Saat sedang sibuk dengan pikiranku sendiri. Merasakan getaran di kantong celanaku, tidak berjarak lama dari setelah itu terdengar suara dering ponsel. Aku merogoh saku celanaku dan mendapati nomor Mbok Wati yang sedang menghubungiku.Suatu kebetulan yang sangat jarang terjadi. Dengan segera aku mengangkat telepon itu dengan menekan tombol hijau di layar ponselku. Lantas mendekatkan ponselku pada daun telinga.“Iya Mbok ada apa?”“Mas … i … ini Mas.”Aku mendengar suara Mbok Wati yang sepertinya sedang panik. “Ada apa sih Mbok Kok suaranya gitu?”“Ini loh, Mas. Mbak Jean, tadi mbak Jean pingsan di swalayan. Tadi kan kami pergi belanja ke swalayan, Ini beneran loh mas kalau mbak Jean sendiri yang pengen ikut. Padahal kan saya udah bilang jangan, soalnya muka dia itu kayaknya pucet gitu loh. Pas lagi milih-milih barang belanjaan tiba-tiba pingsan.”Aku yang mendapatkan kabar tersebut langsung bertanya sekarang Mbok Wati dan j
Tubuhku mematung saat melihat foto tersebut. Bagaimana bisa, Morgan mendapatkan informasi pengajuan talak yang sempat diurus lawyerku beberapa waktu lalu. Lantas aku segera membenarkan dudukku dan tetap berusaha bersikap tenang. Jadi, ini alasannya pulang ke Indonesia? Artinya Morgan memang masih menyimpan rasa pada Jean? "Hanya seumur dua tahun, dan anda sudah memutuskan hal ini? Harusnya dari awal anda menyerah saja. Jadi tak oerlu menyakiti perasaannya." Raut Morgan terlihat memerah. Mungkin dia memang menyimpan amarah untuk diluapkan padaku. Kini giliranku yang menyimpulkan senyum. "Anda jelas melupakan bahwa talak ini tak mungkin dilanjutkan karena Jean sedang hamil? Perlukah saya perjelas siapa bapaknya?" Morgan terdiam. Tangannya melemah dan meletakkan ponselnya dimeja. Aku masih mencoba tenang dengan menunjukkan sikap yang tak peduli. Padahal hatiku tengah bergemuruh karena menahan gejolak yang entah apa ini namanya, antara malu dan ke
Tanpa terasa tiga hari sudah berlalu sekalipun Jean masih belum diperbolehkan pulang. Keadaanya juga cukup membaik. Bahkan nafsu makannya bertambah dibandingkan hari sebelumnya. Jean sudah bisa kutinggal untuk kemudian kutitipkan dirawat mbok Wati dirumah sakit. Mbok Wati yang paham situasipun, tak berhenti memberi kabar setiap perkembangan Jean. Karena aku tak mungkin mendapatkan kabar langsung dari Jean. Aku kembali fokus menatap layar laptop dan berkas-berkas yang harus aku tanda tangani. Berkali-kali menghela nafasku karena lelah, beberapa hari ini aku selalu tidur di rumah sakit untuk menunggui Jean, walaupun masih sering bersikap acuh dan ketus padaku. Bukan Segara yang akan menyerah hanya hal seperti ini. Karena bagaimanapun caranya, melunakkan Jean adalah tujuan utamaku saat ini. Suara nada dering yang menggema di seluruh penjuru ruangan membuatku langsung mengalihkan pandangan menuju ke layar ponselku, di sana tertera nama Nama. Aku pun langsu
Sejak pertengkaran kami, aku, mulai menahan diri untuk menunjukkan perhatianku kepada Jean. Setiap kali melihatnya, hatiku merasa sakit. Jean juga masih tetap saja, dia tidak mau berbicara denganku. Kami seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Malam itu, saat makan malam bersama, Jean malah memilih untuk makan di kamar. Aku hanya bisa menatapnya pergi, membawa piring makanannya. Hatiku merasa berat. Kami biasanya selalu makan bersama, sekalipun hanya saling diam tapi setidaknya tak harus seperti ini. Namun sekarang, semuanya berubah. Aku merindukan kebiasaan yang sebelumnya, kebersamaan yang biasa ku nikmati walaupun mungkin tidak untuk Jean. Namun, aku tahu bahwa aku harus memberi Jean ruang untuk sendiri kali ini. Mungkin pula dia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan pikirannya. Meski begitu, aku tidak bisa menahan kekhawatiran dan rasa sakit di hatiku. Aku merindukan Jean, merindukan suara tawanya, merindukan senyumnya.
