Laras dan Widi duduk bersebelahan. Setelah melalui pemeriksaan yang sangat ketat, mereka kini menunggu di ruang besuk tahanan. Dengan rantang berisi makanan rumah yang dimasak oleh Widi. Untuk sebagian besar wanita yang mengunjungi suami di dalam tahanan pasti menunjukkan berbagai macam ekspresi. Baik sedih, bahagia, rindu atau bentuk emosi lainnya. Tapi, tidak untuk Widi. Tak ada emosi yang muncul di wajah itu. Datar saja.
“Kamu masak apa untuk suamimu?” tanya Laras yang sudah penasaran akan isi dalam kantong besar dari bahan kain itu.
“Masak seperti yang Mbak Laras sebutin tadi.” Jawaban yang jujur dan apa adanya.
Laras menatap Widi tidak percaya. Kehabisan kata-kata lebih tepat. Memang susah untuk membuat wanita hamil tua ini untuk sedikit membuka hati dan pikirannya tentang rasa cinta.
“Ya … bukan hanya yang aku suruh, ‘kan? Setidaknya, ada tambahan lain. Steak, mungkin.” Laras menatap Widi dengan harapan besar.
“Mbak enggak bilang masak ‘steak’. Mbak hanya bilang masak seperti biasa saja, makanan rumahan. Iya, kan?” Tanpa perasaan bersalah, Widi menjawab dengan enteng. “Telur sambal, sayur kangkung tauco dan gorengan. Aku juga siapin minuman jus jeruk dingin. Ini di dalam termos. Aku sampai bela-belain beli termos khusus minuman dingin, Mbak.” Sambung Widi lagi.
Laras gregetan mendengar itu. Dia tidak percaya kalau Widi benar-benar menyiapkan makanan rumahan saja. Padahal, dia tahu sendiri, kalau Widi lihai dalam memasak makanan ala barat. Dia juga hebat kalau memasak makanan Italia. Dan, itu bukan gaya Jeremi.
“Mungkin, kamu memang tidak paham selera Jeremi, Widi. Tapi, dia tidak mau memakan makanan itu.” Laras bersikeras. Yang dia inginkan adalah hubungan mereka berjalan sebagaimana mestinya, sepasang suami istri. Tidak lebih.
“Oh, ya? Tapi, Mbak, dia makan, kok, kalau aku masak makanan seperti itu. Waktu dia menumpang di rumahku.” Jawaban Widi sangat santai sekali.
“What!? Menumpang? Dia suami kamu, Widi. Bukan orang lain. Kenapa dia menumpang?” Laras menggeleng mendengar kalimat itu.
Widi mengangkat bahu dengan santai. Sementara itu, di ruang tahanan tempat Jeremi dan beberapa orang tahanan lain, pria itu sedang duduk sambil membaca buku dengan sampul berwarna merah. Seorang sipir menghampiri bilik mereka.
“Mas Jeremi, ada kunjungan.”
Jeremi sontak menoleh dan tersenyum. “Baik, Pak. Terima kasih.”
Jeremi berjalan di belakang sipir dengan tangan di borgol. Begitulah prosedurnya. Ketika tiba di pintu, sipir yang bertugas membuka pintu dan mempersilakan Jeremi masuk. Jeremi mengangguk kemudian melangkahkan kaki, tetapi, dia berhenti begitu melihat siapa yang mengunjungi dia. Ada perasaan bergemuruh di dalam dada. Bahagia, senang, sedih dan perasaan lain yang bercampur menjadi satu.
“Dia ...,” lirih Jeremi.
Secepat kilat Jeremi menguasai diri. Menjaga euphoria untuk tidak bersikap berlebihan. Yang dia tahu, saat ini kedatangan sang istri hanya untuk membujuk saja dan mempercepat proses perceraian. Dan, Jeremi tidak akan mengabulkan itu.
“Kalau saja alasanmu mengajukan perceraian karena KDRT, mungkin akan kukabulkan. Tapi, di pengadilan, pengacaramu mengatakan ingin bercerai karena sudah tidak cocok lagi. Memangnya kapan kita berkomunikasi dengan baik?” gumam Jeremi sangat pelan hampir tak terdengar.
