"Apa yang kakak butuhkan agar bisa lepas dari pria brengsek itu?""Aku butuh bukti tentang kesalahan fatal yang dilakukan Mas Reksa. Agar dia tak bisa berkutik ketika ku beberkan semua. Aku menunggu Reksa membuat kesalahan fatal yang sefatal-fatalnya. Agar aku juga bisa move on jalur ilfeel."Reyn mengangguk satu kali. "Aku faham."Setelahnya, pria jiplakan Raid Anderson itu pun pergi begitu saja. Meninggalkan Shanum dengan kepala di penuhi beberapa pertanyaan. Apa maksudnya itu? Faham apa? Faham dengan kondisi Shanum dan membantu merahasiakan semua dari keluarganya? Atau ... Faham dan akan membantu Shanum mencari bukti? Ah, Reyn memang kadang nggak jelas. Akhirnya, karena tak ingin pusing sendiri memikirkan keanehan Reyn. Shanum pun mencoba abai dan memulai pekerjaannya yang lumayan padat hari ini. Banyak naskah yang harus ia cek dan edit sebelum naik cetak.***"Wah, makan besar nih kayaknya kita malam ini? Mana enak-enak lagi kelihatannya. Mama lagi menang arisan, ya?" seru si bu
"Udah, Ma. Nggak usah sedih. Besok kita bales dia. Kita makan di restaurant lebih mahal." Amanda melirik sinis ke arah Shanum, yang baru saja sedang mencuci piring. Seperti biasa, masih hanya bekas pakainya saja. Wanita yang tengah disindir itu menulikan diri. Tak memberikan tanggapan apa pun pada ucapan Amanda yang masih berada di meja makan bersama ibu mertua. Sementara Papa, Diva, dan Rendy sudah pergi kembali ke kamar setelah kenyang."Uang dari mana, Man? Papa sama Reksa bisa ngamuk kalau Mama beli makanan mahal lagi," keluh Mama Mertua. "Bisa nombok nanti akhir bulan," bisik Mama Rima di akhir kalimat. "Mama tenang aja. Besok Manda aja yang teraktir," tukas Amanda sombong. "Beneran, Man?" Mama Rima langsung berbinar senang. "Bener, dong. Manda kan juga kerja buat keluarga ini. Khususnya Mama. Soalnya Mama udah Manda anggap kayak Mama Manda sendiri. Sesayang itu loh Manda sama Mama.""Ah, Manda! Kamu emang menantu terbaik Mama." Mama Rima langsung memeluk istri dari putra sul
Dua kasir di depannya saling lirik. Antara bingung dan juga kesal, mungkin, dengan sikap arogan Amanda itu. Kalau nyatanya kartu tidak bisa digunakan, kenapa ngeyel banget, sih? Tinggal ganti aja, apa susahnya, coba?"Mbak, Bill." Tiba-tiba seorang customer lain menghampiri. Hal itu pun tak di sia-siakan sang kasir. Kebetulan si bapak tadi sudah memegang kartu kredit di tangannya sebagai alat pembayaran. "Baiklah, bagaimana kalau begini saja, Mbak. Kita akan coba dengan tagihan bapak ini lebih dulu. Okeh?" Kasir tersebut menunjuk sopan pria yang baru datang tadi dengan sopan. "Maksudnya, kalian mau mengacuhkan saya, begitu?" Amanda terlihat tak terima. 'Enak saja main selak.' Mungkin itulah yang Amanda pikirkan saat ini."Mohon maaf sebelumnya. Bukan mengacuhkan Mbaknya. Tapi bukankah Mbaknya juga butuh bukti mesin edc kita ini tengah bermasalah atau tidak? Maka dari itu, ada baiknya dicoba dengan kartu lain. Dan karena Mbaknya belum mau ganti kartu lain, maka mungkin kita bisa me
Amanda kira, kesialannya hari ini hanya sampai di restauran saja. Siapa sangka ternyata masih ada lanjutannya. Ia yang memang ikut pulang mengantar sang mertua sekalian ambil berkas yang ketinggalan, dikejutkan dengan kedatangan para pria berseragam coklat khas penggiat hukum."Nah, itu Nyonya Amanda sudah pulang," ucap si mbok di rumah ketika melihat salah satu nyonya rumahnya turun dari mobil. "Ada apa?" Amanda bertanya tanpa rasa curiga, seraya mendekat ke arah dua orang polisi dan pembantu rumahnya yang tengah berkumpul di ambang pintu utama."Ini, Nya. Katanya bapak-bapak ini mencari Nyonya Amanda," beritahu si mbok ramah. "Nyari saya? Mau ngapain?" Belum ada sedikit pun rasa curiga dalam diri Amanda. Nada suaranya saja masih terdengar congkak di sertai tatapan sinis ke arah dua orang oknum kepolisian tesebut."Benar anda yang bernama Amanda Rosalia?" Salah satu dari polisi tersebut bertanya. "Iya, benar. Saya Amanda Rosalia. Ada apa ya, bapak-bapak mencari saya?""Begini, Bu.
