"Arghh!" teriak Hikaru yang terduduk dengan napas ngos-ngosan dan keringat dingin yang membanjiri pelipisnya. Matanya menatap nanar keadaan sekitarnya.
Kepalanya menoleh ke arah TV yang berada di sebelah kanannya, masih dalam keadaan menyala. Lalu melihat jendela yang berada di hadapannya yang memperlihatkan kalau langit sudah mulai gelap dan sepertinya hujan deras.
Remaja itu lalu menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan jantungnya yang masih berdegup kencang. Sampai kemudian suara password pintu apartemennya berbunyi diiringi bunyi beep dan kemudian terbuka.
"Hikaru?!" panggil sebuah suara yang menyerupai suara anime kesukaannya. "Kenapa gelap begini?" tanya suara itu lagi bersamaan dengan lampu yang mulai menyala.
"Elisa Noona?" panggilnya pelan.
"Oh! Kau ada disini? Kenapa tidak menyalakan lampu?" tanya Elisa yang menoleh menatap Hikaru tapi kemudian langsung berjalan ke arah dapur, menaruh dua kotak pizza berukuran besar serta tiga kantong plastik yang sepertinya berisikan cemilan dan bahan makanan.
Hikaru masih menatap punggung Elisa yang sibuk mengeluarkan bahan makanan dan cemilan yang ia beli dari ruang TV. Dapur dan ruang TV di apartemen mereka memang bersebelahan. Jadi Hikaru masih bisa melihat tubuh Elisa.
"Kau kenapa?" tanya Elisa menatap Hikaru di pintu kaca terbuka yang memisahkan ruangan dapur dengan ruang TV.
"A-apa? Ti-tidak apa-apa kok. Kau membeli pizza rasa apa?" tanya Hikaru berusaha mengalihkan tatapan menyelidik Elisa sambil berjalan menuju meja makan tempat Elisa menaruh pizza yang ia beli.
Elisa masih menatap Hikaru yang baru saja melewatinya. Ia terlalu mengenal Hikaru, jadi ia tahu kalau remaja yang tingginya sudah menyamai tinggi Ethan itu sedang merahasiakan sesuatu.
Meskipun ia gatal ingin memaksa Hikaru agar bercerita padanya, Elisa memilih untuk membiarkannya untuk sekarang. Mungkin nanti saat Ethan sudah pulang baru akan ia tanyakan lagi supaya Hikaru tidak perlu bercerita dua kali.
"Buka saja duluan. Aku mau mandi dulu," kata Elisa melangkah menuju kamar tidurnya yang berada di belakang ruang TV.
Pemudi berkaki jenjang itu mengambil baju ganti lalu kembali keluar kamar. Ia berjalan ke arah ruang mesin cuci yang berada sebelah dapur. Kemudian melangkah masuk ke kamar mandi yang berada di sebelahnya.
Elisa mengikat rambut panjangnya setelah menggantung handuk dan bajunya.
"Kau bisa melihatku kannnn~," desis seorang perempuan berwajah pucat dengan luka di kepalanya.
Si pemudi jelas dapat melihatnya, namun ia memilih tak acuh. Dengan santai ia membuka pakaiannya dan mulai masuk ke ruang shower dan menyalahkan air.
"Jangannn berpura-puraa .... Aku tahu kau bisaaa melihatkuuu~," ucap si hantu lagi yang kini sengaja menyempilkan kepalanya diantara dinding kamar mandi dan wajah Elisa.
Namun, sekeras kepalanya si hantu, Elisa jauh lebih keras kepala. Ia benar-benar tidak peduli dengan keberadaan si hantu. Sambil berusaha sebaik mungkin untuk sama sekali tidak menatap mata si hantu dan mulai menyabuni tubuhnya.
Hingga akhirnya saat ia sudah selesai membasuh tubuhnya dan mulai menyeka air di tubuhnya, si hantu yang masih mengganggunya membuatnya bergidik kedinginan karena dengan sengaja melewati tubuhnya agar Elisa menaruh perhatian padanya.
