"Jean, suamimu sedang berbicara denganmu." Sosok didepanku kini berbalik arah menghadapku. Tak ada jawaban atau bantahan lagi darinya, "Kamu terus mendiamkanku seharian." Aku sedikit melunak, namun Jean tetap tak bersuara
Aku menghampirinya, duduk berlutut didepannya namun dia tetap tak menghiraukannya. "Jangan begini, rasanya gak enak." Aku meraih kedua tangannya, sempat kudengar helaan nafas berat dari sosok berbau wangi shampo didepanku ini. "Maafkan aku." "Iya." Hanya begitu, kemudian melepaskan tanganku. Jean beranjak menuju lemarinya, mengambil salah satu dari tumpukannya kemudian masuk kembali kedalam kamar mandi. Sungguh, belum ada sehari Jean mendiamkanku aku sudah kelabakan seperti ini. Bagaimana bila nantinya aku resmi berpisah dengannya? Namun bukankah dari awal aku memang sudah menginginkan perpisahan ini? Aku bahkan tidak pernah sebimbang ini. Jean selesai, mengenakan daster mini yang memang biasa ia kenakan dirumah. Kali ini aku memilih untuk pergi kekamarku sendiri, mengambil koper kecil diatas lemari kemudian memilih beberapa baju dan perlengkapan yang biasa ku bawa ketika dinas diluar kota. Masih ada sisa ruang dalam koper, tapi aku memilih untuk menutup sekenanya lalu kembali lagi ke kamar Jean. "Mau aku siapkan atau kamu siapkan sendiri?" Aku bertanya, meletakkan koper yang belum tertutup sempurna itu diatas tempat tidurnya. Jean nampak mengerutkan keningnya. "Baiklah, biar aku saja." Aku menghampiri lemari bajunya. "Apa lagi mas?" Jean menghentikanku. "Mas ingin mengusirku?" Sakit sekali mendengar pertanyaan Jean barusan, aku menggeleng, meraih pundaknya agar sejajar menghadapku. "Aku juga jenuh dengan situasi rumah ini, bawa beberapa baju gantimu dan masukkan kedalam koper itu." "Mas..." Aku langsung membalikkan badannya memberi kode agar bergegas menuruti perintahku barusan. "Sudahlah, aku tidak akan menerima penolakanmu. Atau apa perlu aku yang menggantikanmu baju dan menggendongmu kemobil nanti?" "Baiklah kita berlibur hari ini, anggap saja sebelum bercerai." Ucapnya seraya memilih beberapa baju kemudian dia masukkan kedalam koperku. Kembali rasa sakit teriris mendengar ucapannya barusan. "Keluarlah dulu, aku ingin ganti baju." Perintahnya, tangannya ia tunjukkan pada pintu. Setidaknya aku bisa kembali mendengar suaranya lagi hari ini. Aku menuruti saja permintannya, keluar dari dalam kamarnya. Kali ini aku masuk lagi kekamarku berganti pakaian santai kaos polos atasan hitam dengan celana pendek diatas lutut berwarna cream. Aku tau, Jean pernah memujiku ketika memakai ini. Sengaja kupakai kembali untuk menarik perhatiannya. "Sudah siap?" Aku bertanya pada sosok yang baru saja keluar dari kamarnya. Memakai terusan pendek diatas lutut dengan bagian dadanya yang begitu rendah. "Tidak, cepat ganti pakaianmu!" Perintahku, aku menariknya kembali masuk kekamar. Tak ada jawaban darinya tapi bisa kulihat wajahnya terlihat masam. "Bagaimana mungkin aku membiarkan istriku berpakaian seperti ini saat keluar" "Biasanya kamu tak pernah memperdulikan pakaian apa yang kukenakan. Kenapa sekarang secerewet ini?" "Oke, biar aku yang menggantikan pakaianmu." Aku beranjak menuju lemarinya, memilih pakaian sekenanya hingga hampir semua isinya berserakan. Jean hanya terpaku dibelakangku, tanpa mencegah atau melarangku. Kali ini aku sadar, bahkan pakaian seperti apa yang biasa dikenakannyapun memang luput dari perhatianku. "Tak apa mas, aku bisa membereskan semuanya." Tangannya mulai memunguti pakaian yang berserakan dilantai. Kubalikkan badan melihat keseliling, sangat berantakan. "Jean, maafkan aku." Ucap maafku untuk yang kesekian. Jean tak menggubrisku, masih sibuk menata baju-baju yang ku bongkar dari lemarinya. Begitupun aku, dengan cepat ikut membantunya membereskan kekacauan yang sudah kubuat. Aku merutuki kebodohanku, padahal baru saja keadaan mulai sedikit mencair kembali.