Shanum sudah tidak tahu lagi harus menyebut Reksa seperti apa. Tidak tahu malu? Tidak punya hati? Atau malah tidak punya otak?
Sudah tahu kondisi Shanum masih berduka paska keguguran. Masih sensitif dan masih sangat marah pada apa pun yang mengingatkannya pada penyebab dukanya tersebut. Khususnya terhadap Ayu.Seharusnya, sebagai seorang suami Raksa mengerti hal itu dan berusaha menjaga perasaannya dengan menjauhkan Ayu darinya. Tetapi yang terjadi malah, pria itu membawa Ayu kehadapan Shanum tanpa dosa sama sekali. Membuat Shanum makin muak di tempatnya.Masih pantaskah Reksa disebut sebagai seorang suami?"Hai, Shanum. Bagaimana kabarmu? Aku ... turut berduka untuk bayimu." Ayu memasang wajah sendu menatap Shanum. Entah benar-benar tulus, atau hanya modus karena di sana ada Reksa."Aku juga minta maaf untuk semalam. Aku tidak tahu jika akhirnya akan begini. Kalau aku tahu, sudah kularang temanku menghubungi Reksa."Shanum tetap bergeming. Membungkam mulutnya serapat mungkin, seraya menatap Ayu tanpa minat sama sekali.Katakan Shanum jahat. Tetapi, dia benar-benar sudah muak dengan wanita berbisa itu. Lain di mulut, lain ditindakan. Dasar muka dua!"Ah, ya. Aku bawakan buah dan--""Jauhkan bunga itu!" sergah Shanum cepat. Saat Ayu menyodorkan sebuah karangan bunga cantik kehadapannya.Ayu seketika terdiam. Mengerjap bingung lalu menoleh ke arah Reksa yang juga lumayan terkejut akan sikap Shanum barusan."Shanum, kok kamu gitu? Gak baik loh nolak pemberian orang," tegur Reksa kemudian.Shanum melirik Reksa dengan tatapan dingin, sebelum menjawab. "Kalau-kalau kamu lupa. Aku alergi dengan serbuk sari dari bunga."Reksa pun tertegun di tempatnya. Tiba-tiba merasa bersalah karena telah salah faham pada sikap Shanum barusan. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan alergi istrinya tersebut."Uhm ... maaf, maaf. Aku lupa."Reksa mulai gelagapan dan tak enak hati pada Shanum. Dalam hati ingin sekali Shanum membalas. 'Memang apa yang kamu ingat dari aku?'. Namun, nyatanya Shanum memilih menelan kalimat itu akhirnya.Shanum sudah tak punya minat berdebat dengan pria plin plan itu."Uhm ... sini bunganya." Pria itu lalu merebut rangkaian bunga dari tangan Ayu. Lalu melangkah menjauh."Buang!" titah Shanum tegas. Membuat gerak tangan Reksa yang berniat menaruh bunga tersebut di pojok ruangan terhenti.Pria itu melirik Shanum sekilas, lalu bergantian ke arah Ayu. Reksa seketika bingung akan mengambil keputusan bagaimana tentang bunga di tangannya.Jujur saja, dia tidak ingin mengecewakan Shanum lagi. Tetapi di sisi lain, dia tidak enak jika harus membuang bunga pemberian Ayu tersebut."Tidak usah di buang. Di sini kan jauh dari--""Ruangan ini ber-Ac. Serbuk sari mudah menyebar terbawa angin. Tidak ada gunanya jika hanya menjauhkan tapi masih dalam ruangan yang sama." Shanum menyela lagi dengan cepat. Membuat Reksa kehilangan kata-katanya lagi."Tapi--""Lagipula yang punya alergi itu aku. Jadi hanya aku yang paling tahu bagaimana menanganinya."Reksa pun semakin kehilangan kata-katanya. Akhirnya, dengan berat hati dia pun membawa bunga tersebut