Tatapan mata Arzan menyapu sekeliling kamar hotel yang dirinya tempati. Seketika matanya membulat sempurna saat mendapati seorang gadis tengah tidur dibawah tempat tidur sembari meringkuk. Jangan lupakan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.
"Ya Allah apa yang udah aku lakuin," Arzan meremas rambutnya frustasi setelah mengingat apa yang telah dia lakukan. Arzan berulang kali istighfar didalam hatinya. "Ya Allah bagaimana aku menjelaskan pada umi, Abi, dan.... Anisa. Maafin mas Anisa," lirih Arzan. Rasa bersalah langsung bersemayam di dalam dirinya. Terlebih pada istrinya. Beberapa menit larut dalam lamunan, Arzan bangkit dari kasur. Tak lupa mengambil semua pakaian miliknya yang berserakan dilantai kemudian membawanya masuk ke dalam kamar mandi. Selesai bersih-bersih, Arzan menatap perempuan yang masih tertidur dengan posisi sama. Perlahan tangannya terulur untuk menarik pelan selimut agar sang empu bangun. Sheyza, gadis cantik itu mulai terusik. Mata indah itu terbuka secara perlahan. Pandangan yang pertama kali dilihatnya adalah seorang pria jahat yang telah memaksanya tadi malam. Spontan Sheyza mengeratkan selimutnya. Tadi malam, Sheyza terlalu larut dalam kesedihan dan rasa lelah yang menderanya sehingga tidak sadar dirinya tidur di lantai bawah ranjang. Sheyza mencoba untuk bangkit berdiri, namun rasa sakit dibagian tertentu membuat dirinya memekik. Reflek kedua tangan Arzan memegang pundak Sheyza untuk menjaga keseimbangan, namun langsung ditepis oleh Sheyza. "Maaf," ucap Arzan sambil tertunduk dalam. Sungguh dirinya hanya bisa mengucapkan itu sekarang tanpa tau harus bagaimana lagi. Dirinya memang sudah bersalah. Dia sudah berbuat dosa besar. Sheyza mendengus. Ingin ke kamar mandi namun rasa sakit itu membuatnya urung melakukan itu. Dia memilih untuk duduk di tepi ranjang. "Saya akan bertanggung jawab, tapi dengan satu syarat." Ucap Arzan. Sheyza mendongak. Menatap tajam pria di hadapannya. "Memang sudah seharusnya anda bertanggung jawab. Apa yang sudah anda lakukan itu sudah diluar batas. Anda sudah mengambil sesuatu yang paling berharga di hidup saya." Pekik Sheyza. Sungguh dia merutuki kebodohannya tadi malam. Andaikan dia mengabaikan suara itu dan melanjutkan pekerjaannya maka semua akan baik-baik saja. Andaikan, tapi semua sudah terjadi. Nasi sudah menjadi bubur. Sheyza harus menelan pil pahit. Apa yang selama ini dia jaga harus direnggut secara paksa oleh orang yang tidak dikenalnya. Arzan membuang nafasnya kasar. "Maaf, maaf untuk tadi malam. Tapi saya dijebak. Saya tidak mampu mengendalikan diri saya sendiri." "Saya tidak peduli! Tapi saya tetap mau anda bertanggung jawab!" "Tentu. Saya akan bertanggung jawab, tapi dengan satu syarat." "Syarat?? Yang benar saja?!! Anda yang melakukan tindakan kepada saya, tapi anda yang minta syarat kepada saya!" "Saya mohon, karena saya sudah punya istri. Saya tidak mau membuat istri saya kecewa kalau sampai tau saya berbuat seperti ini." Deg Mata Sheyza membola mendengar perkataan pria di depannya. Sungguh dirinya tidak menyangka kalau pria itu sudah punya istri. Tanpa mengatakan apapun, Sheyza menarik selimut yang membungkus tubuhnya dan langsung bangkit ke kamar mandi. Dia mengabaikan rasa sakit yang seakan mendera seluruh tubuhnya. Sheyza masuk ke kamar mandi setelah memungut seluruh pakaiannya di lantai. Arzan menatap sendu kepergian gadis itu. Entah bagaimana dirinya