"Maaf, kami tidak bisa menyelamatkan janinnya."
Kalimat itu bagai vonis kematian untuk Shanum. Sukses meluluh lantahkan hati dan kekuatan terakhirnya. Apa yang Shanum takutkan terjadi juga.Hati Shanum hancur sehancur-hancurnya. Dua tahun sudah Shanum menunggu kehadirannya. Setelah hadir, dia malah pergi lagi. Sialnya tanpa Shanum sadari keberadaannya.Shanum sedih, sekaligus kecewa pada dirinya. Bagaimana mungkin dia tidak menyadari keberadan sang buah hati beberapa minggu ini? Shanum sungguh kecewa. Ibu macam apa dia ya Tuhan?Dan yang lebih membuat Shanum makin sedih. Suaminya tak kunjung datang jua, padahal sudah dikabari oleh Diva. Bahkan, ponselnya mendadak tidak aktif dan tidak bisa dihubungi. Sementara saat ini, Dokter memerlukan tanda tangan sang suami untuk tindakan kuret. Beruntung ada ayah mertua yang bersedia menggantikan tanggung jawab Reksa.Shanum semakin kecewa dengan suaminya itu.***"Ayo, buka mulutnya. Aaa ...."Shanum memalingkan wajahnya, menghidari sendok yang Reksa tawarkan. Dari wajah dan tatapannya yang masih sendu. Sangat jelas terlihat luka batin yang tengah dirasakan wanita itu saat ini.Melihatnya, Reksa pun mendesah panjang penuh beban. Sejak siuman, Shanum memang terus mendiamkannya seperti ini. Reksa tahu, wanita itu pasti sangat terluka dan kecewa padanya."Shanum, ayolah. Kamu harus makan. Biar cepet sembuh." Reksa berusaha membujuk.Shanum mengindahkan. Tidak berniat menjawab ataupun bereaksi pada ucapan suaminya. Hatinya masih sangat sakit sekali. Shanum belum bisa menerima kenyataan pahit yang menimpa bayinya. Ia juga masih sangat kecewa pada suaminya, yang tidak datang saat dia sangat membutuhkan pria itu."Shanum, aku tahu kamu sedih. Aku juga sedih, kok. Bayi itu kan juga anakku. Tapi, sedih berlarut-larut seperti ini juga gak baik. Nanti kamu malah makin sakit, sayang." Reksa masih berusaha membujuk, seraya mencoba meraih tangan Shanum.Sayangnya, tangan Reksa pun hanya bisa menggantung di udara. Karena Shanum yang seakan tahu apa niat Reksa, segera menjauhkan tangannya dari jangkauan pria itu. Reksa pun kembali mendesah panjang.Shanum tidak ingin disentuh Reksa lagi. Dia muak, kecewa dan marah. Lebih dari itu, dia mulai lelah bertahan. Bertahan di samping pria yang selalu menomor duakannya."Sayang, please jangan begini. Aku tahu, aku salah. Aku minta maaf, Sayang. Aku benar-benar menyesal. Seandainya aku tahu waktu itu kamu sedang hamil. Aku pastinya gak akan pergi. Aku akan jagain kamu 24 jam."Shanum bergeming. Masih acuh pada sang suami dan membungkam mulutnya serapat mungkin."Sayang, ayolah. Mau sampai kapan kamu diam? Mau sampai kapan kamu nyuekin aku? Aku benar-benar menyesal, Shanum. Tolong berikan aku satu kesempatan lagi. Aku janji gak akan ngulangin lagi. Ayo, kita perbaiki bersama hubungan kita."Shanum masih bergeming. Seolah sengaja menulikan diri dari semua ucapan pria yang dulu ia puja. Rasa kecewa Shanum masih sangat tinggi sekali. Membuatnya muak pada suaminya sendiri.Melihat keacuhan Shanum, Reksa pun mendesah panjang kembali seraya menyugar rambutnya dengan kasar. Dia bingung harus bagaimana lagi membujuk sang istri."Shanum, ayolah. Aku tahu kamu marah. Tapi aku kan sudah minta maaf. Masa kamu gak mau maafin juga? Lagian, semalam juga Papa udah nampar aku. Apa itu gak cukup buat kamu? Atau ... apa kamu mau menamparku juga? Baiklah. Tampar aku, Shanum!" Reksa menyodorkan pipinya sendiri, yang masih sedikit memerah akibat tamparan sang ayah semalam.Pria paruh baya yang menjadi kepala rumah tangga di keluarganya itu, begitu murka pada Reksa setelah mengetahui perihal keguguran Shanum. Tidak, lebih tepatnya ketidak hadiran Reksa di sisi Shanum semalam.Papa menganggap Reksa telah abai dan tak menjaga