Shanum tidak bisa dihubungi! Ah, ralat. Lebih tepatnya tidak lekas mengangkat panggilan telepon dari Reksa meski sudah berkali-kali dihubungi. Membuat pria itu jadi uring-uringan dan mengumpat kesal. "Gimana, Sa?" Mama Rima bertanya tak sabaran. "Nggak di angkat, Ma.""Kaaaannnn! Apa Mama bilang?" Mama Rima menukas menggebu. "Semua ini pasti ulah istri kamu itu! Buktinya, dia nggak berani ngangkat panggilan dari kamu, kan?" imbuhnya yakin."Belum tentu, Ma. Siapa tahu Shanum memang lagi sibuk dan nggak sempat angkat telepon.""Diam, deh, Pa!" hardik Mama Rima galak, ketika lagi-lagi suaminya membela menantu durhaka yang di anggap pembawa sial di rumahnya itu. "Berhenti membela anak itu, kalau nggak mau Mama diamkan dua bulan," ancamnya kemudian. Papa Hendra terpaksa menutup mulutnya dan tak berkomentar lagi. Akan tetapi, bukan karena takut pada ancaman istrinya yang ... nggak banget itu. Melainkan karena tak ingin memperkeruh suasana dengan perdebatan tak penting. "Terus ini giman
"Nah, kebetulan kamu sudah datang, Randy. Kamu uruslah istri kamu itu. Saya angkat tangan. Saya tak bisa menolongnya lagi." Pak Cokro berkata ke arah Randy dan mengabaikan kondisi besannya yang baru saja pingsan. "Ayo, Mah. Kita pulang!"Setelahnya, pria itu menarik tangan sang istri dan beranjak pergi. Hal itu tentu membuat Amanda langsung panik. Tidak! Tidak! Papanya adalah satu-satunya yang bisa ia harapkan membantunya. Keluarga suaminya mana bisa! "Loh, nggak bisa gitu dong, Pah! Manda ini kan anaknya Papa!" Amanda tak terima diabaikan begitu saja oleh orang tuanya. "Pah! Pah!"Pak Cokro tak memperdulikan protesan anaknya. Terus membimbing sang istri untuk pergi dari sana."Papa tega biarin Manda di sini?"Pak Cokro tetap acuh."Papa! Pah?!"Masih diabaikan."Mah! Mama jangan tinggalin Amanda!" Merasa sang ayah acuh, Amanda beralih memanggil sang ibu."Mah, tolongin Manda, Ma!" Namun, ternyata hasilnya tetap sama."Mah! Mama! Mama!"Amanda terus berteriak memanggil orang tuanya.
"Sa! Reksa! Kamu harus tolongin Mama, Sa. Mama nggak mau masuk penjara! Huhuhu ..." Mama Rima terus meracau kalimat itu setelah ia bangun dari pingsannya. Wanita itu sungguh ketakutan mendapatkan fakta, bahwasanya barang mewah yang sering Amanda berikan selama ini adalah hasil gesek dari kartu kredit milik Shanum. Jika sampai aliran dana di selidiki, Mama Rima jelas akan ikut terciduk. Bisa dikatakan, ia sebagai penadah."Mama tenang aja. Reksa pasti lindungin Mama." Rasanya Reksa pun sudah jengah menenangkan."Gimana caranya? Orang ngomong sama Pak Arjuna aja kamu nggak berani, kan?" Sang Papa nyeletuk. Membuat Reksa kesal luar biasa. Bukannya bantu nenangin Mamanya malah nambah tekanan ke Reksa. Papa macam apa itu?"Papa bisa diem, nggak? Nggak usah ikut mojokin," desis Reksa. "Papa cuma ngomong fakta." Pria paruh baya itu mengangkat bahu acuh. Lalu menyandarkan tubuh dengan nyaman pada sofa yang tengah di dudukin."Bener, ya, Sa? Pokoknya kamu harus bisa bujukin Shanum biar ngga
"Sayang?!"Kening Shanum sukses berkerut, ketika baru saja keluar gedung perkatoran tempatnya bekerja, langsung menemukan keberadaan Reksa dan senyum lebarnya. Huft ... apa lagi kali ini maunya?Meski tak minat, Shanum tetap menghampiri Reksa. Apalagi pria itu juga sudah memanggil namanya, serta melambaikan tangan."Kamu ngapain ke sini, Mas?" Meski begitu, Shanum tetap tak bisa berpura-pura senang menerima kehadiran pria itu di sana. "Kok, ngapain? Ya jemput kamu lah!" jawab Reksa riang. Berbeda dengan Shanum yang alisnya semakin bertaut dalam. "Jemput?"Reksa mengangguk antusias, tak lupa dengan senyum cemerlangnya."Tumben. Biasanya mau sehebat apa pun huja badai yang aku hadapi saat pulang dan pergi kerja. Kamu nggak perduli tuh."Senyum Reksa langsung luruh menerima jawaban berupa sindiran dari Shanum yang sangat menohok itu. Faktanya memang selama ini, Reksa memang tak pernah bersedia mengantar dan menjemput Shanum, ketika istrinya itu memutuskan untuk kembali bekerja setelah