Jeremi mengamati kedua wanita itu. Tapi, dia merasa ada yang berbeda dengan Widi. Wajah kurus yang tak berubah, sama seperti terakhir kali bertemu. Widi duduk dengan barang bawaan yang di letakkan di atas meja menutupi bagian dada dan hanya menampakkan wajah saja.
Sama halnya dengan Jeremi, kedua wanita itu pun menatap Jeremi. Laras mentap dengan ramah sedangkan Widi acuh tak acuh. Jeremi melangkah dan mendekati meja di mana kedua wanita itu duduk dan menunggu.
“Hai, Jeri,” sapa Laras seraya berdiri dan melambaikan tangan.
“Hai, Laras. Apa kabar?” balas Jeremi dengan senyum. “Halo, Sayang. Tidak menyapa suamimu ini?” Jeremi duduk di depan Widi dengan di batasi meja. Dia tersenyum.
“Baik,” jawab Laras ramah.
Sedangkan Widi hanya bersikap biasa saja. Terlalu datar. Meskipun dia sempat terkejut melihat perubahan Jeremi secara fisik. Tapi, dia menetralkan rasa kaget itu dengan cepat sebelum mereka menyadari.
Widi mengamati perubahan bentuk badan Jeremi. Tubuh kekar penuh otot yang digilai perempuan di luar sana berganti menjadi lemak dan daging yang menimbun di tubuh. Perut yang semula berisi otot perut dan membentuk enam kotak berubah menjadi ‘gunung’. Belum lagi wajah yang semula tempat rahang yang terpahat indah bersemayam kini berganti dengan pipi gembul dan dihiasi brewok dan kumis memenuhi bagian bawah wajah Jeremi. Belum lagi rambut yang terbiasa rapi dengan minyak rambut mahal yang diproduksi di luar negeri, kini berubah menjadi rambut gonrong sudah mirip preman pasar saja.
“Kenapa istriku ini tidak bicara?” tanya Jeremi yang juga mengamati Widi. Ada yang berbeda, ucap Jeremi dalam hati.
“Widi mau memberitahukan sesuatu, Jer.” Justru Larasa yang bersemangat.
“Apa?” tanya Jeremi dan kembali menatap Widi, tentu saja masih sambil mengamati.
Karena tertutup tas kain berisi makanan dan hanya menampakkan wajah saja, Jeremi masih fokus ke wajah Widi saja. Widi tidak seperti wanita hamil pada umumnya, yang hamil dan berat badan pun bertambah. Dia tetap langsing, tapi, dia dan sang bayi sangat sehat. Begitu pun dengan si bayi yang berada di dalam perut, bayi Jeremi dan Widi tergolong dalam bayi gemuk. Meski Widi makan melebihi porsi biasa.
“Kamu mau membicarakan soal apa?” tanya Jeremi dengan senyum menghias.
Jujur saja, jantung pun berdetak kencang. Dia takut kalau Widi memaksa untuk bercerai. Apa lagi kalau sampai Widi memohon dengan air mata yang deras. Pasti, saat itu juga, dia akan kabulkan kemauan istrinya itu.
Widi menatap Laras dan dibalas dengan anggukan oleh dokter wanita itu. Sebuah dukungan kekuatan dia transfer melalui tatapan mata berwarna cokelat milik Laras. Widi menarik napas dan kembali menatap Jeremi dengan sorot mata yang sangat datar.
“Aku hamil,” kata Widi tanpa masih tanpa ekspresi.
“Hah?!” Jeremi tidak percaya apa yang dia dengar. “Hamil?” tanya Jeremi mengulang apa yang dia dengar.
“Iya,” jawab Tika sangat tenang dan santai.
Tapi, Jeremi sudah terdiam dan membeku di tempat duduk. Meneguk ludah yang hanya sedikit dengan kasar sambil mencengkeram kepalanya kuat. Marah? Tentu saja. Sudah lebih dari enam bulan dia berada di dalam tahanan dengan segala macam pikiran tentang sang istri. Ada di mana, bersama siapa, sudah makan atau belum dan lain sebagainya.
“Sama siapa?” tanya Jeremi yang masih menunduk.