akan menyikapi semua ini. *** "Andai dia belum punya istri, aku harus gimana tuhan... Aku tak tau harus berbuat apa. Di satu sisi semua sudah habis tak tersisa lagi. Apa yang aku jaga selama ini sudah hilang, semua lenyap sia-sia. Maafkan aku Bu.... Maaf." Tangis batin Sheyza menjerit-jerit didalam dirinya. Setelah dirasa cukup di kamar mandi, Sheyza keluar. Tanpa mengatakan apapun Sheyza berjalan menuju pintu kamar. Namun tangannya ditahan oleh Arzan. Sheyza gadis yang memakai pakaian sedikit sobek di bagian depan itu menepis tangan pria yang mencekal tangannya. Dirinya terlalu malas berdekatan dengan pria brengsek didepannya. Pria yang sudah mengambil sesuatu paling berharga di hidupnya yang sudah dia jaga selama ini. Arzan menghela nafasnya kasar. Dirinya tak marah dengan tindakan gadis di hadapannya karena memang disini dirinya lah yang bersalah, tapi dia bingung dengan sikap yang harus dia ambil. "Mari kita bicara. Saya tetap akan bertanggung jawab atas apa yang sudah terjadi." Ajak Arzan. Sheyza tersenyum sinis. Tak disangka begitu mudah pria brengsek itu berkata seperti itu. Dikira Sheyza mau setelah dirinya tau kalau pria itu sudah menikah? Apa dia tidak memikirkan perasaan istrinya? Karena Sheyza tau bagaimana rasanya orang yang kita sayang direbut oleh orang lain. Ditambah Sheyza tidak mau menjadi alasan orang terluka. "Saya tidak butuh bicara dengan anda. Biarkan saya pergi, dan semoga kita tidak akan pernah bertemu kembali." Ucap Sheyza tegas. Arzan menggeleng, "Tidak. Saya tidak ada membiarkan kamu pergi. Bagaimana pun kita tetap harus bicara, kita harus menyelesaikan semua ini. Dan hari ini juga kita akan menikah." "Saya tidak mau! Anggap saja apa yang sudah terjadi adalah kesialan saya. Dan saya minta anda melupakan semuanya. Jadi, biarkan saya pergi dari tempat ini!" Pekik Sheyza keras. Sungguh dirinya sudah tidak mau lagi berurusan dengan pria didepannya itu lagi. Dia sudah bertekad untuk melupakan kejadian ini dan tidak akan menuntut tanggung jawab pada pria itu. Arzan menggeleng kan kepalanya tegas. Dia masih tetap kekeuh dengan pendiriannya. "Tolong kita harus segera menikah. Apa yang sudah kita lakukan itu dosa besar, kita tak seharusnya menampik hal itu. Saya ingin bertanggung jawab!" "Tanggung jawab?? Lantas bagaimana dengan istri anda?!" "Karena hal itu lah kita harus bicara. Saya tetap akan menikahi kamu, tapi pernikahan kita harus dirahasiakan. Tidak boleh ada satu orang pun yang tahu, termasuk kedua orang tua saya dan juga istri saya." "Gila!" Desis Sheyza. Jika seperti itu berarti dirinya akan menjadi istri kedua dari pria ini. Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah dirinya akan menjadi istri simpanan. "Saya tidak mau! Jangan paksa saya! Minggir!! Saya harus pergi dari sini." Sheyza mencoba menyingkirkan tubuh pria itu dari depan pintu. Berusaha mendorong, namun sayang lagi-lagi tenaganya tidak sebanding. "Saya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu padamu nanti akibat perbuatan saya tadi malam." Kening Sheyza berkerut bingung. "Maksudnya?" "Tadi malam saya sudah melakukan itu pada kamu. Saya tidak tahu hal itu bisa terjadi bisa juga tidak. Tapi bagaimana jika kamu hamil?" Deg Jantung Sheyza berdegup kencang setelah mendengar perkataan pria di depannya. Jika itu sampai terjadi, apa yang harus Sheyza lakukan? Bagaimana tanggapan orang lain terhadap dirinya saat tau dia hamil tanpa