aku bukan lah pria yang bisa bersikap lembut pada wanita. Aku bisa membunuhmu kapan saja.”

“Kalau begitu kenapa kau menyelamatkanku jika kau juga ingin membunuhku?”

Ia terdiam cukup lama namun akhirnya ia menjawab, “Bukan urusanmu.”

“Kalau begitu, kau bisa membunuhku sekarang.”

Aku kembali mengerang ketika ia mencengkeram tanganku semakin keras.

“Kau bahkan berani menyuruhku?” desisnya. “Ini untuk terakhir kalinya aku bertanya, nona. Kenapa mereka mengejarmu?”

Ujung belati di tangannya berhasil menggores leherku meskipun belum menancap sepenuhnya. Di saat seperti ini, terpaksa aku harus menjawabnya.

“Aku sendiri juga tidak tahu,” jawabku jujur. “Tapi sebelum itu, mereka membunuh semua keluargaku dan aku hanya berusaha menyelamatkan diri dari tragedi pembunuhan itu. Aku berhasil lolos dan mereka mengejarku.”

Setelah mendapat jawaban, pria itu melepaskanku dengan kasar hingga aku terjerembab ke tanah.

“Aleea, kau urus gadis ini.”

Pria itu melangkah keluar menembus gelapnya malam entah kemana, disusul pria satunya yang menyeringai ke arahku dan turut pergi. Kini hanya aku dan si perak muda yang masih tinggal.

“Kau baik-baik saja?” Si perak membantuku berdiri. “Ngomong-ngomong siapa namamu?”

“Namaku Valen.”

“Aku Aleea, maaf atas sikap kedua temanku. Mereka...memang seperti itu, tapi sebenarnya mereka sangat baik.”

“Aku tidak peduli,” sergahku sambil melengos pergi menuju bebatuan dan terduduk dengan kesal.

“Aku tahu mereka sudah kasar padamu. Aku benar-benar minta maaf atas mereka.” Aleea turut duduk di sebelahku. “Valen, aku turut prihatin atas apa yang menimpa keluargamu. Kami bertiga juga pernah mengalaminya. Aku juga tidak tahu apa tujuan mereka membunuh seluruh keluarga kami tanpa sisa. Tapi akhirnya kami tahu bahwa...itu ada kaitannya dengan perintah raja.”

Aku menatapnya tak percaya. “Jika itu perintah raja, apa untungnya bagi kerajaan membunuh rakyat biasa seperti kami?”

Aleea menggeleng. “Entahlah. Tapi...sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan di kerajaan ini. Dan aku yakin, mereka tidak akan membunuh rakyat biasa jika tidak memiliki pengaruh bagi kerajaan. Mungkin...bisa saja keluargamu memiliki sesuatu yang membuat tahtanya terancam.”

Aku mengerutkan kening sembari berpikir. Selama ini aku tidak pernah tahu jika keluargaku berkaitan dengan raja. Aku juga tidak pernah melihat ayah, ibu atau pun bibi Alya berhubungan dengan para petinggi kerajaan. Lalu...apa yang menjadi ancaman kami terhadap raja?

“Jika memang keluargaku merupakan ancaman, sepertinya mereka salah besar. Kami tidak pernah terlibat apapun dalam masalah kerajaan ataupun bersekutu dengan kerajaan lain.”

“Ya, aku tahu itu. Awalnya aku juga berpikir seperti itu, aku merasa bahwa keluargaku bukan lah ancaman. Bukan hanya aku, Velian dan Zealda juga berpikiran sama. Bagaimana rakyat biasa seperti kami bisa menjadi ancaman bagi kerajaan? Tapi...kenyataan mengatakan sebaliknya. Keluarga kami di bunuh tanpa sisa, jika aku tidak bisa lolos waktu itu, mungkin aku juga mati bersama mereka.” Aleea menatapku lekat dengan tatapan sedikit geram akan masa lalunya. “Menurutmu...apa yang membuat keluarga kami dibunuh?”

Aku terdiam sejenak dan menggeleng pada akhirnya.

“Kami pernah mendengar bahwa raja baru kita memiliki seorang peramal. Itulah yang sedang kami selidiki. Ramalan apa yang sudah terlontar sampai yang mulia raja membunuh keluarga tertentu.”

