*Happy Reading*
"Kamu ... menjual perhiasan?" beo Reksa terkejut. "Kenapa?" tanyanya kemudian penasaran.Shanum tersenyum mencemooh di tempatnya. "Kamu kira, memang dari mana aku bisa menambal semua bolong biaya keluarga ini, kalau bukan dari hasil jual perhiasan.""Tapi ... kenapa bisa begitu? Bukannya biaya rumah ini masih dibantu Papa dan Kak Rendi. Kita udah sepakat untuk hal itu. Papa untuk biaya dapur. Listrik dan air dari Kak Rendy." Reksa masih tak bisa percaya begitu saja.Shanum menaikan bahu acuh seraya meraih bukunya sendiri. "Untuk hal itu. Kamu tanya kan saja pada orang-orang yang bersangkutan," ucap Shanum ambigu.Reksa terdiam lagi. Menatap Shanum lekat seolah mencari tanda kebohongan dari wanita itu. Namun, dari gestur dan rona wajahnya. Jelas tidak ada resah dan kepanikan yang biasanya bisa dilihat dari seseorang yang tengah berbohong.Itu berarti. Shanum jujur. Istrinya tidak sedang berbohong atau apalah itu. Akan tetapi, kenapa bisa begini? Siapa yang harus Reksa salahkah dari masalah kebocoran biaya rumah tangga ini?"Lalu, ini bagaimana jadinya?" Reksa kembali bertanya dengan nada bingung."Apanya?" tanya balik Shanum."Mobil baru permintaan Mama."Gigi Shanum mengatup kesal diam-diam. Jelas-jelas Reksa sudah lihat sendiri saldo rekeningnya kosong, kenapa pula masih bertanya begitu? Dia bodoh atau bagaimana?"Ya terserah kamu. Kalau kamu memang punya uang, silahkan beli. Aku gak keberatan, kok." Shanum menanggapi acuh."Tapi uangku kan di sini semua, Num. Selama ini aku hanya ambil sedikit untuk jatah bensin dan jajan kalau tak sempat makan. Di dompet aku sekarang cuma ada 500rb bagaimana aku bisa beli mobil?""Nah, udah tahu begitu. Kenapa masih nanya? Kamu berharap apa dariku yang cuma editor di penerbitan kecil ini?" tukas Shanum gemas sekali.Reksa menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia pun bingung harus bagaimana sekarang. Kalau beli, uang dari mana. Gak beli, ya mamanya bisa merajuk panjang. Lalu, bagaimana sekarang?"Uhm ... kamu nggak ada gitu perhiasan yang masih tersisa. Biasanya perhiasan yang orang tua kamu beli kan mahal-mahal, Num. Bisalah kamu jual beberapa lagi buat beli mobil."Shanum menatap horor sang suami. Sungguh geram bukan main hatinya saat ini mendengar permintaan Reksa yang ... astaga! Beneran dia sudah tak punya otak dan rasa malu kayaknya. Bukan mengganti perhiasan yang sudah terpaksa Shanum jual, malah ....Di kasih hati minta jantung ternyata si Reksa ini, ya?"Silahkan kamu cari sendiri, Mas. Jika memang masih ada. Silahkan jual seperti yang kamu inginkan," ucap Shanum akhirnya dengan jengah.Luar biasanya. Mendengar hal itu bukannya malu, Reksa malah seolah baru saja mendapat ijin. Pria itu pun gegas mengacak-ngacak lemari demi mencari perhiasan yang biasa Shanum simpan di sana.Shanum mendesah getir di tempatnya. Semakin menyesali kebodohannya memilih dan mempertahankan Reksa."Num, kok gak ada?" tanya Reksa, saat tak jua menemukan apa yang dicarinya."Kalau gak ketemu ya berarti udah gak ada," jawab Shanum acuh."Kok bisa? Bukannya perhiasan kamu yang dari bunda itu