Lebih tepatnya dia kehabisan kata-kata melihat wanita yang sudah bergelar Ny. Jeremi William Dirgantoro dengan perut yang membesar. Bergeming di tempat dia duduk dan hanya memandangi perut besar itu kemudian berganti menatap wajah Widi. Begitu seterusnya untuk waktu yang cukup lama.
“Sudah? Capai juga berdiri lama begini,” keluh Widi.
Mata Jeremi mengikuti gerakan sang istri. Tak ada kata yang diucapkan, hanya diam membisu sekaligus segala pertanyaan muncul di kepala. Lagi, Jeremi menatap bergantian, perut dan kemudian wajah Widi. Sedangkan Widi, dia memandangi kebodohan yang tergambar dimuka Jeremi.
“Nah.” Widi menyodorkan makanan yang sudah dia siapkan untuk Jeremi. “Biasanya suka itu, kan?”
Tak ada respon dari Jeremi. Rasa terkejut luar biasa masih melekat padanya. Masih belum mengerti sedikit pun tentang keadaan saat ini. Padahal, sudah sejak duduk tadi dia mencium aroma sedap dari bingkisan yang di bawa oleh Widi dan Laras. Karena aroma itu pula dia tidak bisa fokus pada kondisi fisik Widi. Yang diperhatikan hanya wajah saja.
“Hei ….” Widi berusaha membuyarkan fokus Jeremi.
“Wiwi, bersikap yang sopan sama suami kamu,” potong Laras dengan nada memerintah.
“Wiwi?” Jeremi tersadar mendengar nama itu disebut. “Tunggu! Kamu panggil dia Wiwi?” tanya Jeremi mengulang yang baru saja dia dengar.
Laras menarik napas dan menghembuskan napas seraya mengangguk. “Iya, benar. Wiwi.” Laras memperjelas.
Kembali Jeremi mengalihkan pandangan pada Widi dengan mata penuh tanda tanya. Widi balas menatap dan mengedikkan bahu, tidak lupa dengan wajah datar. Ada rasa kesal tertahan dalam benak Jeremi.
“Makan saja itu. Aku sudah meluangkan waktu berdiri di dapur. Lumayan memakan waktu menyiapkan makanan ini apa lagi dalam keadaan hamil begini. Jadi, makan saja dan jangan banyak tanya,” kata Widi mirip memerintah.
“Kamu tahu apa arti dari nama itu?” tanya Jeremi pada Widi. “Wiwi?” Wajah Jeremi kini condong dan menatap Widi dengan sorot mata tajam.
Bukan jawaban yang diberikan Widi. Tak ada niat sedikit pun untuk dia memberikan jawaban ya atau tidak. Kemudian melirik sekilas ke Jeremi. Terlihat pria itu menatap tidak percaya istrinya itu. Widi kembali mengalihkan perhatian dan menatap tak tentu arah.
“Widiatika Pangestu!” Dengan tegas Jeremi memanggil nama itu.
“Iya …,” jawab Widi malas.
“Iya apa?” Entah karena alasan apa, Jeremi terlihat kesal. Perasaannya benar-benar campur aduk.
“Iya, aku tahu. Kalau lagi bertiga seperti ini, Wiwi adalah nama panggilanku.” Suara Widi hampir tak terdengar.
Jeremi terkesiap. Jantung kembali bergemuruh, darah mengalir sangat deras. Ingin sekali dia berteriak sekencang-kencangnya. Namun, tempat mereka saat ini tidak mendukung, dia harus menjaga ketenangan jika tidak mau menambah masalah.
Tentu saja Jeremi bahagia mendengar berita itu. Artinya sudah jelas kalau ingatan Widi sudah kembali. Dan masa lalu mereka ….
“Kamu ingat semua?” tanya Jeremi ragu-ragu.
“Entahlah. Mungkin semua atau hanya sebagian,” kata Widi pelan namun masih dengan berpikir. “Hanya saja, aku tidak mengerti nama panggilanku berubah jadi Tika. Aku tidak tahu sejak kapan aku bersedia dipanggil seperti itu.” Tika setengah melamun.
“Apa kamu tidak berusaha mengingatnya?” tanya Jeremi lagi.
“Apa harus?” tanya Widi balik bertanya. “Jujur saja aku ragu. Apakah harus mencoba untuk mengembalikan ingatan masa lalu itu atau membiarkan saja.”
