***
Sesampai di rumah sakit aku turun di luar rumah sakit, tak ingin membuat gaduh rumah sakit dengan kedatanganku yang diantar supir. Apalagi mobil yang dipakai sudah seperti diantar artis pasti banyak pasang mata yang akan melihatku. "Kang, saya turun disini saja, ya.""Gak apa-apa, Nyonya? Nanti tuan muda marah.""Gak apa-apa. Tenang saja sama saya." Dengan terpaksa kang Asep menurunkanku di luar, aku langsung melambaikan tangan agar Kang Asep tersenyum.Aku segera menuju ruangan, beberapa dokter menyapaku. Ada yang terlihat kepo dengan kehadiranku, sepertinya banyak yang belum tahu aku sudah menikah."Kemana saja, bu dokter?" Aku hanya senyum-senyum ditanya, mau jawab sudah nikah, tapi nanti panjang ceritanya."Bu dokter makin cantik saja, ada berita heboh di rumah sakit selama bu dokter cuti." Fix, mereka tidak tahu jika aku sudah menikah. "Dokter Andra nikah samaReyhan marah dan pergi meninggalkanku begitu saja. Tak ingin ada dusta diantara kami, aku mengejarnya. Namun, Reyhan justru menghindariku, sedih sekali melihat Reyhan yang langsung menutup pintu ruangannya. Reyhan sangat marah, cemburunya tidak bisa mengendalikan emosi.Aku mengetuk pintunya berkali-kali, tapi tak ada sahutan sama sekali."Sayang buka pintunya!" aku berteriak, tapi Reyhan tak menjawab. Sesedih ini rasanya baru pertama kerja sudah ada pertengkaran seperti ini. Apa aku sudah keterlaluan menyakiti perasaan Reyhan.Aku kembali ke ruangan, Andra masih berbaring, seperti tidak peduli dengan kegalauanku. Wajahnya terlihat semakin pucat, setelah di cek suhu badannya 40 derajat."Sus, ambilkan inpus. Dokter Andra badannya semakin panas." Andra menggigil, malang sekali nasibmu, ini karena ulahmu sendiri yang membuat dir
Tak ada satu pun yang bisa menyalahi takdir hidup seseorang, semua sudah diatur oleh-Nya.Pov ReyhanAku berangkat terpisah dengan Nadhine, berat rasanya berangkat terpisah dengan istri manisku. Meski jujur tadi malam mimpiku sedikit aneh, didalam mimpiku Nadhine hanya diam dan melambaikan tangan seperti tidak mengenaliku. Kuucap istigfar berkali-kali bahwa itu hanya bunga tidur.Hari ini ada meeting di perusahaan Ayah, untuk pertama kalinya sebagai pewaris Hermanto aku mulai bekerja. Berat rasanya hanya berpisah dengan Nadhine. Terhitung sepuluh hari kami menikah, tentunya kami masih sedang dimabuk cinta. Nadhine adalah anugerah terindah yang kumiliki.Setelah rapat selesai aku langsung ke rumah sakit. Tak ingin terlalu lama berjauhan dengan
Masih Pov Reihan"Nad, gak mungkin, ini pasti hanya mimpi ...""Gak mungkin, ini tidak mungkin ..." aku meracau tidak jelas, penyesalan ini merasukiku.Aku berlari menuju lokasi kecelakaan yang sudah dibatasi garis polisi, rasa penasaranku mengalahkan semuanya."Pak jangan mendekat, sudah ada garis polisinya." Aku tidak peduli. Ini tak mungkin, pasti ada yang salah."Dimana korban kecelakaannya, Pak?""Sudah dilarikan ke rumah sakit nyawanya tidak dapat diselamatkan."Segera kutelpon Dokter Nida menanyakan apa korban kecelakaan ke rumah sakit."Apa ada korban kecelakaan dibawa ke rumah sakit kita, Nid?" tanyaku."Tidak ada, Han. Aku menonton di televisi sepertinya dibawa ke rumah sakit 'Bima Sakti' yang lebih dekat dengan lokasi kecelakaan." Deg, maksudnya apa? Ini seperti tidak masuk akal, darimana mereka tahu itu Nadhine."Baik, Nid. Aku berangkat
Aku bangun dalam keadaan banyak alat ditubuhku. Kepala pusing dan terasa jantungku berdebar-debar. Entah berapa lama kutidur. Ada seorang wanita paruh baya didekatku. Entah siapa beliau aku tidak mengenalinya sama sekali."Alhamdulillah, Nak. Kamu sadar," ucap wanita itu."Aku dimana?" tanyaku."Ini klinik 'Kasih Bunda', Nak. Kamu sudah tertidur sangat lama." Maksudnya? Aku sama sekali tidak ingat apa-apa. Memori dikepalaku seolah hilang seketika."Aku tidak mengerti maksud ibu.""Kamu kecelakaan, Nak. Kebetulan supir taksi adalah anak semata wayang saya. Ketika kalian di rumah sakit tak ada sanak keluargamu, jadi aku yang menjadi walimu." Aku diam, meski aku sendiri bingung.