banyak, ya? Aku sempat melihatnya, loh." Reksa makin menyebalkan."Dan kamu kira. Berapa lama aku menambal kebocoran keuangan keluarga kamu?" tukas Shanum semakin jengah. "Satu tahun lebih bukan waktu yang singkat, Mas. Apalagi Mama dan keluarga kamu menuntut aku selalu menyiapkan makanan yang enak setiap hari. Kamu kira, bahan-bahannya gak mahal?" imbuh Shanum lagi."Apa maksud kamu?" Reksa menoleh tak terima. "Kok, kamu jadi nyalahin Mama sama keluarga aku, sih? Seolah-olah kami sudah jadi parasit di hidup kamu?"Faktanya, tanpa sadar memang itulah yang terjadi. Keluarga Reksa bukan hanya sudah menggerogoti harta yang ia bawa sebelum menikah, juga tenaga Shanum selama ini. Dengan alasan 'Bakti' mereka semua, kecuali Papa Mertua, memaksa Shanum melayani kebutuhan rumah ini.Shanum bahkan sampai harus kehilangan sang jabang bayi karena terlalu lelah. Mengingat hal itu, hatinya kembali bergolak. Antara marah, kecewa dan sedih membaur jadi satu."Aku gak bilang begitu, loh." Shanum masih berusaha menjawab sesantai mungkin."Tapi kalimat kamu mengartikan demikian!" tukas Reksa geram."Ya makanya aku balikin kartu itu sama kamu dan minta kamu aja yang mengatur keuangan kedepannya. Karena aku gak mau sampai ada salah faham lagi antara kita," jawab Shanum tenang sekali.Reksa terdiam. Rona wajahnya memerah karena juga sama tengah memendam emosi pada Shanum. Dia sungguh tak terima keluarganya di tuduh sebagai parasit. Terutama sang Mama. Tidak! Mamanya bukan seorang parasit!"Okeh!" seru Reksa akhirnya. "Aku setuju hal itu. Lihat saja! Akan kubuktikan jika ucapan kamu barusan salah. Dan sebenarnya memang kamunya saja yang boros!" Finalnya kemudian dengan menggebu-gebu.Setelah itu, Reksa pun berderap pergi begitu saja. Meninggalkan Shanum yang memilih meraih bukunya kembali dan melanjutkan acara membaca yang sempat terinterupsi oleh Reksa.Terserah pria itu sajalah. Toh, kebenaran akan muncul juga lambat laun.***"Sa, gimana? Jadinya kapan kita beli mobil?" tanya Sang Mama di sela obrolan makan malam itu.Reksa terlihat gelagapan. Lalu menggaruk hidungnya tanpa sadar. Ia melirik Shanum, seolah meminta bantuan untuk menjelaskan kondisi keuangan saat ini.Namun, apa Shanum akan membantu? Tentu saja tidak. Jangankan ingin membantu, perduli saja ia sudah tak ingin. Lagi pula, bukannya pria itu sendiri yang tadi berkoar ingin memberi pembuktian pada Shanum."Uhm ... kayaknya bulan ini gak bisa deh, Mah. Soalnya ... uhm ... uang Reksa tidak cukup," jawab pria bergelar suami Shanum pelan dan hati-hati sekali."Loh kok gitu? Bukannya gaji kamu besar ya, Sa?" tanya Mama Rima tak terima. "Ah ... jangan-jangan kamu tidak mengijinkan ya, Shanum?" tuduhnya kemudian pada sang menantu seenaknya.Shanum yang di bawa-bawa pun mengangkat wajahnya malas. Sepertinya, apa pun masalah di keluarga ini. Selalu saja dia yang jadi biang keroknya. Padahal ...."Shanum bahkan sudah gak pegang Atm Mas Reksa lagi, Ma," jawabnya acuh."Loh, kok begitu? Kenapa? Pasti kamu ketahuan boros selama ini, ya? Atau malah korupsi. Makanya Reksa ambil kembali Atmnya. Haahh ... sudah Mama