Biasanya, Shanum akan membela diri jika merasa memang tidak bersalah. Meski akan berakhir percuma, Shanum akan tetap mencoba menjelaskan duduk masalah sebenarnya pada Reksa.
Tetapi kali ini berbeda. Mendengar tuduhan Reksa yang seenaknya. Shanum memilih diam dan memalingkan wajah ke arah lain. Seolah memang sudah tak sudi melihat wajah suaminya lagi."Sikap macam apa ini, Shanum? Jawab aku!" Reksa pun semakin marah, lalu mencengkram dagu Shanum lumayan keras, dan memutarnya agar menatap Reksa.Sakit sebenarnya. Namun, Shanum tetap memilih diam. Hanya membalas tatapan tajam Reksa dengan dingin. Memang ada bedanya jika Shanum jelaskan?"Shanum? Jangan diam saja. Katakan sesuatu. Kenapa kamu suka sekali mengadu?" cecar Reksa lagi. Seraya menguatkan cengkramannya pada dagu Shanum.Shanum pun menghela tangan itu kasar hingga terlempar lumayan kuat. Namun, tetap mempertahankan tatapan dinginnya pada Reksa."Kalau aku bilang, aku tidak melakukannya, kamu percaya?""Tidak!" jawab Reksa cepat. Lebih cepat dari yang Shanum pikirkan."Ya sudah kalau begitu. Untuk apa bertanya lagi. Bukankah hanya buang-buang napasku saja," tukas Shanum datar."Shanum, kamu--"Ddrrrtt .... dddrrtt ... dddrrrtt ...Hardikan Reksa pun seketika menggantung di udara, saat tiba-tiba getar panjang terasa dari balik saku celananya. Tanda bahwa ada yang sedang menghubunginya.Reksa pun segera meraih gawai pintarnya. Lalu terdiam saat melihat nama si pemanggil yang tertera di layar depan. Pria itu kemudian bergegas pergi dari ruang rawat Shanum.Kiranya, yang menelepon Reksa adalah Ayu, seperti biasanya. Tetapi sepertinya kali ini bukan. Karena dari tempatnya, samar Shanum mendengar pria itu menyebut-nyebut nama bunda.Mungkinkah yang sedang menelepon Reska adalah Bunda Karina? Bundanya yang lama tak jumpa dan sangat dia rindukan.Tak lama, Reksa kembali lagi. Sambil menutup bagian bawah ponselnya dengan wajah yang nampak resah. Pria itu lalu berdesis di hadapan Shanum."Bunda Karin mau bicara denganmu. Awas saja kalau kamu berani mengadu!" Pria itu mencoba mengancam Shanum.Setelah itu, Reksa menyerahkan ponselnya pada Shanum. Namun, tak berniat meninggalkan wanita itu sedikit pun. Pria itu bahkan sengaja membuat mode speaker pada panggilan tersebut, dan terus menatap Shanum tajam, seakan ingin memastikan jika Shanum melaksanakan titahnya.Shanum membalas tatapan itu tak gentar. Lalu mulai mengubah nada suara seperti biasanya untuk menjawab telepon bundanya."Asalamualaikum, Bunda.""Waalaikumsalam, Shanum. Alhamdulilah ya Allah, akhirnya bunda bisa juga denger suara kamu," jawab Bunda Karin antusias. "Ya ampun Shanum. Kamu kemana aja, sih? Dari kemarin loh Bunda teleponin. Tapi nggak pernah diangkat. Buat Bunda jadi khawatir saja," lanjut Bunda. Diam-diam membuat Shanum ingin menangis di tempatnya.Padahal Shanum hanyalah anak angkat. Tetapi sikap Bundanya selalu sangat perhatian padanya. Tidak pernah membeda-bedakan kasih sayang dan selalu memberikan cinta yang setara dengan anak kandungnya.Tak perduli apa kata orang tentang Shanum. Bunda tidak pernah berubah dalam menyayangi Shanum. Meski tidak terlahir dari rahim yang sama. Shanum selalu mendapatkan apa pun yang kedua adiknya juga dapatkan. Kecuali nama belakang keluarga Setiawan.Tetapi, Shanum tidak pernah perduli akan hal itu. Dia sadar diri dan tidak pernah berharap lebih. Toh, baginya, itu hanya sekedar deretan huruf saja, tidak ada yang spesial. Penting buat Shanum adalah, ada atau tidak nama itu di belakang namanya, dia tidak pernah kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.Sayangnya, hal itu tidak berlaku untuk mertuanya. Terutama Mama Rima. Baginya, karena Shanum hanya anak angkat di keluarga Setiawan. Shanum laksana air yang sudah