Hari ini Bu Ratih mengajakku ke kota untuk bertemu dengan dokter Daniel. Jujur, aku masih bingung apa yang ingin mereka bicarakan. Rasa penasaran ini tidak bisa diredam lagi. Kulihat Bu Ratih bersiap-siap dengan dandanan yang tidak biasanya. Semakin memperkuat Bu Ratih ini bukan wanita biasa, apa benar dia adalah ibu dari supir taksi yang dimaksud ketika kusadar. Semua masih misteri.
"Pelan saja makannya," ucap dokter Daniel. Aku hanya cengengesan."Lapar, Dok. Tak biasa dirias kayak tadi. Kalau kelamaan bisa pingsan di salon.""Hahaha ... Mom, kok gak selera makan?" Tanya dokter Daniel."Mommy sudah terbiasa makan masakan Annisa, enak banget, Niel.""Iya, kah? Gak sia-sia Daniel ajak kerjasama, lumayan Mommy bisa bernostalgia di desa Kakek.""Iya, tak menyangka Mommy betah disana, Niel. Hidup di kampung terasa lebih damai.""Wow, sejak kapan Mommyku berubah seperti ini. Surprise banget, hebat kamu Annisa bisa mengubah Mommyku yang gila shoping ini." Aku hanya tersenyum datar, bukan apa-apa aku merasa seperti ditipu oleh mereka. Memanfaatkan amnesia yang kumiliki."Maafkan ibu, ya, Nak. Ibu hanya ikut permainan Daniel. Jadi kalau mau marah sama Daniel jangan sama ibu. Ibu juga korban dari rencana dia." Bu Ratih memicingkan matanya ke anaknya untuk bertanggung jawab atas ti
Setelah diskusi di restoran, kami sepakat melanjutkan rencana selanjutnya. Bu Ratih dengan nama panjang Ratih Purwaningsih itu adalah seorang pewaris tunggal Bramantyo. Selain memiliki perkebunan, dia juga memiliki panti asuhan. Kang Asep salah satu anak asuh beliau sampai menjadi sarjana. Dokter Daniel Bramantyo adalah anak semata wayang dari bu Ratih."Annisa, mulai besok kamu bekerja di rumah sakit tempatku bekerja sebelum menjadi dokter dari suamimu. Namun, terlebih dulu kita buat rencana agar kamu bisa masuk ke rumah sakit itu untuk mendapat rekomendasi dari rumah sakit untuk merawat suamimu.""Dok, apakah saya masih mengingat kebiasaan saya menjadi dokter?" tanyaku yang masih ragu dengan kemampuan yang kumiliki."Amnesia itu tidak menghilangkan kebiasaan dan keterampilan, untuk mengingatnya, terlebih dahulu bekerjalah denganku selama satu minggu. Nanti akan aku bimbing agar kamu tidak bi
***Hari kedua aku masih berusaha, aku melihat semua kegiatan rumah sakit, biarlah orang mau bicara apa. Fokusku cuma satu untuk bertemu dengan suamiku--Rei."Annisa, kabarnya suamimu akan di operasi, jika tidak ada kemajuan maka tipis harapan kamu ikut andil merawat suamimu.""Maksudnya, apa?""Calon tunangannya yang akan mengoperasi, kabarnya usus buntunya parah. Menurut riwayat dia juga mengonsumsi obat-obatan. Masih dicari penyebabnya. Yang dikhawatirkan jika calon tunangannya yang operasi maka itu akan dijadikan bahan untuk secepatnya menjadi istrinya. Vivi ini licik berbagai cara dilakukan, termasuk ingin mengambil utuh suamimu." Aku diam, bagaimana aku bisa operasi jika hal dasar dari kedokteran saja aku sama sekali lupa.Hari kedua hasilnya masih sama.****Sampai hari kelima aku masih berjuang, sepertinya aku harus menyerah. Dokter Daniel juga terlihat putus asa melihatku. Menurut dokter Daniel
"Nadhine ...."Hening."Kamu, Nadhine?" Bibir pucat itu mengulang pertanyaannya.Ya Allah gak kuat sebenarnya melihat Reyhan terpuruk seperti ini. Aku tahu dia pasti sangat terluka selama ini. Lebih terluka dari yang kubayangkan. Tubuhnya terlihat sangat kurus.Reyhan cukup lama memandangku. Dalam keadaan yang begitu menyedihkan dia masih ingat namaku."Han, harusnya kamu lebih kuat dariku. Aku bisa bertahan ini pasti karena kekuatan do'a yang kamu miliki." Aku terus membatin tak kuat melihat Reyhan terpuruk seperti ini."Siapa yang dimaksud?" aku mencoba mengalihkan, aku harus berpura-pura lupa agar bisa mengawasi Reyhan lebih dekat."Aku Annisa, bukannya kita pernah bertemu sebelumnya?" Air mata yang ingin keluar ini kutahan sebisa mungkin. Dia terus memandangku, kami mer
