Benar. Pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Widiatika melemah mendengar nama agung itu disebut. Satu-satunya hal yang membuat dia takut di dunia ini adalah Tuhan. Tak pernah khawatir tentang masa depan hanya karena dia sebatang kara, semua itu semata karena Tuhan saja.
“Ke-kenapa membawa nama Tuhan?” tanya Widi mulai gundah.
Kena, batin Laras tersenyum.
“Iya. Tuhan!” Merasa menemukan kelemahan dari Widi, Laras sedikit memberikan tekanan dan mencoba memengaruhi dia. “Secara hukum kalian bisa saja bercerai. Tapi, secara agama apa bisa? Gereja tidak pernah mengizinkan perceraian.”
“Mbak ….” Widi menatap Laras dengan sorot mata gundah dan cemas.
“Jangan bilang kalau kamu tidak tahu.” Laras semakin melancarkan aksi, berusaha memengaruhi perasaan Widi.
“A-aku tahu,” jawab Widi pelan. “Tapi ….” Widi berhenti dan hanya menggantung kalimat di tenggorokan.
“Sudah tahu, tapi bersikeras juga?” Laras masih mengamati Widi. Sampai pada akhirnya menemukan sesuatu di mata sang adik angkat. “Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa,” jawab Tika cepat berusaha untuk menghindar. Mbak Laras menatapku seperti itu. Dia mungkin sudah tahu ada yang kupikirkan, ucap batin Widi.
“Widi tahu, ‘kan, kalau Mbak ini psikiater kamu.” Mata Laras menatap tajam Widi dan mendominasi. “Jujur saja.
Widi bergeming. Masih memikirkan bagaimana cara dia untuk mengungkapkan semua yang ada dalam benak. Beberapa kali meneguk ludah dengan hati dan pikiran yang sibuk berperang. Bukan tentang kejujuran, tapi, sebuah perasaan yang benar-benar membuat dia bingung.
“Mbak.” Widi memutuskan mengatakan isi hatinya. “Aku tahu. Aku sadar 100% kalau aku tidak memiliki perasaan apa pun pada Jeremi. Aku ingat, aku tahu, hubungan kami tidak lebih hanya abang dan adik angkat saja. Dan, aku pun sadar diri, kok. Siapa aku dan berasal dari keluarga mana aku. Kakek dan kedua orang tuaku pun bukan pengusaha atau pekerja kantoran. Mereka hanya orang-orang yang mengabdikan diri pada Tuhan saja. Mana mungkin, Bang Jeje seperti yang Mbak katakan, mencintai aku.” Widi membuang napas dan merasa sedikit lega tentang perasaan gundah yang dia rasakan.
Laras tertawa dan katanya, “Memang kamu Tuhan? Apa kamu lupa kharisma yang ada di dalam dirimu itu?”
“Kharisma?” Widi balik bertanya.
“Kamu memiliki sesuatu yang terpancar dari dalam sini.” Laras menunjuk ke arah dada Widi. “Sesuatu yang tak dimiliki oleh semua perempuan. Dan, yang dapat melihat itu adalah pria yang benar-benar melihat sisi lain darimu.”
“Mana mungkin, Mbak.” Widi masih saja menolak.
“Aduh … adikku ini benar-benar rendah hati, ya.” Laras terkekeh. “Lucu banget kamu. Pantas saja Almero dan Jeje menaruh hati yang begitu dalam.”
Mendengar pendapat Laras itu, Widi mendelik kesal. Widi bukanlah tipe wanita yang menyukai pujian. Setiap kali Laras memujinya, dia akan memasang ekspresi kesal. Dan, Laras menyukai itu. Melihat ekspresi itu, Laras paham kalau Widi sudah nyaman saat ini. Tawa Laras pun pecah seketika itu juga. Laras dan Widi kini mengobrol dengan santai.