Percayalah, dilewati oleh hantu amat sangat tidak enak. Rasanya seperti disiram dengan air es secara tiba-tiba dari luar dan meminum air super dingin. Dan itulah yang saat ini dirasakan Elisa, menggigil hingga ke tulang-tulang. Mengakibatkannya tidak lagi bisa mendiamkan si hantu menyebalkan.
Dengan tatapan ekstra kesal, Elisa menoleh ke arah si hantu yang terkikik senang karena mendapat perhatian Elisa.
"Kitsune kun. Sedikit jeritan kurasa tidak apa," desis Elisa dengan fokus menatap si hantu yang mulai terbelalak ketakutan ketika menyadari seekor roh rubah berekor sembilan yang mulai memperlihatkan wujudnya.
"Ma ... maafkan akuuu ...~," lirihnya lalu berlari pergi meninggalkan jejak asap.
"Cih! Penakut tapi iseng," gerutu Elisa yang kini sudah berpakaian lengkap dan melangkah keluar kamar mandi.
"Apa Ethan sudah pulang?" tanya Elisa pada Hikaru yang sedang memakan cemilan kentang.
"Baru saja. Ayo bersiap," ucap Ethan yang baru saja keluar dari kamar tidurnya bersama Hikaru yang bersebelahan dengan kamar tidur Elisa. Hanya saja, pintu masuk kamarnya berada di samping pintu masuk ke ruang TV.
"Apa tidak mau makan dulu?"
"Sambil saja. Jadi begitu Paman Kim datang kita bisa langsung memulai," jawab Ethan yang masih menggunakan pakaian polisinya.
"Baiklah kalau begitu. Makanlah. Kau pasti lelah. Biar aku yang menyiapkan," ucap Elisa sambil menarik kursi makan di sebelah Hikaru untuk Ethan dan mulai membuka kotak pizzanya. Lalu meninggalkan mereka berdua menuju ruang TV, mempersiapkan ritual untuk Hikaru.
"Apa yang kau rasakan hari ini, Hikaru?"
"Ti-tidak. Maksudku, biasa saja Hyung." ucap Hikaru cepat.
"Kau mengalami sesuatu bukan? Jangan menyembunyikannya, Hikaru yya. Kau tahu persis, rahasia bisa melukai siapapun diantara kita," tutur Ethan setelah menelan pizza yang dikunyahnya.
"I-itu ...." Hikaru menceritakan mimpinya yang didatangi Kakek Watai dan bagaimana sang kakek menyalahkannya atas tragedi tujuh tahun lalu serta berusaha membunuhnya.
Dari ruang TV, Elisa menghela napas panjang. Kemudian menoleh, menatap ke arah Hikaru sambil membersihkan tangannya dengan tissue basah.
"Hikaru yya. Tidak ada yang salah atas kejadian tujuh tahun lalu karena tidak ada orang yang tahu kalau roh jahat itu akan datang. Jadi jangan merasa bersalah. Kakek Watai tidak akan pernah menyalahkanmu."
"Dengarkan katanya. Walau otaknya sedikit kurang, tapi kali ini Elisa berkata benar, Hikaru yya."
"Yak!" Elisa baru saja mau menggetok kepala Ethan ketika sebuah suara riang menyapa mereka.
"Anak-anak!" teriak Paman Kim yang tiba-tiba sudah masuk ke dalam apartemen mereka. "Apa kalian sudah siap? Seharusnya diadakan saja di rumahku. Wow! Pizza," ujarnya Paman Kim sambil menyomot satu slice pizza.
"Ayo habiskan makannya. Sebentar lalu kita mulai ritualnya."
"Apa itu perlu, Hyung?"
"Sangat. Kau bisa menggila jika kemampuan meramalmu luber tanpa ada saringan. Bisa-bisa kau tidak lagi mampu membedakan dunia nyata dan ramalanmu. Jadi lebih baik berjaga-jaga, okay," senyum Ethan, mengelus puncak kepala si remaja bersuara rendah itu.
