Perempuan itu berdiri di depan rumah tahanan yang berada di timur kota megapolitan. Tubuh yang sedang berbadan dua itu tidak sanggup harus berdiri terlalu lama.
“Bu, duduk saja dulu.” Suara lembut seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan, membuat dia menoleh dan kemudian tersenyum.
“Terima kasih, Bu,” ucap perempuan itu.
Dia duduk di kursi yang disodorkan. Setelah itu, mata menatap isi warung kecil milik wanita paruh baya.
“Ibu menjual es teh?” tanya perempuan itu.
“Ada, Bu.”
“Saya pesan satu, Bu.”
“Tunggu sebentar, ya.”
Sambil menunggu pesanan, perempuan itu kembali menatap ke pintu gerbang rutan yang tertutup rapat. Beberapa kali dibuka karena pengunjung keluar masuk untuk membesuk keluarga mereka. Perempuan itu menarik napas kemudian mengeluarkan dengan berat. Tubuh yang duduk tegak serta matahari yang lumayan menyengat, padahal waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, waktu bagian barat.
“Kenapa tidak masuk?” tanya si pemilik warung sembari meletakkan es teh pesanan perempuan hamil itu.
“Nanti, Bu. Sedang menunggu kakak saya.”
“Mohon maaf, Bu. Yang di dalam siapa?” tanya si pemilik warung lagi.
“Suami.” Perempuan hamil itu menjawab lalu meminum es the yang dipesan tadi. Kesegaran langsung membasahi tenggorokan.
“Oh,” jawab si ibu pemilik warung sambil tersenyum. “Lalu, kenapa wajah Ibu begitu mendung?”
Wanita hamil itu menarik napas berat. “Suami saya di dalam karena saya, Bu.”
“Tapi, sepertinya bukan karena biaya melahirkan, ‘kan?” tanya si pemilik warung setelah mengamati.
“Bukan, Bu. Dia memukul orang kaya yang mengganggu saya.”
“Wah … suami idaman sekali, Bu.” Senyum mengembang di wajah si pemilik warung.
Aku benar, ‘kan? tanya si calon ibu dalam hati. Dia, Jeremi William Dirgantoro ada di dalam sana karena marah pada Almero, sahabat sendiri.
“Dan, Ibu merasa bersalah?”
Widiatika Pangestu, wanita hamil itu mengangguk. Wajah putih itu tak terbaca, dia memang terbiasa dengan poker face. Tak ada jawaban atas pertanyaan itu. Mungkin, diam adalah jawaban tepat.
“Tidak perlu merasa bersalah. Sudah menjadi kewajiban seorang suami untuk melindungi istri sendiri. Walau harus berakhir di dalam penjara.” Lanjut wanita pemilik warung itu.
Widiatika teringat kembali tentang percakapan antara dia dan Laras, dua malam yang lalu. Sudah hampir seminggu Laras membujuk Tika untuk mencabut gugatan cerai. Jeremi, yang awal menerima gugatan perceraian itu, tiba-tiba berubah pikiran. Sudah dua kali sidang, Jeremi bersikeras untuk mempertahankan rumah tangga. Dengan lantang dan tak tahu malu, dia mengatakan sangat mencintai istrinya.
“Tika, mbak tahu kamu sangat marah. Tapi, coba pikir ulang tentang anakmu ini.”
“Kenapa? Apa karena sebutan anak haram?” Mata Tika menatap sinis.
Laras menarik napas dan menghembuskan dengan pelan. “Kamu tahu sendiri bukan itu maksudku.”
Mereka diam cukup lama sibuk dengan pikiran masing- masing. Dengan makanan ringan dan teh yang menemani.
“Aku ….”
Kedua wanita itu serentak bicara untuk mengatakan sesuatu. Spontan saling menatap dan tertawa lepas, seperti tak pernah terjadi sesuatu. Tawa mereka begitu lepas dan …
“Aku ingat, Mbak.”
“Ingat apa?”
“Tentang Jeje dan Wiwi.”
Laras terdiam seribu bahasa. Tentu saja penyebab aksi diam itu adalah pengakuan Laras.
Bagian yang mana? Aku takut dia ingat apa yang dilakukan Jeremi waktu itu. Waktu tanpa sengaja Jeremi memerkosa dia, ucap Laras dalam hati. Dan, dia masih diam.
Benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Hanya menunggu saja dan menyiapkan diri untuk segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Laras menatap wanita yang sudah dianggap adik dengan was-was. Namun, dia masih harus bersikap biasa saja.
“Maksud kamu … Jeje dan Wiwi?” tanya Laras untuk meyakinkan.