Aku membalikkan tubuhku agar tidak merasakan api cemburu lagi. Aku ingin meninggalkan mereka berdua pergi sejenak, karena kini aku justru merasakan tenggorokanku yang kering. Nyatanya aku tak seberani itu menanggung resiko. Bukankah lebih baik memberi waktu pada mereka saja.Melihat mereka membuatku kehilangan kepercayaan diri. Mungkin, Jean akan merasa lebih baik saat mengobrol dengan teman lamanya.Kuambil sebotol air yang berada di dalam lemari pendingin dan menuangkannya di gelas, meneguknya hingga tandas. Padahal niatku pulang untuk bisa mengobrol serius dengan Jean tapi sepertinya masa lalu masih jadi pemenangnya. Tanpa terasa aku justru tertawa merutuki kebodohanku. Tahu begini, lebih baik aku tetap dikantor saja atau lebih baik pergi ke kafe Aditya."Mas Gara?" Mbok Wati terlihat kaget. Aku lantas tersenyum kearahnya. "Mbak Jean...""Itu puddingnya? Bisa mbok suguhkan sebagian untuk tamu Jean juga." Mbok Wati menurut dan bergegas
"Aku ingin bercerai." ucapku seraya melemparkan map ke meja dihadapannya. Jean, wanita yang sudah dua tahun ini berstatus menjadi istriku. "Jean, bukankah dari awal aku sudah katakan bahwa pernikahan ini tidak akan bertahan lama?" Aku beralih duduk dihadapannya namun dia masih diam tak bergemim , matanya menatap map yang masih diatas meja. Wanita didepanku ini biasanya akan cerewet, sesekali menjawab setiap perdebatanku dan akan ia akhiri dengan senyum simpul pertanda tak peduli. "Jean!" Aku mulai menaikkan nada suaraku. Jean tak seperti biasanya, dia hanya diam tanpa membantah ataupun menjawab permintaanku kali ini. Dua tahun hidup dengannya tidak banyak hal yang kita lakukan bersama, bahkan akupun tak ingin tau kegiatan apa saja yang dia lakukan setiap harinya. Sebaliknya, dia akan mencecarku banyak pertanyaan tentang hal tak penting yang kemudian akan aku jawab dengan nada tinggi untuk berhenti, dia selalu menganggu. Tapi hanya dia timpali dengam senyuman. "Baiklah." dia berja
Sejak kembali masuk kedalam kamar Jean. Nampak dia masih berbaring tetap menghadap samping dengan selimut tertutup sampai dadanya. "Perlu kumatikan pendinginnya?" Entah sudah berapa pertanyaan yang terlontar dariku sejak tadi namun tak sekalipun dia menjawab selain dengan gelengan kepala. Ternyata begini rasanya bertanya tapi diacuhkan, sedangkan hampir setiap hari aku tak menghiraukan semua ucapan dari Jean. Aku bisa mendengar suara klakson mobil hinga berisiknya gerbang yang terbuka, pastilah mama sudah datang dengan supirnya. Bergegas aku keluar kamar ini menghampiri wanita setengah baya yang sudah nampak memasuki pintu utama. "Kenapa Jean?" Mata tua itu melotot seperti sudah siap keluar dari tempatnya. "Ini pasti ulahmu kan? Mama sudah katakan jangan gegabah, sudah mending dapat istri baik begitu masih aja kurang." Kemarin aku memang sempat datang kerumah mama sebelum akhirnya mengurusi semua berkas gugatan yang akan kudaftarkan ke pengadilan Agama.