"Tidak usah khawatir. Aku pastikan, tidak akan terjadi apapun," senyum Ethan sebelum akhirnya benar-benar melangkah menuju tempat cuci baju.
"Kakakmu benar, Hikaru." Paman Kim tersenyum menatap Hikaru, seorang anak lelaki kecil yang ia temukan tujuh tahun lalu itu kini sudah tumbuh dewasa.
Mereka melakukan ritual sederhana dimana Hikaru duduk di hadapan Paman Kim yang mengenakan baju tradisional cenayang. Paman Kim mulai berkomat-kamit merapalkan doa, di tangan kanannya memegang sebuah tongkat yang ujungnya terdapat potongan pita kertas yang kalau diperhatikan mirip cambuk.
Kedua tangan Paman Kim mulai terangkat dan bergetar. Setelah mengucapkan lantunan nada mantera, tangan kanannya lalu mengambil untaian kerincing dan mulai menggoyangkannya sambil berdiri. Kemudian memutari Hikaru yang hanya duduk diam dengan sesekali menyentuhkan tongkat pitanya ke kepala Hikaru.
Tidak terlalu rumit, karena yang dilakukan oleh Paman Kim hanya ritual yang menahan agar perisai kemampuan Hikaru tidak langsung pudar seluruhnya tapi secara perlahan. Jadi, ritual itu hanya berlangsung selama seperempat menit.
"Bagaimana rasanya?" tanya Elisa menatap Hikaru yang kini sudah duduk di atas sofa ruang TV mereka. Ritual yang dilakukan oleh Paman Kim baru saja berakhir.
"Tidak ada bedanya ... kurasa."
"Tentu saja. Ritual tadi bukan untuk menutup kemampuanmu. Tapi hanya untuk memperlambat bukaannya," ujar Paman Kim dari arah meja makan. "Bagaimana jika kita makan diluar? Aku yang traktir. Aku kan belum memberi kado untuk Hikaru."
Keempatnya berangkat menggunakan mobil patroli Ethan yang dipinjamnya ke salah satu restoran yang tidak jauh dari komplek apartemen mereka.
Namun sebelum sampai di restoran, Ethan mendapat panggilan dari radio panggilnya yang mengatakan kalau ada pembunuhan di komplek rumah orang kaya di lingkungan yang masih masuk yuridiksinya sehingga Ethan mau tidak mau hanya mengantar ketiganya dan meninggalkan mereka.
¤¤¤
"Selamat malam, Miss Kang," sapa Ethan yang sedang berdiri di depan garis kuning yang membentang di sebuah gerbang rumah mewah. Ia sudah sampai terlebih dahulu untuk mengamankan TKP sebelum para detektif datang.
"Siapa saja yang didalam?" tanya wanita yang baru saja disapa. Jessica Kang namanya, salah satu kepala polisi senior divisi kriminal dan kekerasan yang disegani.
Wanita yang terlalu cantik untuk menjadi seorang detektif itu berdiri di hadapan Ethan sambil memasang sarung tangan karetnya.
"Miss Park dari divisi forensik sudah di dalam bersama teamnya, Miss."
"Okay, thanks." Jessica melangkah masuk setelah memastikan dirinya juga sudah mengenakan sarung sepatu. Ia hampir tiba di teras rumah mewah tersebut ketika partnernya dengan tiba-tiba membuka pintu dan berlari keluar sambil menutup mulutnya.
Tidak lama kemudian, suara orang yang memuntahkan makanannya terdengar, membuat Jessica terkekeh. Kayden Kim, polisi yang baru beberapa bulan ini menjadi partnernya itu selalu muntah jika berada di TKP. Membuat Jessicaheran, mengapa ia memilih menjadi polisi di divisi kriminal jika melihat jenazah saja dia tidak kuat.
Jessica kembali melangkah, membuka pintu rumah mewah itu lalu masuk ke dalam. Matanya yang jeli mulai menelisik setiap sudut, memperhatikan team forensik yang bekerja di sekitarnya.