“Pikirkanlah, Widi. Setidaknya, untuk anak yang di dalam perutmu. Kamu memang memiliki hak sepenuhnya atas bayi ini. Namun, bagaimana kalau suatu saat anakmu menanyakan papanya?” Laras mengambil jeda lagi. “Kamu tahu sendiri bagaimana rasa sakit tidak ada ayah dalam hidup kita. Baik kamu dan aku tahu rasa sakit itu. Tapi, kita masih lebih baik. Masih sempat mengenal sosok ayah. Lalu, bayimu?” Laras menarik napas sedikit berat dan membuang secara pelan.
“Lalu, apa yang harus kulakuan?” tanya Widi pada akhirnya. Itu pun setelah memakan waktu lebih dari satu jam dan membuang jauh egonya.
“Melembutkan hati.” Dengan tegas Laras mengucapkan dua kata itu.
Melembutkan hati? tanya Widi dalam hati. Apa itu melembutkan hati? Aku tidak paham sama sekali. Widi benar-benar tidak paham maksud perkataan dari Laras. “
“Melembutkan hati itu membuang rasa marah dari dalam diri kamu. Jangan selalu menyimpan luka dari kesalahan Jeremi. Memang apa yang dilakukan oleh Jeremi itu mengerikan. Tapi, kamu harus tahu juga. Jeremi memiliki kelainan seksual juga bukan karena keinginan dia. Dia menyaksikan langsung pelecehan seksual. Bukan sekali, tapi juga berkali-kali. Dan, itu semasa remaja. Hal itu jelas-jelas akan mengganggu kesehatan mental. Tapi, Jeremi sudah melakukan terapi, kok. Secara bertahap dan memang butuh waktu. Bahkan, selama di dalam tahanan dia rutin dikunjungi oleh psikolog. Semua itu dilakukan hanya untuk kamu dan diri Jeremi sendiri.” Laras menjelaskan panjang lebar.
Widi mendengarkan dengan cermat. Mencoba memahami maksud dan perkataan dari si kakak angkat. Dia juga tahu, siapa pun pasti akan sama seperti Jeremi. Menjadi korban atas kesalahan orang lain. Belum lagi, Keluarga Dirgantoro bukanlah keluarga yang memiliki pemikiran terbuka. Pola pikir konservatif sudah menjadi bagian dari akar silsilah keluarga itu.
***
Jeremi dan Widiatika, sepasang suami istri yang menikah karena dijodohkan dari sebuah kebohongan. Kepada mereka dikatakan pernikahan itu didasarkan utang keluarga. Pada Widi, dikatakan pihak keluarga mereka berutang pada Keluarga Dirgantoro. Pada Jeremi, dikatakan pihak Dirgantoro berutang pada keluarga Widiatika. Pernikahan mereka berjalan tanpa ada cinta di dalam. Jeremi dengan angkuh mengabaikan sang istri. Begitu pun dengan Widiatika, dengan tak acuh menganggap Jeremi tidak ada.
Hingga suatu malam, Jeremi memaksa melakukan hubungan intim dan dalam kondisi mabuk berat. Bukan hanya malam itu saja. Beberapa kali Jeremi melakukan kekerasan seksual –menurut beberapa orang- pada sang istri. Dan, diketahui bahwa Jeremi adalah seorang dom. Juga merupakan korban dari tidak adanya keterbukaan dalam hubungan keluarga. Jeremi, di usia 15 tahun menjadi saksi dari pelecehan seksual yang dilakukan oleh paman dan sahabat sang ayah. Di usia remaja, Jeremi menyaksikan pemerkosaan yang dilakukan oleh kedua orang itu terhadap tukang kebun mereka, Rafles. Tapi. Tak sekali pun dia memberitahukan keluarganya. Semua itu karena paradigma yang sudah turun temurun diterapkan dalam tatanan keluarga, yang muda tidak memilik hak mengeluarkan pendapat. Jeremi tidak akan didengarkan atau untuk diizinkan untuk bersuara.
Akibat terlalu sering melihat secara langsung, perilaku Jeremi pun berubah. Hingga pada satu malam, dia memerkosa Widiatika yang waktu itu berusia 12 tahun. Dilakukan tanpa sadar, mirip seseorang yang kerasukan. Tertangkap basah dan langsung dibawa ke rumah sakit.