Mereka terdiam kembali. Hingga tiba-tiba saja Jeremi kembali tersadar tentang perut Widi. Dia menatap kembali perut berisi calon anak manusia itu.
“Lalu, anak itu? Anak siapa?” tanya Jeremi lagi, masih saja rasa penasaran menempel di kepalanya.
Widi menatap Jeremi tidak percaya. Memandang dengan tatapan mencemooh dan sorot mata mengejek. Bukan hanya mata saja yang memandang dengan ejekan, bibir pun ikut mencibir. Jeremi menggeram melihat reaksi Widi yang terkesan sangat angkuh.
Dasar aneh kalian berdua!” batin Laras menggerutu.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Jeremi yang masih kesal. “Jangan bersikap angkuh.”
“Terserah aku, dong.” Masih saja Widi bersikap seenaknya.
Apa-apaan ini? Di sini yang angkuh itu seharusnya aku, Jeremi William Dirgantoro!” kesal Jeremi dalama hati.
“Dengar, ya, Bapak Jeremi William Dirgantoro Yang Terhormat. Anak ini.” Tunjuk Widi tepat di atas perut. “Sebentar lagi akan lahir.” Masih saja Widi tidak mengatakan dengan jujur.
“Yang aku tanyakan, siapa bapak dari bayi itu, Sayang. Bukan mengajak kamu bermain tebak-tebakan. Apa susah sekali mengatakan satu nama?” tanya Jeremi yang menahan emosi.
“Bodoh.” Bukan mengatakan dengan jelas, Widi justru mengumpat Jeremi. “Masih belum paham juga? Bukannya kamu itu pintar, ya? Bukannya kamu jago masalah perhitungan?”
Ingin sekali Widi mengatakan kalau anak itu adalah anak dari Jeremi. Tapi, gengsi dan egois belum juga hilang. Belum lagi rasa malu untuk mengakui anak ini adalah darah daging Jeremi, si pria kaya dan angkuh itu.
“Kamu tahu, tidak? Kalau mengatai suami itu perbuatan tidak baik dan tak terpuji. Tahu, tidak?” tanya Jeremi berusaha menyudutkan Widi.
Widi hanya melirik kesal. “Memang Abang itu bodoh, ‘kan?” protes Widi pelan sambil memainkan jari-jari.
Jeremi bergeming. Entah sudah berapa kali Jeremi merespon dengan diam dan tak berkutik. “A-abang?” Ulang Jeremi yang tak percaya pada apa yang baru saja dia dengar.
“Hm.”Widi mengangguk.
“Astaga … kalian terlalu mendramatisir keadaan,” kata Laras yang sudah tidak tahan melihat interaksi kedua orang ini. “Dari tadi aku hanya diam saja menonton drama yang tak ada bagusnya ini. Kalian berdua sudah seperti pemain sinetron saja. Tidak jelas mau apa.” Laras dengan kesal memrotes pasangan suami istri itu. “Widi, apa susahnya kamu kasih tahu siapa bapak si bayi. Dan kamu, Jeremi. Kenapa jadi laki-laki amat sangat lemot?”
Jeremi dan Widi serentak menatap Laras. Memang kedua orang itu terlalu mendramatisir keadaan. Mau tidak mau, sepasang suami istri itu menyadari reaksi mereka yang berlebihan. Padahal, bicara perlahan dan dengan hati yang dingin tentu bisa menjelaskan semua.
Jeremi dan Widi menarik napas dan kemudian mengembuskan dengan tenang. Saling menatap dan dengan serentak mengangguk. Keduanya duduk dengan tenang dan bersandar di kursi yang terbuat dari kayu. Jeremi memperhatikan Widi yang terlihat kesulitan dan gelisah. Jeremi tahu, dia seperti itu bukan karena keberadaan mereka sekarang. Tapi, kondisi Widi yang tengah hamil besarlah yang membuat dia seperti sekarang ini.
“Kamu ….” Jeremi dan Widi serentak memulai percakapan. Namun, mereka kembali terdiam.
“Silakan saja,” kata Widi memberikan izin untuk memulai.
“Kamu di mana selama ini?” tanya Jeremi yang ingin membuang rasa penasaran selama ini.
“Di Bogor.” Singkat, jelas dan padat jawaban dari Widi.
Jeremi menarik napas lagi, entah sudah untuk yang ke-berapa kali dia melakukan itu. “Kamu tadi mau mengatkan apa?” tanya Jeremi menyerah dan memilih untuk mengalah.