"Wow!" serunya speechless saat mendapati ruangan yang menjadi TKP.
"Luar biasa bukan? Seperti melihat film-film pembantaian."
Jessica menoleh ke arah sumber suara yang sudah sangat ia kenal. Selama ia menjadi detektif, wanita berambut pirang bergelombang inilah yang selalu membantunya di bagian forensik. Park Jangmi namanya, tapi lebih suka dipanggil dengan panggilan Rose.
Sesuai namanya, Rose sangat cantik seperti bunga mawar namun jangan coba-coba memetiknya jika tidak ingin berdarah tertusuk durinya. Sebagai kepala team forensik, wanita cantik ini begitu beracun — dalam arti yang sebenarnya. Karena ia suka meneliti racun-racun yang ditemukan di tubuh jenazah yang ia otopsi.
"Berapa korbannya?" tanya Jessica menatap ruangan yang luar biasa berantakan.
"Enam orang. Kakek, nenek, orang tua dan dua anak kandung. Penyelidikan sementara ini, sepertinya semua mati kehabisan darah akibat tusukan bertubi-tubi pada tubuh mereka."
Jessica mendengarkan penjelasan awal Rose karena untuk mengetahui penyebab pasti kematian harus dilakukan bedah forensik terlebih dulu. Sambil mendengarkan, Jessica mempelajari ruangan tempat ditemukannya keenam jenazah.
Keenam jenazah itu ditemukan di beberapa tempat di ruang keluarga. Sang nenek tergeletak dengan posisi janggal di depan TV berukuran besar. Sang kakek yang mati dengan mata terbelalak tergeletak tidak terlalu jauh dari sang nenek dengan tangan yang berusaha menyentuh tangan istrinya.
Beberapa meter dari jenazah kakek dan nenek terdapat jenazah anak lelakinya. Posisinyalah yang paling aneh. Pria paruh baya itu mati dengan posisi duduk namun tangan dan kakinya mencuat di posisi yang tidak normal. Kepala polisi senior itu yakin — bahkan tanpa perlu otopsipun, orang yang melihatnya tahu kalau tulang tangan dan kakinya patah.
Di daerah pintu masuk ruang keluarga, sang istri atau menantu keluarga Yoon tewas dengan kepala terpisah. Sedangkan kedua anaknya yang sepertinya masih berusia sekolah dasar mati berpelukan di sudut terjauh di ruangan tersebut.
"Apa kau punya teori mengenai darah-darah itu?" tanya Jessica yang sedang mendongak mempelajari cipratan darah di atap ruangan tersebut kepada Rose.
"Belum. Aku harus mencobanya dulu untuk memastikan kenapa cipratan darahnya bisa sampai ke atap."
"Ini pasti perbuatan roh jahat," sela Kayden yang sudah kembali dari ajang muntah-muntahnya.
Jessica menoleh melihat partner yang jauh lebih muda darinya lalu menjitaknya. Sedangkan Rose hanya terkekeh dan meninggalkan keduanya untuk memantau kerja teamnya.
"Kau itu detektif, tapi malah percaya hal mistis. Detektif itu berpikir menggunakan logika," geram Jessica . "Dan, karena kau sudah tiba lebih dulu? informasi apa yang sudah kau dapatkan?"
"Keluarga Yoon adalah salah satu pemegang saham terbesar perusahaan penerbitan, Brightstar. Sang kakek, Yoon Bin adalah direktur sekaligus pemegang saham terbesar. Istrinya hanya ibu rumah tangga namun juga memiliki sedikit saham di perusahaan tersebut.
"Anak pertamanya Yoon Dojin adalah pemilik saham sekaligus pendiri situs pencari yang mulai merambah ke sosial media, Aisee. Perusahaan ini masih di bawah Brightstar. Sedangkan istrinya, Kim Lijah adalah CEO di majalah La Manière yang merupakan majalah fashion terkenal. Masih termasuk bagian dari Brightstar.