Aku masih terdiam dan berpikir dengan serius. Kurasa ini bukan hal sembarangan. Sebuah misteri terselubung di kerajaan membuatku sedikit penasaran dengan isi ramalan itu. Itu menjadi sebuah pertanyaan besar layaknya batu yang harus dipecah.

“Bergabunglah dengan kami.”

Aku kembali menatap Aleea dengan bingung, namun ia sudah memberiku dua buah dagger.

“Kami adalah kelompok Assassin dan kau adalah anggota baru kami.”

“Tapi aku belum memberi persetujuan, bagaimana bisa kau menyebutku sebagai anggota baru?”

“Seseorang yang sudah menginjakkan kaki di tempat ini, berarti dia anggota baru kami. Jika kau sampai kabur, dengar terpaksa aku yang akan mengejarmu dan membunuhmu dengan tanganku sendiri.”

Aleea. Pemuda yang kupikir paling baik ternyata sama seperti dua pemuda lainnya. Ia bahkan mengancam untuk membunuhku dengan tangannya sendiri. Aku merasa terjebak seketika, layaknya terperosok ke dalam lubang parit dan tak bisa keluar darinya.

Aku menatap dagger di tangannya, berkilat tajam dengan ujung yang runcing. Haruskah aku menerima tawarannya?

_______To be Continued_______

Makasih banyak buat yang udah baca.. ^^

Bab terkait

  • Shirea   Chapter 2

    Kilapan pada ujung dagger terpantul di mataku, membuatku ingin meraihnya. Aku masih terdiam ketika Aleea mendekatkan dagger itu tepat di wajahku. Kutatap Aleea yang mengangguk dan tak lama, dagger pun berpindah tangan. Satu hal dalam pikiranku. Seumur hidupku, aku tidak pernah membayangkan jika harus menjadi bagian dari kelompok pembunuh berdarah dingin seperti ini. “Baiklah, aku akan bergabung.” Aleea tersenyum sambil menjabat tangan dan aku meraihnya sesaat. “Selamat bergabung, Valen. Aku mohon untuk kerja samanya.” Aku mengangguk namun sedetik kemudian, aku kembali termenung sambil menatap dagger di tanganku. Mulai detik ini aku menjadi pembunuh di balik layar, sangat mustahil untuk menjadi seorang ksatria. Malam semakin larut dan mataku terasa berat. Aku menata jerami untuk terbaring dan kulihat Aleea sudah terkulai di atas batu, sementara Velian dan Zealda belum juga kembali, tapi aku tidak peduli sama sekali. Aku mengeran

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-09
  • Shirea   Chapter 3

    Velian menyerahkan pakaiannya padaku. Meskipun basah, setidaknya aku memiliki sesuatu untuk menutupi tubuhku. Kini ia hanya memakai celana pendek dengan bertelanjang dada. Sepanjang perjalanan menuju goa, aku memalingkan wajahku sambil menahan tawa. Aku hanya bisa terbahak-bahak dalam hati atas keberhasilanku memberi pelajaran pada dua iblis ini. Pertama, aku berhasil melukai Zealda dan sekarang aku berhasil membuat Velian melucuti pakaiannya. “Hahah rasakan!” sorakku dalam hati. Tak butuh waktu lama, kami sampai di depan goa dan di sana sudah ada Aleea dan Zealda. Sesuai dugaanku, mereka berdua terbahak-bahak begitu melihat Velian. Aku membekap mulutku agar tidak ikut terbahak-bahak meskipun bahuku sedikit terguncang karena tawa. Aku benar-benar puas mendengar tawa mereka yang terkesan mempermalukan Velian. “Velian, kau benar-benar tidak tahu malu,” ujar Zealda dan kembali tertawa. “Kalian pikir ini lucu?!” teriaknya menggelegar.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-10
  • Shirea   Chapter 4

    Pikiranku terus berputar pada ucapan pria itu semalaman, sampai aku tidak bisa tidur. Aku mulai mencelupkan tubuh di air sungai. Meskipun segar, namun pikiranku masih saja kalut. Tanda lahir yang sama dengan putra ke empat raja terdahulu, pangeran Vel. Yang benar saja? Aku sudah mengamati seluruh tubuhku tapi tidak kutemukan tanda lahir itu. Aku yakin sekali kalau tubuhku bersih dari yang namanya tanda lahir, bahkan aku sudah mengecek punggungku dan ternyata tidak ada. Apa mungkin di kepala dan tertutup rambut? Haruskah aku memotong rambut sampai botak untuk mengeceknya? Hari ini aku akan pulang ke rumah dan aku harus menemukan petunjuk itu. Mungkin...aku perlu menggeledah kamar ayah. Seusai mandi, aku segera bergegas mempersiapkan diri untuk pulang ke rumah, sementara mereka bertiga sudah menyewa kuda untuk perjalanan kami. Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu penasaran dengan keluargaku, apa mereka juga mengetahui sesuatu? “Berhentilah melamun!”