keluar lalu membuangnya pada tong sampah yang ada di depan.Sekilas, Shanum melihat rahang Ayu mengeras dengan tangan yang mengepal. Entah gadis itu sadar atau tidak."Sudah aku buang. Kamu senang?" Reksa kembali masuk dan menghadap Shanum. Tatapannya masih syarat akan rasa tak terima.Tetapi, Shanum kembali bergeming. Melempar pandangan ke lain arah. Seolah lupa tentang bagaimana cara berterima kasih."Shanum--""Aku mau tidur. Bisa kalian pergi?"Reksa mengerang tertahan mendapati sikap ketus Shanum kembali. Wanita itu bahkan kini tak berbasa-basi lagi. Seenaknya mengusir mereka. Padahal ...."Shanum, kamu bisa tidak menghargai Ayu. Dia sudah baik hati mau menjenguk kamu. Kenapa kamu malah memperlakukannya begini? Bagaimana pun, dia tamu, Shanum. Tidak bisakah kamu sopan sedikit?" Reksa mulai kehilangan kesabaran."Aku tidak pernah minta dijenguk dia.""Shanum!""Reksa, sudah!" Ayu segera melerai, dan menghalangi tubuh Reksa yang hendak menghampiri istrinya. "Shanum pasti masih sangat sedih saat ini. Dia butuh waktu untuk bisa menerima semuanya. Jadi, jangan memaksanya."Hih! Manis sekali kata-katanya. Saking manisnya, Shanum sampai mual."Tapi, Yu--""Aku tidak apa-apa, Sa. Sungguh! Aku juga salah kok datang sekarang. Harusnya besok saja. Saat Shanum sudah tenang, dan bisa menerima semuanya. Tentunya, juga bukan di jam istirahat Shanum. Jadi, jangan marah sama Shanum lagi, ya? Dia tidak salah, kok. Dia memang sudah seharusnya beristirahat lebih banyak agar kondisinya segera pulih."Shanum tetap bungkam. Memilih menyimak saja obrolan dua orang di ruangannya itu. Meski, kembali muak dengan mulut manis dan sikap munafik yang disuguhkan.Reksa menyugar rambutnya kasar. Melirik Shanum lagi dengan rasa kesal luar biasa. Wanita itu mulai berubah di matanya."Kamu lihat kan, Num. Ayu tidak seperti yang kamu kira selama ini?" terang Reksa kemudian. Namun, diabaikan oleh Shanum.Shanum sudah tidak perduli apa pun ucapan Reksa lagi. Kekecewaannya lebih besar dari apa pun saat ini. Toh, biasa juga yang selalu salah di mata Reksa memang hanya dirinya."Sa, sudah. Jangan marah terus. Kasian Shanum. Biarkan dia istirahat." Ayu kembali membujuk."Ya, sudah. Biar ku antar kamu pulang saja kalau begitu. Ayo, Yu!"Kemudian, Reksa pun membimbing Ayu ke luar ruangan dengan mesra. Tak perduli sama sekali jika itu kembali menyakiti hati Shanum.Kalau memang sudah tak menginginkan Shanum. Kenapa Reksa tidak melepaskan Shanum saja? Setidaknya, Shanum tidak harus bertahan dalam asa yang kosong terus menerus.Shanum mulai menyesali janji yang pernah dia buat untuk Reksa di awal pernikahan mereka. Bahwasanya dia akan mencoba bertahan dalam kondisi apa pun di samping Reksa, selama pria itu tidak menikah lagi. Kasarnya poligami.Seandainya Shanum tahu bagaimana intimnya hubungan Reksa dengan Ayu sejak dulu. Tentunya, dia tak akan sembarangan membuat janji. Karena meski Reksa masih menjadikan Shanum istri satu-satunya. Tetapi hati pria itu sudah terbagi dua entah sejak kapan.Jika sudah begini, masih bisa kah Shanum bertahan dalam mahligai pernikahannya?