“Mbak.” Tika tersenyum dan berkata, “Tentang masa lalu antara aku dan Bang Jeje. Jeremi William Dirgantoro.”
Laras bergeming. Sebenarnya, dia masih menunggu dan mulai menyiapkan diri. Otaknya mulai bekerja. Berpikir dan bersiap jika trauma masa kecil atau dia mendapatkan serangan panik. Laras yang seorang psikiater dan penerus sang ayah.
“Mbak … hm … masih belum paham.” Laras mencoba mengulur sambil tetap berjaga.
“Semua, Mbak. Semuanya. Hanya satu yang aku enggak paham.”
“Apa?” tanya Laras cepat.
“Kenapa dia dulu melakukan itu, Mbak? Bukannya aku itu adik untuk dia?”
Sorot mata wanita yang sedang hamil tua itu menatap penuh luka. Tersirat sebuah pertanyaan yang membutuhkan sebuah jawaban pasti dan bukan kebohongan. Laras paham arti dari tatapan itu dan memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya.
“Jeremi juga korban, Dik.”
Jika Laras sudah menyebut panggilan itu, tak bisa dielakkan lagi, mereka ada dalam percakapan pribadi dan intim. Tentu saja sebagai kakak dan adik atau layaknya keluarga. Sungguh sangat pribadi.
“Korban?!” Tika bingung.
“Baik aku, kamu dan semua orang yang berada di lingkungan kita mengerti tentang sifat dan karakter Jeremi.” Laras terlihat ragu. Dia berpikir untuk memilih kata dan kalimat yang tepat. “Hm … apa aku bisa menyebut nama itu?” Suara Laras terdengar ragu.
Tika tersenyum. “Iya, Mbak Lala,” katanya membuat Laras tersenyum sumringah dan tanpa sadar mengeluarkan air mata. Bahagia, tentu saja.
Sudah lama sekali Tika tidak memanggil dengan nama itu, Lala. Laras segera memeluk Tika dengan penuh kasih sayang.
“Itu berarti, mbak bisa panggil kamu pakai nama Wiwi, ‘kan?” tanya Lala sambil memeluk wanita yang sedang hamil itu.
“Iya, Mbak.”
Kedua wanita cantik itu tertawa dengan penuh kebahagiaan. Sesuatu dalam hati mereka seperti terlepas dan terbebas. Isi hati yang seperti terikat kini terbuka dan luka batin yang dijaga agar tidak terluka lagi kini tak usah ditakutkan akan kembali terluka. Hati yang dulu harus dijaga untuk tidak melukai satu sama lain kini hilang sudah. Bebas dan siap untuk menerima semua hal dan peristiwa dengan bijaksana.
“Lalu, bagaimana? Kapan? Dan ….” Laras diam dan mulai berpikir lagi kembali mencerna. Namun, dia tidak paham juga. Masih belum mengerti sepenuhnya.
“Malam setelah Almero mengatakan semua tentang masa laluku dan memori yang sempat hilang, aku tahu semua. Karena itu, aku memasang aksi diam dan mangabaikan kalian. Aku merasa bersalah.”
Tika … ah, bukan lagi. Tetapi, Widi, menunduk dan wajah menatap lantai rumah sederhana itu, rumah yang disewa untuk sementara.
“Tapi, yang sebenarnya tidak seperti yang kamu pahami saat ini,” kata Laras dan membuat Wiwi mengangkat wajah kemudian menatap dengan bingung.
“Maksudnya?!”
“Jeremi, hm … Jeje dan aku sudah putus sejak SMA. Dan itu bukan karena kamu. Karena wanita lain, seorang model keturunan Korea-Indonesia. Mereka berselingkuh. Dan, Jeje memutuskan hubungan kami secara sepihak. Karena wanita itu sangat cantik dan berbisa.”
“Hah?! Serius? Siapa?” tanya Widi lagi.
Laras mengernyitkan kening, “Kamu enggak ingat? Atau lagi nge-test aku?”