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-29
  • Shirea   Chapter 5

    Di tengah derasnya hujan, kudaku masih melaju kencang. Aku masih menggenggam tangan Velian agar tangannya tetap hangat, meskipun tangan dalam tali pacuan ku sudah membiru dan berkerut. Kubiarkan ia terkulai di bahuku. Tubuhnya yang mulai menggigil membuatku semakin cemas. Tak lama, akhirnya kami sampai di goa. Aku segera memapah Velian yang sudah sangat lemah untuk masuk. Aku segera membetulkan perapian setelah ia sudah duduk dengan posisi hangat. Kuraih buntalan kain yang berisi pakaian Velian dan melemparnya. “Cepat ganti pakaianmu. Aku akan pergi mencari makanan.” “Valen.” Aku menoleh sejenak. “Hmm?” “Di luar sedang hujan. Biar aku saja yang mencari makanan.” “Kondisimu sedang tidak baik, jadi...sadar diri lah. Aku usahakan tidak lama.” Aku segera melesat keluar sebelum Velian berkomentar lebih banyak lagi. Rencananya, aku tidak bermaksud untuk berburu melainkan ingin kembali ke rumahku. Setidaknya...beberapa keping uang sud

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-07
  • Shirea   Chapter 6

    “Ayah, aku pulang!” Aku menoleh ketika sosok gadis yang terlihat seumuran denganku datang melewati pintu begitu saja. Kami saling berpandangan sejenak, Velian dan paman Thomas sudah kembali dari obrolannya. Mata gadis itu melebar ketika melihat Velian. “Velian!” Velian terlihat syok melihat gadis yang langsung berlari ke arahnya. “Sarah?” Gadis bernama Sarah itu langsung memeluknya tanpa ragu. “Kapan kau datang?” “Sarah!” lerai paman Thomas. “Jaga sikapmu.” Sarah langsung melepaskan Velian dengan cemberut. “Belum lama ini,” jawab Velian dengan nada dingin khasnya, namun tidak terlihat kesal. “Aku ingin sekali pergi ke tempatmu tapi ayah selalu melarangku.” “Itu perjalanan yang berbahaya untuk anak gadis sepertimu,” sergah paman Thomas. “Paman benar. Tapi kalau kau mau ke tempatku, aku bisa menjemputmu.” “Benarkah?” tanyanya antusias dan Velian hanya mengangguk. Aku mengamati perca

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-13
  • Shirea   Chapter 7

    Aku berlatih bersama Velian menggunakan senjata yang ada di tempat penyimpanan senjata milik paman Thomas. Ia benar-benar terlihat serius untuk menjalankan misi dan masuk ke dalam istana. Aku tidak tahu apa yang ia pikirkan saat ini, tapi aku bisa merasakan sedikit ambisinya. “Berhenti!” Aku dan Velian menoleh dan menghentikan serangan kami. Sarah menatapku lekat dengan wajah tidak suka. “Aku ingin melawan mu.” Aku hanya terdiam mendengar ucapannya yang lugas. “Tapi Sarah-" “Velian aku butuh teman berlatih juga.” Sarah melirik ke arahku. “Aku penasaran dengan kemampuannya.” Velian menghela napas dan pada akhirnya ia bilang, “baiklah, kalian berlatih saja. Aku akan membantu paman Thomas.” Sarah mengangguk, sementara Velian sudah menatapku. “Kau berlatih dulu dengan Sarah.” Ya,” sahutku seadanya. Aku dan Sarah saling menatap lekat, tapi aku masih tidak mengerti kenapa ia begitu sengit menatapku. Ia b