"Lalu dua anak kecil itu, adalah anak kedua dan ketiga Yoon Dojin dan Kim Lijah. Mereka masih duduk di sekolah dasar. Yoon Sojun sebelas tahun dan Yoon Minso sembilan tahun," jelas Kayden sambil membaca informasi yang sudah ia tulis di buku sakunya.
"Anak kedua dan ketiga?"
"Anak sulung mereka, Sean Yoon masih berada di sekolah. Saat ini sedang dijemput oleh Opsir Jung."
"Siapa yang menemukannya pertama kali?"
"Asisten Yoon Dojin. Ia datang karena diminta oleh Yoon Dojin untuk mengambil dokumen kantor."
"Baiklah. Kerja bagus. Pastikan kau mewawancarai tetangga-tetangganya. Lalu bagaimana dengan CCTV?"
"Sudah diambil Park Jayden dari team forensik digital, Miss."
"Apa sudah memeriksa blackbox mobil-mobil di sekitar sini?"
"Jayden Park juga sudah melakukannya, Miss," jawab Kayden drngan tegas.
"Baiklah. Kalau begitu kau kumpulkan lagi informasi lengkap tentang mereka," ucap Jessica yang melangkah semakin memasuki rumah megah tersebut.
"Miss Kang, Sean Yoon tidak ada di sekolah. Satpam sekolah mengatakan kalau ia melihatnya pulang dengan teman sekolahnya sekitar jam 16.00." Chris Jung melaporkan melalui hubungan ponselnya ke Jessica Kangyang saat itu masih ada di TKP."Namanya Hikaru Kim, tapi satpam sekolah tidak mengetahui dimana alamatnya," lanjut Chris.
— Hari kedua setelah keluarga Yoon ditemukan tewas dan Sean menghilang —...."Loh?OpsirKim? Bukannyashifttugasmu nanti malam ya? Kau kan kemarin sudah bergadang?" tanya Kayden tidak putus-putus kepada Ethan.
Jessica Kang duduk di ujung meja yang sengaja ditata seperti huruf U sambil memperhatikan tampilan gambar yang ditembakkan oleh proyektor ke papan tulis putih. Di sisi kanannya Chris Jung duduk sambil memperhatikan obyek yang sama. Sedangkan Kayden Kim berada di sisi papan tulis sambil menjelaskan apa saja temuan yang sudah mereka dapatkan dari penyelidikan awal sampai hasil otopsi dari team forensik. "Seperti yang dilihat, keberadaan anak tertuka Yoon Dojin sama sekali tidak diketahui rimbanya sejak ia berpisah dengan temannya di perempatan sekolah kemarin. Menurut laporan Jayden Park — anggotateamforensik digital — tid
Baru saja Chris mau membuka pintu, tiba-tiba pintunya terbuka lebar dengan sendirinya dan Sean melesat cepat. Sangat cepat sehingga membuat keempat polisi yang berjaga terkejut.Entah bagaimana, Sean yang terlihat kotor itu mampu melewati mereka begitu saja dan melompat tanpa persiapan ke gedung sebelah yang padahal jaraknya sekitar satu setengah meter. Untungnya tinggi gedungnya lebih rendah jadi lebih memungkinkan."Kayden dan Ethan kau kejar dia. Jangan sampai lepas. Aku dan Samuel akan mengabarkan yang lain," ujar Chris yang langsung menginformasikan apa yang terjadi pada Jessica.
"Hei, kau tidak mau mampir ke rumahku?" tanya Sean sesaat sebum ia berpisah dengan Hikaru. "Yak! Setidaknya jawab pertanyaanku, jangan hanya melambai," dengus Sean kesal, ketika melihat punggung Hikaru yang menjauh sambil mengangkat tangannya yang melambai padanya. Sean baru saja akan duduk di salah satu kursi di depan mini market langganannya. Karena hampir setiap harinya ia jajan di tempat itu ketika menunggu supirnya menjemput. Dan begitu menyadari kalau supirnya hari ini berhalangan. Jadi ia terpaksa pulang sendiri hari itu.