dibuang setelah keluar dari sana. Tidak akan mendapatkan apa-apa."Maaf, maaf, Bunda. Shanum tidak bermaksud buat Bunda Khawatir. Tapi .... " Shanum melirik Reksa lagi. "Shanum memang sedang sibuk sekali saat ini. Ada banyak naskah yang harus Shanum sortir di penerbitan."Mimik wajah Reksa yang tadinya keruh perlahan memudar mendengar alasan Shanum. Syukurlah istrinya masih bisa dia kendalikan."Beneran kamu, Shanum?" Namun, entah memang feelling seorang ibu atau bagaimana, Bunda Karin ternyata tak begitu saja percaya."Kok Bunda nanyanya begitu? Tumben gak percaya sama Shanum?" tanya balik Shanum."Bukan begitu Shanum. Tapi ...." Bunda terdengar ragu melanjutkan kalimatnya."Nina, sudahlah." Tiba-tiba suara Daddy Arjuna ikut terdengar. "Kamu kan sudah dengar suara Shanum, dan dia juga sudah bilang tidak apa-apa. Jadi, berhenti khawatir," tegur Daddy-nya lagi."Tapi, Jun--""Sini, biar aku yang bicara dengan Shanum." Daddy sepertinya mengambil alih ponsel tersebut dari Bunda Karin. "Hallo, Princess? Do you miss me?"Ya, Tuhan. Shanum benar-benar merindukan kedua orang tuanya. Khususnya Daddy Arjuna, yang selalu menjadi tempat bermanjanya selama ini."Of course, Dad. I miss u so much." Shanum berusaha sekuat tenaga mempertahankan suaranya seriang mungkin. Menyembunyikan hasrat hatinya yang sangat ingin meronta, mengadukan semua laranya pada orang terkasih."Aku senang sekali mendengar suaramu, Shanum. Kamu baik-baik saja kan di sana? Reska memperlakukan kamu dengan baik, kan?"Ekhem! Tiba-tiba Reska meminta atensi. Seakan sengaja mengingatkan ancaman yang tadi sempat dia ucapkan."Baik, kok, Dad. Tidak usah khawatir," jawab Shanum dengan berat hati. "Ah, iya. Bunda bagaimana? Beliau tidak apa-apa, kan?" Shanum sengaja mengalihkan obrolan segera."Baik, tentu saja baik. Dia hanya ... sedang merindukanmu saja. Jadinya sering bermimpi buruk dan mulai berpikir yang tidak-tidak."Tuhan, seandainya Shanum boleh jujur."Tapi kamu tidak usah khawatir, Shanum. Dia kan memang selalu seperti itu kalau lama tak jumpa anak-anaknya." Daddy bersuara lagi. Berusaha menenangkan Shanum. "Jangankan kamu di luar kota. Kairo dan Ken saja, yang satu kota. Jika dua atau tiga hari tidak mampir, dia akan uring-uringan. Begitulah bunda, iya kan?""Ya, Daddy benar. Begitulah bunda." Shanum memaksakan tawa kecil demi menyempurnakan ektingnya. Padahal aslinya, matanya sudah memanas. Siap menangis kapan saja."Tolong sampaikan pada Bunda, tidak usah khawatir lagi sama Shanum. Aku di sini baik-baik saja, kok (Setidaknya untuk saat ini). Nanti kalau ada waktu, Shanum akan main ke rumah nemuin Bunda."Nah, kau dengar sendiri kan, Nina?" Daddy berucap pada Bunda."Bener ya, Shanum? Janji!" Bunda berseru di samping Daddy."Iyaaa!" Shanum sengaja ikut berseru. Meski sebenarnya, dia tidak tahu bisa menepati janjinya itu atau tidak.Setelahnya, panggilan telepon tersebut di matikan. Reksa segera merebut ponselnya dari Shanum, dan memasukannya kembali pada saku celana. Pria itu lalu tersenyum miring pada Shanum. Menyentuh dagu istrinya dengan jari telunjuk, kemudian mengangkatnya perlahan hingga wajah mereka sejajar."Sungguh pintar sekali berpura-pura," desisnya dengan nada yang menyebalkan.Dasar tidak tahu terima kasih!Shanum tahu, sebagian dari kalian pasti mengatainya bodoh, tolol, goblok atau apalah itu. Padahal punya kesempatan mengadu, tapi malah tidak melakukannya, bahkan sengaja menutupi semuanya. Ya, Shanum akui. Dia memang bodoh. Namun, pernahkah kalian mempunyai prinsif hidup? Nah, sebenarnya itulah yang sedang Shanum lakukan saat ini, yaitu memegang prinsif hidup yang sudah dia pilih. Reksa adalah pilihannya. Pun pernikahan ini. Jadi seburuk dan seperih apa pun yang ia jalani saat ini. Shanum hanya mencoba menerima, karena ini adalah resiko atas pilihannya. Terlebih, Shanum sudah pernah bilang, kan? Dia sudah membuat janji pada Reksa, tak akan pernah meninggalkan pria itu selama dia tidak memukul dan memiliki istri lain. Karenanya, meski sakit, Shanum terpaksa tetap bertahan."Astaga! Kak Reksa ngapain?" Diva tiba-tiba hadir di ambang pintu. "Lepasin! Jangan sakiti Kak Shanum lagi!" Diva bahkan menarik Reksa agar segera menjauh dari Shanum. "Awas, ya, kalau Kak Reksa macam-macam lagi s