***"Kakak kok sendirian? Kak Reksa mana?" tanya Diva, saat esok harinya mengunjungi Shanum."Mengantar Ayu." Shanum menjawab singkat. Seraya melanjutkan sarapannya pagi itu.Meski sebenarnya mulutnya masih tak minat makan apa pun. Tetapi, Shanum tidak mau makin bodoh dengan menyiksa diri dengan mengabaikan kesehatannya. Jadi, dia pun memaksakan mulutnya menelan makanan rumah sakit dan obat-obatan yang disediakan."Mengantar Kak Ayu? Maksudnya?" tanya Diva lagi penasaran.Namun, Shanum tak memberikan penjelasan apa pun lagi. Hanya menaikan bahu acuh, sebelum melanjutkan sarapannya tanpa minat sama sekali.Melihat itu, Diva pun meraih ponselnya dan keluar dari ruang rawat Shanum. Mungkin, dia mau menelepon Reksa. Atau malah langsung mengadu pada ayahnya. Yang jelas, tak berselang lama setelah itu. Reksa pun datang ke ruang rawat Shanum dengan marah, dan menghardik Shanum dengan keras."Kamu bisa tidak. Apa-apa jangan mengadu ke Papa! Kamu tahu, kasian Ayu yang akhirnya juga kena omelan Papa."Ayu lagi! Ayu saja terus yang di kasihani. Sementara Shanum yang semalaman ditinggal sendiri di rumah sakit, tak diperdulikan Reksa sama sekali.Apa Reksa lupa kalau Shanum baru saja menjalani operasi untuk mengeluarkan janinnya? Dia masih butuh bantuan meski hanya untuk sekedar pergi ke toilet!Biasanya, Shanum akan membela diri jika merasa memang tidak bersalah. Meski akan berakhir percuma, Shanum akan tetap mencoba menjelaskan duduk masalah sebenarnya pada Reksa. Tetapi kali ini berbeda. Mendengar tuduhan Reksa yang seenaknya. Shanum memilih diam dan memalingkan wajah ke arah lain. Seolah memang sudah tak sudi melihat wajah suaminya lagi. "Sikap macam apa ini, Shanum? Jawab aku!" Reksa pun semakin marah, lalu mencengkram dagu Shanum lumayan keras, dan memutarnya agar menatap Reksa.Sakit sebenarnya. Namun, Shanum tetap memilih diam. Hanya membalas tatapan tajam Reksa dengan dingin. Memang ada bedanya jika Shanum jelaskan?"Shanum? Jangan diam saja. Katakan sesuatu. Kenapa kamu suka sekali mengadu?" cecar Reksa lagi. Seraya menguatkan cengkramannya pada dagu Shanum. Shanum pun menghela tangan itu kasar hingga terlempar lumayan kuat. Namun, tetap mempertahankan tatapan dinginnya pada Reksa. "Kalau aku bilang, aku tidak melakukannya, kamu percaya?""Tidak!" jawab Reksa c
Shanum tahu, sebagian dari kalian pasti mengatainya bodoh, tolol, goblok atau apalah itu. Padahal punya kesempatan mengadu, tapi malah tidak melakukannya, bahkan sengaja menutupi semuanya. Ya, Shanum akui. Dia memang bodoh. Namun, pernahkah kalian mempunyai prinsif hidup? Nah, sebenarnya itulah yang sedang Shanum lakukan saat ini, yaitu memegang prinsif hidup yang sudah dia pilih. Reksa adalah pilihannya. Pun pernikahan ini. Jadi seburuk dan seperih apa pun yang ia jalani saat ini. Shanum hanya mencoba menerima, karena ini adalah resiko atas pilihannya. Terlebih, Shanum sudah pernah bilang, kan? Dia sudah membuat janji pada Reksa, tak akan pernah meninggalkan pria itu selama dia tidak memukul dan memiliki istri lain. Karenanya, meski sakit, Shanum terpaksa tetap bertahan."Astaga! Kak Reksa ngapain?" Diva tiba-tiba hadir di ambang pintu. "Lepasin! Jangan sakiti Kak Shanum lagi!" Diva bahkan menarik Reksa agar segera menjauh dari Shanum. "Awas, ya, kalau Kak Reksa macam-macam lagi s
