Dari sanalah cerita Bibi Kim menangis sambil terisak. Disebutkan bahwa suaminya mengambil kalung berharga milik keluarganya, yang menentang hubungan mereka. Beberapa kali Bibi Kim melarangnya, tapi ia tetap tidak mau dengar.
Chae Ra melihat raut wajah pria itu dari secangkir teh kini berubah dengan ekspresi sedih. Seakan-akan juga ikut merasakan kepedihan di hati sang istri.“Bibi… semua ini diluar kuasamu dan tentu di luar kuasaku juga. Takdir yang Tuhan berikan tidak bisa di tentang. Namun hubungan kalian bukanlah perlawanan takdir, melainkan perjuangan takdir,” ucap Chae Ra dengan lembutBibi kim masih menangis di dalam pelukan sang adik.“Hah… suamimu, dikuburkan di sini. Lebih baik kita makamkan dengan layak, sebelum matahari terbenam.” ucap Chae Ra memutuskan“Bagaimana bisa? Bagaimana caranya?” Tanya paman KimChae Ra berjalan keluar menuju ruang tamu untuk mengambil ponsel. Lalu menelpon seseorang untuk meminta bantuan“Halo? Bisa bantu aku? Tenang saja semuanya akan dibagi rata,” ucapnya di telpon. “Alamatnya sudah ku kirim lewat pesan, sebelum matahari terbenam semuanya sudah beres.”...Tiga puluh menit menunggu kini rekan kerja yang dimaksud Chae Ra datang dengan barang-barang yang akan di gunakan. Seperti gendang, seikat ilalang kering dan tentu saja darah kuda putih.“Kau ada janji malam ini, mari selesaikan dengan cepat,” ucap pria itu menatap Chae Ra dengan penuh keyakinan“Aku tahu,” jawab Chae Ra sambil memakai hanbokDUNG TAK….DUNG TAK….Suara gendang itu terus terdengar diiringi nyanyian manta yang ucapkan rekan Chae Ra.Sedangkan Chae Ra yang sudah siap mengambil sepasang pisau tradisional dengan mata pisau yang tajam, menari-nari dengan penuh tenaga bagai dirasuki roh. Ia terus mengiriskan pisau-pisau itu di atas kulit putihnya, menandakan bahwa ia kebal dari segara-serangan yang ada.“Bongkarlah!” ucap Bibi dengan lantang sambil nenatap lantai ruang keluargaPaman Kim juga langsung membongkar lantai itu, lantai kayu yang sudah berumur panjang akhirnya hancur meskipun membutuhkan waktu yang cukup lama. Chae Ra dan rekannya tak akan berhenti sebelum makam itu terbongkar.Rekan Chae Ra tiba-tiba menghentikan ketukan gendangnya, begitupun dengan Chae Ra yang otomatis menghentikan tariannya. Menandakan bahwa Paman Kim sudah selesai dengan pembongkaran makamnya.“Sudah saatnya.”“Apa yang paman lihat?” tanya Chae Ra mendekatHUSSSSSHH!Angin bertiup dengan kencang menembus jendela, membuat hawa rumah ini semakin dingin.BRAKKK!“Hah?!” Kaget Paman Kim melihat apa yang baru saja ia temukanLantai kayu itu berhasil diangkat dan memperlihatkan sebuah tengkorak yang terlihat berbaring dengan posisi badan melipat, karena ruang di sekitarnya yang cukup sempit.Bibi yang penasaran juga ikut mendekat, seketika ia melebarkan matanya tak sanggup melihat yang yang ada di hadapannya sekarang. Kerangka suaminya yang ia yakini sebelumnya sudah terbakar, namun sekarang masih utuh bahkan ada dihadapannya saat ini“SUAMIKU!” teriak Bibi Kim histerisChae Ra yang melihat itu dengan sigap merangkul Bibi Kim agar tak terjatuh. Paman Kim yang masih terdiam menatap sang Kakak ipar. Menyadari itu Chae Ra menatap rekannya lalu mengisyaratkan agar proses ini di lakukan dengan cepat.Rekan Chae Ra pun langsung turun mengamati kerangka itu. Lalu mengerutkan keningnya saat menyadari ada suatu benda yang berada di tengah-tengah kerangka pergelangan tangan itu.“Chae Ra, ambilkan sarung tangan.”Chae Ra langsung memberikan sarung tangan itu, lalu menatap apa yang di tatap rekannya. Pria itu sedikit berjongkok lalu mengambil sebuah kalung permata yang sangat berkilau.“Bibi, kurasa ia belum menuntaskan tugasnya di dunia ini. Hingga membuatnya tak merasa tenang di dalam sana,” ucap Chae Ra pada bibi KimRekan Chae Ra yang mengerti, langsung memberikan kalung itu pada Bibi Kim.“AKHHSHHH…. SUAMIKU… kau benar-benar mengambilnya demiku, kau bahkan rela menukarkan nyawamu… HIKS…” Bibi Kim makin histeris setelah memegang kalung ituChae Ra menatap bibi dengan prihatin dan ikut merasakan kepedihan yang mendalam. Chae Ra berbalik ke kanan dan seketika menatap sosok roh pria yang merupakan pemilik kerangka itu. Pria yang merupakan korban pembunuhan kejam dan dikuburkan di tempat yang tidak seharusnya di jadikan tempat peristirahatan terakhirnya.Pria itu berlutut melihat kerangkanya sendiri yang terbaring meringkuk yang merupakan posisi terakhirnya sebelum menghembuskan nafas terakhir. Lalu pria itu kini beralih menatap bibi Kim yang masih dalam pelukan Chae Ra.