“Apa?” tanya Widi lagi. “Sama siapa?!” Pertanyaan Jeremi justru membuat Widi bingung.
“Iya. Siapa bapak dari anak itu? Kamu ke sini hanya untuk memaksaku, ‘kan?” Jeremi berusaha menahan amarah. “Selama si keparat itu bukan Almero, baik. Silakan bersama si berengsek itu! Siapa pun itu orangnya!” Jeremi mengatakan itu dengan geram.
Laras dan Widi saling memandang dan sama-sama bingung. Tapi, sejurus kemudian, Laras menyadari letak kesalahan. Dia menyikut lengan Widi. Dan memberi kode melalui sorot mata dan gerak-gerik wajah. Widi bukan tidak mengerti masuk dari kode itu. Hanya saja dia cukup malas untuk menjelaskan dengan terperinci.
Widi diam sesaat dan mulai mempertimbangkan langkah yang akan dia ambil. Dia menatap Jeremi yang semakin frustrasi dan mengacak-acak rambut dengan emosi tertahan.
“Ck!” Widi berdecak kesal menatap pria yang terlihat bodoh itu.
“Siapa bapak bayi itu?” tanya Jeremi menahan marah. Dia mengangkat kepala yang tadi menunduk, mata pun terlihat sangat marah.
“Menurut kamu siapa?” Dengan berani Widi menantang Jeremi.
“Widi ….” Laras menimpali. Tidak habis pikir dengan adik angkatnya ini.
“Sayang, jangan bercanda!” Jeremi memotong ucapan Laras.
“Bodoh.” Dengan nada sedikit memaki, Widi mengumpat Jeremi.
“Apa?” Serentak Laras dan Jeremi merespon.
Tanpa basa-basi dan tanpa sibuk memikirkan bagaimana cara mengatakan, Widi langsung saja berdiri. Suara kursi yang bergeser karena didorong secara tiba-tiba menimbulkan suara gesekan yang membuat semua mata mengalihkan tatapan mereka pada ketiga orang itu.
Laras terperangah dengan aksi Widi barusan. Dan Jeremi, dia tersentak kaget dengan mulut terbuka. Di depan mata. Tepat di hadapannya, wanita yang menuntut cerai itu datang dengan membawa perut yang besar.
“A-apa itu?” tanya Jeremi. Lebih tepatnya dia kehabisan kata-kata.
Author Note:
Emosi, gak? Emosi, gak? Emosi, dong … masa enggaakkk…
Hi, Semua … Alen D. di sini. Apa kabar kalian? Pasti baik, ‘kan? Tunggu kelanjutannya, ya … Love you.
“A-apa itu?” tanya Jeremi.Lebih tepatnya dia kehabisan kata-kata melihat wanita yang sudah bergelar Ny. Jeremi William Dirgantoro dengan perut yang membesar. Bergeming di tempat dia duduk dan hanya memandangi perut besar itu kemudian berganti menatap wajah Widi. Begitu seterusnya untuk waktu yang cukup lama.“Sudah? Capai juga berdiri lama begini,” keluh Widi.Mata Jeremi mengikuti gerakan sang istri. Tak ada kata yang diucapkan, hanya diam membisu sekaligus segala pertanyaan muncul di kepala. Lagi, Jeremi menatap bergantian, perut dan kemudian wajah Widi. Sedangkan Widi, dia memandangi kebodohan yang tergambar dimuka Jeremi.“Nah.” Widi menyodorkan makanan yang sudah dia siapkan untuk Jeremi. “Biasanya suka itu, kan?”Tak ada respon dari Jeremi. Rasa terkejut luar biasa masih melekat padanya. Masih belum mengerti sedikit pun tentang keadaan saat ini. Padahal, sudah sejak duduk
Perempuan itu berdiri di depan rumah tahanan yang berada di timur kota megapolitan. Tubuh yang sedang berbadan dua itu tidak sanggup harus berdiri terlalu lama. “Bu, duduk saja dulu.” Suara lembut seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan, membuat dia menoleh dan kemudian tersenyum. “Terima kasih, Bu,” ucap perempuan itu. Dia duduk di kursi yang disodorkan. Setelah itu, mata menatap isi warung kecil milik wanita paruh baya. “Ibu menjual es teh?” tanya perempuan itu. “Ada, Bu.” “Saya pesan satu, Bu.” “Tunggu sebentar, ya.” Sambil menunggu pesanan, perempuan itu kembali menatap ke pintu gerbang rutan yang tertutup rapat. Beberapa kali dibuka karena pengunjung keluar masuk untuk membesuk keluarga mereka. Perempuan itu menarik napas kemudian mengeluarkan dengan berat. Tubuh yang duduk tegak serta matahari yang lumayan menyengat, padahal waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, waktu bagian barat. “Kenapa tid