* Tak ada obrolan sepanjang perjalanan ini. Jean nampak sangat fokus pada kaca disebelahnya yang jelas menampakkan pemandangannya. Aku meraih tangannya meletakkannya di pangkuanku dan menggenggamnya erat. Dia sempat berusaha melepaskannya dan sebaliknya aku juga tetap menahannya. Aku meliriknya dari kaca spion depan, bahkan saat aku memaksanya menggenggam tangannyapun dia tak menoleh kearahku. Apakah sedingin ini aku kemarin terhadapnya? Apakah begini pula sakitnya yang ia rasakan sebelumnya? "Jean, dari semalam aku belum mendengar ceritamu sama sekali." Aku masih berusaha "Tak ada yang bisa kuceritakan lagi." Dia menjawab singkat, tetap tak menoleh kearahku. Kembali aku meliriknya, kali ini dia merubah posisinya. Sedikit menata kepalanya keatas dan menutup matanya, mungkin dia mengantuk. Hampir lima belas menit setelahnya saat dengkuran halus terdengar darinya. Aku menghentikan laju mobil kepinggir jalan raya. Membenarkan kursi penumpang disebelahku dengan harapan tidurnya tak terganggu dan merasa nyaman. Sandarannya kuluruskan kebelakang, kemudian meraih jaket dikursi belakang dan secepatnya menjadikannya penutup tubuh bagian atas wanita disebelahku Kutatap lekat wajah lelapnya. Bukankah seharusnya aku merayakan perpisahan ini. Tapi kenapa kebimbangan seakan semakin nampak. Secepat ini Tuhan mempermainkan perasaanku. "Kenapa berhenti?" Jean berucap dengan mata yang masih tertutup. Aku menyibakkan pelan helaian rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Tanpa menjawabanya kembali melajukan mobil. Aku sangat lemah sejak semalam, melihatnya saja jantungku sudah sangat berdetak. Bahkan ada rasa puas saat dia mau bersuara lagi didepanku. "Kamu lapar?" Tanyaku setelah kesunyian kembali mengiringi perjalanan ini. Dia hanya menggeleng, padahal matanya masih tertutup. "Kamu hanya makan bubur ayam. Mau dibelikan apa? Kali ini aku akan menuruti permintaanmu." "Serius semua kemauanku?" Aku mengangguk, menyimpulkan senyum kearahnya. "Antarkan aku pulang." "Setelah liburan, kita akan pulang kerumahmu." "Bukan kita, hanya aku saja." Aku mencoba mengabaikan ucapannya. Saat ini mengalah dalam obrolan dengannya mungkin lebih baik. Jean memang terbiasa meminta izin walaupun aku tak pernah menanggapinya. Bahkan dia seringkali memintaku memilihkan warna pemoles bibirnya sekalipun aku akan menjawabnya dengan malas. Kemudian memintaku menuntaskan pembayaran belanja onllinenya dan berakhir dengan senyum kemenangan darinya. "Pengen makan seafood?" Tawarku padanya, kita hampir sampai pada tujuan dilihat dari mulai banyaknya para penjual ikan berjejer walau hari semakin sore menjelang malam. "Mas, kamu bahkan lupa kalau aku alergi seafood." Jean mencibir, tersenyum entah berarti mengejekku. Hari ini sudah berapakali dia menghancurkan mentalku secara halus. "Oke, kamu ingin makan apa?" Aku masih berusaha menutupi rasa malu dengan segera mungkin bertanya suatu hal yang entah sudah terlontar berapa kalinya. Kembali Jean hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya. Aku menghentikan mobil ini lagi, pada sebuah pinggir jalan yang menampakan kemerlipnya lampu diujung kota sana. "Jean, setidaknya fikirkan untuk anak kita." Aku berusaha merendahkan suaraku. "Terserah" kali ini dia bangun, membenarkan posisi sandaran jok seperti sedia kala. Yah, jawaban yang sering digunakan jokes tersebut akhirnya menimpaku juga. "Terserah kamu mau cari makan apa." Dia melemparkan jaketku kejok kursi belakang. Mungkin bila posisiku masih hari kemaren, aku bisa saja memarahinya namun kembali ingat bahwa kali ini keadaan sudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Bukan lagi Jean yang mendekatiku, tapi aku yang tak bisa dia jauhi.Tepat adzan magrib saat akhirnya membelokkan mobil di tempat pengisian bahan bakar. Jean masih saja menutup matanya, bajunya sudah berganti dengan kaos polos dan celana panjang saat akan berangkat tadi. "Aku antar ke kamar mandi dulu sebelum shalat." Baru saja aku akan melepaskan sabuk pengamannya, namun dia seolah tau dan terlebih dahulu melepasnya. Jean bergegas akan membuka pintu mobil. Aku masih memandanginya saat akhirnya dia juga berbalik arah memandangku, ya pintu mobil belum ku buka kunci otomatisnya, kali ini aku tersenyum mengejek kearahnya. Ku buka pintu disebelahku kemudian bergegas keluar membukakan pintu untuknya. "Hati-hati istriku." Ucapku mengedipkan mata kearahnya, dia hanya memandang tak berekspresi. Jean beranjak, memberi isyarat kepadaku untuk membuka bagasi mobil dan langsung kuturuti perintahnya. Dia mengambil sebuah totebag terpisah yang sengaja disiapkan untuk perlengkapan shalatnya. Begitu pula aku, mengambil sarung yang kemudian sege
Setelah selesai berjamaah, seorang driver yang sudah menyelesaikan pesananku mengabari sudah menunggu didepan. "Maaf ya mas. Pasti tadi kesusahan mencari pesanan saya." Aku berucap bebarengan dengan sekantong kresek yang diberikan driver tersebut kepadaku. "Carinya gampang mas, antrinya itulo yang butuh waktu lama." Pria yang mungkin seumuranku tersebut tertawa, aku memberikan uang beserta tips untuknya. "Saya kira tidak akan menemukan makanan ini disini mas. Istri saya sedang hamil dan hanya mau makan ini katanya." Aku bernafas lega, mengintip makanan dalam kotak yang lengkap dengan jus tomat permintaannya. "Namanya orang hamil mas, sabar aja. Sebagai suami emang tugasnya nurutin ngidamnya istri biar dunia baik-baik saja." Akupun ikut tertawa, kemudian pria ini pamit untuk pergi begitupun aku yang segera kembali kekamar. Jean terlihat duduk dikursi, menyeduh teh panas yang kusiapkan tadi mungkin sudah dingin. Rambutnya dia ikat keatas, tanganny
Seusai makan Jean meminta untuk langsung kembali kehotel, tak lagi ada obrolan diantara kita setelahnya.Langsung saja kududuki kursi empuk yang terletak dipojok ruangan ini, mengamati setiap gerak geriknya sejak kembali kesini. Sudah berganti pakaian lagi dengan daster mininya, sudah selesai pula membersihkan diri dari kamar mandi kemudian duduk dikursi menghadap kaca, mengeluarkan pouch kecil yang ternyata berisi banyak sekali kebutuhan skincarenya."Sesibuk inikah kamu setiap mau tidur?" Kali ini biarlah aku yang berusaha membuat suasana diantara kita mencair. Jean hanya mengangguk, dan aku masih memikirkan topik apalagi yang akan kubahas kali ini.Baiklah, giliranku yang harus membersih diri. Akupun berganti pakaian menggunakan kaos pendek dan boxer pendek pula. Kali ini langsung merebahkan diri ke salah satu bed. Jean nampaknya sudah menyelesaikan ritualnya, memilih lampu dalam mode tidur dan ikut berbaring namun berada di bed seberangku.Jean sungguh tak memperdulikanku, segera