***Kami sampai di lokasi perkampungan yang cukup asri. Rumah asri dan lumayan mewah itu sangat terlihat nyaman. Meski di pedesaan rumah milik Bu ratih sangat modern. Sepertinya Bu Ratih di sini terbilang kaya raya di kampungnya."Anak saya yang sebagai supir taksi tidak mau diatur, dia lebih memilih untuk menjadi supir taksi. Harusnya hari itu kami bertemu setelah sekian lama kami berpisah. Namun, takdir kami hanya sampai disitu, ketika Nak Annisa diselamatkan ada ponsel anak saya yang tertinggal, dari itu perjumpaan kita dimulai." Sepertinya banyak luka di hati Bu Ratih, air matanya terus mengalir menceritakan kronologi hingga kami bertemu.Bu Ratih ternyata seorang janda, dia tinggal sendiri di rumah yang terbilang besar ini."Ibu tinggal sendiri disini?" tanyaku yang mulai basa basi."Iya, Nak. Ada yang datang bersih-bersih dan masak-masak ke rumah. Nak Annisa istirahat total, ya. Biar pulih dulu." Aku hanya mengangguk, ba
Apa aku kenal denganmu di kehidupan yang dulu?***"Siapa kamu yang berani sekali melakukan cardiopulmonary resuscitation?!" Laki-laki itu berteriak dan spontan mata kami beradu.Dia maju dan mengambil alih, dibukanya kancing baju bapak yang mengalami sesak nafas itu. Aku hanya diam, entah mengapa berada di dekatnya jantungku berdebar-debar.Dengan cekatan dia melakukan CPR gerakan tangannya sangat lihai sekali. Dia sekilas memandangku, desiran di dada ini membuatku seperti orang jatuh cinta."Apa aku kenal denganmu di kehidupan yang dulu," ucapku yang terus membatin di dalam hati.Cukup lama aku melihatnya membantu warga yang sedang tergolek lemah, tak berselang
****Malamnya aku terus berfikir tidak mungkin seperti ini selamanya, aku harus berbaur dengan keadaan agar hidupku lebih berwarna. Kulihat Bu Ratih sedang menonton layar televisi sedang duduk bersantai ria."Bu, kegiatan apa yang bisa kulakukan disini?""Maksudnya, Nak?" tanya Bu Ratih."Aku ingin hidup sebagai Annisa, Bu. Kumohon jangan larang aku untuk hidup seperti biasa," ucapku yang penuh serius."Tapi, Nak ...." Bu Ratih terlihat ragu."Aku bisa bekerja di perkebunan ibu, justru jika aku hanya berdiam diri tidak akan mengubah keadaan. Enam bulan aku seperti dipenjara di sini." Bu Ratih terlihat diam, seperti berfikir."Aku mohon kali ini ibu menerima saranku.""Baiklah, bantu Ibu menjaga di perkebunan. Namun, tugas Nak Annisa mengecek kehadiran karyawan dan mengobati jika ada yang sakit. Tapi, identitasmu sebagai dokter usahakan tidak diketahui orang asing, nanti jika ada pek
Aku berharap kita memiliki hubungan di masa lalu.***"Maaf anda siapa?" tanyaku, dia terlihat canggung."Maaf aku salah orang," jawabnya singkat. Cukup lama kami saling pandang, desiran ini jangan ditanya. Tanganku langsung dilepasnya."Mas, ini ayam goreng yang diminta. Pesannya banyak sekali." Perasaan tadi kami samaan antri kenapa dia lebih cepat mendapat giliran.Dengan cepat laki-laki itu mengambil satu bungkusan dan langsung memberikanku."Ambillah ...." Tanpa banyak kata dia langsung menaruh ditanganku."Itu siapa, Mas?"