Widiatika Pangestu menatap Laras dengan ragu. Kebingungan terpancar di air muka, bingung untuk memulai dari mana cerita itu. Cerita tentang memori yang sempat hilang.“Aku bingung untuk memulai dari mana, Mbak.”“Ceritakan yang kamu ingat saja.”“Jeremi … hm … kenapa melakukan kejahatan padaku? Di usiaku yang masih 12 tahun?”Akhirnya, keraguan itu pun menguar. Rasa malu yang awal menyelimuti perlahan ditepis. Hubungan yang kuat di antara mereka tidak semata-mata membuat dia bebas untuk menceritakan semua permasalahan.Laras meraih tangan Widi dan menggenggam tangan dengan penuh kelembutan. Dia tersenyum dan menatap sang adik angkat seraya mengatakan melalui sorot mata, kalau semua akan baik-baik saja.“Jangan paksa jika mentalmu memang tidak siap. Ceritakan semampu saja.”“Yang aku tahu, hubungan kita bertiga itu sebatas kakak dan adik sja. Kalian sudah menganggapku
Benar. Pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Widiatika melemah mendengar nama agung itu disebut. Satu-satunya hal yang membuat dia takut di dunia ini adalah Tuhan. Tak pernah khawatir tentang masa depan hanya karena dia sebatang kara, semua itu semata karena Tuhan saja. “Ke-kenapa membawa nama Tuhan?” tanya Widi mulai gundah. Kena, batin Laras tersenyum. “Iya. Tuhan!” Merasa menemukan kelemahan dari Widi, Laras sedikit memberikan tekanan dan mencoba memengaruhi dia. “Secara hukum kalian bisa saja bercerai. Tapi, secara agama apa bisa? Gereja tidak pernah mengizinkan perceraian.” “Mbak ….” Widi menatap Laras dengan sorot mata gundah dan cemas. “Jangan bilang kalau kamu tidak tahu.” Laras semakin melancarkan aksi, berusaha memengaruhi perasaan Widi. “A-aku tahu,” jawab Widi pelan. “Tapi ….” Widi berhenti dan hanya menggantung kalimat di tenggorokan. “Sudah tahu, tapi bersikeras juga?” Laras masih mengamati Widi. Sampai pa
“A-apa itu?” tanya Jeremi.Lebih tepatnya dia kehabisan kata-kata melihat wanita yang sudah bergelar Ny. Jeremi William Dirgantoro dengan perut yang membesar. Bergeming di tempat dia duduk dan hanya memandangi perut besar itu kemudian berganti menatap wajah Widi. Begitu seterusnya untuk waktu yang cukup lama.“Sudah? Capai juga berdiri lama begini,” keluh Widi.Mata Jeremi mengikuti gerakan sang istri. Tak ada kata yang diucapkan, hanya diam membisu sekaligus segala pertanyaan muncul di kepala. Lagi, Jeremi menatap bergantian, perut dan kemudian wajah Widi. Sedangkan Widi, dia memandangi kebodohan yang tergambar dimuka Jeremi.“Nah.” Widi menyodorkan makanan yang sudah dia siapkan untuk Jeremi. “Biasanya suka itu, kan?”Tak ada respon dari Jeremi. Rasa terkejut luar biasa masih melekat padanya. Masih belum mengerti sedikit pun tentang keadaan saat ini. Padahal, sudah sejak duduk