Sebenarnya enggan sekali untuk Shanum kembali ke rumah keluarga Reksa, setelah akhirnya diperbolehkan keluar dari Rumah sakit. Namun, akan kemana lagi ia jika bukan ke rumah itu. Di kota ini Shanum tidak punya siapa pun selain suami dan keluarganya. Kebodohan Shanum lainnya yang baru ia sesali akhir-akhir ini. Ya, ia memang sebodoh itu. Nekad hidup jauh dari keluarga dan sanak saudara. Hanya demi bisa hidup dengan sang pujaan hati. Tak pernah sekalipun ia memikirkan hal buruk pada rumah tangganya, yang akan membuatnya membutuhkan sandaran lain selain sang suami. Tidak, Shanum tidak berniat kekanakan dan ingin kabur-kaburan jika ada masalah dalam rumah tangganya. Hanya saja, memang kadang kita butuh orang lain untuk sekedar berbagi dan mencari solusi untuk segala pelik yang tak bisa kita pikirkan sendiri. Memang curhat dan membagi aib keluarga sendiri itu tidak boleh. Namun, kalau memang tak sanggup memikirkannya sendiri. Tidak ada salahnya bertanya pada yang lebih paham, kan? Selain
*Happy Reading*"Kamu ... menjual perhiasan?" beo Reksa terkejut. "Kenapa?" tanyanya kemudian penasaran.Shanum tersenyum mencemooh di tempatnya. "Kamu kira, memang dari mana aku bisa menambal semua bolong biaya keluarga ini, kalau bukan dari hasil jual perhiasan.""Tapi ... kenapa bisa begitu? Bukannya biaya rumah ini masih dibantu Papa dan Kak Rendi. Kita udah sepakat untuk hal itu. Papa untuk biaya dapur. Listrik dan air dari Kak Rendy." Reksa masih tak bisa percaya begitu saja. Shanum menaikan bahu acuh seraya meraih bukunya sendiri. "Untuk hal itu. Kamu tanya kan saja pada orang-orang yang bersangkutan," ucap Shanum ambigu.Reksa terdiam lagi. Menatap Shanum lekat seolah mencari tanda kebohongan dari wanita itu. Namun, dari gestur dan rona wajahnya. Jelas tidak ada resah dan kepanikan yang biasanya bisa dilihat dari seseorang yang tengah berbohong. Itu berarti. Shanum jujur. Istrinya tidak sedang berbohong atau apalah itu. Akan tetapi, kenapa bisa begini? Siapa yang harus Reksa
Brak!"Cukup, Shanum!" seru Reksa tiba-tiba setelah sebelumnya menggebrak meja keras sekali. Membuat yang ada di sana terkesiap kaget. Hati Reksa kesal luar biasa. Lagi-lagi Shanum sembarangan menuduh sang ibu. Apa sih maunya Shanum itu? Kenapa tiba-tiba berubah jadi durhaka begini. Tepatnya sejak keluar dari rumah sakit, Shanum mulai berubah menjadi orang yang tak Reksa kenali lagi. Ada apa dengan istrinya itu?"Kenapa marah? Aku kan hanya bicara fakta. Dan faktanya memang sejak menikah, ATM gaji aku di ambil ibumu.""Itu tidak--""Tanyakan saja pada ibumu kebenarannya," sahut Shanum santai seraya melirik Mama Rima. Yang dilirik terlihat mulai gusar. Apalagi ketika semua orang yang ada di sana turut menatapnya penuh tanya. Mama Rima semakin blingsatan. "Ma--""Itu tidak benar!" bantah Mama Rima cepat, saat Diva baru saja ingin buka suara. "Kamu jangan sembarangan nuduh Mama, Ya? Mana ada Mama ambil ATM kamu!" Mama Rima menegaskan. Namun, berbeda dengan suara lantangnya. Wajahnya me