Widiatika Pangestu menatap Laras dengan ragu. Kebingungan terpancar di air muka, bingung untuk memulai dari mana cerita itu. Cerita tentang memori yang sempat hilang.“Aku bingung untuk memulai dari mana, Mbak.”“Ceritakan yang kamu ingat saja.”“Jeremi … hm … kenapa melakukan kejahatan padaku? Di usiaku yang masih 12 tahun?”Akhirnya, keraguan itu pun menguar. Rasa malu yang awal menyelimuti perlahan ditepis. Hubungan yang kuat di antara mereka tidak semata-mata membuat dia bebas untuk menceritakan semua permasalahan.Laras meraih tangan Widi dan menggenggam tangan dengan penuh kelembutan. Dia tersenyum dan menatap sang adik angkat seraya mengatakan melalui sorot mata, kalau semua akan baik-baik saja.“Jangan paksa jika mentalmu memang tidak siap. Ceritakan semampu saja.”“Yang aku tahu, hubungan kita bertiga itu sebatas kakak dan adik sja. Kalian sudah menganggapku
Benar. Pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Widiatika melemah mendengar nama agung itu disebut. Satu-satunya hal yang membuat dia takut di dunia ini adalah Tuhan. Tak pernah khawatir tentang masa depan hanya karena dia sebatang kara, semua itu semata karena Tuhan saja. “Ke-kenapa membawa nama Tuhan?” tanya Widi mulai gundah. Kena, batin Laras tersenyum. “Iya. Tuhan!” Merasa menemukan kelemahan dari Widi, Laras sedikit memberikan tekanan dan mencoba memengaruhi dia. “Secara hukum kalian bisa saja bercerai. Tapi, secara agama apa bisa? Gereja tidak pernah mengizinkan perceraian.” “Mbak ….” Widi menatap Laras dengan sorot mata gundah dan cemas. “Jangan bilang kalau kamu tidak tahu.” Laras semakin melancarkan aksi, berusaha memengaruhi perasaan Widi. “A-aku tahu,” jawab Widi pelan. “Tapi ….” Widi berhenti dan hanya menggantung kalimat di tenggorokan. “Sudah tahu, tapi bersikeras juga?” Laras masih mengamati Widi. Sampai pa
Laras dan Widi duduk bersebelahan. Setelah melalui pemeriksaan yang sangat ketat, mereka kini menunggu di ruang besuk tahanan. Dengan rantang berisi makanan rumah yang dimasak oleh Widi. Untuk sebagian besar wanita yang mengunjungi suami di dalam tahanan pasti menunjukkan berbagai macam ekspresi. Baik sedih, bahagia, rindu atau bentuk emosi lainnya. Tapi, tidak untuk Widi. Tak ada emosi yang muncul di wajah itu. Datar saja.“Kamu masak apa untuk suamimu?” tanya Laras yang sudah penasaran akan isi dalam kantong besar dari bahan kain itu.“Masak seperti yang Mbak Laras sebutin tadi.” Jawaban yang jujur dan apa adanya.Laras menatap Widi tidak percaya. Kehabisan kata-kata lebih tepat. Memang susah untuk membuat wanita hamil tua ini untuk sedikit membuka hati dan pikirannya tentang rasa cinta.“Ya … bukan hanya yang aku suruh, ‘kan? Setidaknya, ada tambahan lain. Steak, mungkin.” Laras menatap Widi dengan harap
“A-apa itu?” tanya Jeremi.Lebih tepatnya dia kehabisan kata-kata melihat wanita yang sudah bergelar Ny. Jeremi William Dirgantoro dengan perut yang membesar. Bergeming di tempat dia duduk dan hanya memandangi perut besar itu kemudian berganti menatap wajah Widi. Begitu seterusnya untuk waktu yang cukup lama.“Sudah? Capai juga berdiri lama begini,” keluh Widi.Mata Jeremi mengikuti gerakan sang istri. Tak ada kata yang diucapkan, hanya diam membisu sekaligus segala pertanyaan muncul di kepala. Lagi, Jeremi menatap bergantian, perut dan kemudian wajah Widi. Sedangkan Widi, dia memandangi kebodohan yang tergambar dimuka Jeremi.“Nah.” Widi menyodorkan makanan yang sudah dia siapkan untuk Jeremi. “Biasanya suka itu, kan?”Tak ada respon dari Jeremi. Rasa terkejut luar biasa masih melekat padanya. Masih belum mengerti sedikit pun tentang keadaan saat ini. Padahal, sudah sejak duduk
“A-apa itu?” tanya Jeremi.Lebih tepatnya dia kehabisan kata-kata melihat wanita yang sudah bergelar Ny. Jeremi William Dirgantoro dengan perut yang membesar. Bergeming di tempat dia duduk dan hanya memandangi perut besar itu kemudian berganti menatap wajah Widi. Begitu seterusnya untuk waktu yang cukup lama.“Sudah? Capai juga berdiri lama begini,” keluh Widi.Mata Jeremi mengikuti gerakan sang istri. Tak ada kata yang diucapkan, hanya diam membisu sekaligus segala pertanyaan muncul di kepala. Lagi, Jeremi menatap bergantian, perut dan kemudian wajah Widi. Sedangkan Widi, dia memandangi kebodohan yang tergambar dimuka Jeremi.“Nah.” Widi menyodorkan makanan yang sudah dia siapkan untuk Jeremi. “Biasanya suka itu, kan?”Tak ada respon dari Jeremi. Rasa terkejut luar biasa masih melekat padanya. Masih belum mengerti sedikit pun tentang keadaan saat ini. Padahal, sudah sejak duduk