duga, sih!" Nyonya Rima yang terhormat semakin seenaknya menuduh. "Kan, apa Mama bilang, Sa. Kamu jangan terlalu percaya sama istri kamu ini. Dia itu gak bisa ngatur keuangan! Daripada dia, mending sini, biar Mama aja yang atur. Di tangan Mama semuanya pasti beres!"Shanum tak perduli lagi pada apa pun tuduhan mertuanya. Percuma juga ia membela diri. Di mata sang mertua, Shanum kan tidak pernah benar."Iya, Ma. Mulai besok Mama aja yang atur gaji Reksa." Sang putra menimpali dengan senang hati. Membuat Sang Mama tersenyum lebar sekali."Nah, kalau gitu. Kita gak jadi beli mobil baru dong bulan ini?" Sang Kakak ipar, atau istrinya Kak Rendy mengembalikan obrolan."Nggak. Bulan besok aja." Reksa menjawab."Kenapa gak kredit aja dulu? Dp-nya kan bisa pinjem uang Shanum. Meski gajinya kecil, tapi kan selama ini dia numpang hidup sama kita. Gajinya gak ke mana-mana. Pasti udah banyak tuh di simpan. Cukuplah buat sekedar DP saja," usul sang Kakak ipar yang tak kalah parasitnya dari sang Mama Mertua."Ah benar juga itu." Reksa seperti baru mendapatkan ide brilian. "Mana, Num? Sini uang gaji kamu. Aku pakai dulu buat DP mobil. Pinjem, deh. Bulan depan aku ganti," imbuhnya jumawa. Benar-benar meremehkan gaji Shanum yang memang kecil di matanya.Shanum melirik Reksa sejenak. Tatapannya datar bukan main. Setelah itu, menggerakkan dagunya ke arah sang mertua. "Coba kamu tanya Mama, Mas. Sejak menikah ATM gaji aku dipegang Mama soalnya. Katanya, sih. Anggap aja bayar sewa selama aku tinggal di sini."Brak!"Cukup, Shanum!" seru Reksa tiba-tiba setelah sebelumnya menggebrak meja keras sekali. Membuat yang ada di sana terkesiap kaget. Hati Reksa kesal luar biasa. Lagi-lagi Shanum sembarangan menuduh sang ibu. Apa sih maunya Shanum itu? Kenapa tiba-tiba berubah jadi durhaka begini. Tepatnya sejak keluar dari rumah sakit, Shanum mulai berubah menjadi orang yang tak Reksa kenali lagi. Ada apa dengan istrinya itu?"Kenapa marah? Aku kan hanya bicara fakta. Dan faktanya memang sejak menikah, ATM gaji aku di ambil ibumu.""Itu tidak--""Tanyakan saja pada ibumu kebenarannya," sahut Shanum santai seraya melirik Mama Rima. Yang dilirik terlihat mulai gusar. Apalagi ketika semua orang yang ada di sana turut menatapnya penuh tanya. Mama Rima semakin blingsatan. "Ma--""Itu tidak benar!" bantah Mama Rima cepat, saat Diva baru saja ingin buka suara. "Kamu jangan sembarangan nuduh Mama, Ya? Mana ada Mama ambil ATM kamu!" Mama Rima menegaskan. Namun, berbeda dengan suara lantangnya. Wajahnya me
*Happy Reading*Brak!Jika beberapa saat lalu Reksa yang menggebrak meja. Kali ini giliran Papa Hendra, mertua laki-laki Shanum yang melakukannya. Gebrakannya lebih kencang hingga membuat kami semua terlonjak kaget. "Keterlaluan kamu, Ma! Maksud kamu apa melakukan itu pada Shanum?!" hardik Papa Hendra keras, mendelik marah pada Mama Rima. Yang punya nama terlihat menelan saliva kelat di tempatnya. Namun, setelahnya bersikap seolah tak melakukan kesalahan apa pun. "Memang kenapa? Wajar kan kalau Mama menyita ATM Shanum? Bagaimana pun, dia numpang dan ikut makan juga di sini. Dan ayolah, Pah. Hari gini mana ada sih yang gratis. Semuanya ada harganya."Lihatlah sifat terpuji Mama mertua Shanum. Benar-benar seperti tak punya urat malu lagi. Numpang, katanya? Oh, gosh! Apa Mama Rima lupa kalau Reksa lah yang selama ini membayar cicilan rumah yang mereka tempati. Itu berarti, secara tak langsung rumah itu milik Reksa, kan? Dan Reksa adalah suami Shanum. Jadi, siapa yang menumpang?Papa H