Sepertinya Jean lupa tentang apa yang terjadi sebelumnya. Senyumnya nampak sumringah saat menatap hamparan laut. "Bagaimana? Bagus kan?" Jean hanya mencibir tanpa menoleh ke arahku. "Suka gak?" Kami berdua telah duduk di tepian pantai. Sejak tadi siang, aku sengaja mengajaknya pindah ke resort yang memang mempunyai fasilitas langsung terhubung dengan pantai. "Bukankah aku dan laut itu sama?" Jean mulai bereaksi, dia menoleh gegas padaku dengan pandangan tak terima. "Segara berarti laut. Tepat sore hari dimana pancaran warna sore hari bernama aurora." Aku mengulas senyum padanya. Aurora adalah nama lengkapnya. "Pemandangan laut sore hari memang sangat indah mas. Tapi tak akan sepadan dengan hubungan pernikahan kita. Jadi jangan berharap bahwa keserasian mereka akan menular pada kita." Nafasku terhembus dengan berat. Rasanya sangat susah sekali meluluhkan hati istriku saat ini. "Jean.." "Sesuai janjimu, besok kamu harus mengizinkanku pulang." Jean bangkit dari tempat duduknya.
"Kamu nyuruh orang buat bersihi rumah ini?" Aku tak menjawab dan memilih memasukkan beberapa barang yang datang bersama supir mama. Jean menatap lekat padaku. Saat aku justru mendekat pada mbok Wati, salah satu rewang di rumahku yang di minta mama untuk menemani Jean di sini. "Aku memang mengizinkanmu tinggal disini sementara waktu, tapi jangan menolak untuk ditemani mbok Wati." Aku meraih tangannya dan memberikan sebuah kartu debit yang memang sengaja aku siapkam semalam. "Aku tak akan datang jika kamu menggunakan uang ini. Tapi jika sebaliknya, maka setiap hari aku yang akan antar belanjaan buatmu." Tak butuh waktu lama, aku juga tak ingin melihat reaksi Jean dan memilih untuk segera pergi dari rumah ini. Memastikan lebih dulu bahwa rumah ini layak untuk Jean tempati. Untung saja, selama aku berlibur, mama sudah menyuruh beberapa orang untuk membersihkannya dan membenahi beberapa bagian yang rusak. "Mas..." Aku memilih ta
"Jean, aku sudah meminta Rudi untuk reservasi ke dokter kandunganmu. Ku pastikan akan menjemputmu lebih cepat." Aku melahap habis nasi yang berada di depanku. Jean hanya mengangguk saja, semalam aku memang memohon pada Jean agar dia memperbolehkanku mengantarnya periksa. "Tapi mas. Mama meneleponku kemarin." Aku menoleh padanya, dia menunduk lagi dan hanya memainkan makanannya. "Ada masalah?" Jean nampak menggeleng. "Mama juga mau ikut mengantar periksa." "Oh..." Aku mengangguk mengerti, seketika aku terpaku dan mencoba memahami perkataan Jean barusan. "Berarti hari ini mama pulang?" Kedua bahu Jean terlihat terangkat bersamaan. Kuulas senyumku pada Jean. Lalu bangkit untuk berangkat ke kantor. Sebelum itu, aku mendekat pada Jean untuk mengecup ubun-ubunnya. Berusaha tak memaksa Jean agar mau salim padaku seperti biasanya saat dia memaksa mengecup punggung tanganku walaupun aku menolak. Aku masih terdiam