Masuk trimester ketiga kondisi Nadhine semakin berbeda. Bukan hanya kaki, tapi tangan dan wajahnya juga bengkak. Hari ini dia memintaku untuk mengajaknya ke pantai. Pantai dekat kampung halamannya. "Sayang, jika aku tiada nanti. Berjanjilah untuk selalu bahagia." Ucapan itu mungkin sudah sekian ratus kali Nadhine ucapkan ketika bersamaku. Di bibir pantai aku duduk dengannya. Kami bernostalgia tentang cinta kami dan kenangan di kedokteran. Sesekali dia tertawa, tapi justru aku yang terluka. Aku seperti bersama dengan orang yang akan pergi jauh. Pergi selama-lamanya. "Han, wasiat dokter Andra lebih baik dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Rumahnya kembalikan saja ke adik-adiknya yang lebih berhak. Kudengar mereka ngontrak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kalau uangnya mungkin bisa dibuatkan sebuah yayasan penderita jantung. Agar kebaikannya mengalir terus menerus." Aku hanya mengangguk, meski setiap kata yang terucap dari Nadhine membuatku hancur.***Aku bahkan tak tenang kerja
***Menjelang melahirkan bahkan aku tak bisa tidur malam lagi. Kaki yang bengkak ini membuatku sulit untuk berjalan. Badanku mulai terasa berat, nafasku bahkan sudah tak beraturan. Namun, aku sadar diri sebisa mungkin tak ingin membuat Reyhan panik. Aku sudah berusaha seperti wanita hamil lainnya banyak gerak menjelang melahirkan."Sayang diam saja, jangan terlalu banyak gerak.""Harus banyak gerak sayang, biar dedek sehat dan bunda kuat." Reyhan hanya tersenyum. Namun, kutahu dia lebih panik dariku menjelang persalinan"Sehat-sehat ya, dedek dan bunda." Dia memegang dan mencium perutku."Sayang kenapa tidak kerja?" tanyaku heran melihatnya belum siap 
Hari semakin hari kehamilanku terasa berat. Aku sudah resign dari rumah sakit. Mudah lelah dan sering sesak nafas membuatku tidak nyaman. Namun, tak menyurutkanku untuk menghadirkan buah hati ini. Jika waktuku tiba ada anak yang menjadi penyemangat Reyhan nanti. Kujalani semua ini dengan ikhlas dan berharap semua kebaikan bertumpu kepada kami.Reyhan terus memenuhi segala keinginanku. Aku bukannya tak mau dia merasakan apa yang kurasakan, tapi setiap melihatku Reyhan selalu menangis, entah apa yang ditakutkannya. Bahkan Reyhan tidak akan tidur jika aku belum tidur aku dibuat seperti bayi. Dijaga dan dirawat sebaik mungkin padahal aku tahu dia sangat capek bekerja dari pagi."Apanya yang sakit?""Gak ada, sayang. Bunda sama calon dedek sehat." Aku berusaha untuk selalu tersenyum, tapi guratan kesedihan dalam diri Reyhan tak bisa disembunyikan. Bahkan aku tak mengeluh sedikit pun di depannya. Ini kare
Satu tahun kemudian ....Entah mengapa hari ini badanku terasa lemas sekali, ingin rebahan saja. Ada rasa mual yang mendera. Apa aku magh? Setiap makanan yang masuk langsung aku muntahin."Sayang kenapa pucat?" tanya Reyhan yang panik baru pulang kerja. Aku hari ini tidak masuk kerja, biasanya kami selalu pulang bersamaan, Reyhan takut jika aku pulang sendiri."Iya, sayang, pusing.""Ayo tidur dulu." Aku menggeleng, tidur pun tak enak soalnya."Kenapa?""Capek tidur, rasanya mual." Aku berlari ke kamar mandi untuk muntah-muntah lagi.Oek ... oek ...oek Ya Allah capek sekali rasanya muntah-muntah terus dari pagi. Reyhan terlihat panik, karena dari pagi memang aku hanya lemas saja tidak sampai muntah-muntah."Sayang ....""Kenapa sayang?"Semua pelayan terlihat panik melihatku yang muntah-muntah. Bagaimana tidak? Aku pucat dari pagi tidak ada makanan yang bisa masuk, mual dan muntah menjadi satu."Sayang mau makan apa?" tanya Reyhan."Pengen mangga muda, sayang. Dari pagi mangga muda it