*Happy Reading*"Tunggu!"Langkah Shanum sontak terhenti kala mendengar seruan barusan. Kepala Shanum refleks berputar ke sumber suara dan menemukan Mama Rima tengah tergopoh menghampirinya. "Kamu mau ngapain, Shanum?" tanya Mama Rima kemudian melirik benda yang ada di tangan Shanum. Pertanyaan bodoh macam apa itu. Jelas-jelas Shanum sedang memegang gelas bersih, tentunya dia ingin minum air. Kenapa malah bertanya? Harus banget apa Shanum jelaskan."Mau minum." Namun, Shanum sedang tidak ingin berdebat. Karenanya, dia menjawab seadanya pertanyaan Mama Rima. "Oh ... mau minum," gumam Mama Rima. "Mau berapa gelas? Satu, dua, atau tiga?"Kerutan di dahi Shanum semakin dalam mendengar pertanyaan lanjutan ibu mertuanya ini. Maksudnya apa bertanya begini? Memang kenapa kalau Shanum mau minim berapa gelas? Mau minum segalon pun, bukan urusan mama mertuanya, kan?"Kenapa memang?" Shanum bertanya balik. "Jawab aja, kamu mau minum berapa gelas?" Mama Rima bersikukuh. "Segelas, mungkin," ja
Niat hati keluar rumah karena ingin menghindar dari pertengkaran dengan Mama Rima, demi kesehatan mentalnya dan kewarasan jiwa. Siapa sangka, ternyata di sini pun, mental Shanum tetap di uji. Bagaimana tidak? Saat Shanum sedang menunggui cucian yang tengah berputar di mesin cuci. Matanya tak sengaja menyaksikan keromantisan yang tengah tercipta antara Reksa dan Ayu."Kenapa sekarang dunia mendadak sempit, sih?" Shanum bermonolog dengan desahan lelah.Entah ini suatu kebetulan atau memang sudah jalan dari Tuhan. Tempat laundry yang Shanum kunjungi memang berada di sebrang sebuah cafe yang tengah hits saat ini. Dan di sanalah, Shanum melihat keberadaan Reksa dan Ayu yang sedang makan siang dengan kedekatan yang janggal untuk ukuran sebuah hubungan yang di sebut 'sepupu'. Terlalu intim. Bahkan, alih-alih sepupu, mereka lebih cocok di sebut pasangan yang tengah kasmaran.Kenapa begitu? Lihat saja, makan aja harus suap-suapan begitu. Belum lagi tangan Reksa juga tak canggung mengusap, men
"Lagi ngapain kamu di sini?" Ternyata bukan hanya Shanum yang melihat keberadaan Reksa. Akhirnya pria itu pun melihat Shanum di tempat laundry. Bedanya, Reksa baru melihat kala akan pulang, itu pun tak sengaja. Shanum kira, Reksa tak akan perduli padanya dan akan langsung pergi sama Ayu. Namun, siapa sangka ternyata pria itu malah menghampiri. "Menurut kamu, orang kalau ke tempat laundry itu ngapain? Mancing?" sahut Shanum datar, terkesan malas. Lagi pula pertanyaannya memang konyol, kan?Mendengar sahutan Shanum, Reksa terlihat tak suka. Semakin hari, istrinya ini memang semakin menyebalkan. Acuh, abai, dan kalau jawan suka seenaknya. Membuat Reksa kesal saja. "Kamu laundry pakaian? Kenapa? Kan di rumah juga ada mesin cuci?" Reksa bertanya heran."Memang ada. Tapi biaya cucinya di sana mahal. Lebih murah di sini," jawaban Shanum tetap datar."Maksudnya?" Bukannya menjelaskan, Shanum malah mengangkat bahunya. Lalu kembali fokus pada majalah yang sedang ia baca sebelumnya. "Num--"