"Oma jadi tinggal dirumah mama mas?" Jean bertanya saat aku mengantar bungkusan bubur ayam pagi ini. Keningku mengernyit karena memang semalam aku tak pulang kerumah mama. "Kata siapa?""Oma sendiri." Baru saja dia akan menarik kursi, aku langsung mendahuluinya. Nampak sekali bibirnya mencibir seolah merendahkanku. Yah, selama ini memang aku tak pernah memperhatikannya seperti ini. "Oma bilang apa?" "Minta kita kesana." Senyumku mengembang. Luar biasa sekali Oma. Padahal kemarin Jean masih menolak untuk kuajak menginap dirumah mama. Bahkan dia beralasan banyak sekali."Pulang kantor aku jemput kamu ya." Aku langsung memasang muka serius, jangan sampai Jean curiga. "Kita jadi menginap disana?" Aku mengangguk. Meletakkan mangkuk dan sendok agar Jean bisa segera memakan bubur ayam tersebut. Melirik pada wanitaku yang justru terlihat kurang antusias dengan kabar kedatangan Oma."Tapi hanya semalam kan?" Langsung ku jawab
Aku mengembangkan senyum ketika masuk kedalam kamar dan melihat Jean yang tengah bermain ponsel di atas ranjang. "Istriku." sapaku dengan suara memanja. Bukannya membalas dia justru mencibir dan segera meletakkan ponselnya diatas meja. "Jangan macam-macam mas. Aku sudah lelah dan tak mau diganggu saat tidur." "Siap tuan putri!" Aku mengangguk dengan sangat mantap melihatnya menata selimut untuk menutupi tubuhnya. Walaupun sikapnya sekarang sangat dingin, tapi aku tak peduli. Bagaimanapun saat ini aku harus merayunya agar bisa melunak kembali. "Jean, nonton film biasanya berapa lama?" "Begitu saja kamu tak tau?" Dia masih memunggungiku. "Aku sudah minta ke Rudi untuk menghandle semua pekerjaanku besok. Jadi kalau kurang lama, apakah aku harus mengajukin cuti seminggu?" "Terserah kamu sajalah." Dia mengibaskan tangannya dengan tetap tanpa melihat padaku. "Begini...." Tanganku dengan pelan bergera
Aku membalikkan tubuhku agar tidak merasakan api cemburu lagi. Aku ingin meninggalkan mereka berdua pergi sejenak, karena kini aku justru merasakan tenggorokanku yang kering. Nyatanya aku tak seberani itu menanggung resiko. Bukankah lebih baik memberi waktu pada mereka saja.Melihat mereka membuatku kehilangan kepercayaan diri. Mungkin, Jean akan merasa lebih baik saat mengobrol dengan teman lamanya.Kuambil sebotol air yang berada di dalam lemari pendingin dan menuangkannya di gelas, meneguknya hingga tandas. Padahal niatku pulang untuk bisa mengobrol serius dengan Jean tapi sepertinya masa lalu masih jadi pemenangnya. Tanpa terasa aku justru tertawa merutuki kebodohanku. Tahu begini, lebih baik aku tetap dikantor saja atau lebih baik pergi ke kafe Aditya."Mas Gara?" Mbok Wati terlihat kaget. Aku lantas tersenyum kearahnya. "Mbak Jean...""Itu puddingnya? Bisa mbok suguhkan sebagian untuk tamu Jean juga." Mbok Wati menurut dan bergegas
Sejak pertengkaran kami, aku, mulai menahan diri untuk menunjukkan perhatianku kepada Jean. Setiap kali melihatnya, hatiku merasa sakit. Jean juga masih tetap saja, dia tidak mau berbicara denganku. Kami seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Malam itu, saat makan malam bersama, Jean malah memilih untuk makan di kamar. Aku hanya bisa menatapnya pergi, membawa piring makanannya. Hatiku merasa berat. Kami biasanya selalu makan bersama, sekalipun hanya saling diam tapi setidaknya tak harus seperti ini. Namun sekarang, semuanya berubah. Aku merindukan kebiasaan yang sebelumnya, kebersamaan yang biasa ku nikmati walaupun mungkin tidak untuk Jean. Namun, aku tahu bahwa aku harus memberi Jean ruang untuk sendiri kali ini. Mungkin pula dia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan pikirannya. Meski begitu, aku tidak bisa menahan kekhawatiran dan rasa sakit di hatiku. Aku merindukan Jean, merindukan suara tawanya, merindukan senyumnya.
