"Kamu nyuruh orang buat bersihi rumah ini?" Aku tak menjawab dan memilih memasukkan beberapa barang yang datang bersama supir mama.
Jean menatap lekat padaku. Saat aku justru mendekat pada mbok Wati, salah satu rewang di rumahku yang di minta mama untuk menemani Jean di sini."Aku memang mengizinkanmu tinggal disini sementara waktu, tapi jangan menolak untuk ditemani mbok Wati." Aku meraih tangannya dan memberikan sebuah kartu debit yang memang sengaja aku siapkam semalam."Aku tak akan datang jika kamu menggunakan uang ini. Tapi jika sebaliknya, maka setiap hari aku yang akan antar belanjaan buatmu." Tak butuh waktu lama, aku juga tak ingin melihat reaksi Jean dan memilih untuk segera pergi dari rumah ini.Memastikan lebih dulu bahwa rumah ini layak untuk Jean tempati. Untung saja, selama aku berlibur, mama sudah menyuruh beberapa orang untuk membersihkannya dan membenahi beberapa bagian yang rusak."Mas..."Aku memilih ta"Jean, aku sudah meminta Rudi untuk reservasi ke dokter kandunganmu. Ku pastikan akan menjemputmu lebih cepat." Aku melahap habis nasi yang berada di depanku. Jean hanya mengangguk saja, semalam aku memang memohon pada Jean agar dia memperbolehkanku mengantarnya periksa. "Tapi mas. Mama meneleponku kemarin." Aku menoleh padanya, dia menunduk lagi dan hanya memainkan makanannya. "Ada masalah?" Jean nampak menggeleng. "Mama juga mau ikut mengantar periksa." "Oh..." Aku mengangguk mengerti, seketika aku terpaku dan mencoba memahami perkataan Jean barusan. "Berarti hari ini mama pulang?" Kedua bahu Jean terlihat terangkat bersamaan. Kuulas senyumku pada Jean. Lalu bangkit untuk berangkat ke kantor. Sebelum itu, aku mendekat pada Jean untuk mengecup ubun-ubunnya. Berusaha tak memaksa Jean agar mau salim padaku seperti biasanya saat dia memaksa mengecup punggung tanganku walaupun aku menolak. Aku masih terdiam
"Oma jadi tinggal dirumah mama mas?" Jean bertanya saat aku mengantar bungkusan bubur ayam pagi ini. Keningku mengernyit karena memang semalam aku tak pulang kerumah mama. "Kata siapa?""Oma sendiri." Baru saja dia akan menarik kursi, aku langsung mendahuluinya. Nampak sekali bibirnya mencibir seolah merendahkanku. Yah, selama ini memang aku tak pernah memperhatikannya seperti ini. "Oma bilang apa?" "Minta kita kesana." Senyumku mengembang. Luar biasa sekali Oma. Padahal kemarin Jean masih menolak untuk kuajak menginap dirumah mama. Bahkan dia beralasan banyak sekali."Pulang kantor aku jemput kamu ya." Aku langsung memasang muka serius, jangan sampai Jean curiga. "Kita jadi menginap disana?" Aku mengangguk. Meletakkan mangkuk dan sendok agar Jean bisa segera memakan bubur ayam tersebut. Melirik pada wanitaku yang justru terlihat kurang antusias dengan kabar kedatangan Oma."Tapi hanya semalam kan?" Langsung ku jawab
Aku mengembangkan senyum ketika masuk kedalam kamar dan melihat Jean yang tengah bermain ponsel di atas ranjang. "Istriku." sapaku dengan suara memanja. Bukannya membalas dia justru mencibir dan segera meletakkan ponselnya diatas meja. "Jangan macam-macam mas. Aku sudah lelah dan tak mau diganggu saat tidur." "Siap tuan putri!" Aku mengangguk dengan sangat mantap melihatnya menata selimut untuk menutupi tubuhnya. Walaupun sikapnya sekarang sangat dingin, tapi aku tak peduli. Bagaimanapun saat ini aku harus merayunya agar bisa melunak kembali. "Jean, nonton film biasanya berapa lama?" "Begitu saja kamu tak tau?" Dia masih memunggungiku. "Aku sudah minta ke Rudi untuk menghandle semua pekerjaanku besok. Jadi kalau kurang lama, apakah aku harus mengajukin cuti seminggu?" "Terserah kamu sajalah." Dia mengibaskan tangannya dengan tetap tanpa melihat padaku. "Begini...." Tanganku dengan pelan bergera