"DASAR JALANG! NGGAK TAHU DIRI! NGGAK TAHU MALU! BERANI-BERANINYA LO GODAIN PACAR GUE!"Grep!Shaki langsung menangkap tubuh wanita tadi, saat dengan langkah cepat menyerbu dan hendak menyerang Shanum. "Lepasin! Lepasin gue brengsek!" Tentu saja wanita itu meronta. Dia bergerak-gerak liar, mencoba melepaskan diri dari kuncian Shaki. Namun, tidak berhasil. Bagaimana pun sebagai seorang pria Shaki tentu lebih menang di tenaga."Lepasin! Lepasin Shaki! Biar aku kasih pelajaran jalang murahan ini! Beraninya dia godain kamu""Diam!" bentak Shaki lantang. Lalu, dengan cepat pria itu pun menyeret wanita tadi ke arah luar, agar tidak semakin membuat gaduh di dalam cafe. "Lepasin! Sialan! Lepasin gue, brengsek! Tunggu ya kau pecun! Nggak bakal gue lepas gitu aja lo! Dasar sampah!" Wanita yang belum Shanum ketahui namanya tadi terus saja memaki sepanjang jalan ketika diseret Shaki keluar ruangan. Menurut kalian apa Shanum akan panik? Resah? Gusar? Atau malah takut? Jawabannya tidak! Karena f
Saking terkejutnya dengan balasan Shanum, Amanda hanya mampu membuka dan menutup mulutnya dengan mata melotot bulat. Ia tak pernah mengira, wanita lemah yang seringnya diam saja saat ditindas, nyatanya mampu membalas sengit dan ... telak!Jika dilihat lagi, kekayaan keluarga Amanda memang jelas jauh di bawah keluarga Shanum. Ah, bahkan sangaaaat jauh. Kekayaan keluarga amanda tidak sampai 25% kekayaan keluarga Setiawan. Hanya saja, selama ini Amanda menang di status saja. Sementara Shanum, sekaya apa pun keluarganya dia hanyalah anak pungut!Mama Rima selalu berpikir, warisan yang akan Amanda terima jelas akan full, karena dia anak kandung. Sementara Shanum, pastinya tidak akan dapat apa-apa karena hanya anak pungut. Makanya, meski kekayaan keluarga Amanda di bawah Shanum. Bagi Mama Rima, Amanda tetap lebih tinggi levelnya dari Shanum."Kamu ... kamu ..." Amanda masih megap-megap di tempatnya. Tak bisa berkata-kata lagi demi membalas Shanum. "Sudah! Cukup!" Akhirnya Mama Rima yang am
Mata Shanum memicing kala melihat sesuatu menyembul dari balik tas kerja Reksa. Ia raih benda itu, ternyata sebuah undangan. Tepatnya undangan sebuah perusahaan yang akan menggelar sebuah jamuan bisnis. Bukan perusahaan Reksa, tapi perusahaan lain yang mungkin adalah relasinya. Di sana tertulis undangan tersebut untuk Reksa dan pasangan. Namun, Shanum tak yakin suaminya itu akan mengajaknya ke acara tersebut.Biasanya memang begitu. Dari dulu juga Reksa jarang mengajaknya ke acara semacam itu. Kecuali kalau urgent sekali, seperti membutuhkan kehadiran Shanum untuk memvalidasi statusnya sebagai menantu Daddy Arjuna. "Kamu nggak akan mengerti obrolan di sana, Num. Jadi dari pada nanti malah bikin malu, lebih baik kamu di rumah saja." Itu alasan Reksa ketika Shanum bertanya alasan pria itu tak selalu membawanya ke acara demikian. Alih-alih membawa Shanum, Reksa malah lebih suka membawa orang lain. Tebak siapa? Ya, siapa lagi kalau bukan Ayu."Ayu itu orang bisnis. Jelas ngajak dia bak