"Jangan khawatir, Hikaru.Hyungdan Paman tidak akan membiarkan apapun terjadi padaNoonakeras kepalamu itu." Ethan mencoba menenangkan Hikaru yang gElisah karena mengetahui berita tentang Elisa dan Sean. "Tapi biasanya ramalanku selalu benar," lirih Hikaru. "Ramalanmu bisa diubah, Hikaru. Kan sudah kukatakan berkali-kali. Kepastian ramalanmu tergantung dari keputusan yang diambil sebelumnya. Dan karena Elisa menghubungiku sebelum masuk ke dalam gedung, setidaknya akan ada yang kejadian kecil yang berubah walau tidak besar," jelas Ethan tanpa melepaskan pandangannya dari jalan raya yang saat itu ramai. Bahkanstroboyang ia nyalakan tidak membantu terlalu banyak. ¤¤¤ Elisa menutup mulutnya erat-erat agar suaranya tidak keluar dalam persembunyiannya ketika melihat betapa mudahnya si laki-laki menghancurkan roh jahat yang merasuki Sean sebelumnya hanya menggunakan sebelah tangan. Untung ia tadi m
Dua hari berlalu sejak insiden di gedung sekolah yang tidak terpakai. Sean sudah sadar, tapi ia hanya mengingat sampai kejadian dimana ia melihat langsung keluarganya terbunuh. Setelahnya ia sama sekali tidak mengingat apapun. Dokter menganggap kehilangan ingatannya terjadi karenashock. Jessica Kang danteambelum menemukan pelaku pembunuhan yang terjadi di keluarga Yoon. Awalnya mereka mencurigai pria yang ditemukan di sekolah bersama Sean. Pria tuna wisma yang dirasuki roh jahat dan melukai Sean serta Elisa. Namun tidak ada bukti yang menandakan kalau pria tersebut berada di daerah lingkungan keluarga Sean. Jadi, pria itu akhirnya hanya bisa dituntut karena menculik Sean dan melakukan penyerangan pada Elisa dan Sean. Walaupun kenyataannya pria tuna wisma itu juga tidak melakukannya atas kemauannya, tetapi karena kerasukan roh jahat. Meskipun begitu, tidak ada yang bisa diperbuat oleh Ethan, Elisa, dan Hikaru. Dunia
—10 days after Yoon's family funeral —Seorang wanita paruh baya berbajuclassyberjalan anggun sambil menyeret sebuah koper besar di pelataran bandara. Ia baru saja keluar dari gerbang kedatangan internasional.Dengan angkuh ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi, menatap sekitarnya. Mencari bawahannya yang seharusnya sudah menjemputnya.Di sisi lain, si bawahan yang bernama Nam Tobias berjalan tergesa-gesa memasuki kawasan bandara. Ia tadi terjebak macet setelah sebelumnya kesiangan.Dengan langkah panik, Tobias bergerak cepat walau beberapa kali menabrak orang dan menunduk-nunduk meminta maaf. Kemarahan atasannya — sishamanparuh baya yang suka mengoleksi barang-barang kuno — lebih menakutkan.Benar saja. Baru juga ia tiba di hadapan atasannya, wanita paruh baya itu melepas kaca mata hitamnya yang bertengger apik di batang hidungnya dan menatapnya sinis."Apa lagi
Ucapan Elisa mengejutkan Ethan. Ia tidak menyangka kalau gadis yang telah bersamanya selama tujuh tahun ini akan membawa serta kakeknya dalam pembicaraan tentang teman masa remajanya.“Apa maksudmu, Elisa?” tanyanya.Suasana canggung tidak terelakkan, tapi itu hanya berlaku pada Ethan karena Elisa dengan tenang menarik napas dalam-dalam sebelum kembali bicara.“Sesuai yang kukatakan, Ethan. Kau dari semua orang seharusnya tahu mengapa aku tidak ingin menyalahkan Kim Oppa bukan? Ia hanya korban. Sama seperti Kakek Cha. Ibunya mungkin bersalah karena melakukan ritual yang tidak seharusnya dengan kemampuan yang tidak mumpuni, tapi Kim Oppa dan kakekmu sama sekali tidak bersalah. Mereka hanya korban. Apa kau mengerti maksudku?”“Bukankah ini berbeda? Kim Oppamu itu masih melakukannya hingga seka —.”“Lalu? Apa menurutmu, orang normal mampu melepaskan diri dari roh yang merasukin
