***
Kami sampai di lokasi perkampungan yang cukup asri. Rumah asri dan lumayan mewah itu sangat terlihat nyaman. Meski di pedesaan rumah milik Bu ratih sangat modern. Sepertinya Bu Ratih di sini terbilang kaya raya di kampungnya."Anak saya yang sebagai supir taksi tidak mau diatur, dia lebih memilih untuk menjadi supir taksi. Harusnya hari itu kami bertemu setelah sekian lama kami berpisah. Namun, takdir kami hanya sampai disitu, ketika Nak Annisa diselamatkan ada ponsel anak saya yang tertinggal, dari itu perjumpaan kita dimulai." Sepertinya banyak luka di hati Bu Ratih, air matanya terus mengalir menceritakan kronologi hingga kami bertemu.Bu Ratih ternyata seorang janda, dia tinggal sendiri di rumah yang terbilang besar ini."Ibu tinggal sendiri disini?" tanyaku yang mulai basa basi."Iya, Nak. Ada yang datang bersih-bersih dan masak-masak ke rumah. Nak Annisa istirahat total, ya. Biar pulih dulu." Aku hanya mengangguk, baApa aku kenal denganmu di kehidupan yang dulu?***"Siapa kamu yang berani sekali melakukan cardiopulmonary resuscitation?!" Laki-laki itu berteriak dan spontan mata kami beradu.Dia maju dan mengambil alih, dibukanya kancing baju bapak yang mengalami sesak nafas itu. Aku hanya diam, entah mengapa berada di dekatnya jantungku berdebar-debar.Dengan cekatan dia melakukan CPR gerakan tangannya sangat lihai sekali. Dia sekilas memandangku, desiran di dada ini membuatku seperti orang jatuh cinta."Apa aku kenal denganmu di kehidupan yang dulu," ucapku yang terus membatin di dalam hati.Cukup lama aku melihatnya membantu warga yang sedang tergolek lemah, tak berselang
****Malamnya aku terus berfikir tidak mungkin seperti ini selamanya, aku harus berbaur dengan keadaan agar hidupku lebih berwarna. Kulihat Bu Ratih sedang menonton layar televisi sedang duduk bersantai ria."Bu, kegiatan apa yang bisa kulakukan disini?""Maksudnya, Nak?" tanya Bu Ratih."Aku ingin hidup sebagai Annisa, Bu. Kumohon jangan larang aku untuk hidup seperti biasa," ucapku yang penuh serius."Tapi, Nak ...." Bu Ratih terlihat ragu."Aku bisa bekerja di perkebunan ibu, justru jika aku hanya berdiam diri tidak akan mengubah keadaan. Enam bulan aku seperti dipenjara di sini." Bu Ratih terlihat diam, seperti berfikir."Aku mohon kali ini ibu menerima saranku.""Baiklah, bantu Ibu menjaga di perkebunan. Namun, tugas Nak Annisa mengecek kehadiran karyawan dan mengobati jika ada yang sakit. Tapi, identitasmu sebagai dokter usahakan tidak diketahui orang asing, nanti jika ada pek
Aku berharap kita memiliki hubungan di masa lalu.***"Maaf anda siapa?" tanyaku, dia terlihat canggung."Maaf aku salah orang," jawabnya singkat. Cukup lama kami saling pandang, desiran ini jangan ditanya. Tanganku langsung dilepasnya."Mas, ini ayam goreng yang diminta. Pesannya banyak sekali." Perasaan tadi kami samaan antri kenapa dia lebih cepat mendapat giliran.Dengan cepat laki-laki itu mengambil satu bungkusan dan langsung memberikanku."Ambillah ...." Tanpa banyak kata dia langsung menaruh ditanganku."Itu siapa, Mas?"
"Aku Annisa, Rei." Lama dia menatapku, seperti mengenaliku. Aku berharap pernah bertemu dia di kehidupanku yang dulu."Premannya sudah hilang, terima kasih," ucapku, tapi dia masih tetap diam, justru aku yang canggung."Aku duluan ...." Dia terus menatapku, jujur aku tak ingin momen ini berakhir, seperti kerinduan yang menusuk di kalbu ini. Merasakan cinta yang entah kapan pernah kurasakan. Tak ingin larut dengan perasaan ini ingin segera kutinggalkan dia yang masih terus menatapku. Namun, secepat kilat tanganku dicekal olehnya."Diam sebentar ...." ucapannya terputus entah perasaan apa ini. Fix, ini jatuh cinta. Apa semudah itu aku jatuh cinta dengan orang lain? Mengapa laki-laki ini mampu menguasai hatiku seperti sudah lama diisi olehnya.