“Ini anak kamu. Jadi, kamu itu sudah jadi bapak,” kata Widi terlalu santai, seperti bukan memberikan kabar bahagia.
Jeremi terperangah mendengar kabar itu. Dia menatap Widi tidak percaya. “A-anak? Jadi, itu anakku?” tanyanya tidak percaya.
“Iya. Masa anak Almero? Dari mana jalan ceritanya?” Jawab Widi kesal.
Jeremi kembali bergeming. Kali ini dengan perasaan bahagia, haru bercampur menjadi satu. Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Penyesalan yang pernah muncul karena melakukan tindakan buruk pada Widi setiap melakukan hubungan intim berganti sudah. Berganti menjadi rasa syukur dan terima kasih pada kesalahan masa lalu. Setelah membisu dan mencerna keadaan dengan baik, pria itu sponta berdiri dan berteriak seperti orang gila.
“Hebat ….” Jeremi melakukan gerakan-gerakan abstrak. Dia meninju-ninju udara padahal tangannya masih diborgol. “Auch.” Rintih Jeremi ketika borgol itu menyakiti pergelangan tangan.
“Rasain, tuh. Enak banget, tuh. Perih,” ejek Widi spontan.
“Astaga, Widi.” Laras menepuk jidat.
“Tidak apa-apa, La. Yang penting aku bahagia sekarang.” Jeremi membela Widi. “Kamu sudah makan?” tanya Jeremi pada Widi.
“Pakai tanya aku lagi. Ya, enggak mungkin kalau aku belum makan. Aku lagi hamil dan butuh gizi yang sempurna untuk anakku.” Lagi, Widi menjawab dengan jujur dan dengan gaya seenaknya.
“Bagaimana dengan pola makanmu? Kamu tidak kekurangan apa pun, ‘kan?” Jeremi bertanya seperti itu murni karena benar-benar khawatir akan kesehatan dua manusia yang berada dalam satu tubuh.
Widi memicingkan mata menatap Jeremi. Menatap sinis sang suami yang benar-benar sangat berbahagia itu dan katanya, “Pertanyaan apa itu? Dengar, ya, Bapak Jeremi. Aku penulis novel digital dan punya nama, Author Wid dan Unknown T. Penghasilanku dari menulis bukan isapan jempol. Jika digabungkan, penghasilanku itu bisa membeli satu rumah minimalis. Belum lagi penghasilan dari hak paten dari nama pena Unknown T. Jaddi, jangan samakan aku dengan perempuan kebanyakan di luar sana yang takut kalau besok tidak makan. Aku adalah bagian dari perempuan mandiri yang siap memeras otak demi menghasilkan rupiah atau pun dollar hanya dari menyusun kata per kata.”
Widi tidak peduli dianggap sombong oleh orang lain. Pada kenyataan, dia memang menghasilkan uang dari menulis dan Jeremi juga menyadari itu. Jeremi mengangguk dan merasa lega.
“Benar. You are a money maker. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata Jeremi menyetujui. “Dan ….”
“Sudah makan saja. Aku capai masak itu semua. Butuh waktu satu jam lebih,” potong Widi cepat.
“Baiklah, Sayang. Apa, sih, yang enggak untuk kamu, Istriku,” balas Jeremi dengan senyum jahil.
“Dih.” Widi benar-benar merasa jijik dengan tingkah Jeremi sekarang. Mirip seperti laki-laki bucin amatir.
