"Aku Annisa, Rei." Lama dia menatapku, seperti mengenaliku. Aku berharap pernah bertemu dia di kehidupanku yang dulu."Premannya sudah hilang, terima kasih," ucapku, tapi dia masih tetap diam, justru aku yang canggung."Aku duluan ...." Dia terus menatapku, jujur aku tak ingin momen ini berakhir, seperti kerinduan yang menusuk di kalbu ini. Merasakan cinta yang entah kapan pernah kurasakan. Tak ingin larut dengan perasaan ini ingin segera kutinggalkan dia yang masih terus menatapku. Namun, secepat kilat tanganku dicekal olehnya."Diam sebentar ...." ucapannya terputus entah perasaan apa ini. Fix, ini jatuh cinta. Apa semudah itu aku jatuh cinta dengan orang lain? Mengapa laki-laki ini mampu menguasai hatiku seperti sudah lama diisi olehnya.
"Apa ibu pernah melihat wanita ini?"tanya preman itu lagi."Sepertinya kalian salah orang tidak ada wanita seperti di foto kalian!" preman itu saling pandang, tapi penasaran."Terus kenapa anak ibu menggunakan masker,"ucapnya lagi."Mau pakai masker atau tidak urusannya dengan kalian apa? Jangan sampai saya melaporkan kalian ke kantor lurah dan warga sekitar, dijamin kalian akan digebuk masal!" Hebat sekali memang Bu Ratih ini tak ada takutnya."Ibu jangan mengancam kami, ibu kira kami takut! Hahaha ... tidak sama sekali.""Oh, begitu! Baiklah!" Seketika Bu Ratih mengeluarkan pluit, beberapa kali bu Ratih meniupnya. Secepat kilat semua pekerja
Hari ini Bu Ratih mengajakku ke kota untuk bertemu dengan dokter Daniel. Jujur, aku masih bingung apa yang ingin mereka bicarakan. Rasa penasaran ini tidak bisa diredam lagi. Kulihat Bu Ratih bersiap-siap dengan dandanan yang tidak biasanya. Semakin memperkuat Bu Ratih ini bukan wanita biasa, apa benar dia adalah ibu dari supir taksi yang dimaksud ketika kusadar. Semua masih misteri."Ayo, kita berangkat." Aku hanya bengong melihat penampilan Bu Ratih yang sudah mirip sosialita."Kenapa bengong, inilah Ibu sebenarnya." Ha? Bikin makin penasaran saja. Bu Ratih siapa dirimu sebenarnya, ingin rasanya kuputar waktu ini sangat cepat.Kami diantar oleh mobil yang sudah siap menjemput kami untuk berangkat ke kota sesuai perjanjian dengan dokter Daniel, sepanjang perjalanankulihat bangunan pondasi klinik yang dibangun oleh laki-laki itu. Katanya sebagai persembahan untuk almarhum istrinya. Masih jelas
"Pelan saja makannya," ucap dokter Daniel. Aku hanya cengengesan."Lapar, Dok. Tak biasa dirias kayak tadi. Kalau kelamaan bisa pingsan di salon.""Hahaha ... Mom, kok gak selera makan?" Tanya dokter Daniel."Mommy sudah terbiasa makan masakan Annisa, enak banget, Niel.""Iya, kah? Gak sia-sia Daniel ajak kerjasama, lumayan Mommy bisa bernostalgia di desa Kakek.""Iya, tak menyangka Mommy betah disana, Niel. Hidup di kampung terasa lebih damai.""Wow, sejak kapan Mommyku berubah seperti ini. Surprise banget, hebat kamu Annisa bisa mengubah Mommyku yang gila shoping ini." Aku hanya tersenyum datar, bukan apa-apa aku merasa seperti ditipu oleh mereka. Memanfaatkan amnesia yang kumiliki."Maafkan ibu, ya, Nak. Ibu hanya ikut permainan Daniel. Jadi kalau mau marah sama Daniel jangan sama ibu. Ibu juga korban dari rencana dia." Bu Ratih memicingkan matanya ke anaknya untuk bertanggung jawab atas ti