Mereka akhirnya menemukan sebuah restoran yang cukup nyaman dan tidak terlalu ramai. Safran dengan sigap menarikkan kursi untuk Shanum sebelum duduk di seberangnya, sementara Baby Nata tetap lengket di pangkuannya."Nata mau makan apa?" tanya Safran sambil melihat menu."Ciken!" seru Baby Nata antusias.Shanum mencibir. "Hish! Baru juga sebentar, seleranya udah sama kayak kamu."Safran terkekeh. "Itu namanya bonding, Kak Sha."Shanum mendelik. "Bonding kepalamu!"Pesanan mereka datang tidak lama kemudian. Baby Nata mulai makan dengan lahap, sementara Shanum masih berusaha mengabaikan tatapan intens Safran.Akhirnya, ia menyerah dan menghela napas panjang. "Safran, aku serius. Jangan main-main soal perasaan kayak tadi.""Siapa bilang aku main-main?" Safran meletakkan sendoknya, menatap Shanum dengan serius. "Aku nggak sebercanda itu kalau soal hati."Shanum tercekat. Ia buru-buru memalingkan wajah, berpura-pura sibuk memotong ayam di piringnya."Kak Sha," panggil Safran lagi, suaranya
Hari libur tiba, Shanum merasa butuh udara segar. Ia memutuskan mengajak Baby Nata jalan-jalan ke mall. Sekadar membeli beberapa kebutuhan dan membiarkan putranya melihat-lihat dunia luar.Shanum berjalan santai di lorong mall sambil mendorong stroller Baby Nata. Kadang ia mampir ke toko yang menarik di matanya. Sekedar melihat-lihat atau kalau memang ada yang diinginkan ia akan beli. Tak lupa, Shanum juga membeli perlengkapan bayi untuk jagoannya.Shanum sudah selesai membeli beberapa perlengkapan bayi dan merasa sudah waktunya untuinya pulang. Akan tetapi, ia melihat si kecil masih terlihat bersemangat, matanya berbinar-binar setiap melihat lampu-lampu toko yang berwarna-warni."Nata, sudah cukup ya? Kita pulang sekarang, ya?" Shanum menunduk ke arah bocah itu. Meminta atensinya.Baby Nata menggeleng keras, tangannya menunjuk ke arah toko mainan di seberang. "Mau! Mau!"Shanum menghela napas, lalu tersenyum pasrah. "Baiklah, lima menit saja, ya."Wanita itu pun mendorong stroller ma
Setelah beberapa hari penuh kecanggungan, akhirnya Safran mengambil inisiatif untuk berbicara langsung dengan Shanum.Sore itu, setelah meeting selesai, dia menunggu sampai ruangan kosong, lalu memanggil Shanum yang sudah berkemas untuk pulang."Kak Sha, sebentar," katanya, suaranya lebih tenang dari biasanya.Shanum, yang sudah bersiap untuk pergi, menatapnya dengan hati-hati. "Ada apa?""Duduklah dulu. Aku ingij bicara."Shanum langsung waspada. "Bicara apa? Kalau soal kerjaan, bicarakan saja nanti pas meeting lagi. Tapi kalau soal hal lain. Lupakan! Aku sedang tak minat membahas apa pun sama kamu!"Safran menarik napas berat mendengar jawaban antipati dari Shanum, lalu dengan pelan ia berkata, "Aku hanya ingin minta maaf, Kak Sha."Shanum terkejut. "Minta maaf?""Ya." Safran mengusap tengkuknya, sedikit canggung. "Aku sadar kalau aku terlalu terburu-buru mengambil tindakan. Aku tidak sabaran menunjukan perasaanku sebenarnya tanpa perduli perasaan Kak Sha yang pasti syok. Pada akhir