Jean melotot padaku. "Iyaaa... Mau sekarang?" Jean mengembangkan senyum kemenangan kemudian mengangguk. "Habiskan dulu minummu." Aku menggeser gelas yang baru diberikan Aditya, sedang Jean dengan cepat menghabiskannya membuat ku keheranan. Sebenarnya, apa yang tengah Jean rencanakan. Apa memang moodnya benar-benar sedang tak stabil?Jean menoleh padaku seraya mengusap bibirnya. Aku yang gemaspun lantas menggerakkan tangan untuk ikut mengusap bibirnya. "Dih...." Gemas sekali melihat coklat itu meninggalkan bekas. Tumben sekali Jean tak menolak, bahkan dia terlihat dengan sengaja membiarkanku membersihkannya. "Udah." bisiknya. Aku bahkan mengabaikan Viona dan Bagas yang entah membahas apa. Karena fokus pada Jean yang tiba-tiba mencair seperti ini. Aku meninggalkan Jean bersama kedua temanku untuk membayar tagihan. "Cepet amat Gar?" "Kayaknya si Jean nyidam deh, tiba-tiba minta cake." Aditya tertawa dengan sangat keras.
Pagi sekali, aku sengaja sudah menyiapkan diri untuk segera berangkat ke kantor. Sebelum Jean menyadari bahwa aku memang menghindarinya agar dia tak memaksa mengajakku pulang secepatnya. "Ma, tolong tahan Jean dulu ya." bisikku pada Mama. Bukannya menyetujui, Mama justru mengerucutkan bibirnya seolah mengejek padaku. "Kenapa kamu harus melibatkan mama dalam permasalahan yang kamu timbulkan sendiri?" Wanita itu nampak berjalan menuju meja makan dengan nampan berisi beberapa gelas teh dan susu. "Ya Allah Ma, kenapa begitu perhitungan sama anak sendiri sih?" "Kenapa mama harus menuruti permintaan anak bodoh seperti ini. Seandainya kamu nurut sama Mama untuk bersabar sebentar pasti tak akan serumit ini." Bagaimanapun aku menyesalinya, nyatanya wakti tetap tak bisa ku kembalikan. Aku memilih tak menanggapi ucapan mama barusan. Dan segera berangkat tanpa berpamitan langsung dengan Jean. Seminggu sejak tinggal dirumah Mama, Jean m
Aku yang melihat Jean seperti itupun lantas langsung merengkuh tangannya, “Kita berangkat sekarang tuan putri!" Jelas sekali ingin menghindari percakapan yang mulai sensitif ini, lagian aku dan Jean sudah siap untuk berangkat sekarang. Alih-alih menerima sentuhan tanganku, Jean justru menampiknya dengan kasar.“Kalau dulu ucapanmu ini akan terdengar manis, entah kenapa sekarang justru memuakkan."Ucap Jean walaupun dengan nada lirih dan langsung melangkahkan kedua kakinya untuk pergi meninggalkanku. Aku menatap punggung Jean yang mulai menjauh, dulu Jean tak pernah bersikap kasar seperti ini. Membuatku meneguk saliva dengan kasar, dan mulai mengikuti langkah kaki Jean.Kami berdua menuju ke arah mobil yang sedang terparkir. Niat hati ingin membukakan pintu mobil agar Jean bisa masuk ke dalam, tapi belum juga gerakanku itu terlaksana Jean sudah terlebih dahulu mengangkat suaranya.“Aku bisa sendiri, Mas. Tidak perlu bersikap semanis ini.”