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-27
  • Shirea   Chapter 8

    Pening bergelayut ketika tubuhku mengerjap. Perlahan kesadaran ku mulai mengalir dan kulihat langit-langit goa ketika membuka mata. Aku terbaring di atas tumpukan jerami dan melihat perapian sudah menyala.Aku mencoba untuk duduk sambil memegangi kepala yang ternyata—sudah di perban. Kemudian aku menyentuh ulu hatiku yang terasa seperti ada yang mengganjal. Kulihat sebuah buntalan kain yang entah apa isinya namun terasa hangat di kulit. Apa—Velian tahu ada memar di perutku?“Kau sudah sadar rupanya.”Aku menoleh ketika sosok pria berambut perak masuk dari luar goa. Kulihat Aleea mulai membaik dan ia sudah segar kembali.“Tunggu sebentar,” ujarnya lagi kemudian keluar.Tak lama mereka bertiga masuk, wajah mereka begitu cemas melihatku namun aku juga melihat kelegaan di mata mereka setelah melihat kondisiku.“Valen, bagaimana kondisimu?” Zealda yang pertama kali bertanya.“Yah, aku m

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-24
  • Shirea   Chapter 9

    Rambutku berkibar diterpa angin malam ketika turun dari kereta kuda. Aku mengamati halaman istana yang begitu luas dan ramai hingga menuju ke pintu masuk. Aku mengenakan topeng pesta kemudian melangkah masuk perlahan dengan hati-hati agar kakiku tidak terkilir.Aku terduduk di sudut ruangan dengan santai sambil mengamati keadaan sekitar. Kupandangi sosok pria paruh baya dengan baju kebesaran seorang raja sedang duduk di kursi besar di atas sana, sementara di samping kiri dan kanannya sudah didampingi dua wanita dengan pakaian khas kerajaan juga.Tak jauh di sana, sudah berdiri seorang pemuda tampan yang jangkung memakai dengan jubah kebesaran seorang putra mahkota mengamati keadaan di sekitarnya. Aku tidak bisa mengawasi mereka dengan leluasa karena putra mahkota terlihat mengawasi para tamu undangan. Aku hanya sesekali melirik kearah mereka sambil berpura-pura menikmati pesta.“Maaf nona, silahkan ambil minuman anda.”Aku menoleh ke arah pria

    Terakhir Diperbarui : 2021-12-24

Bab terbaru

  • Shirea   Chapter Bonus

    Di lorong gelap nan lembab seorang wanita dengan jubah kebesaran seorang ratu melangkah dengan penuh dendam. Seutas cambuk berduri tergenggam erat di tangannya. Masa lalu yang merenggut cintanya takan dilupakan begitu saja hanya dengan sebutir kata maaf dan ampun. Sakit hati yang dirasakannya begitu kuat hingga membuat emosinya tak terkendali. Di penjara bawah tanah, seorang wanita sudah berlumuran darah kering dengan pakaian koyak dan wajah yang dipenuhi jelaga. Tangannya diikat ke atas hingga membuatnya menggantung dalam posisi berdiri. Dia adalah wanita pembawa kekacauan tersebut, dengan seringai jahatnya yang seolah-olah menuntut balas atas nasib yang dialaminya, meskipun sebenarnya ia tak memiliki harapan apapun. "Lavina," gumamnya. "Kenapa kau tidak cepat-cepat membunuhku? Apa kau takut jika arwahku menghantuimu?" ucapnya menyeringai. Satu cambukan mendarat ditubuh wanita itu disertai tatapan tajam sang ratu bijak yang kini menjelma menjadi iblis. "Kematian hanya mempercepat

  • Shirea   Epilog 2

    Suara riuh di dalam ruangan membuatku tersadar bahwa aku telah meninggalkan pesta terlalu lama hingga akhirnya, kuputuskan untuk kembali dengan kaki pincang tanpa alas kaki. Saat memasuki ruangan, kulihat sudah ada putri Selena di sana.Malam ini ia mengenakan gaun beludru berwarna putih dengan hiasan bunga mawar berwarna biru yang membuatnya terlihat anggun. Penampilannya begitu sederhana dengan dandanan natural dan tidak berlebihan. Rambutnya pun hanya digelung dengan hiasan pita mungil.Aku hanya berdiri menyendiri di sudut ruangan dan terpisah dari keluargaku, menatap sosok anggun di sana dengan kagum. Ternyata acara sudah berjalan sejak tadi dan aku terlambat masuk. Sejenak aku teringat ucapan bibi Theony bahwa ia lebih mirip denganku daripada dengan yang mulia raja atau ratu.Sepertinya memang benar, dia memang tak mirip keduanya, aku justru seperti sedang bercermin saat melihat matanya. Dia...memiliki mata yang sama denganku.Aku segera menyingkirkan pikiran gila itu dari kepal