Perempuan itu berdiri di depan rumah tahanan yang berada di timur kota megapolitan. Tubuh yang sedang berbadan dua itu tidak sanggup harus berdiri terlalu lama. “Bu, duduk saja dulu.” Suara lembut seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan, membuat dia menoleh dan kemudian tersenyum. “Terima kasih, Bu,” ucap perempuan itu. Dia duduk di kursi yang disodorkan. Setelah itu, mata menatap isi warung kecil milik wanita paruh baya. “Ibu menjual es teh?” tanya perempuan itu. “Ada, Bu.” “Saya pesan satu, Bu.” “Tunggu sebentar, ya.” Sambil menunggu pesanan, perempuan itu kembali menatap ke pintu gerbang rutan yang tertutup rapat. Beberapa kali dibuka karena pengunjung keluar masuk untuk membesuk keluarga mereka. Perempuan itu menarik napas kemudian mengeluarkan dengan berat. Tubuh yang duduk tegak serta matahari yang lumayan menyengat, padahal waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, waktu bagian barat. “Kenapa tid
Widiatika Pangestu menatap Laras dengan ragu. Kebingungan terpancar di air muka, bingung untuk memulai dari mana cerita itu. Cerita tentang memori yang sempat hilang.“Aku bingung untuk memulai dari mana, Mbak.”“Ceritakan yang kamu ingat saja.”“Jeremi … hm … kenapa melakukan kejahatan padaku? Di usiaku yang masih 12 tahun?”Akhirnya, keraguan itu pun menguar. Rasa malu yang awal menyelimuti perlahan ditepis. Hubungan yang kuat di antara mereka tidak semata-mata membuat dia bebas untuk menceritakan semua permasalahan.Laras meraih tangan Widi dan menggenggam tangan dengan penuh kelembutan. Dia tersenyum dan menatap sang adik angkat seraya mengatakan melalui sorot mata, kalau semua akan baik-baik saja.“Jangan paksa jika mentalmu memang tidak siap. Ceritakan semampu saja.”“Yang aku tahu, hubungan kita bertiga itu sebatas kakak dan adik sja. Kalian sudah menganggapku
Benar. Pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Widiatika melemah mendengar nama agung itu disebut. Satu-satunya hal yang membuat dia takut di dunia ini adalah Tuhan. Tak pernah khawatir tentang masa depan hanya karena dia sebatang kara, semua itu semata karena Tuhan saja. “Ke-kenapa membawa nama Tuhan?” tanya Widi mulai gundah. Kena, batin Laras tersenyum. “Iya. Tuhan!” Merasa menemukan kelemahan dari Widi, Laras sedikit memberikan tekanan dan mencoba memengaruhi dia. “Secara hukum kalian bisa saja bercerai. Tapi, secara agama apa bisa? Gereja tidak pernah mengizinkan perceraian.” “Mbak ….” Widi menatap Laras dengan sorot mata gundah dan cemas. “Jangan bilang kalau kamu tidak tahu.” Laras semakin melancarkan aksi, berusaha memengaruhi perasaan Widi. “A-aku tahu,” jawab Widi pelan. “Tapi ….” Widi berhenti dan hanya menggantung kalimat di tenggorokan. “Sudah tahu, tapi bersikeras juga?” Laras masih mengamati Widi. Sampai pa
Laras dan Widi duduk bersebelahan. Setelah melalui pemeriksaan yang sangat ketat, mereka kini menunggu di ruang besuk tahanan. Dengan rantang berisi makanan rumah yang dimasak oleh Widi. Untuk sebagian besar wanita yang mengunjungi suami di dalam tahanan pasti menunjukkan berbagai macam ekspresi. Baik sedih, bahagia, rindu atau bentuk emosi lainnya. Tapi, tidak untuk Widi. Tak ada emosi yang muncul di wajah itu. Datar saja.“Kamu masak apa untuk suamimu?” tanya Laras yang sudah penasaran akan isi dalam kantong besar dari bahan kain itu.“Masak seperti yang Mbak Laras sebutin tadi.” Jawaban yang jujur dan apa adanya.Laras menatap Widi tidak percaya. Kehabisan kata-kata lebih tepat. Memang susah untuk membuat wanita hamil tua ini untuk sedikit membuka hati dan pikirannya tentang rasa cinta.“Ya … bukan hanya yang aku suruh, ‘kan? Setidaknya, ada tambahan lain. Steak, mungkin.” Laras menatap Widi dengan harap