Setelah diskusi di restoran, kami sepakat melanjutkan rencana selanjutnya. Bu Ratih dengan nama panjang Ratih Purwaningsih itu adalah seorang pewaris tunggal Bramantyo. Selain memiliki perkebunan, dia juga memiliki panti asuhan. Kang Asep salah satu anak asuh beliau sampai menjadi sarjana. Dokter Daniel Bramantyo adalah anak semata wayang dari bu Ratih."Annisa, mulai besok kamu bekerja di rumah sakit tempatku bekerja sebelum menjadi dokter dari suamimu. Namun, terlebih dulu kita buat rencana agar kamu bisa masuk ke rumah sakit itu untuk mendapat rekomendasi dari rumah sakit untuk merawat suamimu.""Dok, apakah saya masih mengingat kebiasaan saya menjadi dokter?" tanyaku yang masih ragu dengan kemampuan yang kumiliki."Amnesia itu tidak menghilangkan kebiasaan dan keterampilan, untuk mengingatnya, terlebih dahulu bekerjalah denganku selama satu minggu. Nanti akan aku bimbing agar kamu tidak bi
***Hari kedua aku masih berusaha, aku melihat semua kegiatan rumah sakit, biarlah orang mau bicara apa. Fokusku cuma satu untuk bertemu dengan suamiku--Rei."Annisa, kabarnya suamimu akan di operasi, jika tidak ada kemajuan maka tipis harapan kamu ikut andil merawat suamimu.""Maksudnya, apa?""Calon tunangannya yang akan mengoperasi, kabarnya usus buntunya parah. Menurut riwayat dia juga mengonsumsi obat-obatan. Masih dicari penyebabnya. Yang dikhawatirkan jika calon tunangannya yang operasi maka itu akan dijadikan bahan untuk secepatnya menjadi istrinya. Vivi ini licik berbagai cara dilakukan, termasuk ingin mengambil utuh suamimu." Aku diam, bagaimana aku bisa operasi jika hal dasar dari kedokteran saja aku sama sekali lupa.Hari kedua hasilnya masih sama.****Sampai hari kelima aku masih berjuang, sepertinya aku harus menyerah. Dokter Daniel juga terlihat putus asa melihatku. Menurut dokter Daniel
"Nadhine ...."Hening."Kamu, Nadhine?" Bibir pucat itu mengulang pertanyaannya.Ya Allah gak kuat sebenarnya melihat Reyhan terpuruk seperti ini. Aku tahu dia pasti sangat terluka selama ini. Lebih terluka dari yang kubayangkan. Tubuhnya terlihat sangat kurus.Reyhan cukup lama memandangku. Dalam keadaan yang begitu menyedihkan dia masih ingat namaku."Han, harusnya kamu lebih kuat dariku. Aku bisa bertahan ini pasti karena kekuatan do'a yang kamu miliki." Aku terus membatin tak kuat melihat Reyhan terpuruk seperti ini."Siapa yang dimaksud?" aku mencoba mengalihkan, aku harus berpura-pura lupa agar bisa mengawasi Reyhan lebih dekat."Aku Annisa, bukannya kita pernah bertemu sebelumnya?" Air mata yang ingin keluar ini kutahan sebisa mungkin. Dia terus memandangku, kami mer
"Tak menyangka dokter Nadhine itu istri dokter Reyhan, mereka kemana-mana selalu bersama dulu. Sekarang dokter Reyhan berada di titik terendah, semoga dia mampu menjalani ujian berat ini.""Aku justru berharap itu dokter Nadhine, biar Vivi yang sok berkuasa di rumah sakit ini lenyap. Sok nya minta ampun.""Bener, kasihan Dini dipecat gara-gara masuk ke ruangan dokter Reyhan. Selain dia ingin menguasai dokter Reyhan dia juga ingin menguasai rumah sakit ini." Seru sekali pembicaraan mereka. Dari jauh Vivi berjalan membuat mereka seketika bubar. Vivi kenapa berubah menjadi seperti ini. Ini sangat bahaya jika dibiarkan.Kulihat dia menuju ke ruangan dokter Danang. Perasaanku mulai tak enak. Apa selama ini Danang dan Vivi bersekutu untuk menghancurkan Reyhan. Aku harus bergerak dalam senyap. Sebelumnya aku bercermin terlebih dahulu, sebagai Annisa aku harus tampil perfect dan modis.Ting, ponsel berdenting nama dokter Daniel