Shanum mencoba meredam kegugupannya dengan menyesap jusnya, tapi tetap saja pipinya terasa panas. Ia menatap Safran dengan ekspresi setengah kesal, setengah tidak percaya."Mending kamu cari yang single. Aku janda, Ran," katanya sambil mengaduk-aduk makanannya, berharap obrolan ini cepat berakhir.Tetapi Safran malah menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan senyum santai. "Terus kenapa? Emang ada aturan yang melarang janda nikah sama pria single?"Shanum melotot. "Bukan gitu, tapi... ya kamu kan bisa cari yang lebih muda, yang belum pernah nikah."Safran terkekeh. "Siapa bilang aku mau yang lebih muda? Aku sukanya yang dewasa, matang, dan tahu cara menghadapi hidup."Shanum hampir tersedak lagi. Ia berdehem, berusaha tetap tenang. "Safran, dengerin. Aku udah pernah gagal dalam pernikahan. Kamu nggak takut bakal repot kalau sama aku?"Safran menatapnya dengan mata yang lebih serius sekarang. "Kak Sha, gagal dalam pernikahan bukan berarti gagal dalam hidup. Dan bukan berarti Kak Sha nggak
Keesokan harinya, Shanum bertemu lagi dengan Safran dan terlibat dalam proyek baru seperti yang di sampaikan Daddy Arjuna kemarin. Seperti dugaan, Daddy memang tak pernah salah menilai orang. Shanum diam-diam memperhatikan Safran yang tengah menjelaskan analisisnya di hadapan tim. Cara bicaranya tenang, penuh percaya diri, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa begitu berbobot.Saat presentasi selesai, salah satu anggota tim langsung berkomentar, "Penjelasannya detail sekali, Mas Safran. Ini benar-benar membantu kami memahami celah dan potensi proyek ini."Safran mengangguk sopan. "Terima kasih. Aku hanya menyampaikan apa yang aku lihat dari data yang ada. Kalau ada yang kurang jelas, jangan ragu untuk bertanya."Shanum masih terdiam, tapi dalam hati ia membatin, Kapan dia jadi sekeren ini?Tak sadar, ia terus menatap pria itu sampai Safran tiba-tiba menoleh ke arahnya. "Kak Sha, dari tadi diam saja. Ada yang ingin ditambahkan?"Shanum tersentak, buru-buru menggeleng. "Eh,
Shanum masih menatap Mahesa dengan bingung. Kenapa pria ini mendadak ingin bicara empat mata? Terlebih, dari ekspresinya, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan dengan serius.Safran, yang duduk tenang sambil menanggapi ocehan Baby Nata di seberang Shanum, hanya mengangkat alis. Tak ada perubahan berarti dalam ekspresinya, tapi jelas ia menyadari ketegangan yang tiba-tiba muncul.Shanum akhirnya menghela napas. "Baiklah, sebentar." Ia melirik Safran sejenak sebelum berdiri. "Aku nggak lama."Safran hanya mengangguk kecil. Lalu kembali fokus pada layar ponsel yang masih berceloteh entah tentang apa?Shanum kemudian mengikuti Mahesa keluar restoran. Mereka berhenti di dekat trotoar yang agak sepi. Mahesa berdiri tegap di hadapannya, ekspresinya sulit ditebak."Ada apa, Kak?" tanya Shanum akhirnya.Mahesa menatapnya dalam sebelum mengembuskan napas. "Aku ingin jujur.""Tentang?""Aku dan Rania."Ada sedikit cubitan dari sudut hatinya mendengar nama wanita itu lagi. Otaknya seketika flashbac