Tanpa terasa tiga hari sudah berlalu sekalipun Jean masih belum diperbolehkan pulang. Keadaanya juga cukup membaik. Bahkan nafsu makannya bertambah dibandingkan hari sebelumnya. Jean sudah bisa kutinggal untuk kemudian kutitipkan dirawat mbok Wati dirumah sakit. Mbok Wati yang paham situasipun, tak berhenti memberi kabar setiap perkembangan Jean. Karena aku tak mungkin mendapatkan kabar langsung dari Jean. Aku kembali fokus menatap layar laptop dan berkas-berkas yang harus aku tanda tangani. Berkali-kali menghela nafasku karena lelah, beberapa hari ini aku selalu tidur di rumah sakit untuk menunggui Jean, walaupun masih sering bersikap acuh dan ketus padaku. Bukan Segara yang akan menyerah hanya hal seperti ini. Karena bagaimanapun caranya, melunakkan Jean adalah tujuan utamaku saat ini. Suara nada dering yang menggema di seluruh penjuru ruangan membuatku langsung mengalihkan pandangan menuju ke layar ponselku, di sana tertera nama Nama. Aku pun langsu
Tubuhku mematung saat melihat foto tersebut. Bagaimana bisa, Morgan mendapatkan informasi pengajuan talak yang sempat diurus lawyerku beberapa waktu lalu. Lantas aku segera membenarkan dudukku dan tetap berusaha bersikap tenang. Jadi, ini alasannya pulang ke Indonesia? Artinya Morgan memang masih menyimpan rasa pada Jean? "Hanya seumur dua tahun, dan anda sudah memutuskan hal ini? Harusnya dari awal anda menyerah saja. Jadi tak oerlu menyakiti perasaannya." Raut Morgan terlihat memerah. Mungkin dia memang menyimpan amarah untuk diluapkan padaku. Kini giliranku yang menyimpulkan senyum. "Anda jelas melupakan bahwa talak ini tak mungkin dilanjutkan karena Jean sedang hamil? Perlukah saya perjelas siapa bapaknya?" Morgan terdiam. Tangannya melemah dan meletakkan ponselnya dimeja. Aku masih mencoba tenang dengan menunjukkan sikap yang tak peduli. Padahal hatiku tengah bergemuruh karena menahan gejolak yang entah apa ini namanya, antara malu dan ke
Saat sedang sibuk dengan pikiranku sendiri. Merasakan getaran di kantong celanaku, tidak berjarak lama dari setelah itu terdengar suara dering ponsel. Aku merogoh saku celanaku dan mendapati nomor Mbok Wati yang sedang menghubungiku.Suatu kebetulan yang sangat jarang terjadi. Dengan segera aku mengangkat telepon itu dengan menekan tombol hijau di layar ponselku. Lantas mendekatkan ponselku pada daun telinga.“Iya Mbok ada apa?”“Mas … i … ini Mas.”Aku mendengar suara Mbok Wati yang sepertinya sedang panik. “Ada apa sih Mbok Kok suaranya gitu?”“Ini loh, Mas. Mbak Jean, tadi mbak Jean pingsan di swalayan. Tadi kan kami pergi belanja ke swalayan, Ini beneran loh mas kalau mbak Jean sendiri yang pengen ikut. Padahal kan saya udah bilang jangan, soalnya muka dia itu kayaknya pucet gitu loh. Pas lagi milih-milih barang belanjaan tiba-tiba pingsan.”Aku yang mendapatkan kabar tersebut langsung bertanya sekarang Mbok Wati dan j