  • Shirea   Epilog 1

    ___23 Tahun Kemudian___Namaku Valen. Katanya, nama ini pemberian raja Zealda, tentu saja itu adalah sebuah kehormatan besar untukku dan keluargaku. Bahkan katanya, ratu Liz sempat menggendongku beberapa kali. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisiku saat itu, semoga saja aku tidak melakukan hal aneh dalam gendongannya seperti mengotori gaunnya dengan muntahanku atau mengencinginya.Pada saat aku lahir, yang mulia ratu katanya sedang mengandung, usia kehamilannya masih sangat muda saat itu. Ayahku berharap bisa menikahkanku dengan pangeran. Namun ternyata yang mulia ratu melahirkan anak perempuan dan ayahku sedikit kecewa, walaupun begitu ia juga bahagia atas kelahiran tuan putri. Namanya putri Selena, gadis imut yang berhati dingin.Aku pernah bertemu tuan putri saat memergoki dirinya sedang menyamar menjadi laki-laki, entah apa yang dia lakukan. Saat penyamarannya terbongkar, dia ternyata memegang sebilah pedang di tangannya.Tuan putri mengangkat pedangnya ke arahku dan meng

  • Shirea   Chapter 35

    Kami berjalan menyusuri lorong gelap setelah melewati pintu rahasia yang selama ini belum kutahu. Udara dingin nan lembab membuat mentelku sedikit berembun, begitu pun dengan Velian yang berjalan mendahuluiku dengan membawa lentera.Aku tak menyangka bahwa mahkota itu di simpan begitu jauh dan tersembunyi. Entah dari mana Velian mengetahui lokasinya, tapi yang jelas lorong di sini membuatku sedikit sesak.Tunggu sebentar, tiba-tiba aku--ingin muntah. Langkahku terhenti sejenak seraya menutup mulut. Kepalaku sedikit pening diiringi rasa mual yang mengganggu."Kau baik-baik saja?" tanya Velian yang menyusulku di belakang. "Wajahmu terlihat pucat."Aku tak menjawab sampai kondisiku sedikit membaik. Mataku basah seiring pergolakan dari perutku. Rasanya--isi lambungku seperti ingin keluar semua.Kutarik napas panjang untuk menenangkan diri. Velian membantuku bersandar di dinding berlumut yang dingin."Aku baik-baik saja. Mungkin ini efek dari tidur panjangku karena aku tidak makan selama i

  • Shirea   Chapter 34

    Aku membuka mata perlahan dengan tubuh yang terasa lemah. Kepalaku masih nyaman untuk tetap tergeletak di pembaringan hingga rasanya aku enggan untuk terbangun. Velian sudah tak di sampingku entah sejak kapan dan kini masih ada satu sosok lagi yang masih mendekapku. Seonggok tubuh dingin yang masih utuh dengan cahaya orange yang berpendar di lapisan kulitnya.Aku memiringkan tubuh agar kami berhadapan. Tanganku bergerak menggapai wajahnya yang terlihat tenang. Air mataku menetes ketika pikiranku mulai mengenang tentangnya yang menyebalkan, berbahaya dan juga perasaannya yang membuatku terjerat di sisinya.Pikiranku menembus dimensi waktu dalam sekejap. Di pertemuan pertama, kami berdansa meskipun waktu itu gerakanku begitu kaku. Pikiranku kembali melayang pada saat ia menangkapku dengan seringai puas karena mengetahui kedokku, lalu pertarunganku dengan putri Chelia dan pernikahan kami yang di luar rencana.Aku juga mengenang ketika ia terluka setelah perburuan di hutan Stigrear, ketik