*Happy Reading*Brak!Jika beberapa saat lalu Reksa yang menggebrak meja. Kali ini giliran Papa Hendra, mertua laki-laki Shanum yang melakukannya. Gebrakannya lebih kencang hingga membuat kami semua terlonjak kaget. "Keterlaluan kamu, Ma! Maksud kamu apa melakukan itu pada Shanum?!" hardik Papa Hendra keras, mendelik marah pada Mama Rima. Yang punya nama terlihat menelan saliva kelat di tempatnya. Namun, setelahnya bersikap seolah tak melakukan kesalahan apa pun. "Memang kenapa? Wajar kan kalau Mama menyita ATM Shanum? Bagaimana pun, dia numpang dan ikut makan juga di sini. Dan ayolah, Pah. Hari gini mana ada sih yang gratis. Semuanya ada harganya."Lihatlah sifat terpuji Mama mertua Shanum. Benar-benar seperti tak punya urat malu lagi. Numpang, katanya? Oh, gosh! Apa Mama Rima lupa kalau Reksa lah yang selama ini membayar cicilan rumah yang mereka tempati. Itu berarti, secara tak langsung rumah itu milik Reksa, kan? Dan Reksa adalah suami Shanum. Jadi, siapa yang menumpang?Papa H
*Happy Reading*"Tunggu!"Langkah Shanum sontak terhenti kala mendengar seruan barusan. Kepala Shanum refleks berputar ke sumber suara dan menemukan Mama Rima tengah tergopoh menghampirinya. "Kamu mau ngapain, Shanum?" tanya Mama Rima kemudian melirik benda yang ada di tangan Shanum. Pertanyaan bodoh macam apa itu. Jelas-jelas Shanum sedang memegang gelas bersih, tentunya dia ingin minum air. Kenapa malah bertanya? Harus banget apa Shanum jelaskan."Mau minum." Namun, Shanum sedang tidak ingin berdebat. Karenanya, dia menjawab seadanya pertanyaan Mama Rima. "Oh ... mau minum," gumam Mama Rima. "Mau berapa gelas? Satu, dua, atau tiga?"Kerutan di dahi Shanum semakin dalam mendengar pertanyaan lanjutan ibu mertuanya ini. Maksudnya apa bertanya begini? Memang kenapa kalau Shanum mau minim berapa gelas? Mau minum segalon pun, bukan urusan mama mertuanya, kan?"Kenapa memang?" Shanum bertanya balik. "Jawab aja, kamu mau minum berapa gelas?" Mama Rima bersikukuh. "Segelas, mungkin," ja
Niat hati keluar rumah karena ingin menghindar dari pertengkaran dengan Mama Rima, demi kesehatan mentalnya dan kewarasan jiwa. Siapa sangka, ternyata di sini pun, mental Shanum tetap di uji. Bagaimana tidak? Saat Shanum sedang menunggui cucian yang tengah berputar di mesin cuci. Matanya tak sengaja menyaksikan keromantisan yang tengah tercipta antara Reksa dan Ayu."Kenapa sekarang dunia mendadak sempit, sih?" Shanum bermonolog dengan desahan lelah.Entah ini suatu kebetulan atau memang sudah jalan dari Tuhan. Tempat laundry yang Shanum kunjungi memang berada di sebrang sebuah cafe yang tengah hits saat ini. Dan di sanalah, Shanum melihat keberadaan Reksa dan Ayu yang sedang makan siang dengan kedekatan yang janggal untuk ukuran sebuah hubungan yang di sebut 'sepupu'. Terlalu intim. Bahkan, alih-alih sepupu, mereka lebih cocok di sebut pasangan yang tengah kasmaran.Kenapa begitu? Lihat saja, makan aja harus suap-suapan begitu. Belum lagi tangan Reksa juga tak canggung mengusap, men