"Jean, suamimu sedang berbicara denganmu." Sosok didepanku kini berbalik arah menghadapku. Tak ada jawaban atau bantahan lagi darinya, "Kamu terus mendiamkanku seharian." Aku sedikit melunak, namun Jean tetap tak bersuara Aku menghampirinya, duduk berlutut didepannya namun dia tetap tak menghiraukannya. "Jangan begini, rasanya gak enak." Aku meraih kedua tangannya, sempat kudengar helaan nafas berat dari sosok berbau wangi shampo didepanku ini. "Maafkan aku." "Iya." Hanya begitu, kemudian melepaskan tanganku. Jean beranjak menuju lemarinya, mengambil salah satu dari tumpukannya kemudian masuk kembali kedalam kamar mandi. Sungguh, belum ada sehari Jean mendiamkanku aku sudah kelabakan seperti ini. Bagaimana bila nantinya aku resmi berpisah dengannya? Namun bukankah dari awal aku memang sudah menginginkan perpisahan ini? Aku bahkan tidak pernah sebimbang ini. Jean selesai, mengenakan daster mini yang memang biasa ia kenakan dirumah. Kali ini aku memilih untu
Aku membalikkan tubuhku agar tidak merasakan api cemburu lagi. Aku ingin meninggalkan mereka berdua pergi sejenak, karena kini aku justru merasakan tenggorokanku yang kering. Nyatanya aku tak seberani itu menanggung resiko. Bukankah lebih baik memberi waktu pada mereka saja.Melihat mereka membuatku kehilangan kepercayaan diri. Mungkin, Jean akan merasa lebih baik saat mengobrol dengan teman lamanya.Kuambil sebotol air yang berada di dalam lemari pendingin dan menuangkannya di gelas, meneguknya hingga tandas. Padahal niatku pulang untuk bisa mengobrol serius dengan Jean tapi sepertinya masa lalu masih jadi pemenangnya. Tanpa terasa aku justru tertawa merutuki kebodohanku. Tahu begini, lebih baik aku tetap dikantor saja atau lebih baik pergi ke kafe Aditya."Mas Gara?" Mbok Wati terlihat kaget. Aku lantas tersenyum kearahnya. "Mbak Jean...""Itu puddingnya? Bisa mbok suguhkan sebagian untuk tamu Jean juga." Mbok Wati menurut dan bergegas
Sejak pertengkaran kami, aku, mulai menahan diri untuk menunjukkan perhatianku kepada Jean. Setiap kali melihatnya, hatiku merasa sakit. Jean juga masih tetap saja, dia tidak mau berbicara denganku. Kami seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Malam itu, saat makan malam bersama, Jean malah memilih untuk makan di kamar. Aku hanya bisa menatapnya pergi, membawa piring makanannya. Hatiku merasa berat. Kami biasanya selalu makan bersama, sekalipun hanya saling diam tapi setidaknya tak harus seperti ini. Namun sekarang, semuanya berubah. Aku merindukan kebiasaan yang sebelumnya, kebersamaan yang biasa ku nikmati walaupun mungkin tidak untuk Jean. Namun, aku tahu bahwa aku harus memberi Jean ruang untuk sendiri kali ini. Mungkin pula dia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan pikirannya. Meski begitu, aku tidak bisa menahan kekhawatiran dan rasa sakit di hatiku. Aku merindukan Jean, merindukan suara tawanya, merindukan senyumnya.