Shanum dengan baik. Padahal, bukan Reksa ingin abai. Tetapi ia hanya mencoba menghindari pertengkaran dengan Shanum, yang semakin ke sini, semakin rewel dan tak pengertian pada hubungannya dan Ayu.Reksa dan Ayu hanya sepupuan. Tetapi Shanum selalu saja cemburuan. Hal itu membuat Reksa jengah lama-kelamaan. Baginya Shanum tak pengertian sama sekali."Kenapa diam, Shanum?" tanya Reksa, ketika Shanum masih saja bergeming. "Aku bilang, tampar aku jika itu bisa membuat hati kamu sedikit tenang. Tampar aku sebanyak apa pun yang kamu mau, dan sekeras yang kamu bisa. Aku ikhlas menerimanya." Reksa kembali menegaskan.Akan tetapi, Shanum masih acuh di tempatnya. Wajah cantik yang syarat akan kesedihan itu tetap berpaling ke arah lain, seolah tak sudi melihat suaminya sendiri."Shanum," lirih Reksa lelah akhirnya. "Ayolah, Sayang. Mau sampai kapan kamu kayak gini? Sedih berlarut-larut juga tak akan membuat bayi kita kembali, kan? Dia sudah pergi, dan tak mungkin kembali lagi. Ikhlaskan, Sayang. Dia sudah tenang di surga. Lagipula, kenapa sih kamu harus sedih berlebihan begini? Padahal, kita kan masih muda, Shanum. Jalan kita masih panjang untuk memiliki anak lainnya. Penting kondisi kamu membaik dulu."Hati Shanum semakin mencelos di tempatnya. Ucapan Reksa tadi seolah menyatakan jika pria itu tak bersedih sama sekali atas kepergian sang buah hati. Shanum tak habis pikir dengan suaminya sendiri."Shanum--"Ddrrttt ... dddrrrttt ... ddrrttt ....Sebuah getar panjang tiba-tiba mengintrupsi. Membuat kalimat yang ingin Reksa ucapkan lagi seketika terhenti. Pria itu lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Raut wajahnya kemudian terlihat gusar setelah melirik sang penelpon.Tanpa diberitahu pun. Shanum sudah bisa menebak siapa si pemanggil. Ayu. Siapa lagi yang selalu menghubungi suaminya setiap hari. Gadis itu bahkan bisa menelepon Reksa satu jam sekali. Sampai sebelum tidur pun, mereka biasanya akan bertelepon ria dulu sebelum memejamkan mata.Hal itu membuat Shanum terbiasa, bahkan sangat muak lama-kelamaan. Menurut kalian sendiri, apa perilaku Reksa dan Ayu wajar?Shanum memilih makin memalingkan wajah dan menyembunyikan diri dalam selimut. Mencoba abai pada apa pun yang akan Reksa perbuat."Shan ...." Reksa seperti hendak memanggil Shanum. Tetapi sikap acuh Shanum membuatnya ragu."Sebentar, ya? Aku angkat telepom dulu," pamit Reksa sejenak. Seraya sedikit menjauh dari Shanum.Kiranya, kali ini Reksa akan memilih dirinya. Mengingat kondisi Shanum dan teguran sang Papa semalam. Kiranya Reksa akan menjaga jarak sejenak dengan Ayu. Ternyata ..."Ya. Aku otw."Sayangnya, harapan tinggallah harapan. Sampai kapan pun, Shanum sepertinya tidak akan jadi perioritas utama Reksa.Lelaki yang sudah dua tahun menikahi Shanum itu pun lalu segera meraih jaketnya yang terlampir di sandaran kursi dekat Shanum, kemudian pergi tanpa beban dari ruang rawat Shanum begitu saja. Shanum pun hanya bisa kembali merepih sendiri.Shanum terkekeh miris dengan lelehan air yang kembali mengalir di pipinya. Ia menertawakan dirinya sendiri dan nasib pernikahannya. Shanum merasa bodoh sekali. Mau saja bertahan dan percaya, pada ucapan manis pria tak punya pendirian itu."Dasar pembohong!"Shanum sudah tidak tahu lagi harus menyebut Reksa seperti apa. Tidak tahu malu? Tidak punya hati? Atau malah tidak punya otak?Sudah tahu kondisi Shanum masih berduka paska keguguran. Masih sensitif dan masih sangat marah pada apa pun yang mengingatkannya pada penyebab dukanya tersebut. Khususnya terhadap Ayu. Seharusnya, sebagai seorang suami Raksa mengerti hal itu dan berusaha menjaga perasaannya dengan menjauhkan Ayu darinya. Tetapi yang terjadi malah, pria itu membawa Ayu kehadapan Shanum tanpa dosa sama sekali. Membuat Shanum makin muak di tempatnya. Masih pantaskah Reksa disebut sebagai seorang suami?"Hai, Shanum. Bagaimana kabarmu? Aku ... turut berduka untuk bayimu." Ayu memasang wajah sendu menatap Shanum. Entah benar-benar tulus, atau hanya modus karena di sana ada Reksa. "Aku juga minta maaf untuk semalam. Aku tidak tahu jika akhirnya akan begini. Kalau aku tahu, sudah kularang temanku menghubungi Reksa."Shanum tetap bergeming. Membungkam mulutnya serapat mungkin, ser