Kulihat tubuh istriku yang menegang saat melihat pria itu. Morgan, pria yang sudah lama tidak pernah kujumpai. “Je …,” panggilku yang membuat Jean langsung mengalihkan tatapannya ke arahku. “Ya?” sahutnya menanggapiku dengan keterkejutan yang disembunyikan.Aku tak membalas sahutan dari Jean karena bingung, situasi kali ini benar-benar membuatku merasa aneh. Jean masih menatap podium yang di sana berdiri Morgan, aku tak menyangka saja jika aku bisa bertemu dengan Morgan di saat seperti ini. Aku tak bisa membaca raut wajah yang ditunjukkan Jean saat menatap podium. Kurasakan dadaku yang sesak, apa aku tengah cemburu? Jelas iya aku cemburu. Bagaimana tidak? Istriku menatap sosok pria lain yang sedang berdiri di sana, bahkan dapat kulihat kedua mata Jean yang tidak berkedip sedikit pun. Sungguh, Jean seperti menancapkan ribuan jarum pentul di dalam hatiku. Aku menghela nafas seraya menyandarkan punggungku di kursi yang terasa k
Brak!Sedikit terkejut saat asik melamun, justru mendengar suara pintu yang terbuka pelan. Kutatap ke arah sumber suara, udah ada Jean yang malah berkacak pinggang. Aku bingung, istriku ini kenapa?“Katanya mau pulang?” tanyanya dengan mengerucutkan bibirnya. Ah, sungguh menggemaskan dia ini. Membuatku ingin mencubit bibirnya.“Berapa lama aku harus menunggumu menepati janji kali ini, mas?"Aku beranjak dari dudukku. Dan di sini lah aku sekarang, duduk dengan mengendarai mobil. Kami sedang melakukan perjalanan untuk pulang. Tetap berusaha menatap fokus ke arah jalanan, sesekali kulirik istriku yang hanya diam membisu.“Kamu kenapa, Jean? Semenjak pulang dari grand launching kok diem aja?”Pertanyaanku sama sekali tidak dijawab oleh Jean. Kulihat dia yang hanya melirik ke arahku sekilas dan kembali menatap ke arah luar jendela. Aku pun terdiam dan kembali memfokuskan diriku untuk mengemudikan mobil.Hingga aku
Aku membalikkan tubuhku agar tidak merasakan api cemburu lagi. Aku ingin meninggalkan mereka berdua pergi sejenak, karena kini aku justru merasakan tenggorokanku yang kering. Nyatanya aku tak seberani itu menanggung resiko. Bukankah lebih baik memberi waktu pada mereka saja.Melihat mereka membuatku kehilangan kepercayaan diri. Mungkin, Jean akan merasa lebih baik saat mengobrol dengan teman lamanya.Kuambil sebotol air yang berada di dalam lemari pendingin dan menuangkannya di gelas, meneguknya hingga tandas. Padahal niatku pulang untuk bisa mengobrol serius dengan Jean tapi sepertinya masa lalu masih jadi pemenangnya. Tanpa terasa aku justru tertawa merutuki kebodohanku. Tahu begini, lebih baik aku tetap dikantor saja atau lebih baik pergi ke kafe Aditya."Mas Gara?" Mbok Wati terlihat kaget. Aku lantas tersenyum kearahnya. "Mbak Jean...""Itu puddingnya? Bisa mbok suguhkan sebagian untuk tamu Jean juga." Mbok Wati menurut dan bergegas
Sejak pertengkaran kami, aku, mulai menahan diri untuk menunjukkan perhatianku kepada Jean. Setiap kali melihatnya, hatiku merasa sakit. Jean juga masih tetap saja, dia tidak mau berbicara denganku. Kami seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Malam itu, saat makan malam bersama, Jean malah memilih untuk makan di kamar. Aku hanya bisa menatapnya pergi, membawa piring makanannya. Hatiku merasa berat. Kami biasanya selalu makan bersama, sekalipun hanya saling diam tapi setidaknya tak harus seperti ini. Namun sekarang, semuanya berubah. Aku merindukan kebiasaan yang sebelumnya, kebersamaan yang biasa ku nikmati walaupun mungkin tidak untuk Jean. Namun, aku tahu bahwa aku harus memberi Jean ruang untuk sendiri kali ini. Mungkin pula dia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan pikirannya. Meski begitu, aku tidak bisa menahan kekhawatiran dan rasa sakit di hatiku. Aku merindukan Jean, merindukan suara tawanya, merindukan senyumnya.