"Lagi buka apa, sayang?" Reyhan tiba-tiba masuk menanyakan amplop yang akan kubuka."Ini, sayang. Bukannya ini punyaku?" tanyaku yang penasaran."Iya, sayang itu punyamu." Reyhan nampak tenang, tidak ada gelagat yang mencurigakan. Aku membuka isi amplop itu, tapi semua hasil normal tak ada yang harus kukhawatirkan. Itu berarti aku masih punya kesempatan untuk hamil."Han ....""Iya, sayang, kenapa?""Aku khawatir rahimku bermasalah?" Reyhan mengenggam tanganku, dia duduk dibawah renjang sementara posisiku di atas ranjang. Dalam kelembutan dia menatapku seperti merasakan kegalauan yang kualami."Allah itu mengikuti prasangka hamba-Nya. Kita harus berprasangka baik agar semua yang kita harapkan berakhir baik. Abang bersyukur masih bisa melihatmu dan berada didekatmu, sayang." Aku seperti merasakan kode bahwa sebenarnya akan sulit bagi kami memiliki anak."Aku hanya ingin membuatmu bahagia, Han.""Melihat senyummu saja sudah anugerah yang luar biasa bagiku, sayang. Tidak mudah bagi kit
Tak terasa sudah sampai di rumah, mami sudah siap salat magrib. Sementara Rachel belum pulang dari rumah sakit, pasti sangat macet di jalan. "Alhamdulillah kalian sudah sampai," ucap mami. "Mana Rachel, Mi? Apa dia balik lagi ke rumah sakit setelah makan siang tadi?" tanya Reyhan yang belum melihat adik manisnya. "Belum pulang, paling macet di jalan. Iya tadi adikmu balik, dia menggerutu tidak kuat jadi direktur di rumah sakit." Aku hanya senyum-senyum mendengar mami cerita. "Bawa apa, Nak?" tanya mami yang melihatku membawa amplop besar. Reyhan menjelaskan ke mami, hasil pertemuanku dengan Jihan dan Laras. "Ujian dan musibah terkadang membuat orang semakin dewasa, ya, Rey." Ayah ikut bergabung bersama kami. "Kalian mandi, ya, udah mau magrib," ucap mami. Kami mengangguk dan bersiap ke kamar, suara deru mobil Rachel memasuki halaman rumah. Dia pasti belum tahu akan dipinang oleh dok
"Boleh kami berbicara, Nad?" tanya Laras. Aku menoleh ke Reyhan menanyakan kode apakah aku boleh atau tidak. Reyhan mengangguk. Kami sepakat untuk berbicara sebentar mengingat ada acara di rumah. Penampilan Laras dan Jihan saat ini sangat jauh sebelum aku kecelakaan. Tidak tahu bagaimana nasib mantan mama mertua. "Maafkan kami, Nad." Laras memulai pembicaraan. "Mama sudah meninggal dunia," sambung Jihan. "Innalillahiwainnailaihi roji'un." "Kami tidak memiliki biaya untuk pengobatan mama, setelah mas Andra meninggal mama depresi, kami mencoba untuk membawanya keluar negeri. Ternyata mama mengalami kanker rahim stadium akhir. Nyawanya tidak tertolong hingga meninggal satu bulan yang lalu." Jihan dengan detail menceritakan kejadian yang menimpanya. Aku dan Reyhan hanya menjadi pendengar setia.
"Nak, laki-laki dewasa itu biasnya belajar dari pengalaman. Asal Nadhine tahu saja Ayah itu sangat mencintai mami sampai pernah menjadi orang jahat, ternyata setelah enam tahun kemudian, kami dipertemukan dengan ayah kalian yang begitu dewasa dalam kondisi mami janda. Bahkan dia rela mengambil spesialis bedah agar bisa bersama mami. Jodoh selalu datang di waktu yang tepat meski butuh waktu yang lama. Makanya kalau lihat Reyhan seperti melihat ayah waktu muda dulu mencintai mami sampai waktu yang tak terbatas." Mami sangat menghayati sekali menceritakan masa lalunya sambil meneteskan air mata."Saat ini nak Nadhine harus percaya bahwa Reyhan tulus menyanyangimu agar transfer cinta kalian menyatu. Hindari pikiran yang dapat merusak hubungan dan perasaan kalian. Apalagi penyakit jantung tidak boleh stress." Aku mengangguk dan membalas pelukan mami. Mami mertua yang luar biasa dihatiku.Kalimat terakhir yang membuatku terenyuh adalah pernyataan mami bahwa yang
Reyhan sangat setia merawatku di rumah. Tiga hari ini dia minta cuti untuk tidak bekerja. Dia bahkan membuat jadwal untukku mengkonsumsi obat. Dia tak ingin waktu hilang bersamaku walau sedetik pun. Makanan pun semuanya di steril dulu olehnya. Ada beberapa makanan yang tidak dianjurkan untuk penderita jantung. Reyhan sangat hati-hati. Semua pelayan bahkan di berikan pengarahan dulu agar makanan yang kumakan harus benar-benar sesuai. Kami hanya senyum-senyum melihat tingkah Reyhan yang mengalahkan perawat rumah sakit."Abang, kak Nadhine udah sembuh. Dibuat kayak gitu bikin sakit beneran." Seperti biasa Rachel menganggu Reyhan yang sedang menyuapiku. Bahkan Reyhan tak pernah absen menyuapiku makan selama di rumah."Kalau jomlo mana tahu hal demikian." Rachel justru tertawa, aku hanya senyum-senyum melihat si abang yang memang berlebihan bapernya.Kondisiku memang masih lemah meski badan terasa segar.