Widiatika di-visum dan dinyatakan mengalami pemerkosaan. Jeremi mengalami trauma setelah itu. Lebih naas lagi, warga di lingkungan Widi –lokasi terjadinya pemerkosaan- mengetahui kecelakaan yang tak ada unsur kesengajaan. Mereka menuntut pihak keluarga dari Widiatika untuk menikahkan kedua anak itu dengan alasan menutup aib.
Miris memang. Teknologi yang belum memadai menghambat pengetahuan masyarakat tentang pernikahan dini pada masa itu. Warga mendesak dan memaksa. Dengan demikian, kedua keluarga terpaksa menikahkan mereka hanya sesuai dengan adat. Hanya dengan sebatas kertas segel ditambah materai.
Tak berapa lama, kakek dari Widiatika meninggal akibat serangan jantung. Di dalam ambulans yang melaju kencang, dia menitipkan cucu semata wayang pada ayah mertua Widi. Namun, takdir berkendak lain. Widiatika dipisahkan dari Jeremi. Dia dititipkan di panti asuhan. Sedangkan Jeremi, hidup dengan bebas sembari menjalani terapi.
Waktu berjalan begitu saja. Usia Jeremi dan Widiatika sudah matang. Jeremi berusia 30 tahun dan Widiatika berusia 27 tahun, kakek dari Jeremi datang dan mengatakan mereka sudah dijodohkan dan harus segera menikah. Berkali-kali menolak, pada akhirnya mereka tetap harus menikah.
***
“Hei, masih pagi melamun.”
Satu suara menyadarkan Widi. Dia terhenyak dan melihat asal suara itu, kemudian tersenyum.
“Maaf, Mbak. Cuma memikirkan beberapa hal saja.” Senyum Widi mengembang lagi.
“Dan …?” tanya Laras lagi.
“Dan, memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya pada Bang Jeje.”
“Nah, begitu, dong.” Laras memeluk Widi dengan bahagia. “Percayalah pada Tuhan saja. Aku yakin, saat ini, semua karena Tuhan saja.”
Laras dan Widi duduk bersebelahan. Setelah melalui pemeriksaan yang sangat ketat, mereka kini menunggu di ruang besuk tahanan. Dengan rantang berisi makanan rumah yang dimasak oleh Widi. Untuk sebagian besar wanita yang mengunjungi suami di dalam tahanan pasti menunjukkan berbagai macam ekspresi. Baik sedih, bahagia, rindu atau bentuk emosi lainnya. Tapi, tidak untuk Widi. Tak ada emosi yang muncul di wajah itu. Datar saja.“Kamu masak apa untuk suamimu?” tanya Laras yang sudah penasaran akan isi dalam kantong besar dari bahan kain itu.“Masak seperti yang Mbak Laras sebutin tadi.” Jawaban yang jujur dan apa adanya.Laras menatap Widi tidak percaya. Kehabisan kata-kata lebih tepat. Memang susah untuk membuat wanita hamil tua ini untuk sedikit membuka hati dan pikirannya tentang rasa cinta.“Ya … bukan hanya yang aku suruh, ‘kan? Setidaknya, ada tambahan lain. Steak, mungkin.” Laras menatap Widi dengan harap
“A-apa itu?” tanya Jeremi.Lebih tepatnya dia kehabisan kata-kata melihat wanita yang sudah bergelar Ny. Jeremi William Dirgantoro dengan perut yang membesar. Bergeming di tempat dia duduk dan hanya memandangi perut besar itu kemudian berganti menatap wajah Widi. Begitu seterusnya untuk waktu yang cukup lama.“Sudah? Capai juga berdiri lama begini,” keluh Widi.Mata Jeremi mengikuti gerakan sang istri. Tak ada kata yang diucapkan, hanya diam membisu sekaligus segala pertanyaan muncul di kepala. Lagi, Jeremi menatap bergantian, perut dan kemudian wajah Widi. Sedangkan Widi, dia memandangi kebodohan yang tergambar dimuka Jeremi.“Nah.” Widi menyodorkan makanan yang sudah dia siapkan untuk Jeremi. “Biasanya suka itu, kan?”Tak ada respon dari Jeremi. Rasa terkejut luar biasa masih melekat padanya. Masih belum mengerti sedikit pun tentang keadaan saat ini. Padahal, sudah sejak duduk