Sebenarnya enggan sekali untuk Shanum kembali ke rumah keluarga Reksa, setelah akhirnya diperbolehkan keluar dari Rumah sakit. Namun, akan kemana lagi ia jika bukan ke rumah itu. Di kota ini Shanum tidak punya siapa pun selain suami dan keluarganya. Kebodohan Shanum lainnya yang baru ia sesali akhir-akhir ini. Ya, ia memang sebodoh itu. Nekad hidup jauh dari keluarga dan sanak saudara. Hanya demi bisa hidup dengan sang pujaan hati. Tak pernah sekalipun ia memikirkan hal buruk pada rumah tangganya, yang akan membuatnya membutuhkan sandaran lain selain sang suami. Tidak, Shanum tidak berniat kekanakan dan ingin kabur-kaburan jika ada masalah dalam rumah tangganya. Hanya saja, memang kadang kita butuh orang lain untuk sekedar berbagi dan mencari solusi untuk segala pelik yang tak bisa kita pikirkan sendiri. Memang curhat dan membagi aib keluarga sendiri itu tidak boleh. Namun, kalau memang tak sanggup memikirkannya sendiri. Tidak ada salahnya bertanya pada yang lebih paham, kan? Selain
*Happy Reading*"Kamu ... menjual perhiasan?" beo Reksa terkejut. "Kenapa?" tanyanya kemudian penasaran.Shanum tersenyum mencemooh di tempatnya. "Kamu kira, memang dari mana aku bisa menambal semua bolong biaya keluarga ini, kalau bukan dari hasil jual perhiasan.""Tapi ... kenapa bisa begitu? Bukannya biaya rumah ini masih dibantu Papa dan Kak Rendi. Kita udah sepakat untuk hal itu. Papa untuk biaya dapur. Listrik dan air dari Kak Rendy." Reksa masih tak bisa percaya begitu saja. Shanum menaikan bahu acuh seraya meraih bukunya sendiri. "Untuk hal itu. Kamu tanya kan saja pada orang-orang yang bersangkutan," ucap Shanum ambigu.Reksa terdiam lagi. Menatap Shanum lekat seolah mencari tanda kebohongan dari wanita itu. Namun, dari gestur dan rona wajahnya. Jelas tidak ada resah dan kepanikan yang biasanya bisa dilihat dari seseorang yang tengah berbohong. Itu berarti. Shanum jujur. Istrinya tidak sedang berbohong atau apalah itu. Akan tetapi, kenapa bisa begini? Siapa yang harus Reksa
Brak!"Cukup, Shanum!" seru Reksa tiba-tiba setelah sebelumnya menggebrak meja keras sekali. Membuat yang ada di sana terkesiap kaget. Hati Reksa kesal luar biasa. Lagi-lagi Shanum sembarangan menuduh sang ibu. Apa sih maunya Shanum itu? Kenapa tiba-tiba berubah jadi durhaka begini. Tepatnya sejak keluar dari rumah sakit, Shanum mulai berubah menjadi orang yang tak Reksa kenali lagi. Ada apa dengan istrinya itu?"Kenapa marah? Aku kan hanya bicara fakta. Dan faktanya memang sejak menikah, ATM gaji aku di ambil ibumu.""Itu tidak--""Tanyakan saja pada ibumu kebenarannya," sahut Shanum santai seraya melirik Mama Rima. Yang dilirik terlihat mulai gusar. Apalagi ketika semua orang yang ada di sana turut menatapnya penuh tanya. Mama Rima semakin blingsatan. "Ma--""Itu tidak benar!" bantah Mama Rima cepat, saat Diva baru saja ingin buka suara. "Kamu jangan sembarangan nuduh Mama, Ya? Mana ada Mama ambil ATM kamu!" Mama Rima menegaskan. Namun, berbeda dengan suara lantangnya. Wajahnya me