Laras dan Widi duduk bersebelahan. Setelah melalui pemeriksaan yang sangat ketat, mereka kini menunggu di ruang besuk tahanan. Dengan rantang berisi makanan rumah yang dimasak oleh Widi. Untuk sebagian besar wanita yang mengunjungi suami di dalam tahanan pasti menunjukkan berbagai macam ekspresi. Baik sedih, bahagia, rindu atau bentuk emosi lainnya. Tapi, tidak untuk Widi. Tak ada emosi yang muncul di wajah itu. Datar saja.“Kamu masak apa untuk suamimu?” tanya Laras yang sudah penasaran akan isi dalam kantong besar dari bahan kain itu.“Masak seperti yang Mbak Laras sebutin tadi.” Jawaban yang jujur dan apa adanya.Laras menatap Widi tidak percaya. Kehabisan kata-kata lebih tepat. Memang susah untuk membuat wanita hamil tua ini untuk sedikit membuka hati dan pikirannya tentang rasa cinta.“Ya … bukan hanya yang aku suruh, ‘kan? Setidaknya, ada tambahan lain. Steak, mungkin.” Laras menatap Widi dengan harap
Benar. Pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Widiatika melemah mendengar nama agung itu disebut. Satu-satunya hal yang membuat dia takut di dunia ini adalah Tuhan. Tak pernah khawatir tentang masa depan hanya karena dia sebatang kara, semua itu semata karena Tuhan saja. “Ke-kenapa membawa nama Tuhan?” tanya Widi mulai gundah. Kena, batin Laras tersenyum. “Iya. Tuhan!” Merasa menemukan kelemahan dari Widi, Laras sedikit memberikan tekanan dan mencoba memengaruhi dia. “Secara hukum kalian bisa saja bercerai. Tapi, secara agama apa bisa? Gereja tidak pernah mengizinkan perceraian.” “Mbak ….” Widi menatap Laras dengan sorot mata gundah dan cemas. “Jangan bilang kalau kamu tidak tahu.” Laras semakin melancarkan aksi, berusaha memengaruhi perasaan Widi. “A-aku tahu,” jawab Widi pelan. “Tapi ….” Widi berhenti dan hanya menggantung kalimat di tenggorokan. “Sudah tahu, tapi bersikeras juga?” Laras masih mengamati Widi. Sampai pa
Widiatika Pangestu menatap Laras dengan ragu. Kebingungan terpancar di air muka, bingung untuk memulai dari mana cerita itu. Cerita tentang memori yang sempat hilang.“Aku bingung untuk memulai dari mana, Mbak.”“Ceritakan yang kamu ingat saja.”“Jeremi … hm … kenapa melakukan kejahatan padaku? Di usiaku yang masih 12 tahun?”Akhirnya, keraguan itu pun menguar. Rasa malu yang awal menyelimuti perlahan ditepis. Hubungan yang kuat di antara mereka tidak semata-mata membuat dia bebas untuk menceritakan semua permasalahan.Laras meraih tangan Widi dan menggenggam tangan dengan penuh kelembutan. Dia tersenyum dan menatap sang adik angkat seraya mengatakan melalui sorot mata, kalau semua akan baik-baik saja.“Jangan paksa jika mentalmu memang tidak siap. Ceritakan semampu saja.”“Yang aku tahu, hubungan kita bertiga itu sebatas kakak dan adik sja. Kalian sudah menganggapku
Perempuan itu berdiri di depan rumah tahanan yang berada di timur kota megapolitan. Tubuh yang sedang berbadan dua itu tidak sanggup harus berdiri terlalu lama. “Bu, duduk saja dulu.” Suara lembut seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan, membuat dia menoleh dan kemudian tersenyum. “Terima kasih, Bu,” ucap perempuan itu. Dia duduk di kursi yang disodorkan. Setelah itu, mata menatap isi warung kecil milik wanita paruh baya. “Ibu menjual es teh?” tanya perempuan itu. “Ada, Bu.” “Saya pesan satu, Bu.” “Tunggu sebentar, ya.” Sambil menunggu pesanan, perempuan itu kembali menatap ke pintu gerbang rutan yang tertutup rapat. Beberapa kali dibuka karena pengunjung keluar masuk untuk membesuk keluarga mereka. Perempuan itu menarik napas kemudian mengeluarkan dengan berat. Tubuh yang duduk tegak serta matahari yang lumayan menyengat, padahal waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, waktu bagian barat. “Kenapa tid