suami. Arzan yang melihat Sheyza diam langsung menarik tangan gadis itu untuk berbicara di luar. Dia yakin kalau Sheyza pasti kelaparan sekarang. Dia berencana untuk mengobrol sambil makan. Sementara di tempat lain.... "Arrgghh! Ini semua gara-gara om Vito. Coba saja dia tidak mengurungku disini pasti aku sudah mendapatkan Gus Arzan." Sebal Bella. Benar. Orang yang membawa Arzan ke kamar hotel tadi malam adalah suruhan Bella. Namun siapa sangka dirinya malah berakhir di kamar lain bersama dengan om Vito nya menghabiskan malam panjang dengan pria paruh baya itu. Sial! Padahal tidak mudah untuk membuat Gus Arzan menghadiri acara seperti kemarin, tapi semua sia-sia. "Aku tidak akan menyerah. Suatu saat nanti akan aku pastikan kamu menjadi milikku Gus Arzan. Dan istrimu itu aku pastikan akan mati sebentar lagi karena hanya aku yang pastas bersanding denganmu. Hanya aku yang pantas mendapatkan gelar Ning....bukan Anisa." Tekad Bella bulat. Dirinya sudah lama membayangkan menjadi istri seorang Gus Arzan. *** "Silahkan dimakan. Setelah itu nanti kita bicarakan semuanya," ucap Arzan sembari meletakkan sepiring nasi goreng spesial didepan Sheyza. Sheyza hanya mendengus. Dirinya tidak selera makan apalagi dengan pria jahat seperti Arzan. Hatinya terlalu sakit mengingat semua yang sudah terjadi. Tapi pria itu malah mengajaknya makan disebuah restoran mewah. Bahkan sebelum berangkat pria itu juga sempat membelikan pakaian bagus untuknya. Meski begitu, Sheyza tidak menolak pemberian Arzan karena tidak mungkin juga dia makan dengan pakaian rombengan. Arzan menghela nafas berat saat gadis di depannya hanya diam tak mengindahkan ucapannya. "Makanlah, tubuhmu butuh nutrisi. Kamu sudah kelelahan semalaman." Sheyza memutar bola matanya malas. "Silahkan selesaikan sesi makan anda, setelah itu katakan apa yang ingin anda katakan. Saya tidak suka basa-basi." "Setidaknya makanlah dulu aga....." "Sudah saya katakan, saya tidak suka basa-basi. Jangan membuang waktu saya." Sheyza kesal. Dirinya sedang tidak minat makan, kenapa mesti dipaksa. Meskipun didepannya ini terhidang makanan mewah plus mahal tapi Sheyza sudah kehilangan nafsu makannya. Hatinya sudah terlanjur sakit. Arzan menyudahi sesi makannya. Dia lebih memilih untuk mulai membicarakan apa yang perlu mereka rundingkan karena melihat wajah Sheyza yang kelihatan tidak mood. "Jadi begini, saya akan menikahi kamu secara agama hari ini juga," Sheyza meremas tangannya kuat-kuat. Semua terasa berat. Namun dirinya juga tidak bisa menyangkal kalau bayang-bayang hamil membuatnya takut. "Saya juga sudah menghubungi saksi atas pernikahan kita. Tidak banyak, hanya lima orang saja. Itu pun sudah saya pastikan mereka bisa tutup mulut." "Terserah." Arzan mengembuskan napas kasar. "Masalah biaya hidup kamu, semua akan saya tanggung. Saya tetap akan memberikan kamu nafkah sama besar dengan yang saya berikan pada istri saya." Sheyza mendengarkan, namun dia acuh. Terserah dengan apa yang akan pria itu lakukan. "Untuk sekarang silahkan kamu hubungi ayah kamu untuk menjadi wali karena sekarang juga kita akan ke KUA." "Saya tidak punya ayah." Terkejut? Tentu. Tapi Arzan tidak mau ambil pusing. Bisa jadi ayahnya sudah meninggal, jadi dia lebih memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. "Jika begitu, kamu bisa menghubungi saudara kamu untuk menjadi wali." "Saya tidak punya. Saya sebatang kara hidup didunia