Pagi hari yang cerah namun tidak dengan suasana hatiku saat ini. Duduk di kursi kebanggaanku yang berada di ruang kerja, seraya menatap layar laptopku. Pasalnya hari ini sama sekali tak bisa membuatku fokus kerja karena nyatanya mengajak Jean ke pantai pun sama sekali tidak meluluhkan hatinya.Padahal aku sudah mencari review rumah makan dengan pemandangan paling banyak di ulas. Kenapa meluluhkan hati Jean jadi sesulit ini? Aku menghela nafasku dan menopang dagu ku. Apalagi yang harus aku lakukan supaya Jean luluh?Aku memijit pangkal hidungku seraya membaca file yang masuk ke dalam email perusahaan. Hingga akhirnya mendengar suara pintu ruanganku yang diketuk. Membuatku memcingkan mata dan mencoba menerka tentang siapa yang datang. Karena seingatky semua berkas sudah tertumpuk di meja ini.Saat masih diam menebak hingga lupa untuk mempersilahkan orang di balik pintu itu untuk masuk. Namun saat tersadar dari lamunanku, terlihat handle pintu itu
Brak!Sedikit terkejut saat asik melamun, justru mendengar suara pintu yang terbuka pelan. Kutatap ke arah sumber suara, udah ada Jean yang malah berkacak pinggang. Aku bingung, istriku ini kenapa?“Katanya mau pulang?” tanyanya dengan mengerucutkan bibirnya. Ah, sungguh menggemaskan dia ini. Membuatku ingin mencubit bibirnya.“Berapa lama aku harus menunggumu menepati janji kali ini, mas?"Aku beranjak dari dudukku. Dan di sini lah aku sekarang, duduk dengan mengendarai mobil. Kami sedang melakukan perjalanan untuk pulang. Tetap berusaha menatap fokus ke arah jalanan, sesekali kulirik istriku yang hanya diam membisu.“Kamu kenapa, Jean? Semenjak pulang dari grand launching kok diem aja?”Pertanyaanku sama sekali tidak dijawab oleh Jean. Kulihat dia yang hanya melirik ke arahku sekilas dan kembali menatap ke arah luar jendela. Aku pun terdiam dan kembali memfokuskan diriku untuk mengemudikan mobil.Hingga aku
Kulihat tubuh istriku yang menegang saat melihat pria itu. Morgan, pria yang sudah lama tidak pernah kujumpai. “Je …,” panggilku yang membuat Jean langsung mengalihkan tatapannya ke arahku. “Ya?” sahutnya menanggapiku dengan keterkejutan yang disembunyikan.Aku tak membalas sahutan dari Jean karena bingung, situasi kali ini benar-benar membuatku merasa aneh. Jean masih menatap podium yang di sana berdiri Morgan, aku tak menyangka saja jika aku bisa bertemu dengan Morgan di saat seperti ini. Aku tak bisa membaca raut wajah yang ditunjukkan Jean saat menatap podium. Kurasakan dadaku yang sesak, apa aku tengah cemburu? Jelas iya aku cemburu. Bagaimana tidak? Istriku menatap sosok pria lain yang sedang berdiri di sana, bahkan dapat kulihat kedua mata Jean yang tidak berkedip sedikit pun. Sungguh, Jean seperti menancapkan ribuan jarum pentul di dalam hatiku. Aku menghela nafas seraya menyandarkan punggungku di kursi yang terasa k
Aku yang melihat Jean seperti itupun lantas langsung merengkuh tangannya, “Kita berangkat sekarang tuan putri!" Jelas sekali ingin menghindari percakapan yang mulai sensitif ini, lagian aku dan Jean sudah siap untuk berangkat sekarang. Alih-alih menerima sentuhan tanganku, Jean justru menampiknya dengan kasar.“Kalau dulu ucapanmu ini akan terdengar manis, entah kenapa sekarang justru memuakkan."Ucap Jean walaupun dengan nada lirih dan langsung melangkahkan kedua kakinya untuk pergi meninggalkanku. Aku menatap punggung Jean yang mulai menjauh, dulu Jean tak pernah bersikap kasar seperti ini. Membuatku meneguk saliva dengan kasar, dan mulai mengikuti langkah kaki Jean.Kami berdua menuju ke arah mobil yang sedang terparkir. Niat hati ingin membukakan pintu mobil agar Jean bisa masuk ke dalam, tapi belum juga gerakanku itu terlaksana Jean sudah terlebih dahulu mengangkat suaranya.“Aku bisa sendiri, Mas. Tidak perlu bersikap semanis ini.”