"Apa ibu pernah melihat wanita ini?"tanya preman itu lagi."Sepertinya kalian salah orang tidak ada wanita seperti di foto kalian!" preman itu saling pandang, tapi penasaran."Terus kenapa anak ibu menggunakan masker,"ucapnya lagi."Mau pakai masker atau tidak urusannya dengan kalian apa? Jangan sampai saya melaporkan kalian ke kantor lurah dan warga sekitar, dijamin kalian akan digebuk masal!" Hebat sekali memang Bu Ratih ini tak ada takutnya."Ibu jangan mengancam kami, ibu kira kami takut! Hahaha ... tidak sama sekali.""Oh, begitu! Baiklah!" Seketika Bu Ratih mengeluarkan pluit, beberapa kali bu Ratih meniupnya. Secepat kilat semua pekerja
Hari ini Bu Ratih mengajakku ke kota untuk bertemu dengan dokter Daniel. Jujur, aku masih bingung apa yang ingin mereka bicarakan. Rasa penasaran ini tidak bisa diredam lagi. Kulihat Bu Ratih bersiap-siap dengan dandanan yang tidak biasanya. Semakin memperkuat Bu Ratih ini bukan wanita biasa, apa benar dia adalah ibu dari supir taksi yang dimaksud ketika kusadar. Semua masih misteri."Ayo, kita berangkat." Aku hanya bengong melihat penampilan Bu Ratih yang sudah mirip sosialita."Kenapa bengong, inilah Ibu sebenarnya." Ha? Bikin makin penasaran saja. Bu Ratih siapa dirimu sebenarnya, ingin rasanya kuputar waktu ini sangat cepat.Kami diantar oleh mobil yang sudah siap menjemput kami untuk berangkat ke kota sesuai perjanjian dengan dokter Daniel, sepanjang perjalanankulihat bangunan pondasi klinik yang dibangun oleh laki-laki itu. Katanya sebagai persembahan untuk almarhum istrinya. Masih jelas
"Pelan saja makannya," ucap dokter Daniel. Aku hanya cengengesan."Lapar, Dok. Tak biasa dirias kayak tadi. Kalau kelamaan bisa pingsan di salon.""Hahaha ... Mom, kok gak selera makan?" Tanya dokter Daniel."Mommy sudah terbiasa makan masakan Annisa, enak banget, Niel.""Iya, kah? Gak sia-sia Daniel ajak kerjasama, lumayan Mommy bisa bernostalgia di desa Kakek.""Iya, tak menyangka Mommy betah disana, Niel. Hidup di kampung terasa lebih damai.""Wow, sejak kapan Mommyku berubah seperti ini. Surprise banget, hebat kamu Annisa bisa mengubah Mommyku yang gila shoping ini." Aku hanya tersenyum datar, bukan apa-apa aku merasa seperti ditipu oleh mereka. Memanfaatkan amnesia yang kumiliki."Maafkan ibu, ya, Nak. Ibu hanya ikut permainan Daniel. Jadi kalau mau marah sama Daniel jangan sama ibu. Ibu juga korban dari rencana dia." Bu Ratih memicingkan matanya ke anaknya untuk bertanggung jawab atas ti
Setelah diskusi di restoran, kami sepakat melanjutkan rencana selanjutnya. Bu Ratih dengan nama panjang Ratih Purwaningsih itu adalah seorang pewaris tunggal Bramantyo. Selain memiliki perkebunan, dia juga memiliki panti asuhan. Kang Asep salah satu anak asuh beliau sampai menjadi sarjana. Dokter Daniel Bramantyo adalah anak semata wayang dari bu Ratih."Annisa, mulai besok kamu bekerja di rumah sakit tempatku bekerja sebelum menjadi dokter dari suamimu. Namun, terlebih dulu kita buat rencana agar kamu bisa masuk ke rumah sakit itu untuk mendapat rekomendasi dari rumah sakit untuk merawat suamimu.""Dok, apakah saya masih mengingat kebiasaan saya menjadi dokter?" tanyaku yang masih ragu dengan kemampuan yang kumiliki."Amnesia itu tidak menghilangkan kebiasaan dan keterampilan, untuk mengingatnya, terlebih dahulu bekerjalah denganku selama satu minggu. Nanti akan aku bimbing agar kamu tidak bi