Biasanya, Shanum akan membela diri jika merasa memang tidak bersalah. Meski akan berakhir percuma, Shanum akan tetap mencoba menjelaskan duduk masalah sebenarnya pada Reksa. Tetapi kali ini berbeda. Mendengar tuduhan Reksa yang seenaknya. Shanum memilih diam dan memalingkan wajah ke arah lain. Seolah memang sudah tak sudi melihat wajah suaminya lagi. "Sikap macam apa ini, Shanum? Jawab aku!" Reksa pun semakin marah, lalu mencengkram dagu Shanum lumayan keras, dan memutarnya agar menatap Reksa.Sakit sebenarnya. Namun, Shanum tetap memilih diam. Hanya membalas tatapan tajam Reksa dengan dingin. Memang ada bedanya jika Shanum jelaskan?"Shanum? Jangan diam saja. Katakan sesuatu. Kenapa kamu suka sekali mengadu?" cecar Reksa lagi. Seraya menguatkan cengkramannya pada dagu Shanum. Shanum pun menghela tangan itu kasar hingga terlempar lumayan kuat. Namun, tetap mempertahankan tatapan dinginnya pada Reksa. "Kalau aku bilang, aku tidak melakukannya, kamu percaya?""Tidak!" jawab Reksa c
Shanum tahu, sebagian dari kalian pasti mengatainya bodoh, tolol, goblok atau apalah itu. Padahal punya kesempatan mengadu, tapi malah tidak melakukannya, bahkan sengaja menutupi semuanya. Ya, Shanum akui. Dia memang bodoh. Namun, pernahkah kalian mempunyai prinsif hidup? Nah, sebenarnya itulah yang sedang Shanum lakukan saat ini, yaitu memegang prinsif hidup yang sudah dia pilih. Reksa adalah pilihannya. Pun pernikahan ini. Jadi seburuk dan seperih apa pun yang ia jalani saat ini. Shanum hanya mencoba menerima, karena ini adalah resiko atas pilihannya. Terlebih, Shanum sudah pernah bilang, kan? Dia sudah membuat janji pada Reksa, tak akan pernah meninggalkan pria itu selama dia tidak memukul dan memiliki istri lain. Karenanya, meski sakit, Shanum terpaksa tetap bertahan."Astaga! Kak Reksa ngapain?" Diva tiba-tiba hadir di ambang pintu. "Lepasin! Jangan sakiti Kak Shanum lagi!" Diva bahkan menarik Reksa agar segera menjauh dari Shanum. "Awas, ya, kalau Kak Reksa macam-macam lagi s
Sebenarnya enggan sekali untuk Shanum kembali ke rumah keluarga Reksa, setelah akhirnya diperbolehkan keluar dari Rumah sakit. Namun, akan kemana lagi ia jika bukan ke rumah itu. Di kota ini Shanum tidak punya siapa pun selain suami dan keluarganya. Kebodohan Shanum lainnya yang baru ia sesali akhir-akhir ini. Ya, ia memang sebodoh itu. Nekad hidup jauh dari keluarga dan sanak saudara. Hanya demi bisa hidup dengan sang pujaan hati. Tak pernah sekalipun ia memikirkan hal buruk pada rumah tangganya, yang akan membuatnya membutuhkan sandaran lain selain sang suami. Tidak, Shanum tidak berniat kekanakan dan ingin kabur-kaburan jika ada masalah dalam rumah tangganya. Hanya saja, memang kadang kita butuh orang lain untuk sekedar berbagi dan mencari solusi untuk segala pelik yang tak bisa kita pikirkan sendiri. Memang curhat dan membagi aib keluarga sendiri itu tidak boleh. Namun, kalau memang tak sanggup memikirkannya sendiri. Tidak ada salahnya bertanya pada yang lebih paham, kan? Selain