Tanpa terasa tiga hari sudah berlalu sekalipun Jean masih belum diperbolehkan pulang. Keadaanya juga cukup membaik. Bahkan nafsu makannya bertambah dibandingkan hari sebelumnya. Jean sudah bisa kutinggal untuk kemudian kutitipkan dirawat mbok Wati dirumah sakit. Mbok Wati yang paham situasipun, tak berhenti memberi kabar setiap perkembangan Jean. Karena aku tak mungkin mendapatkan kabar langsung dari Jean. Aku kembali fokus menatap layar laptop dan berkas-berkas yang harus aku tanda tangani. Berkali-kali menghela nafasku karena lelah, beberapa hari ini aku selalu tidur di rumah sakit untuk menunggui Jean, walaupun masih sering bersikap acuh dan ketus padaku. Bukan Segara yang akan menyerah hanya hal seperti ini. Karena bagaimanapun caranya, melunakkan Jean adalah tujuan utamaku saat ini. Suara nada dering yang menggema di seluruh penjuru ruangan membuatku langsung mengalihkan pandangan menuju ke layar ponselku, di sana tertera nama Nama. Aku pun langsu
Tubuhku mematung saat melihat foto tersebut. Bagaimana bisa, Morgan mendapatkan informasi pengajuan talak yang sempat diurus lawyerku beberapa waktu lalu. Lantas aku segera membenarkan dudukku dan tetap berusaha bersikap tenang. Jadi, ini alasannya pulang ke Indonesia? Artinya Morgan memang masih menyimpan rasa pada Jean? "Hanya seumur dua tahun, dan anda sudah memutuskan hal ini? Harusnya dari awal anda menyerah saja. Jadi tak oerlu menyakiti perasaannya." Raut Morgan terlihat memerah. Mungkin dia memang menyimpan amarah untuk diluapkan padaku. Kini giliranku yang menyimpulkan senyum. "Anda jelas melupakan bahwa talak ini tak mungkin dilanjutkan karena Jean sedang hamil? Perlukah saya perjelas siapa bapaknya?" Morgan terdiam. Tangannya melemah dan meletakkan ponselnya dimeja. Aku masih mencoba tenang dengan menunjukkan sikap yang tak peduli. Padahal hatiku tengah bergemuruh karena menahan gejolak yang entah apa ini namanya, antara malu dan ke
Saat sedang sibuk dengan pikiranku sendiri. Merasakan getaran di kantong celanaku, tidak berjarak lama dari setelah itu terdengar suara dering ponsel. Aku merogoh saku celanaku dan mendapati nomor Mbok Wati yang sedang menghubungiku.Suatu kebetulan yang sangat jarang terjadi. Dengan segera aku mengangkat telepon itu dengan menekan tombol hijau di layar ponselku. Lantas mendekatkan ponselku pada daun telinga.“Iya Mbok ada apa?”“Mas … i … ini Mas.”Aku mendengar suara Mbok Wati yang sepertinya sedang panik. “Ada apa sih Mbok Kok suaranya gitu?”“Ini loh, Mas. Mbak Jean, tadi mbak Jean pingsan di swalayan. Tadi kan kami pergi belanja ke swalayan, Ini beneran loh mas kalau mbak Jean sendiri yang pengen ikut. Padahal kan saya udah bilang jangan, soalnya muka dia itu kayaknya pucet gitu loh. Pas lagi milih-milih barang belanjaan tiba-tiba pingsan.”Aku yang mendapatkan kabar tersebut langsung bertanya sekarang Mbok Wati dan j