  • Shirea   Chapter 33

    Aku terbaring dengan nyaman di sebuah pembaringan yang entah bagaimana rupanya. Sorak bahagia nan ramai membuat suasana riuh di luar sana atas berhasilnya mengusir pasukan Vainea, bahkan mereka merasa bangga karena berhasil menumbangkan seorang putra mahkota dari kerajaan lawan.Aku tidak tahu apakah kabar kematiannya sudah sampai ke Vainea atau belum, yang jelas raja Vainea pasti akan murka dan menuntut balas.Meski saat ini aku tak merasakan apapun, tapi kesadaranku masih bisa kukendalikan bahkan telingaku terasa lebih peka dari biasanya. Aku mencium aroma wangi di pembaringanku dan saat ini aku terbaring dalam posisi elegan.Dua hari telah berlalu. Demi menyelamatkanku, Erick menyebarkan kabar kematianku pada semua orang termasuk bibi Athea dan yang mulia ratu, walau sebenarnya berita ini tidak berpengaruh pada Velian.Mereka yang sebelumnya bersorak atas kemenangan besar kini berkabung atas kematianku dan raja Herrian. Sorakan yang menyanjungi namaku sebagai tuan putri yang berani

  • Shirea   Chapter 32

    Suara desingan, erangan dan gemuruh yang diiringi aroma darah kini membanjiri tanah. Semua terpampang jelas di mataku saat melihat kerumunan dan hampir tiba. Aku menarik kedua pedangku yang sudah berlumuran darah dan bersiap untuk menyerang orang-orang dari Vainea.Sebagian dari mereka menatapku heran sekaligus takjub, seolah-olah baru pertama kali melihat wanita turun ke medan perang. Tentu saja, ini adalah kesempatan yang bagus untuk menghabisi mereka karena telah berani terpesona oleh kedatanganku."Fokus pada musuh dan lindungi diri kalian sendiri!" teriakku pada pasukan yang hendak membuat formasi untuk melindungiku. "Jangan pikirkan keberadaanku! Coba pikirkan diri sendiri untuk tetap bertahan hidup!"Satu persatu orang-orang Vainea tumbang, kedatanganku membuat semua pasukanku yang tersisa kembali bangkit dengan semangat dan mematuhi ucapanku."Menarik sekali! Benar benar menarik!" Seseorang bertepuk tangan.Sosok pemuda berkuda dengan jubah kebesaran seorang pangeran berwarna

  • Shirea   Chapter 31

    Aku berjalan menuju kediaman yang mulia ratu dengan langkah cepat, disusul bibi Athea. Para pasukan yang tersisa semua berkumpul di halaman dan beberapa ada yang sudah bersiaga di benteng istana dan pintu gerbang sesuai perintahku.Ketiadaan yang mulia raja dan beberapa petinggi istana membuat yang ada di sini kocar kacir dan bingung. Aku terpaksa mengatur berapa strategi untuk memanfaatkan jumlah yang tersisa.Kudengar Vainea sudah berhasil menerobos ibukota. Aku sudah meminta tim evakuasi untuk memindahkan seluruh warga ibukota ke kota Reydane yang tak jauh dari sini. Satu-satunya jalur yang masih aman adalah jalur selatan. Kuharap prosesnya berjalan lancar.Setelah mencari beberapa informasi selama ini, aku baru tahu jika ayahku adalah mantan petinggi istana yang memegang komando pertahanan, maka aku pun harus seperti dirinya sebagai putri Kanz. Aku mengatur rencana sedemikian rupa dalam waktu yang cukup mendesak. Pikiranku terus berputar hingga kepalaku terasa pening.Aku sengaja

  • Shirea   Chapter 30

    Sudah hampir lima belas menit Sarah tak sadarkan diri dan aku masih menunggunya dengan sabar. Aku hanya terdiam melihatnya terkulai dengan tangan terikat ke atas. Ruangan ini begitu berdebu dan tak tersentuh sama sekali. Saat aku meminta beberapa penjaga untuk menyiapkan penjara, ternyata mereka memberitahuku bahwa sebenarnya aku memiliki penjaraku sendiri. Lokasinya sama seperti penjara putra mahkota, tepatnya di bawah tanah, tapi di sini terasa kering dan dingin, tidak seperti penjara miliknya yang lembab dan bau darah di mana-mana."Bangunkan dia!" titahku dingin pada salah satu penjaga yang sedari tadi sudah siaga dan menunggu perintahku."Baik, yang mulia."Sarah akhirnya terbangun setelah guyuran air dingin menyirami tubuhnya. Ia seperti terkejut dan mengamati lingkungannya dengan tatapan tak percaya lalu tak lama, ia menatapku."Valen," gumamnya. Ia seperti baru menyadari tangannya terikat saat ia mencoba bergerak. "Kau--""Kenapa? Apa sekarang kau marah padaku karena memenjara

DMCA.com Protection Status