“A-apa itu?” tanya Jeremi.Lebih tepatnya dia kehabisan kata-kata melihat wanita yang sudah bergelar Ny. Jeremi William Dirgantoro dengan perut yang membesar. Bergeming di tempat dia duduk dan hanya memandangi perut besar itu kemudian berganti menatap wajah Widi. Begitu seterusnya untuk waktu yang cukup lama.“Sudah? Capai juga berdiri lama begini,” keluh Widi.Mata Jeremi mengikuti gerakan sang istri. Tak ada kata yang diucapkan, hanya diam membisu sekaligus segala pertanyaan muncul di kepala. Lagi, Jeremi menatap bergantian, perut dan kemudian wajah Widi. Sedangkan Widi, dia memandangi kebodohan yang tergambar dimuka Jeremi.“Nah.” Widi menyodorkan makanan yang sudah dia siapkan untuk Jeremi. “Biasanya suka itu, kan?”Tak ada respon dari Jeremi. Rasa terkejut luar biasa masih melekat padanya. Masih belum mengerti sedikit pun tentang keadaan saat ini. Padahal, sudah sejak duduk
Laras dan Widi duduk bersebelahan. Setelah melalui pemeriksaan yang sangat ketat, mereka kini menunggu di ruang besuk tahanan. Dengan rantang berisi makanan rumah yang dimasak oleh Widi. Untuk sebagian besar wanita yang mengunjungi suami di dalam tahanan pasti menunjukkan berbagai macam ekspresi. Baik sedih, bahagia, rindu atau bentuk emosi lainnya. Tapi, tidak untuk Widi. Tak ada emosi yang muncul di wajah itu. Datar saja.“Kamu masak apa untuk suamimu?” tanya Laras yang sudah penasaran akan isi dalam kantong besar dari bahan kain itu.“Masak seperti yang Mbak Laras sebutin tadi.” Jawaban yang jujur dan apa adanya.Laras menatap Widi tidak percaya. Kehabisan kata-kata lebih tepat. Memang susah untuk membuat wanita hamil tua ini untuk sedikit membuka hati dan pikirannya tentang rasa cinta.“Ya … bukan hanya yang aku suruh, ‘kan? Setidaknya, ada tambahan lain. Steak, mungkin.” Laras menatap Widi dengan harap
Benar. Pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Widiatika melemah mendengar nama agung itu disebut. Satu-satunya hal yang membuat dia takut di dunia ini adalah Tuhan. Tak pernah khawatir tentang masa depan hanya karena dia sebatang kara, semua itu semata karena Tuhan saja. “Ke-kenapa membawa nama Tuhan?” tanya Widi mulai gundah. Kena, batin Laras tersenyum. “Iya. Tuhan!” Merasa menemukan kelemahan dari Widi, Laras sedikit memberikan tekanan dan mencoba memengaruhi dia. “Secara hukum kalian bisa saja bercerai. Tapi, secara agama apa bisa? Gereja tidak pernah mengizinkan perceraian.” “Mbak ….” Widi menatap Laras dengan sorot mata gundah dan cemas. “Jangan bilang kalau kamu tidak tahu.” Laras semakin melancarkan aksi, berusaha memengaruhi perasaan Widi. “A-aku tahu,” jawab Widi pelan. “Tapi ….” Widi berhenti dan hanya menggantung kalimat di tenggorokan. “Sudah tahu, tapi bersikeras juga?” Laras masih mengamati Widi. Sampai pa
Widiatika Pangestu menatap Laras dengan ragu. Kebingungan terpancar di air muka, bingung untuk memulai dari mana cerita itu. Cerita tentang memori yang sempat hilang.“Aku bingung untuk memulai dari mana, Mbak.”“Ceritakan yang kamu ingat saja.”“Jeremi … hm … kenapa melakukan kejahatan padaku? Di usiaku yang masih 12 tahun?”Akhirnya, keraguan itu pun menguar. Rasa malu yang awal menyelimuti perlahan ditepis. Hubungan yang kuat di antara mereka tidak semata-mata membuat dia bebas untuk menceritakan semua permasalahan.Laras meraih tangan Widi dan menggenggam tangan dengan penuh kelembutan. Dia tersenyum dan menatap sang adik angkat seraya mengatakan melalui sorot mata, kalau semua akan baik-baik saja.“Jangan paksa jika mentalmu memang tidak siap. Ceritakan semampu saja.”“Yang aku tahu, hubungan kita bertiga itu sebatas kakak dan adik sja. Kalian sudah menganggapku
Perempuan itu berdiri di depan rumah tahanan yang berada di timur kota megapolitan. Tubuh yang sedang berbadan dua itu tidak sanggup harus berdiri terlalu lama. “Bu, duduk saja dulu.” Suara lembut seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan, membuat dia menoleh dan kemudian tersenyum. “Terima kasih, Bu,” ucap perempuan itu. Dia duduk di kursi yang disodorkan. Setelah itu, mata menatap isi warung kecil milik wanita paruh baya. “Ibu menjual es teh?” tanya perempuan itu. “Ada, Bu.” “Saya pesan satu, Bu.” “Tunggu sebentar, ya.” Sambil menunggu pesanan, perempuan itu kembali menatap ke pintu gerbang rutan yang tertutup rapat. Beberapa kali dibuka karena pengunjung keluar masuk untuk membesuk keluarga mereka. Perempuan itu menarik napas kemudian mengeluarkan dengan berat. Tubuh yang duduk tegak serta matahari yang lumayan menyengat, padahal waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, waktu bagian barat. “Kenapa tid