Perempuan itu berdiri di depan rumah tahanan yang berada di timur kota megapolitan. Tubuh yang sedang berbadan dua itu tidak sanggup harus berdiri terlalu lama. “Bu, duduk saja dulu.” Suara lembut seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan, membuat dia menoleh dan kemudian tersenyum. “Terima kasih, Bu,” ucap perempuan itu. Dia duduk di kursi yang disodorkan. Setelah itu, mata menatap isi warung kecil milik wanita paruh baya. “Ibu menjual es teh?” tanya perempuan itu. “Ada, Bu.” “Saya pesan satu, Bu.” “Tunggu sebentar, ya.” Sambil menunggu pesanan, perempuan itu kembali menatap ke pintu gerbang rutan yang tertutup rapat. Beberapa kali dibuka karena pengunjung keluar masuk untuk membesuk keluarga mereka. Perempuan itu menarik napas kemudian mengeluarkan dengan berat. Tubuh yang duduk tegak serta matahari yang lumayan menyengat, padahal waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, waktu bagian barat. “Kenapa tid
Widiatika Pangestu menatap Laras dengan ragu. Kebingungan terpancar di air muka, bingung untuk memulai dari mana cerita itu. Cerita tentang memori yang sempat hilang.“Aku bingung untuk memulai dari mana, Mbak.”“Ceritakan yang kamu ingat saja.”“Jeremi … hm … kenapa melakukan kejahatan padaku? Di usiaku yang masih 12 tahun?”Akhirnya, keraguan itu pun menguar. Rasa malu yang awal menyelimuti perlahan ditepis. Hubungan yang kuat di antara mereka tidak semata-mata membuat dia bebas untuk menceritakan semua permasalahan.Laras meraih tangan Widi dan menggenggam tangan dengan penuh kelembutan. Dia tersenyum dan menatap sang adik angkat seraya mengatakan melalui sorot mata, kalau semua akan baik-baik saja.“Jangan paksa jika mentalmu memang tidak siap. Ceritakan semampu saja.”“Yang aku tahu, hubungan kita bertiga itu sebatas kakak dan adik sja. Kalian sudah menganggapku
“A-apa itu?” tanya Jeremi.Lebih tepatnya dia kehabisan kata-kata melihat wanita yang sudah bergelar Ny. Jeremi William Dirgantoro dengan perut yang membesar. Bergeming di tempat dia duduk dan hanya memandangi perut besar itu kemudian berganti menatap wajah Widi. Begitu seterusnya untuk waktu yang cukup lama.“Sudah? Capai juga berdiri lama begini,” keluh Widi.Mata Jeremi mengikuti gerakan sang istri. Tak ada kata yang diucapkan, hanya diam membisu sekaligus segala pertanyaan muncul di kepala. Lagi, Jeremi menatap bergantian, perut dan kemudian wajah Widi. Sedangkan Widi, dia memandangi kebodohan yang tergambar dimuka Jeremi.“Nah.” Widi menyodorkan makanan yang sudah dia siapkan untuk Jeremi. “Biasanya suka itu, kan?”Tak ada respon dari Jeremi. Rasa terkejut luar biasa masih melekat padanya. Masih belum mengerti sedikit pun tentang keadaan saat ini. Padahal, sudah sejak duduk
