Sambil menunggu Reyhan memeriksa Andra, aku menceritakan kisahku ke dokter Nida. Dia seperti penasaran dengan kisahku dengan dokter Andra, hebatnya dia tenang dan tidak ada cemburu, sangat berbeda dengan gadis-gadis yang lain. Aku memintanya agar lebih berhati-hati dengan keluarga dokter Andra. Dokter Nida menyimak semua ceritaku. Dia nampak paham kondisi keluarga dokter Andra.Dokter Nida juga cerita dilabrak Naura karena menikah dengan dokter Andra. Pertunangan mereka diputus sepihak oleh keluarga Andra dan Naura menganggap dokter Nida penyebabnya. Dokter Nida merasa ada yang janggal dengan pernikahan ini, karena setelah menikah Ibu mertuanya meminta KTP miliknya. Sepertinya mamanya Andra memiliki hutang yang sangat besar."Jujur aku merasa ada yang tidak sehat dari keluarga dokter Andra," ucap dokter Nida. Aku hanya menyimak."Kemungkinan dokter Andra mamanya punya kebiasaan berjudi!" Apa? Semakin menarik cerita ini."Dokt
Hari ini kami berkemas untuk pulang ke rumah, mami dan ayah pagi sekali sudah mengabari selamat sampai tujuan. Bulan madu ini benar-benar seperti bulan madu impian bahagia tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.Ting, ponsel berdenting salah satu notifikasi nomor tak dikenal.[Tunggu saja, kamu akan mati ditanganku!]Astagfirullah, siapa yang mengirim pesan teror ini pagi-pagi. Dadaku bergemuruh membaca pesan yang masuk, tapi aku berusaha untuk positif thinking, mungkin salah sambung, walau jujur aku sedikit merinding dengan pesan yang dikirim."Ayo sayang, kang Asep sudah menunggu kita," ucap Reyhan membuyarkan lamunanku. Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah Reyhan.Sela
***Sesampai di rumah sakit aku turun di luar rumah sakit, tak ingin membuat gaduh rumah sakit dengan kedatanganku yang diantar supir. Apalagi mobil yang dipakai sudah seperti diantar artis pasti banyak pasang mata yang akan melihatku."Kang, saya turun disini saja, ya.""Gak apa-apa, Nyonya? Nanti tuan muda marah.""Gak apa-apa. Tenang saja sama saya." Dengan terpaksa kang Asep menurunkanku di luar, aku langsung melambaikan tangan agar Kang Asep tersenyum.Aku segera menuju ruangan, beberapa dokter menyapaku. Ada yang terlihat kepo dengan kehadiranku, sepertinya banyak yang belum tahu aku sudah menikah."Kemana saja, bu dokter?" Aku hanya senyum-senyum ditanya, mau jawab sudah nikah, tapi nanti panjang ceritanya."Bu dokter makin cantik saja, ada berita heboh di rumah sakit selama bu dokter cuti." Fix, mereka tidak tahu jika aku sudah menikah."Dokter Andra nikah sama
Reyhan marah dan pergi meninggalkanku begitu saja. Tak ingin ada dusta diantara kami, aku mengejarnya. Namun, Reyhan justru menghindariku, sedih sekali melihat Reyhan yang langsung menutup pintu ruangannya. Reyhan sangat marah, cemburunya tidak bisa mengendalikan emosi.Aku mengetuk pintunya berkali-kali, tapi tak ada sahutan sama sekali."Sayang buka pintunya!" aku berteriak, tapi Reyhan tak menjawab. Sesedih ini rasanya baru pertama kerja sudah ada pertengkaran seperti ini. Apa aku sudah keterlaluan menyakiti perasaan Reyhan.Aku kembali ke ruangan, Andra masih berbaring, seperti tidak peduli dengan kegalauanku. Wajahnya terlihat semakin pucat, setelah di cek suhu badannya 40 derajat."Sus, ambilkan inpus. Dokter Andra badannya semakin panas." Andra menggigil, malang sekali nasibmu, ini karena ulahmu sendiri yang membuat dir