ini!" DegPernikahan dilangsungkan siang itu juga. Dengan saksi yang sudah dipersiapkan oleh Arzan, semua berjalan lancar. Tentu tidak sulit baginya untuk mendapatkan beberapa saksi mengingat relasinya yang luas. Tidak ada orang yang tahu kecuali beberapa temannya yang dia minta mencari saksi. Tidak ada yang lainnya. Arzan minta bantuan temannya untuk mencarikan dirinya lima orang saksi untuk pernikahannya. Bahkan Arzan sampai membayar mereka untuk tutup mulut.Pada awalnya teman Arzan merasa heran dengan apa yang dilakukan Arzan, mengingat bagaimana perilaku Arzan selama ini. Namun Arzan memilih bungkam, tidak mau membahasnya. Dirinya cuma minta untuk tidak memberi tahu atau membahas tentang pernikahan ini kepada siapapun. Terlebih orang tuanya.Tidak ada gaun pengantin yang melekat pada tubuh Sheyza. Padahal hari ini merupakan hari yang sudah dia impikan sejak lama. Pernikahan sekali seumur hidup. Tapi apa yang bisa dirinya lakukan sekarang? Sheyza bahkan hanya mengenakan setelan gamis denga
Saat ini kedua orang suami istri itu sudah sampai di jakarta lebih tepatnya di apartemen milik Arzan. Tentu saja Arzan langsung membawa Sheyza ke apartemen miliknya. Karena tidak mungkin kalau membawa Sheyza ke pesantren, yang ada akan banyak tanda tanya disana terutama dari orang tua dan istrinya."Ini apartemen saya. Mulai sekarang kamu tinggal disini. Untuk keperluan kamu besok kita beli." Ucap Arzan sembari membukakan pintu untuk Sheyza.Sheyza menatap sekeliling ruangan yang terlihat sangat mewah. Semua barang-barangnya lengkap. Matanya memanas saat mengingat kehidupannya dulu. Dulu saat ayahnya masih ada, semua keinginan Sheyza tidak pernah terlewatkan. Apapun yang dia mau pasti dia dapatkan. Begitupun dengan kakak angkatnya. Mungkin karena hal itu lah sang kakak jadi seperti ini. Dia selalu meminta uang kepada Sheyza untuk mendapatkan hal-hal yang dia inginkan."Disana kamar saya dan akan menjadi kamar kamu juga mulai sekarang. Kamu bisa istirahat disana." Tunjuk Arzan pada seb
Namanya Arshaka Syauqi Arzan. Usianya baru menginjak dua puluh sembilan tahun dan sudah menikah lima tahun yang lalu dengan wanita muslimah bernama Anisa Az-Zahra. Gadis yatim piatu pilihan abahnya. Sang Abah menjodohkan Anisa dengan Arzan karena ayah Anisa dengan abahnya dulu sahabatan. Dan mereka punya janji untuk menjodohkan kedua anak mereka jika sudah besar nanti. Keduanya tidak saling mengenal. Tapi karena baktinya kepada orang tua, Arzan menerima pernikahan itu.Setelah mendengar kepergian sahabatnya, kyai Rafiq langsung mencari keberadaan kediaman sang sahabat di Jogja hingga bertemu dengan anaknya. Itu semua karena terdapat foto didalam dompet milik Anisa. Sudah dua puluh lima tahun lamanya mereka tidak bertemu, tepatnya setelah ayah Anisa menikah dan langsung pindah ke Jogja.Anisa yang hidup sebatang kara menjadi bahagia karena bisa menjadi istri seorang Gus Arzan, penerus pondok pesantren Al-Hikmah. Dirinya tidak perlu susah-susah lagi mencari pekerjaan seperti yang dia la