*Happy Reading*Brak!Jika beberapa saat lalu Reksa yang menggebrak meja. Kali ini giliran Papa Hendra, mertua laki-laki Shanum yang melakukannya. Gebrakannya lebih kencang hingga membuat kami semua terlonjak kaget. "Keterlaluan kamu, Ma! Maksud kamu apa melakukan itu pada Shanum?!" hardik Papa Hendra keras, mendelik marah pada Mama Rima. Yang punya nama terlihat menelan saliva kelat di tempatnya. Namun, setelahnya bersikap seolah tak melakukan kesalahan apa pun. "Memang kenapa? Wajar kan kalau Mama menyita ATM Shanum? Bagaimana pun, dia numpang dan ikut makan juga di sini. Dan ayolah, Pah. Hari gini mana ada sih yang gratis. Semuanya ada harganya."Lihatlah sifat terpuji Mama mertua Shanum. Benar-benar seperti tak punya urat malu lagi. Numpang, katanya? Oh, gosh! Apa Mama Rima lupa kalau Reksa lah yang selama ini membayar cicilan rumah yang mereka tempati. Itu berarti, secara tak langsung rumah itu milik Reksa, kan? Dan Reksa adalah suami Shanum. Jadi, siapa yang menumpang?Papa H
*Happy Reading*"Tunggu!"Langkah Shanum sontak terhenti kala mendengar seruan barusan. Kepala Shanum refleks berputar ke sumber suara dan menemukan Mama Rima tengah tergopoh menghampirinya. "Kamu mau ngapain, Shanum?" tanya Mama Rima kemudian melirik benda yang ada di tangan Shanum. Pertanyaan bodoh macam apa itu. Jelas-jelas Shanum sedang memegang gelas bersih, tentunya dia ingin minum air. Kenapa malah bertanya? Harus banget apa Shanum jelaskan."Mau minum." Namun, Shanum sedang tidak ingin berdebat. Karenanya, dia menjawab seadanya pertanyaan Mama Rima. "Oh ... mau minum," gumam Mama Rima. "Mau berapa gelas? Satu, dua, atau tiga?"Kerutan di dahi Shanum semakin dalam mendengar pertanyaan lanjutan ibu mertuanya ini. Maksudnya apa bertanya begini? Memang kenapa kalau Shanum mau minim berapa gelas? Mau minum segalon pun, bukan urusan mama mertuanya, kan?"Kenapa memang?" Shanum bertanya balik. "Jawab aja, kamu mau minum berapa gelas?" Mama Rima bersikukuh. "Segelas, mungkin," ja
Niat hati keluar rumah karena ingin menghindar dari pertengkaran dengan Mama Rima, demi kesehatan mentalnya dan kewarasan jiwa. Siapa sangka, ternyata di sini pun, mental Shanum tetap di uji. Bagaimana tidak? Saat Shanum sedang menunggui cucian yang tengah berputar di mesin cuci. Matanya tak sengaja menyaksikan keromantisan yang tengah tercipta antara Reksa dan Ayu."Kenapa sekarang dunia mendadak sempit, sih?" Shanum bermonolog dengan desahan lelah.Entah ini suatu kebetulan atau memang sudah jalan dari Tuhan. Tempat laundry yang Shanum kunjungi memang berada di sebrang sebuah cafe yang tengah hits saat ini. Dan di sanalah, Shanum melihat keberadaan Reksa dan Ayu yang sedang makan siang dengan kedekatan yang janggal untuk ukuran sebuah hubungan yang di sebut 'sepupu'. Terlalu intim. Bahkan, alih-alih sepupu, mereka lebih cocok di sebut pasangan yang tengah kasmaran.Kenapa begitu? Lihat saja, makan aja harus suap-suapan begitu. Belum lagi tangan Reksa juga tak canggung mengusap, men
"Lagi ngapain kamu di sini?" Ternyata bukan hanya Shanum yang melihat keberadaan Reksa. Akhirnya pria itu pun melihat Shanum di tempat laundry. Bedanya, Reksa baru melihat kala akan pulang, itu pun tak sengaja. Shanum kira, Reksa tak akan perduli padanya dan akan langsung pergi sama Ayu. Namun, siapa sangka ternyata pria itu malah menghampiri. "Menurut kamu, orang kalau ke tempat laundry itu ngapain? Mancing?" sahut Shanum datar, terkesan malas. Lagi pula pertanyaannya memang konyol, kan?Mendengar sahutan Shanum, Reksa terlihat tak suka. Semakin hari, istrinya ini memang semakin menyebalkan. Acuh, abai, dan kalau jawan suka seenaknya. Membuat Reksa kesal saja. "Kamu laundry pakaian? Kenapa? Kan di rumah juga ada mesin cuci?" Reksa bertanya heran."Memang ada. Tapi biaya cucinya di sana mahal. Lebih murah di sini," jawaban Shanum tetap datar."Maksudnya?" Bukannya menjelaskan, Shanum malah mengangkat bahunya. Lalu kembali fokus pada majalah yang sedang ia baca sebelumnya. "Num--"