Tanpa terasa tiga hari sudah berlalu sekalipun Jean masih belum diperbolehkan pulang. Keadaanya juga cukup membaik. Bahkan nafsu makannya bertambah dibandingkan hari sebelumnya. Jean sudah bisa kutinggal untuk kemudian kutitipkan dirawat mbok Wati dirumah sakit. Mbok Wati yang paham situasipun, tak berhenti memberi kabar setiap perkembangan Jean. Karena aku tak mungkin mendapatkan kabar langsung dari Jean. Aku kembali fokus menatap layar laptop dan berkas-berkas yang harus aku tanda tangani. Berkali-kali menghela nafasku karena lelah, beberapa hari ini aku selalu tidur di rumah sakit untuk menunggui Jean, walaupun masih sering bersikap acuh dan ketus padaku. Bukan Segara yang akan menyerah hanya hal seperti ini. Karena bagaimanapun caranya, melunakkan Jean adalah tujuan utamaku saat ini. Suara nada dering yang menggema di seluruh penjuru ruangan membuatku langsung mengalihkan pandangan menuju ke layar ponselku, di sana tertera nama Nama. Aku pun langsu
Tubuhku mematung saat melihat foto tersebut. Bagaimana bisa, Morgan mendapatkan informasi pengajuan talak yang sempat diurus lawyerku beberapa waktu lalu. Lantas aku segera membenarkan dudukku dan tetap berusaha bersikap tenang. Jadi, ini alasannya pulang ke Indonesia? Artinya Morgan memang masih menyimpan rasa pada Jean? "Hanya seumur dua tahun, dan anda sudah memutuskan hal ini? Harusnya dari awal anda menyerah saja. Jadi tak oerlu menyakiti perasaannya." Raut Morgan terlihat memerah. Mungkin dia memang menyimpan amarah untuk diluapkan padaku. Kini giliranku yang menyimpulkan senyum. "Anda jelas melupakan bahwa talak ini tak mungkin dilanjutkan karena Jean sedang hamil? Perlukah saya perjelas siapa bapaknya?" Morgan terdiam. Tangannya melemah dan meletakkan ponselnya dimeja. Aku masih mencoba tenang dengan menunjukkan sikap yang tak peduli. Padahal hatiku tengah bergemuruh karena menahan gejolak yang entah apa ini namanya, antara malu dan ke
Saat sedang sibuk dengan pikiranku sendiri. Merasakan getaran di kantong celanaku, tidak berjarak lama dari setelah itu terdengar suara dering ponsel. Aku merogoh saku celanaku dan mendapati nomor Mbok Wati yang sedang menghubungiku.Suatu kebetulan yang sangat jarang terjadi. Dengan segera aku mengangkat telepon itu dengan menekan tombol hijau di layar ponselku. Lantas mendekatkan ponselku pada daun telinga.“Iya Mbok ada apa?”“Mas … i … ini Mas.”Aku mendengar suara Mbok Wati yang sepertinya sedang panik. “Ada apa sih Mbok Kok suaranya gitu?”“Ini loh, Mas. Mbak Jean, tadi mbak Jean pingsan di swalayan. Tadi kan kami pergi belanja ke swalayan, Ini beneran loh mas kalau mbak Jean sendiri yang pengen ikut. Padahal kan saya udah bilang jangan, soalnya muka dia itu kayaknya pucet gitu loh. Pas lagi milih-milih barang belanjaan tiba-tiba pingsan.”Aku yang mendapatkan kabar tersebut langsung bertanya sekarang Mbok Wati dan j