Shanum masih menatap Safran dengan tatapan penuh tanya. Jujur, perhatian pria ini membuatnya sedikit salah tingkah."Kak Sha?" panggil Safran, mengangkat satu alisnya. "Kenapa diam? Jangan bilang kakak curiga aku dirasuki Shaki?"Shanum tersentak. "Hah? Nggak, bukan itu!""Terus?"Shanum mengerjap, lalu buru-buru menggeleng. "Nggak ada apa-apa. Aku cuma heran aja.""Heran kenapa?"Shanum membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Akhirnya, ia hanya mendesah. "Sudahlah, nggak penting. Kita makan dulu aja."Safran tersenyum tipis. "Baik, Kak Sha."Mereka akhirnya berjalan beriringan menuju restoran yang tadi disebutkan oleh Safran. Suasana jalanan cukup ramai, tetapi tidak terlalu berisik. Safran berjalan santai di sisi Shanum, sesekali meliriknya untuk memastikan wanita itu tidak kepayahan.Setelah sampai di restoran, mereka langsung memesan makanan. Shanum memilih menu yang aman untuk lambungnya, sementara Safran memesan makanan favoritnya.Saat makanan datang, mereka mulai makan dalam diam
Pagi hari, seusai mandi, Shanum berniat menghampiri Baby Nata yang tadi diculik Bunda Karina setelah mandi. Katanya, "Bunda mau mengajak Baby Nata tour di rumah ini. Biar kalau dia keasyikan merangkak terus nyasar, tau arah pulang."Ada-ada saja memang bundanya itu. Akan tetapi, Shanum merasa tak ada alasan untuk menolak. Toh, Baby Nata sama neneknya ini."Loh, kok?" Saat akhirnya menemukan keberadaan bayi gembul miliknya, Shanum cukup kaget karena Baby Nata bukan bersama Bunda seperti sangkaannya, tapi dengan Frans yang dengan santai menggendongnya sambil menikmati suasana taman samping di pagi hari."Oh, sudah berani gendong, ya, sekarang?" seloroh Shanum, teringat dulu Frans selalu menolak jika dimintai tolong menggendong Baby Nata. Mendengar ada suara mendekat, Frans menoleh. Dia lalu menaikan satu sudut bibirnya menatap Shanum. "Dia sudah tak serapuh dulu."Shanum mendengkus kasar, lalu memilih mendaratkan tubuh di sofa kecil yang ada di sana. Membiarkan Baby Nata menikmati wakt
"Biarkan saja. Aku tidak keberatan kok dengan keberadaannya di sini.""Oh, ya sudah kalau begitu."Shanum pasrah melihat Baby Nata tidur nyaman di dada Safran, ia akhirnya memilih duduk di sofa, mencoba menikmati suasana acara yang masih berjalan. Tetapi ketenangan itu tidak berlangsung lama, karena seseorang tiba-tiba duduk di sebelahnya."Kak Sha, aku serius, loh. Mungkin ini pertanda."Shanum menghela napas panjang sebelum menoleh ke Shaki yang duduk dengan ekspresi penuh konspirasi."Pertanda apanya?"Shaki menyeringai. "Ya pertanda kalau aku atau Safran itu jodoh Kak Sha."Shanum memutar bola mata. "Shaki, cukup.""Tapi—""Serius, cukup."Shaki mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil yang permennya direbut. Tetapi ekspresinya langsung berubah jahil."Kak, aku ada ide bagus," bisiknya tiba-tiba."Jangan macem-macem Shaki. Aku tidak tertarik pada apapun idemu itu." Shanum langsung menolak mentah-mentah tanpa mau tau ide Shaki yang di tawarkan.Ngapain? Biang onar ini tak dapat di