Setelah Hikaru keluar dari sekolahnya, L pamit karena ia harus melakukan pekerjaannya. Padahal Hikaru sempat mengajaknya untuk makan malam bersama, walaupun hanya berbasa-basi.“Jadi Noona memutuskan untuk berkencan dengannya?” tanya Hikaru di perjalanan pulang mereka. Keduanya memilih untuk pulang dengan berjalan kaki. Toh jarak antara sekolah Hikaru dan apartemen mereka tidak jauh. Lagipula karena Elisa pergi seharian, mereka harus membeli lauk untuk makan malam hari ini.Beberapa detik berlalu sampai Hikaru menoleh, menatap kakaknya yang lebih pendek darinya karena gadis yang lebih tua tujuh tahun darinya itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Dahinya mengernyit bingung saat melihat Elisa yang terlihat gugup. Gadis itu sepertinya benar-benar sedang banyak pikiran hingga tidak menyadari kalau Hikaru telah menghentikan kakinya dan memperhatikannya dari belakang. Menunggu apakah kakaknya akan sadar kalau dirinya sudah tidak berjalan di sisin
Setelah kembali dari toilet sambil memikirkan ucapan Kim Ahjumma, Elisa duduk kembali di tempat duduknya yang berada di sisi L. Sampai pertunjukan berakhir, gadis itu sama sekali tidak mengingat apa yang telah ia tonon, bahkan saat orang-orang dengan antusias melambaikan tangan membalas penyelam yang menyapa mereka pun, Elisa masih terlarut dalam ucapan hantu yang baru ditemui.Bahkan di perjalanan balik, dari sejak di mobil hingga berhenti di cafe depan sekolah Hikaru pun, Elisa masih sibuk dengan pemikirannya sendiri. Sedangkan L, hanya diam, tidak mengganggu ataupun bertanya. Lelaki itu membiarkan Elisa terlarut.Elisa masih bengong ketika mereka duduk dimeja di luar cafe. Sampai minumannya sampai sekali pun, yang gadis itu lakukan hanya menatap wajah tampan L lamat-lamat. Membuat L salah tingkah karena tiba-tiba Elisa terus menatapnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Meskipun begitu, L tetap menyukainya. Setidaknya dengan begitu, ia bisa ikut memperhatikan gerak
Di satu-satunya villa yang ada di daerah lembah, Yamato duduk di atas sebuah alas duduk. Di hadapannya terdapat sebuah meja pendek yang di atasnya dilapisi lembaran kertas tradisional Iapana. Di bagian sisi kanan meja, satu buah kuas besar dan baki tempat menggerus tinta."Apa kalian sudah membawa jenazahnya?" Yamato bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari baki tinta di atas meja kayu di hadapannya. Tangannya sedang sibuk menggerus tinta yang akan digunakannya untuk melukis."SudahSir. Sedang dalam perjalanan.""Good! Apa semua persiapan sudah selesai?"“Sudah, Sir,” sahut asistennya tanpa bergerak dari bagian sisi Yamato."Mr. Kim?""Beliau menolak untuk datang,Sir," jawabnya lagi. Kali ini dengan kepala tertunduk merasa bersalah."Benar-benar wadah yang menyusahkan. Kalau begitu awasi terus dia. Aku akan bersiap." Yamato beranjak menuju kamarnya yang berada di balik punggungnya