Sebuah unit apartemen adalah tujuan Arzan. Dan saat ini dirinya sudah sampai di depan unit apartemennya. Tanpa menunda-nunda Arzan langsung masuk mencari keberadaan Sheyza. Namun yang dicari ternyata tidak ada disana. Arzan masih berpikir positif mungkin Sheyza masih tidur mengingat ini masih pukul enam. Mungkin saja istrinya kelelahan dan tertidur nyenyak didalam kamar.Dengan langkah tegas Arzan memasuki kamarnya. Dirinya ingin memastikan jika istrinya benar-benar ada di dalam kamar.CeklekkKosong. Jantung Arzan berdebar tidak karuan, hatinya kalut. Takut Sheyza pergi dari sini. Langkahnya langsung tertuju pada kamar mandi di dalam kamar. Tanpa ragu Arzan langsung membukanya. Tak ada siapapun. Arzan cemas. Pikirannya sudah tidak bisa positif lagi. Dengan langkah tergesa, Arzan keluar dari dalam kamar itu. Jelas tujuannya adalah mencari Sheyza disekitar apartemen.Sedangkan gadis yang dicari malah sedang asik duduk di sebuah kursi dan menikmati semangkuk bubur ayam. Tadi pagi tiba-
Arzan membawa Sheyza ke pusat perbelanjaan yang ada di kota. Mereka sama-sama memakai masker untuk menutupi wajah. Penampilan Arzan juga tidak seperti biasanya. Jika biasanya Arzan memakai pakaian formal atau bersarung, kali ini pria itu memilih memakai celana jeans hitam serta jaket kulit miliknya. Arzan menyempatkan diri untuk mengganti pakaiannya. Tujuannya jelas agar tidak ada orang yang mengenalinya."Kita beli ponsel dulu," ajak Arzan. Tangannya meraih tangan Sheyza untuk digenggam, namun Sheyza langsung menepisnya. Sheyza tidak mau bersentuhan dengan Arzan lagi.Cukup tadi pagi kesalahan Sheyza lakukan. Entah setan dari mana dirinya malah berdiam diri saat sang suami memeluknya. Untuk sekarang dirinya akan tetap menjaga kewarasan untuk tidak bersentuhan lagi dengan suaminya."Maaf, tapi saya takut nanti kamu hilang." Ucap Arzan kekeh tetap ingin menggandeng tangan lentik Sheyza."Saya bisa sendiri, saya sudah besar. Jadi anda tidak perlu repot-repot. Saya pastikan saya tidak ak
Cup Arzan langsung membungkam mulut yang sibuk membantahnya itu dengan ciuman. Dirinya terlalu gemas dengan gadis ini.***"Gus Arzan kemana ya? Udah sore hampir sore juga tapi kok belum datang. Dihubungi juga nggak diangkat, mana kerjaan banyak lagi." Dumel Ardi walaupun sambil mengerjakan beberapa tumpukan berkas yang menggunung di meja kerja Gus Arzan."Apa lagi sama istrinya ya? Kemarin kan sempat ditinggal ke Bandung, mungkin mereka lagi kangen-kangenan. Oke kalau gitu coba hubungi Ning Anisa aja, terus minta tolong Gus Arzan disuruh ke kantor gitu. Ah pasti langsung kesini kan, emang pinter banget kamu Ardi. Maaf ya Gus mengganggu waktu berduanya. Tapi kalau gak gini kerjaan gak selesai-selesai." Ide brilian Ardi muncul tiba-tiba. Ardi langsung mengeluarkan ponsel miliknya.***Anisa sedang duduk santai di kursi rotan samping ndalem, tiba-tiba ponselnya berdering. Buru-buru wanita berhijab biru itu mengambil ponsel di kantong gamisnya. Kepalanya mengernyit saat membaca nama A
Arzan melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Beberapa menit kemudian dirinya sudah sampai di pesantren Al-Hikmah. Arzan turun dari mobil setelah memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Saat kakinya melangkah ke ndalem, di depan pintu sudah terlihat keberadaan ummi Zulfa duduk di kursi rotan.Dengan tersenyum, Arzan menghampiri sang ummi dan mengulurkan tangannya pada ummi Zulfa. "Ummi kapan pulang? Abah kemana?""Abah sudah istirahat, tadi banyak sekali kegiatannya jadi mungkin kecapekan." Jawab ummi Zulfa lembut.Arzan menganggukkam kepalanya. "Terus ummi kenapa masih diluar sendirian. Ini sudah malam ummi, ayo istirahat kasihan Abah tidur sendirian."Ummi Zulfa menggeleng. "Ummi nungguin Abang pulang. Kenapa pulangnya sampai jam segini?"Arzan terkekeh. "Ummi kan sudah biasa lihat Abang pulang jam segini. Ini masih jam sepuluh lewat. Biasanya Abang juga pulang jam dua belas malam," jawab Arzan sembari beringsut duduk di dekat umminya. Dirinya benar-benar lelah seharian ini. Ya le