Pagi hari yang cerah namun tidak dengan suasana hatiku saat ini. Duduk di kursi kebanggaanku yang berada di ruang kerja, seraya menatap layar laptopku. Pasalnya hari ini sama sekali tak bisa membuatku fokus kerja karena nyatanya mengajak Jean ke pantai pun sama sekali tidak meluluhkan hatinya.Padahal aku sudah mencari review rumah makan dengan pemandangan paling banyak di ulas. Kenapa meluluhkan hati Jean jadi sesulit ini? Aku menghela nafasku dan menopang dagu ku. Apalagi yang harus aku lakukan supaya Jean luluh?Aku memijit pangkal hidungku seraya membaca file yang masuk ke dalam email perusahaan. Hingga akhirnya mendengar suara pintu ruanganku yang diketuk. Membuatku memcingkan mata dan mencoba menerka tentang siapa yang datang. Karena seingatky semua berkas sudah tertumpuk di meja ini.Saat masih diam menebak hingga lupa untuk mempersilahkan orang di balik pintu itu untuk masuk. Namun saat tersadar dari lamunanku, terlihat handle pintu itu
Brak!Sedikit terkejut saat asik melamun, justru mendengar suara pintu yang terbuka pelan. Kutatap ke arah sumber suara, udah ada Jean yang malah berkacak pinggang. Aku bingung, istriku ini kenapa?“Katanya mau pulang?” tanyanya dengan mengerucutkan bibirnya. Ah, sungguh menggemaskan dia ini. Membuatku ingin mencubit bibirnya.“Berapa lama aku harus menunggumu menepati janji kali ini, mas?"Aku beranjak dari dudukku. Dan di sini lah aku sekarang, duduk dengan mengendarai mobil. Kami sedang melakukan perjalanan untuk pulang. Tetap berusaha menatap fokus ke arah jalanan, sesekali kulirik istriku yang hanya diam membisu.“Kamu kenapa, Jean? Semenjak pulang dari grand launching kok diem aja?”Pertanyaanku sama sekali tidak dijawab oleh Jean. Kulihat dia yang hanya melirik ke arahku sekilas dan kembali menatap ke arah luar jendela. Aku pun terdiam dan kembali memfokuskan diriku untuk mengemudikan mobil.Hingga aku
Kulihat tubuh istriku yang menegang saat melihat pria itu. Morgan, pria yang sudah lama tidak pernah kujumpai. “Je …,” panggilku yang membuat Jean langsung mengalihkan tatapannya ke arahku. “Ya?” sahutnya menanggapiku dengan keterkejutan yang disembunyikan.Aku tak membalas sahutan dari Jean karena bingung, situasi kali ini benar-benar membuatku merasa aneh. Jean masih menatap podium yang di sana berdiri Morgan, aku tak menyangka saja jika aku bisa bertemu dengan Morgan di saat seperti ini. Aku tak bisa membaca raut wajah yang ditunjukkan Jean saat menatap podium. Kurasakan dadaku yang sesak, apa aku tengah cemburu? Jelas iya aku cemburu. Bagaimana tidak? Istriku menatap sosok pria lain yang sedang berdiri di sana, bahkan dapat kulihat kedua mata Jean yang tidak berkedip sedikit pun. Sungguh, Jean seperti menancapkan ribuan jarum pentul di dalam hatiku. Aku menghela nafas seraya menyandarkan punggungku di kursi yang terasa k
Aku yang melihat Jean seperti itupun lantas langsung merengkuh tangannya, “Kita berangkat sekarang tuan putri!" Jelas sekali ingin menghindari percakapan yang mulai sensitif ini, lagian aku dan Jean sudah siap untuk berangkat sekarang. Alih-alih menerima sentuhan tanganku, Jean justru menampiknya dengan kasar.“Kalau dulu ucapanmu ini akan terdengar manis, entah kenapa sekarang justru memuakkan."Ucap Jean walaupun dengan nada lirih dan langsung melangkahkan kedua kakinya untuk pergi meninggalkanku. Aku menatap punggung Jean yang mulai menjauh, dulu Jean tak pernah bersikap kasar seperti ini. Membuatku meneguk saliva dengan kasar, dan mulai mengikuti langkah kaki Jean.Kami berdua menuju ke arah mobil yang sedang terparkir. Niat hati ingin membukakan pintu mobil agar Jean bisa masuk ke dalam, tapi belum juga gerakanku itu terlaksana Jean sudah terlebih dahulu mengangkat suaranya.“Aku bisa sendiri, Mas. Tidak perlu bersikap semanis ini.”