Masuk trimester ketiga kondisi Nadhine semakin berbeda. Bukan hanya kaki, tapi tangan dan wajahnya juga bengkak. Hari ini dia memintaku untuk mengajaknya ke pantai. Pantai dekat kampung halamannya. "Sayang, jika aku tiada nanti. Berjanjilah untuk selalu bahagia." Ucapan itu mungkin sudah sekian ratus kali Nadhine ucapkan ketika bersamaku. Di bibir pantai aku duduk dengannya. Kami bernostalgia tentang cinta kami dan kenangan di kedokteran. Sesekali dia tertawa, tapi justru aku yang terluka. Aku seperti bersama dengan orang yang akan pergi jauh. Pergi selama-lamanya. "Han, wasiat dokter Andra lebih baik dimanfaatkan dengan sebaik mungkin. Rumahnya kembalikan saja ke adik-adiknya yang lebih berhak. Kudengar mereka ngontrak dari satu tempat ke tempat yang lain. Kalau uangnya mungkin bisa dibuatkan sebuah yayasan penderita jantung. Agar kebaikannya mengalir terus menerus." Aku hanya mengangguk, meski setiap kata yang terucap dari Nadhine membuatku hancur.***Aku bahkan tak tenang kerja
***Menjelang melahirkan bahkan aku tak bisa tidur malam lagi. Kaki yang bengkak ini membuatku sulit untuk berjalan. Badanku mulai terasa berat, nafasku bahkan sudah tak beraturan. Namun, aku sadar diri sebisa mungkin tak ingin membuat Reyhan panik. Aku sudah berusaha seperti wanita hamil lainnya banyak gerak menjelang melahirkan."Sayang diam saja, jangan terlalu banyak gerak.""Harus banyak gerak sayang, biar dedek sehat dan bunda kuat." Reyhan hanya tersenyum. Namun, kutahu dia lebih panik dariku menjelang persalinan"Sehat-sehat ya, dedek dan bunda." Dia memegang dan mencium perutku."Sayang kenapa tidak kerja?" tanyaku heran melihatnya belum siap 
Hari semakin hari kehamilanku terasa berat. Aku sudah resign dari rumah sakit. Mudah lelah dan sering sesak nafas membuatku tidak nyaman. Namun, tak menyurutkanku untuk menghadirkan buah hati ini. Jika waktuku tiba ada anak yang menjadi penyemangat Reyhan nanti. Kujalani semua ini dengan ikhlas dan berharap semua kebaikan bertumpu kepada kami.Reyhan terus memenuhi segala keinginanku. Aku bukannya tak mau dia merasakan apa yang kurasakan, tapi setiap melihatku Reyhan selalu menangis, entah apa yang ditakutkannya. Bahkan Reyhan tidak akan tidur jika aku belum tidur aku dibuat seperti bayi. Dijaga dan dirawat sebaik mungkin padahal aku tahu dia sangat capek bekerja dari pagi."Apanya yang sakit?""Gak ada, sayang. Bunda sama calon dedek sehat." Aku berusaha untuk selalu tersenyum, tapi guratan kesedihan dalam diri Reyhan tak bisa disembunyikan. Bahkan aku tak mengeluh sedikit pun di depannya. Ini kare
Satu tahun kemudian ....Entah mengapa hari ini badanku terasa lemas sekali, ingin rebahan saja. Ada rasa mual yang mendera. Apa aku magh? Setiap makanan yang masuk langsung aku muntahin."Sayang kenapa pucat?" tanya Reyhan yang panik baru pulang kerja. Aku hari ini tidak masuk kerja, biasanya kami selalu pulang bersamaan, Reyhan takut jika aku pulang sendiri."Iya, sayang, pusing.""Ayo tidur dulu." Aku menggeleng, tidur pun tak enak soalnya."Kenapa?""Capek tidur, rasanya mual." Aku berlari ke kamar mandi untuk muntah-muntah lagi.Oek ... oek ...oek Ya Allah capek sekali rasanya muntah-muntah terus dari pagi. Reyhan terlihat panik, karena dari pagi memang aku hanya lemas saja tidak sampai muntah-muntah."Sayang ....""Kenapa sayang?"Semua pelayan terlihat panik melihatku yang muntah-muntah. Bagaimana tidak? Aku pucat dari pagi tidak ada makanan yang bisa masuk, mual dan muntah menjadi satu."Sayang mau makan apa?" tanya Reyhan."Pengen mangga muda, sayang. Dari pagi mangga muda it
"Lagi buka apa, sayang?" Reyhan tiba-tiba masuk menanyakan amplop yang akan kubuka."Ini, sayang. Bukannya ini punyaku?" tanyaku yang penasaran."Iya, sayang itu punyamu." Reyhan nampak tenang, tidak ada gelagat yang mencurigakan. Aku membuka isi amplop itu, tapi semua hasil normal tak ada yang harus kukhawatirkan. Itu berarti aku masih punya kesempatan untuk hamil."Han ....""Iya, sayang, kenapa?""Aku khawatir rahimku bermasalah?" Reyhan mengenggam tanganku, dia duduk dibawah renjang sementara posisiku di atas ranjang. Dalam kelembutan dia menatapku seperti merasakan kegalauan yang kualami."Allah itu mengikuti prasangka hamba-Nya. Kita harus berprasangka baik agar semua yang kita harapkan berakhir baik. Abang bersyukur masih bisa melihatmu dan berada didekatmu, sayang." Aku seperti merasakan kode bahwa sebenarnya akan sulit bagi kami memiliki anak."Aku hanya ingin membuatmu bahagia, Han.""Melihat senyummu saja sudah anugerah yang luar biasa bagiku, sayang. Tidak mudah bagi kit