Pagi hari yang cerah namun tidak dengan suasana hatiku saat ini. Duduk di kursi kebanggaanku yang berada di ruang kerja, seraya menatap layar laptopku. Pasalnya hari ini sama sekali tak bisa membuatku fokus kerja karena nyatanya mengajak Jean ke pantai pun sama sekali tidak meluluhkan hatinya.Padahal aku sudah mencari review rumah makan dengan pemandangan paling banyak di ulas. Kenapa meluluhkan hati Jean jadi sesulit ini? Aku menghela nafasku dan menopang dagu ku. Apalagi yang harus aku lakukan supaya Jean luluh?Aku memijit pangkal hidungku seraya membaca file yang masuk ke dalam email perusahaan. Hingga akhirnya mendengar suara pintu ruanganku yang diketuk. Membuatku memcingkan mata dan mencoba menerka tentang siapa yang datang. Karena seingatky semua berkas sudah tertumpuk di meja ini.Saat masih diam menebak hingga lupa untuk mempersilahkan orang di balik pintu itu untuk masuk. Namun saat tersadar dari lamunanku, terlihat handle pintu itu
Brak!Sedikit terkejut saat asik melamun, justru mendengar suara pintu yang terbuka pelan. Kutatap ke arah sumber suara, udah ada Jean yang malah berkacak pinggang. Aku bingung, istriku ini kenapa?“Katanya mau pulang?” tanyanya dengan mengerucutkan bibirnya. Ah, sungguh menggemaskan dia ini. Membuatku ingin mencubit bibirnya.“Berapa lama aku harus menunggumu menepati janji kali ini, mas?"Aku beranjak dari dudukku. Dan di sini lah aku sekarang, duduk dengan mengendarai mobil. Kami sedang melakukan perjalanan untuk pulang. Tetap berusaha menatap fokus ke arah jalanan, sesekali kulirik istriku yang hanya diam membisu.“Kamu kenapa, Jean? Semenjak pulang dari grand launching kok diem aja?”Pertanyaanku sama sekali tidak dijawab oleh Jean. Kulihat dia yang hanya melirik ke arahku sekilas dan kembali menatap ke arah luar jendela. Aku pun terdiam dan kembali memfokuskan diriku untuk mengemudikan mobil.Hingga aku
Kulihat tubuh istriku yang menegang saat melihat pria itu. Morgan, pria yang sudah lama tidak pernah kujumpai. “Je …,” panggilku yang membuat Jean langsung mengalihkan tatapannya ke arahku. “Ya?” sahutnya menanggapiku dengan keterkejutan yang disembunyikan.Aku tak membalas sahutan dari Jean karena bingung, situasi kali ini benar-benar membuatku merasa aneh. Jean masih menatap podium yang di sana berdiri Morgan, aku tak menyangka saja jika aku bisa bertemu dengan Morgan di saat seperti ini. Aku tak bisa membaca raut wajah yang ditunjukkan Jean saat menatap podium. Kurasakan dadaku yang sesak, apa aku tengah cemburu? Jelas iya aku cemburu. Bagaimana tidak? Istriku menatap sosok pria lain yang sedang berdiri di sana, bahkan dapat kulihat kedua mata Jean yang tidak berkedip sedikit pun. Sungguh, Jean seperti menancapkan ribuan jarum pentul di dalam hatiku. Aku menghela nafas seraya menyandarkan punggungku di kursi yang terasa k
Aku yang melihat Jean seperti itupun lantas langsung merengkuh tangannya, “Kita berangkat sekarang tuan putri!" Jelas sekali ingin menghindari percakapan yang mulai sensitif ini, lagian aku dan Jean sudah siap untuk berangkat sekarang. Alih-alih menerima sentuhan tanganku, Jean justru menampiknya dengan kasar.“Kalau dulu ucapanmu ini akan terdengar manis, entah kenapa sekarang justru memuakkan."Ucap Jean walaupun dengan nada lirih dan langsung melangkahkan kedua kakinya untuk pergi meninggalkanku. Aku menatap punggung Jean yang mulai menjauh, dulu Jean tak pernah bersikap kasar seperti ini. Membuatku meneguk saliva dengan kasar, dan mulai mengikuti langkah kaki Jean.Kami berdua menuju ke arah mobil yang sedang terparkir. Niat hati ingin membukakan pintu mobil agar Jean bisa masuk ke dalam, tapi belum juga gerakanku itu terlaksana Jean sudah terlebih dahulu mengangkat suaranya.“Aku bisa sendiri, Mas. Tidak perlu bersikap semanis ini.”