Ini sudah terhitung lima kali Arzan memuntahkan isi perutnya. Wajah dan badannya juga terlihat lemas sekali."Mas nggak usah pergi ke kantor dulu deh, istirahat saja dirumah." Ucap Anisa yang sudah rapi dengan gamis ungunya. "Tapi maaf ya mas, Anisa gak bisa temenin mas dirumah. Anisa mau ke rumah sakit mau ngambil hasil pemeriksaan kemarin."Arzan hanya mengangguk saja. "Saya juga harus pergi keluar. Kamu bisa minta antar jemput pak Kardi ya," ucap Arzan. Pak Kardi adalah supir yang biasa mengantar umi dan Abah."Mau kemana mas? Mas kan lagi sakit, mending dirumah saja dulu. Itu dilaci ada obat masuk angin nanti bisa diminum setelah sarapan.""Saya harus ke kantor, banyak berkas yang belum saya tandatangani. Jam tiga sore nanti juga harus meeting klien dari Jepang."Anisa mengerucutkan bibirnya kesal. Tapi mau maksa Arzan untuk tetap di rumah juga tidak bisa karena harus buru-buru pergi. Andai Anisa tidak pergi pasti dia akan menahan suaminya agar tidak berangkat ke kantor dulu. Dia
"Astaghfirullah, siapa yang sudah tega melakukan hal ini sama Bila. Ya Allah," Ummi Zulfa memekik saat melihat kondisi Nabila yang tidak baik-baik saja. Apa lagi tadi dokter mengatakan jika ada beberapa luka memar yang ada disekitar tubuh putrinya. Mereka semua tak tau apa yang telah di alami oleh Nabila sampai seperti ini. Nabila sama sekali tidak bercerita apapun."Ummi tenang dulu," Arzan menangkap tubuh ummi Zulfa yang hampir limbung. "Sakit jantung ummi bisa kambuh kalau ummi gak tenang," timpal Arzan lagi.Ummi Zulfa menggeleng dengan air mata yang terus berlinang, sungguh melihat kondisi anak perempuannya tidak baik-baik saja seperti saat ini membuat hatinya hancur."Ummi tenang dulu. Dokter tadi udah periksa Bila, katanya Bila baik-baik aja. Sebentar lagi juga siuman," kata Arzan berusaha menenangkan sang ummi."Siapa yang sudah melakukan hal ini sama adik kamu, bang. Dari kapan adik kamu mengalami hal menyedihkan seperti ini? Dan kenapa Bila diam aja? Kenapa Bila gak pernah
Entah bagaimana perasaan Nabila sekarang, tapi yang jelas baru pertama kali ini dirinya merasakan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul didalam dirinya."Ya Allah aku kenapa," monolog Nabila. Sejak meninggalkan ruangan pria itu tadi, Nabila tak berhenti tersenyum. Bahkan saat dosen menyampaikan materi kuliah, Nabila sama sekali tak mendengarnya.Brakk Tengah asik melamun, Nabila terlonjak kaget saat meja yang ditempati olehnya tiba-tiba digebrak oleh seseorang.Nabila mendongak, ternyata pelakunya adalah Sinta yang sudah berdiri didepannya sambil bersidekap dada bersama dengan antek-anteknya.Nabila meneguk ludahnya susah payah, apa lagi melihat wajah mereka yang sangat menyeramkan. Rasanya Nabila ingin kabur aja saat ini juga. Harusnya tadi Nabila pulang saja saat dosen selesai memberikan mata kuliah tadi, tapi karena terlalu larut akan perasaan anehnya, Nabila sampai lupa pada Sinta dan antek-anteknya yang bisa menggangunya kapan saja."Wuuu apa tuh," salah satu teman Sinta menunjuk