Tak terasa sudah sampai di rumah, mami sudah siap salat magrib. Sementara Rachel belum pulang dari rumah sakit, pasti sangat macet di jalan. "Alhamdulillah kalian sudah sampai," ucap mami. "Mana Rachel, Mi? Apa dia balik lagi ke rumah sakit setelah makan siang tadi?" tanya Reyhan yang belum melihat adik manisnya. "Belum pulang, paling macet di jalan. Iya tadi adikmu balik, dia menggerutu tidak kuat jadi direktur di rumah sakit." Aku hanya senyum-senyum mendengar mami cerita. "Bawa apa, Nak?" tanya mami yang melihatku membawa amplop besar. Reyhan menjelaskan ke mami, hasil pertemuanku dengan Jihan dan Laras. "Ujian dan musibah terkadang membuat orang semakin dewasa, ya, Rey." Ayah ikut bergabung bersama kami. "Kalian mandi, ya, udah mau magrib," ucap mami. Kami mengangguk dan bersiap ke kamar, suara deru mobil Rachel memasuki halaman rumah. Dia pasti belum tahu akan dipinang oleh dok
"Boleh kami berbicara, Nad?" tanya Laras. Aku menoleh ke Reyhan menanyakan kode apakah aku boleh atau tidak. Reyhan mengangguk. Kami sepakat untuk berbicara sebentar mengingat ada acara di rumah. Penampilan Laras dan Jihan saat ini sangat jauh sebelum aku kecelakaan. Tidak tahu bagaimana nasib mantan mama mertua. "Maafkan kami, Nad." Laras memulai pembicaraan. "Mama sudah meninggal dunia," sambung Jihan. "Innalillahiwainnailaihi roji'un." "Kami tidak memiliki biaya untuk pengobatan mama, setelah mas Andra meninggal mama depresi, kami mencoba untuk membawanya keluar negeri. Ternyata mama mengalami kanker rahim stadium akhir. Nyawanya tidak tertolong hingga meninggal satu bulan yang lalu." Jihan dengan detail menceritakan kejadian yang menimpanya. Aku dan Reyhan hanya menjadi pendengar setia.
"Nak, laki-laki dewasa itu biasnya belajar dari pengalaman. Asal Nadhine tahu saja Ayah itu sangat mencintai mami sampai pernah menjadi orang jahat, ternyata setelah enam tahun kemudian, kami dipertemukan dengan ayah kalian yang begitu dewasa dalam kondisi mami janda. Bahkan dia rela mengambil spesialis bedah agar bisa bersama mami. Jodoh selalu datang di waktu yang tepat meski butuh waktu yang lama. Makanya kalau lihat Reyhan seperti melihat ayah waktu muda dulu mencintai mami sampai waktu yang tak terbatas." Mami sangat menghayati sekali menceritakan masa lalunya sambil meneteskan air mata."Saat ini nak Nadhine harus percaya bahwa Reyhan tulus menyanyangimu agar transfer cinta kalian menyatu. Hindari pikiran yang dapat merusak hubungan dan perasaan kalian. Apalagi penyakit jantung tidak boleh stress." Aku mengangguk dan membalas pelukan mami. Mami mertua yang luar biasa dihatiku.Kalimat terakhir yang membuatku terenyuh adalah pernyataan mami bahwa yang
Reyhan sangat setia merawatku di rumah. Tiga hari ini dia minta cuti untuk tidak bekerja. Dia bahkan membuat jadwal untukku mengkonsumsi obat. Dia tak ingin waktu hilang bersamaku walau sedetik pun. Makanan pun semuanya di steril dulu olehnya. Ada beberapa makanan yang tidak dianjurkan untuk penderita jantung. Reyhan sangat hati-hati. Semua pelayan bahkan di berikan pengarahan dulu agar makanan yang kumakan harus benar-benar sesuai. Kami hanya senyum-senyum melihat tingkah Reyhan yang mengalahkan perawat rumah sakit."Abang, kak Nadhine udah sembuh. Dibuat kayak gitu bikin sakit beneran." Seperti biasa Rachel menganggu Reyhan yang sedang menyuapiku. Bahkan Reyhan tak pernah absen menyuapiku makan selama di rumah."Kalau jomlo mana tahu hal demikian." Rachel justru tertawa, aku hanya senyum-senyum melihat si abang yang memang berlebihan bapernya.Kondisiku memang masih lemah meski badan terasa segar.