"Tak menyangka dokter Nadhine itu istri dokter Reyhan, mereka kemana-mana selalu bersama dulu. Sekarang dokter Reyhan berada di titik terendah, semoga dia mampu menjalani ujian berat ini.""Aku justru berharap itu dokter Nadhine, biar Vivi yang sok berkuasa di rumah sakit ini lenyap. Sok nya minta ampun.""Bener, kasihan Dini dipecat gara-gara masuk ke ruangan dokter Reyhan. Selain dia ingin menguasai dokter Reyhan dia juga ingin menguasai rumah sakit ini." Seru sekali pembicaraan mereka. Dari jauh Vivi berjalan membuat mereka seketika bubar. Vivi kenapa berubah menjadi seperti ini. Ini sangat bahaya jika dibiarkan.Kulihat dia menuju ke ruangan dokter Danang. Perasaanku mulai tak enak. Apa selama ini Danang dan Vivi bersekutu untuk menghancurkan Reyhan. Aku harus bergerak dalam senyap. Sebelumnya aku bercermin terlebih dahulu, sebagai Annisa aku harus tampil perfect dan modis.Ting, ponsel berdenting nama dokter Daniel
Ditengah-tengah kerinduan yang begitu mendalam di hati kami, Reyhan tiba-tiba langsung mendorongku. Aku terkejut melihat emosinya yang tidak stabil. “Pergi! Aku ingin sendiri!” Reyhan berteriak mengusirku. Maksudnya apa? membingungkan saja. Tiba-tiba deru langkah mendekatiku. Ada Danang dan Vivi masuk ke ruangan Reyhan. Aku baru sadar ternyata Reyhan pura-pura. Apakah selama ini sebenarnya tahu jika dia dikhianati? Aku ikut berakting meringis kesakitan. “Aku bilang pergi! Aku ingin istirahat!” Reyhan kembali berteriak. “Mas kendalikan emosimu, dia bisa kabur lagi jika Mas seperti ini.” Danang mencoba menenangkan. Picik sekali permainan mereka. Mari kita sama-sama bermain. “Iya, Mas. Aku mohon kendalikan dirimu, sebentar lagi Mas akan operasi. Aku harap Mas sehat agar kita segera menikah.” Cuih, pengen makan si Vivi ini, manis se
Siapa itu?Aku dan Reyhan tidak bergerak. Deru langkah semakin mendekati kami, nafasku naik turun tidak beraturan. Kami menyadari ini kesalahan kami yang teledor. Reyhan mencoba membalik badan dan ternyata yang datang adalah ...."Kakak ...." suara itu."Rachel ...?" aku segera turun dari pangkuan Reyhan. Dia juga sangat kaget melihat kedatangan adiknya yang mendadak dengan koper yang masih digeretnya.Hening.cukup lama kami saling pandang, Rachel berlari meninggalkan kopernya dan langsung berhambur memelukku. Seperti anak kecil Rachel menangis sesenggukan."Kakak masih hidup? Alhamdulillah ya Allah." Aku mengangguk, merasakan memiliki saudara yang luar biasa ini."Kakak bagaimana ceritanya, abang kenapa gak cerita." Rachel yang bawel membuat suasana semakin mencair.
***Dokter Daniel sudah menunggu di luar, dia melambaikan tangan mengarahku. Nyeri ini sudah mulai berkurang. Apa aku harus bertanya banyak hal dengan dokter Daniel? Kalau seperti ini kondisiku aku juga bisa menjadi beban untuk orang yang aku cintai."Sudah lama, Dok?" tanyaku."Lumayan Annisa, Mommy cerewet sekali bertanya." Hm, ini yang aku khawatirkan bu Ratih akan memaksaku menjadi menantunya."Gimana hari ini, tak ada masalah?" tanya dokter Daniel."Tak ada masalah, Dok. Aku hanya keliling-keliling saja tadi biar kenal dengan rumah sakitnya." Dia hanya diam memandangku. Aku takut dia mulai curiga jika aku mulai sadar."Aku takut kamu ketahuan jika kurang profesional Annisa, besok mereka rencananya akan mengujimu di rung operasi ada yang harus kalian operasi." Aku hanya mendengar penuturan dokter Daniel."Jangan khawatir, Dok. Tekadku tetap sama ingin bersama dengan suamiku." Dokter Daniel