Ting[Masuk Nabila, saya tau kamu sudah ada didepan. Kamu mau saya bukain pintu dan menarik kamu? Dengan senang hati akan saya lakukan.]Nabila berkedip pelan membaca pesan yang baru saja masuk diponselnya itu. Baru saja dirinya membuka ponsel dan mendapati pesan dari pria aneh itu. Nabila menarik nafasnya untuk sesaat lalu membuangnya kasar. Tangannya terangkat mengetuk pintu berwarna cokelat di depannya ini.Tok tok tok"Masuk!"Suara itu langsung terdengar membuat Nabila mendengus dan langsung menarik hendle pintu dan masuk ke dalam ruangan itu."Jauh banget kayaknya ruangan saya ya. Ini sudah hampir tiga puluh menit kamu baru sampai. Padahal saya, hanya membutuhkan waktu satu menit saja untuk sampai disini." Sinis Noah matanya menyorot tajam ke arah Nabila."Saya berjalan,""Saya juga jalan, apa kamu pikir saya terbang sampai ke ruangan saya?"Nabila melengos, menggeram kesal. Berdebat dengan pria didepannya ini tidak akan ada ujungnya, yang ada dirinya akan capek sendiri."Waktu
"Namanya Nabila, gadis cantik yang katanya anak salah satu pemilik pondok pesantren dikota ini."Kening Noah berkerut samar, matanya yang sedang menatapi foto gadis cantik itu langsung teralih ke arah orang yang ada disampingnya."Anak kyai?"Pria itu mengangguk. "Tapi tidak ada yang tau siapa dan dimana letak pondok pasantren tersebut. Kehidupan Nabila juga selalu diprivasi. Nama ayah, nama ibunya, dan saudaranya semua tidak ada yang tahu. Beberapa kali para dosen bertanya juga pada rektor, tapi rektor tetap bungkam dan tidak mau menjawab.""Tapi yang saya tau, beberapa mahasiswi mengatakan jika Nabila ini adalah anak dari seorang kyai pemilik pondok pesantren." Ucap pria itu lagi.Noah terus berpikir keras, merasa penasaran kenapa mesti identitas serta keluarga gadis itu dirahasiakan."Kalau masalah pembullyan itu saya sama sekali tidak tau pak Noah. Saya juga taunya setelah bapak yang mengatakannya."Noah mengangguk. "Sedari dulu, kampus ini anti pembullyan. Bahkan kita beberapa k
Malam itu cuaca sedang tidak bersahabat, hujan mengguyur kota Jakarta. Angin berhembus kencang memenuhi ruangan karena jendela kamar itu dibuka lebar.Sheyza melamun didepan jendela kamar, sambil menatapi air hujan yang berjatuhan.Abyan dan Abyas sudah terlelap sedari tadi. Beruntung kedua bayi kembar itu tidak terlalu rewel, jadi Sheyza bisa menenangkan rasa sesak yang menggerogoti hatinya saat ini.Siapa yang tidak sakit hati melihat foto yang baru saja dikirim oleh nomor orang yang tak dikenal, apa lagi didalam foto itu suaminya hanya duduk berdua dengan seorang perempuan.Pikiran buruk pun terlintas didalam kepala Sheyza, apakah suaminya selingkuh? Tapi kenapa? Bukankah rumah tangga mereka baru saja baik-baik saja.Sheyza menghembuskan nafasnya kasar, melirik jam yang menggantung diatas dinding. Ini sudah pukul setengah sebelas malam, namun suaminya belum pulang.Dia melirik ponselnya yang menganggur. Arzan bahkan sama sekali tidak menghubunginya. Hal itu semakin membuat resah di
"Mas, Shey curiga deh, kayaknya ada sesuatu yang disembuyiin sama Bila." Sheyza menata sang suami yang sedang sibuk mengotak-ngatik ponselnya.Namun, Arzan terlalu fokus dan menghiraukan ucapan sang istri."Mas!"Sheyza mengguncang lengan sang suami, membuat Arzan terkesiap. "Eh a-pa sayang?"Sheyza mengerucutkan ujung bibirnya. "Mas kenapa sihh. Sibuk banget sama ponsel, padahal dari tadi Shey lagi ngomong loh, tapi mas cuekin aja." Gerutu Sheyza.Arzan menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal. "Maaf sayang, mas tadi ngecek laporan dari Ardi," ucap Arzan. "Kamu tadi ngomong apa? Coba ulang lagi, mas beneran gak denger."Sheyza menghela nafasnya kasar, tidak biasanya suaminya seperti ini. Walaupun mengecek laporan, suaminya akan tetap mendengarkan dan tidak pernah mengabaikannya.Tapi Sheyza tetap maklumi, mungkin ini hal yang sangat penting hingga membuat suaminya seperti ini."Tadi Shey bilang, kalau Bila akhir-akhir ini kayak aneh gitu. Bila kayak nyembunyiin sesuatu mas. Shey gak