Laras dan Widi duduk bersebelahan. Setelah melalui pemeriksaan yang sangat ketat, mereka kini menunggu di ruang besuk tahanan. Dengan rantang berisi makanan rumah yang dimasak oleh Widi. Untuk sebagian besar wanita yang mengunjungi suami di dalam tahanan pasti menunjukkan berbagai macam ekspresi. Baik sedih, bahagia, rindu atau bentuk emosi lainnya. Tapi, tidak untuk Widi. Tak ada emosi yang muncul di wajah itu. Datar saja.“Kamu masak apa untuk suamimu?” tanya Laras yang sudah penasaran akan isi dalam kantong besar dari bahan kain itu.“Masak seperti yang Mbak Laras sebutin tadi.” Jawaban yang jujur dan apa adanya.Laras menatap Widi tidak percaya. Kehabisan kata-kata lebih tepat. Memang susah untuk membuat wanita hamil tua ini untuk sedikit membuka hati dan pikirannya tentang rasa cinta.“Ya … bukan hanya yang aku suruh, ‘kan? Setidaknya, ada tambahan lain. Steak, mungkin.” Laras menatap Widi dengan harap
Benar. Pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Widiatika melemah mendengar nama agung itu disebut. Satu-satunya hal yang membuat dia takut di dunia ini adalah Tuhan. Tak pernah khawatir tentang masa depan hanya karena dia sebatang kara, semua itu semata karena Tuhan saja. “Ke-kenapa membawa nama Tuhan?” tanya Widi mulai gundah. Kena, batin Laras tersenyum. “Iya. Tuhan!” Merasa menemukan kelemahan dari Widi, Laras sedikit memberikan tekanan dan mencoba memengaruhi dia. “Secara hukum kalian bisa saja bercerai. Tapi, secara agama apa bisa? Gereja tidak pernah mengizinkan perceraian.” “Mbak ….” Widi menatap Laras dengan sorot mata gundah dan cemas. “Jangan bilang kalau kamu tidak tahu.” Laras semakin melancarkan aksi, berusaha memengaruhi perasaan Widi. “A-aku tahu,” jawab Widi pelan. “Tapi ….” Widi berhenti dan hanya menggantung kalimat di tenggorokan. “Sudah tahu, tapi bersikeras juga?” Laras masih mengamati Widi. Sampai pa
Widiatika Pangestu menatap Laras dengan ragu. Kebingungan terpancar di air muka, bingung untuk memulai dari mana cerita itu. Cerita tentang memori yang sempat hilang.“Aku bingung untuk memulai dari mana, Mbak.”“Ceritakan yang kamu ingat saja.”“Jeremi … hm … kenapa melakukan kejahatan padaku? Di usiaku yang masih 12 tahun?”Akhirnya, keraguan itu pun menguar. Rasa malu yang awal menyelimuti perlahan ditepis. Hubungan yang kuat di antara mereka tidak semata-mata membuat dia bebas untuk menceritakan semua permasalahan.Laras meraih tangan Widi dan menggenggam tangan dengan penuh kelembutan. Dia tersenyum dan menatap sang adik angkat seraya mengatakan melalui sorot mata, kalau semua akan baik-baik saja.“Jangan paksa jika mentalmu memang tidak siap. Ceritakan semampu saja.”“Yang aku tahu, hubungan kita bertiga itu sebatas kakak dan adik sja. Kalian sudah menganggapku
Perempuan itu berdiri di depan rumah tahanan yang berada di timur kota megapolitan. Tubuh yang sedang berbadan dua itu tidak sanggup harus berdiri terlalu lama. “Bu, duduk saja dulu.” Suara lembut seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan, membuat dia menoleh dan kemudian tersenyum. “Terima kasih, Bu,” ucap perempuan itu. Dia duduk di kursi yang disodorkan. Setelah itu, mata menatap isi warung kecil milik wanita paruh baya. “Ibu menjual es teh?” tanya perempuan itu. “Ada, Bu.” “Saya pesan satu, Bu.” “Tunggu sebentar, ya.” Sambil menunggu pesanan, perempuan itu kembali menatap ke pintu gerbang rutan yang tertutup rapat. Beberapa kali dibuka karena pengunjung keluar masuk untuk membesuk keluarga mereka. Perempuan itu menarik napas kemudian mengeluarkan dengan berat. Tubuh yang duduk tegak serta matahari yang lumayan menyengat, padahal waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, waktu bagian barat. “Kenapa tid