*Happy Reading*"Kamu ... menjual perhiasan?" beo Reksa terkejut. "Kenapa?" tanyanya kemudian penasaran.Shanum tersenyum mencemooh di tempatnya. "Kamu kira, memang dari mana aku bisa menambal semua bolong biaya keluarga ini, kalau bukan dari hasil jual perhiasan.""Tapi ... kenapa bisa begitu? Bukannya biaya rumah ini masih dibantu Papa dan Kak Rendi. Kita udah sepakat untuk hal itu. Papa untuk biaya dapur. Listrik dan air dari Kak Rendy." Reksa masih tak bisa percaya begitu saja. Shanum menaikan bahu acuh seraya meraih bukunya sendiri. "Untuk hal itu. Kamu tanya kan saja pada orang-orang yang bersangkutan," ucap Shanum ambigu.Reksa terdiam lagi. Menatap Shanum lekat seolah mencari tanda kebohongan dari wanita itu. Namun, dari gestur dan rona wajahnya. Jelas tidak ada resah dan kepanikan yang biasanya bisa dilihat dari seseorang yang tengah berbohong. Itu berarti. Shanum jujur. Istrinya tidak sedang berbohong atau apalah itu. Akan tetapi, kenapa bisa begini? Siapa yang harus Reksa
Brak!"Cukup, Shanum!" seru Reksa tiba-tiba setelah sebelumnya menggebrak meja keras sekali. Membuat yang ada di sana terkesiap kaget. Hati Reksa kesal luar biasa. Lagi-lagi Shanum sembarangan menuduh sang ibu. Apa sih maunya Shanum itu? Kenapa tiba-tiba berubah jadi durhaka begini. Tepatnya sejak keluar dari rumah sakit, Shanum mulai berubah menjadi orang yang tak Reksa kenali lagi. Ada apa dengan istrinya itu?"Kenapa marah? Aku kan hanya bicara fakta. Dan faktanya memang sejak menikah, ATM gaji aku di ambil ibumu.""Itu tidak--""Tanyakan saja pada ibumu kebenarannya," sahut Shanum santai seraya melirik Mama Rima. Yang dilirik terlihat mulai gusar. Apalagi ketika semua orang yang ada di sana turut menatapnya penuh tanya. Mama Rima semakin blingsatan. "Ma--""Itu tidak benar!" bantah Mama Rima cepat, saat Diva baru saja ingin buka suara. "Kamu jangan sembarangan nuduh Mama, Ya? Mana ada Mama ambil ATM kamu!" Mama Rima menegaskan. Namun, berbeda dengan suara lantangnya. Wajahnya me
*Happy Reading*Brak!Jika beberapa saat lalu Reksa yang menggebrak meja. Kali ini giliran Papa Hendra, mertua laki-laki Shanum yang melakukannya. Gebrakannya lebih kencang hingga membuat kami semua terlonjak kaget. "Keterlaluan kamu, Ma! Maksud kamu apa melakukan itu pada Shanum?!" hardik Papa Hendra keras, mendelik marah pada Mama Rima. Yang punya nama terlihat menelan saliva kelat di tempatnya. Namun, setelahnya bersikap seolah tak melakukan kesalahan apa pun. "Memang kenapa? Wajar kan kalau Mama menyita ATM Shanum? Bagaimana pun, dia numpang dan ikut makan juga di sini. Dan ayolah, Pah. Hari gini mana ada sih yang gratis. Semuanya ada harganya."Lihatlah sifat terpuji Mama mertua Shanum. Benar-benar seperti tak punya urat malu lagi. Numpang, katanya? Oh, gosh! Apa Mama Rima lupa kalau Reksa lah yang selama ini membayar cicilan rumah yang mereka tempati. Itu berarti, secara tak langsung rumah itu milik Reksa, kan? Dan Reksa adalah suami Shanum. Jadi, siapa yang menumpang?Papa H
*Happy Reading*"Tunggu!"Langkah Shanum sontak terhenti kala mendengar seruan barusan. Kepala Shanum refleks berputar ke sumber suara dan menemukan Mama Rima tengah tergopoh menghampirinya. "Kamu mau ngapain, Shanum?" tanya Mama Rima kemudian melirik benda yang ada di tangan Shanum. Pertanyaan bodoh macam apa itu. Jelas-jelas Shanum sedang memegang gelas bersih, tentunya dia ingin minum air. Kenapa malah bertanya? Harus banget apa Shanum jelaskan."Mau minum." Namun, Shanum sedang tidak ingin berdebat. Karenanya, dia menjawab seadanya pertanyaan Mama Rima. "Oh ... mau minum," gumam Mama Rima. "Mau berapa gelas? Satu, dua, atau tiga?"Kerutan di dahi Shanum semakin dalam mendengar pertanyaan lanjutan ibu mertuanya ini. Maksudnya apa bertanya begini? Memang kenapa kalau Shanum mau minim berapa gelas? Mau minum segalon pun, bukan urusan mama mertuanya, kan?"Kenapa memang?" Shanum bertanya balik. "Jawab aja, kamu mau minum berapa gelas?" Mama Rima bersikukuh. "Segelas, mungkin," ja