"Hari ini kamu harus ke kampus, Noah. Oma mau kamu sekarang yang hendle kampus milik kakek kamu," ucap Oma Ina.Noah menghela nafasnya kasar, padahal dirinya malas jika berurusan dengan kampus itu. Dirinya juga punya pekerjaannya sendiri, bukan seorang pengangguran."Jangan menolak, karena cepat atau lambat saat kamu telah menikah nanti kampus itu Oma pindah atas nama kamu. Jadi mulai sekarang belajarlah sampai kamu mendapatkan calon istri." Ucap Oma Ina lagi yang tidak ingin dibantah.Noah mengangguk saja, tanpa berniat mengatakan apapun.Sedangkan Ana yang ada diruangan itu geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan mamanya."Ma, universitas itu haknya kak Rofiq, bukan hak kita ma. Bahkan papa jelas-jelas nulis disurat wasiatnya. Kenapa mama malah mau balik nama atas Noah?" Protes Ana.Oma Ina melotot. "Kamu diam Ana! Tau apa kamu tentang surat wasiat itu?!! Yang kamu baca itu hanya karangan saja, bukan benar-benar yang ditulis oleh papa kamu. Saya tau sendiri bagaimana sifat suam
"Bagaimana bah, kenapa Arzan belum juga hubungi kita? Ini udah hampir jam 2," ummi Zulfa terus gelisah saat tidak mendapatkan kabar sama sekali dari sang putra. Dia sangat takut terjadi sesuatu pada anak gadisnya.Kyai Rofiq menghela nafasnya panjang. Ingin pergi mencari Nabila, tapi takut terjadi sesuatu pada sang istri mengingat ummi Zulfa memiliki riwayat penyakit jantung. "Ummi tenang dulu ya. Mungkin apa yang dibilang Arzan benar, bisa jadi ban mobil mereka bocor jadi mereka cari bengkel dulu."Ummi Zulfa menggeleng, "Kenapa sampai jam segini? Ini udah gak wajar bah. Kalau pun cari bengkel, mungkin jam sembilan saja sudah sampai dipondok. Tapi ini," tiba-tiba ummi Zulfa memegangi jantungnya yang terasa sesak.Kyai Rofiq langsung panik melihat itu. "Ummi tenang dulu. Jangan terlalu banyak pikiran." Kyai Rofiq menuntun sang istri menuju ke sofa yang ada diruangan itu."Duduk dulu. Biar Abah buatkan minuman untuk ummi,"Ummi Zulfa tidak menanggapinya, karena jantungnya benar-benar t
"Kamu tidur aja biar mas yang jagain si kembar," ucap Arzan pada Sheyza. "Mas masih harus kerjain beberapa berkas lagi," Arzan menunjuk ke arah laptop yang ada dipangkuannya.Sheyza menganggukkan kepalanya. "Kalau mereka nangis nanti mas bangunin aku ya," Sheyza benar-benar mengantuk, matanya terasa sangat berat untuk terbuka.Arzan mengelus lembut kepala istrinya dengan sayang. Menyematkan kecupan dikepala sang istri sebelum membenarkan selimut tebal yang membalut tubuh sang istri."Selamat malam, mimpi indah. Terimakasih telah melahirkan dua bayi lucu untuk kita," ucap ArzanSheyza tersenyum, hatinya merasa benar-benar sangat bahagia saat sekarang ini. Dia merasa tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan tentang hubungannya dengan sang suami. Mereka telah bahagia, apa lagi dengan kehadiran Abyan dan Abyas."Yaudah, tidur yang nyenyak. Mas duduk disofa sana, takutnya ganggu kamu dan mereka tidur." Ucap Arzan.Sheyza mengangguk, lalu mulai memejamkan kedua bola matanya yang terasa membe