Laras dan Widi duduk bersebelahan. Setelah melalui pemeriksaan yang sangat ketat, mereka kini menunggu di ruang besuk tahanan. Dengan rantang berisi makanan rumah yang dimasak oleh Widi. Untuk sebagian besar wanita yang mengunjungi suami di dalam tahanan pasti menunjukkan berbagai macam ekspresi. Baik sedih, bahagia, rindu atau bentuk emosi lainnya. Tapi, tidak untuk Widi. Tak ada emosi yang muncul di wajah itu. Datar saja.“Kamu masak apa untuk suamimu?” tanya Laras yang sudah penasaran akan isi dalam kantong besar dari bahan kain itu.“Masak seperti yang Mbak Laras sebutin tadi.” Jawaban yang jujur dan apa adanya.Laras menatap Widi tidak percaya. Kehabisan kata-kata lebih tepat. Memang susah untuk membuat wanita hamil tua ini untuk sedikit membuka hati dan pikirannya tentang rasa cinta.“Ya … bukan hanya yang aku suruh, ‘kan? Setidaknya, ada tambahan lain. Steak, mungkin.” Laras menatap Widi dengan harap
Benar. Pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Widiatika melemah mendengar nama agung itu disebut. Satu-satunya hal yang membuat dia takut di dunia ini adalah Tuhan. Tak pernah khawatir tentang masa depan hanya karena dia sebatang kara, semua itu semata karena Tuhan saja. “Ke-kenapa membawa nama Tuhan?” tanya Widi mulai gundah. Kena, batin Laras tersenyum. “Iya. Tuhan!” Merasa menemukan kelemahan dari Widi, Laras sedikit memberikan tekanan dan mencoba memengaruhi dia. “Secara hukum kalian bisa saja bercerai. Tapi, secara agama apa bisa? Gereja tidak pernah mengizinkan perceraian.” “Mbak ….” Widi menatap Laras dengan sorot mata gundah dan cemas. “Jangan bilang kalau kamu tidak tahu.” Laras semakin melancarkan aksi, berusaha memengaruhi perasaan Widi. “A-aku tahu,” jawab Widi pelan. “Tapi ….” Widi berhenti dan hanya menggantung kalimat di tenggorokan. “Sudah tahu, tapi bersikeras juga?” Laras masih mengamati Widi. Sampai pa
Widiatika Pangestu menatap Laras dengan ragu. Kebingungan terpancar di air muka, bingung untuk memulai dari mana cerita itu. Cerita tentang memori yang sempat hilang.“Aku bingung untuk memulai dari mana, Mbak.”“Ceritakan yang kamu ingat saja.”“Jeremi … hm … kenapa melakukan kejahatan padaku? Di usiaku yang masih 12 tahun?”Akhirnya, keraguan itu pun menguar. Rasa malu yang awal menyelimuti perlahan ditepis. Hubungan yang kuat di antara mereka tidak semata-mata membuat dia bebas untuk menceritakan semua permasalahan.Laras meraih tangan Widi dan menggenggam tangan dengan penuh kelembutan. Dia tersenyum dan menatap sang adik angkat seraya mengatakan melalui sorot mata, kalau semua akan baik-baik saja.“Jangan paksa jika mentalmu memang tidak siap. Ceritakan semampu saja.”“Yang aku tahu, hubungan kita bertiga itu sebatas kakak dan adik sja. Kalian sudah menganggapku
Perempuan itu berdiri di depan rumah tahanan yang berada di timur kota megapolitan. Tubuh yang sedang berbadan dua itu tidak sanggup harus berdiri terlalu lama. “Bu, duduk saja dulu.” Suara lembut seorang wanita paruh baya membuyarkan lamunan, membuat dia menoleh dan kemudian tersenyum. “Terima kasih, Bu,” ucap perempuan itu. Dia duduk di kursi yang disodorkan. Setelah itu, mata menatap isi warung kecil milik wanita paruh baya. “Ibu menjual es teh?” tanya perempuan itu. “Ada, Bu.” “Saya pesan satu, Bu.” “Tunggu sebentar, ya.” Sambil menunggu pesanan, perempuan itu kembali menatap ke pintu gerbang rutan yang tertutup rapat. Beberapa kali dibuka karena pengunjung keluar masuk untuk membesuk keluarga mereka. Perempuan itu menarik napas kemudian mengeluarkan dengan berat. Tubuh yang duduk tegak serta matahari yang lumayan menyengat, padahal waktu masih menunjukkan pukul sembilan pagi, waktu bagian barat. “Kenapa tid