Hawa dingin langsung menyergap keduanya saat mereka masuk. Sambil mengenakan sarung tangan dan menuup setengah wajah mereka menggunakan masker medis, keduanya melangkah menuju rak aluminium yang memiliki banyak pintu seukuran tidak sampai satu kali satu meter persegi. Mirip seperti lemari untuk menyimpan file, bahkan hingga tempat menaruh label namanyanya.Yang berbeda adalah meskipun luasnya mirip, panjangnya tidak. Lemari yang setengahnya di tanam masuk ke dinding itu memiliki beberapa kali lipat lebih panjang dari lemari file biasa karena digunakan untuk menyimpan jenazah.Setelah menemukan laci yang mereka cari, Ethan membuka pintunya dan hawa yang lebih dingin kembali menerpa mereka. Lelaki berkulit putih itu lalu menarik keranda di dalamnya dan menyibak sedikit kain putih yang menutupi hanya untuk memeriksa kalau jenazah yang mereka cari benar."Minta Inugami melakukannya dengan cepat,okay."Elisa mengangguk kemudian memejamkan matany
"Mr. Kim,” panggil Mr. Ha kepada atasannya yang sedang duduk di meja kerjanya. Hari sudah malam, tapi Mr. Kim masih sibuk memantau website miliknya, TellUs. “Mr. Yamato baru saja menghubungi saya dan mengatakan kalau Miss Lee telah tewas,” lapornya tanpa menunggu jawabaan atas sapaannya.“Lalu?” tanya Mr. Kim tanpa mengalihkan pandangannya dari layar monitornya.“Menurut Mr. Yamato, kematian Miss Lee jelas bukan pembunuhan biasa.”"Dan apa urusanku?" Mr. Kim mengangkat wajahnya, sepen
Ethan membuka pintu apartemennya setelah sibuk mengatur keamanan di tempat kejadian perkara. Untungnya hari ini dia bisa pulang. Tubuhnya benar-benar lelah mengatur sebegitu banyak orang."Astaga!" Ethan terkejut melihat keberadaan Elisa yang berdiri menjulang di hadapannya. Ia baru saja mengganti sepatunya dengan sandal rumah saat mendapati gadis itu bersender di dinding, menyilangkan tangan sambil menatapnya."Kau terkejut?" Elisa benar-benar terpana melihatnya, mengekori Ethan yang berjalan menuju kulkas untuk mengambil minum.
“Aku pulang!” teriak Hikaru sambil membuka sepatu sekolahnya dan menukarnya dengan sandal rumah. Kembali menenteng ransel hitamnya ia melangkah memasuki ruangan apartemennya yang tidak terlalu besar. “Noona, aku pulang!” teriaknya lagi karena tidak mendapatkan jawaban dari orang yang diharapkanya. Kepalanya menoleh ke arah kananya, tepatnya ke ruangan yang merupakan dapur sekaligus tempat makan. Dahinya mengernyt bingung karena hanya mendapati potongan sayur yang teronggok di atas meja dapur dan sebuah panci di atas kompor tanpa ada sosok yang mengerjakannya.Masih tidak berpikiran yang negatif, ia menaruh ranselnya ke
Elisa masih terus menunduk, meskipun secara naluri ia tahu kalau Miss Lee, orang yang telah membunuh keluarganya mulai mendekat. Ia merasa seperti sedang menggali kuburnya sendiri dan terus menyalahkan dirinya yang tidak mengikuti peringatan Hikaru sedikitpun. Inginnya sih cepat-cepat berdiri dan berusaha kabur dari gerbong itu. Ia cukup yakin dirinya bisa menyelinap di antara keramaian di dalam gerbong.Semua skema pelarian sudah dibayangkan olehnya. Dari buru-buru berdiri dan menembus orang-orang yang sedang berdiri hingga skema melarikan diri dengan melompat ke luar jendela., walau akhirnya ia batalkan karena teringat kalau ia menaiki kereta bawah tanah. Yang artinya jika ia melompat ke luar jendela, maka ia akan tetap tewas karena terbentur dinding rel kereta dalam kecepatan penuh pula.Entah beberapa kali ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan tangan dan kakinya yang gemetar ketakutan. Berharap ia sudah cukup tenang dan bisa bergerak sebelum Miss Lee tiba