“Jangan menyalahkan dirimu, aku akan terus berada di hatimu,” ucap pria itu, lalu menatap Chae Ra dengan penuh rasa terima kasih.Chae Ra yang juga menatapnya menganggukkan kepala.“Paman, ayo kita lakukan.” Chae Ra menatap Paman Kim yang masih syokAkhirnya mereka segera menuntaskan kremasi pada kerangka itu sebelum matahari terbenam.Chae Ra dan rekannya sudah berganti pakaian dengan pakaian yang modern. Sebelumnya mereka memakai pakaian tradisional untuk melakukan upacara.“Ini untuk mu,” ucap bibi kim sambil memberikan amplop yang cukup tebal.“Bibi? Kurasa ini lebih,” ucap Chae Ra menerima amplop itu.“Tidak, itu bahkan tak sebanding dengan rasa terima kasihku pada kalian,” ucap bibi kim.“Kami menikah 40 tahun yang lalu, saat aku seusia mu menikah di umur 20 tahun memang terbilang sangat cepat. Tapi aku percaya laki-laki yang menjadi suami ku ini adalah pria yang sangat baik. Dan kami saling mencintai.” Ucap bibi Kim menceritakan masa lalunya, “ia selalu membuatku merasa senang, merasa nyaman saat didekatnya. Namun sayangnya keluarga kami menentang, maksudku keluargaku. Karena suamiku sudah hidup sendiri sejak ia kecil, membuat orang-orang dengan santainya merendahkan dan menginjak-injak nya. Keluargaku yang masih memegang erat status kasta tentu sangat menentang hubungan kami.” Chae Ra masih mendengar dengan
DRTTT… DRTT…Chae Ra terpaksa membuka matanya lalu mengambil ponselnya yang bergetar.[JU YEONG]Calling…“Ck… apalagi ini?” Gumam Chae Ra yang tak terima tidurnya diganggu“Hm?”“Kau belum bangun?” “Menurutmu?”“Hah… kau lupa agenda kita hari ini?”“Tidak ada panggilan atau mengusiran hari ini”“Kau pikir hidupmu hanya untuk pengusiran roh saja? Ayolah hidupmu masih panjang”“Langsung saja kua mau bicara apa denganku!!!”“Kau lupa kaya kita akan kencan? Dasar kau ini, bersiaplah tak perlu tampil cantik. Sebentar lagi akan ku jemput”TIT….Setelah panggilannya terputus, Chae Ra yang masih mengumpulkan nyawanya hanya memandang layar ponselnya dengan sinis....“Mau kemana?” Tanya ibu tanpa memutuskan matanya pada majalah yang ia baca“Kencan” jawab Chae Ra datarMendengar itu, ibu Chae Ra langsung memandang Chae Ra dengan datar lalu kembali membaca majalahnya“Pria bertato itu?” Tanya ibu memastikan“Iya” jawab Chae Ra sambil memakai sepatunya“Aku bingung dengan pemikiran mu” gumam
Chae Ra yang sedang menyetir dengan kecepatan sedang sambil sesekali ikut bersenandung mendengar lagu favoritnya yang diputar. Kliennya yang akan ia temui saat ini tinggal di sekitar kaki gunung Inwangsan, cukup jauh dari pusat kota Seoul. Membuatnya harus memakai pakaian lebih tebal untuk daerah dingin seperti di area kaki gunung.Tak menunggu waktu lama, Chae Ra sudah sampai di alamat yang ia tuju. Terlihat beberapa rumah tradisional yang masih di ditinggali beberapa keluarga, meskipun untuk zaman sekarang hal ini sudah terlalu kuno.Chae Ra pun turun dari mobil dengan pakaian musim dingin berwarna hitam senada dengan rok panjang, dan jas kulit yang menutup badan sampai betisnya. Ditambah lagi ia memakai sepatu boots tinggi yang membuat kakinya lebih jenjang. Rambut panjangnya terurai ke belakang tanpa menghalangi wajah cantiknyaPenampilannya saat ini lebih terlihat seperti model dibanding shaman atau dukun.“Kau yakin dia orangnya?” ucap seorang wanita tua sedang berbisik pada pr
Bibi Kim Ai Ra dan Paman Kim Shin memperhatikan Chae Ra yang masih dengan posisinya berdiri di dekat gantungan jasnya. Telapak tangan yang menyatu sambil membaca mantra dengan mata tertutup.FYUUUUUSHHHH!Tiba-tiba angin berhembus dengan kencang menembus dalam rumah, lampu yang awalnya bersinar dengan terang kini terlihat kedap kedip tak menentu.“Apa— apa yang terjadi?” Chae Ra tidak menggubrisnya. Ia masih bertahan di posisi itu, melihat kejadian-kejadian yang tidak dua orang itu ketahui. Dirinya adalah saksi pembunuhan sadis itu.“HA?!” teriak Chae Ra kaget dengan darah yang juga terciprat pada wajahnyaSuasana yang tiba-tiba sunyi. Lalu ia kembali menatap sekelompok itu. Semua Orang itu menatapnya dengan mata yang hampir keluar. Raut wajah yang penuh dengan dendam dan emosi“Kau?!” ucap pria itu yang masih memegang pedang di tangannya dengan darah segar yang masih melekat pada badan pedang itu.Ia berjalan mendekat ke arah Chae Ra seakan Chae Ra adalah musuh yang harus dimusnahka