Tak ada satu pun yang bisa menyalahi takdir hidup seseorang, semua sudah diatur oleh-Nya.Pov ReyhanAku berangkat terpisah dengan Nadhine, berat rasanya berangkat terpisah dengan istri manisku. Meski jujur tadi malam mimpiku sedikit aneh, didalam mimpiku Nadhine hanya diam dan melambaikan tangan seperti tidak mengenaliku. Kuucap istigfar berkali-kali bahwa itu hanya bunga tidur.Hari ini ada meeting di perusahaan Ayah, untuk pertama kalinya sebagai pewaris Hermanto aku mulai bekerja. Berat rasanya hanya berpisah dengan Nadhine. Terhitung sepuluh hari kami menikah, tentunya kami masih sedang dimabuk cinta. Nadhine adalah anugerah terindah yang kumiliki.Setelah rapat selesai aku langsung ke rumah sakit. Tak ingin terlalu lama berjauhan dengan
Masih Pov Reihan"Nad, gak mungkin, ini pasti hanya mimpi ...""Gak mungkin, ini tidak mungkin ..." aku meracau tidak jelas, penyesalan ini merasukiku.Aku berlari menuju lokasi kecelakaan yang sudah dibatasi garis polisi, rasa penasaranku mengalahkan semuanya."Pak jangan mendekat, sudah ada garis polisinya." Aku tidak peduli. Ini tak mungkin, pasti ada yang salah."Dimana korban kecelakaannya, Pak?""Sudah dilarikan ke rumah sakit nyawanya tidak dapat diselamatkan."Segera kutelpon Dokter Nida menanyakan apa korban kecelakaan ke rumah sakit."Apa ada korban kecelakaan dibawa ke rumah sakit kita, Nid?" tanyaku."Tidak ada, Han. Aku menonton di televisi sepertinya dibawa ke rumah sakit 'Bima Sakti' yang lebih dekat dengan lokasi kecelakaan." Deg, maksudnya apa? Ini seperti tidak masuk akal, darimana mereka tahu itu Nadhine."Baik, Nid. Aku berangkat
Aku bangun dalam keadaan banyak alat ditubuhku. Kepala pusing dan terasa jantungku berdebar-debar. Entah berapa lama kutidur. Ada seorang wanita paruh baya didekatku. Entah siapa beliau aku tidak mengenalinya sama sekali."Alhamdulillah, Nak. Kamu sadar," ucap wanita itu."Aku dimana?" tanyaku."Ini klinik 'Kasih Bunda', Nak. Kamu sudah tertidur sangat lama." Maksudnya? Aku sama sekali tidak ingat apa-apa. Memori dikepalaku seolah hilang seketika."Aku tidak mengerti maksud ibu.""Kamu kecelakaan, Nak. Kebetulan supir taksi adalah anak semata wayang saya. Ketika kalian di rumah sakit tak ada sanak keluargamu, jadi aku yang menjadi walimu." Aku diam, meski aku sendiri bingung.
***Kami sampai di lokasi perkampungan yang cukup asri. Rumah asri dan lumayan mewah itu sangat terlihat nyaman. Meski di pedesaan rumah milik Bu ratih sangat modern. Sepertinya Bu Ratih di sini terbilang kaya raya di kampungnya."Anak saya yang sebagai supir taksi tidak mau diatur, dia lebih memilih untuk menjadi supir taksi. Harusnya hari itu kami bertemu setelah sekian lama kami berpisah. Namun, takdir kami hanya sampai disitu, ketika Nak Annisa diselamatkan ada ponsel anak saya yang tertinggal, dari itu perjumpaan kita dimulai." Sepertinya banyak luka di hati Bu Ratih, air matanya terus mengalir menceritakan kronologi hingga kami bertemu.Bu Ratih ternyata seorang janda, dia tinggal sendiri di rumah yang terbilang besar ini."Ibu tinggal sendiri disini?" tanyaku yang mulai basa basi."Iya, Nak. Ada yang datang bersih-bersih dan masak-masak ke rumah. Nak Annisa istirahat total, ya. Biar pulih dulu." Aku hanya mengangguk, ba