Tepat adzan magrib saat akhirnya membelokkan mobil di tempat pengisian bahan bakar. Jean masih saja menutup matanya, bajunya sudah berganti dengan kaos polos dan celana panjang saat akan berangkat tadi.
"Aku antar ke kamar mandi dulu sebelum shalat." Baru saja aku akan melepaskan sabuk pengamannya, namun dia seolah tau dan terlebih dahulu melepasnya. Jean bergegas akan membuka pintu mobil. Aku masih memandanginya saat akhirnya dia juga berbalik arah memandangku, ya pintu mobil belum ku buka kunci otomatisnya, kali ini aku tersenyum mengejek kearahnya. Ku buka pintu disebelahku kemudian bergegas keluar membukakan pintu untuknya. "Hati-hati istriku." Ucapku mengedipkan mata kearahnya, dia hanya memandang tak berekspresi. Jean beranjak, memberi isyarat kepadaku untuk membuka bagasi mobil dan langsung kuturuti perintahnya. Dia mengambil sebuah totebag terpisah yang sengaja disiapkan untuk perlengkapan shalatnya. Begitu pula aku, mengambil sarung yang kemudian segera menutup bagasi dan langsung membututinya. "Sudah lama sekali kita tidak shalat berjamaah." "Memang tidak pernah sama sekali." Timpalinya, dia duduk didepan mushola tempat ini, meluruskan kakinya dan bersandar pada dinding. Dulu Jean berulang kali memintaku untuk shalat bersamanya namun banyak alasan selalu ku berikan. "Aku sudah terbiasa shalat sendiri. Kamu duluan saja." Memfikirkan penolakan yang terus dilakukan Jean kepadaku. Mungkin memang seperti ini yang dirasakan Jean pula, mempunyai suami yang tak pernah menganggapnya bahkan memintanya bercerai saat dia sedang hamil. "Mau kemana?" Tanyaku saat dia beranjak lagi. Jean tak menjawab memilih melanjutkan langkahnya menuju toilet disamping musholla ini. Akupun bergegas membututinya "Ini toilet perempuan mas." Dia mendelikkan matanya kearahku, ya memang aku tau simbol gambar perempuan yang tertera diatas pintu toilet tersebut. "Aku takut terjadi apa-apa denganmu." Dia hanya memutar bola matanya dan langsung menutup pintu dengan sedikit keras. Merasa sangat lama, kudekatkan daun telingaku pada pintu. Suara air kran sangat keras. "Jean, kamu baik-baik saja?" Mulai menggedor pintu, namun kerasnya suara air dari kran seakan menghalangi suara lainnya. "Jean!" Aku mulai panik. Disini suasana mulai ramai oleh para pengguna jalan yang sekedar mampir entah untuk shalat maghrib atau hanya ketoilet. Sekuat tenaga menyembunyikan kepanikanku diantara para wanita yang mulai mendatangi area toilet khusus perempuan ini. Hingga akhirnya Jean membuka pintunya, melap bibirnya menggunakan ujung baju atasnya. Wajahnya terlihat semakin pucat. "Kamu muntah lagi?" Dia mengangguk, gegas kutuntun dia menuju tempat semula. "Apakah masih lama?" Jean mengedarkan pandangan pada sekitar. "Aku ingin segera berbaring." Lanjutnya, aku paham sekarang mungkin dia kelelahan mengingat jarak tempuh dari rumah tadi lumayan sangat lama. "Baiklah, kita cari hotel terdekat." Kini Jean menurut, aku menggandengnya kearah mobil, memapaskan dudukannya agar sedikit lebih nyaman nantinya. "Kita shalat sekalian disana saja." Kuletakkan totebag berisi perlengkapan shalatnya dan beserta sarungku kejok bangku belakang. Sebelum melanjutkan perjalanan ini, terlebih dahulu ku buka ponsel dan mulai menjelajah tentang hotel sekitar. Sempat pula menanyainya tentang tempat yang mungkin dia inginkan namun masih saja Jean lebih memilih untuk diam saja. Setelah memutuskan tempat yang sesuai, kulajukan mobil kembali menuju tempat sesuai rute yang ditunjukkan oleh g****e diponselku. Seharusnya dari tadi aku memikirkan untuk membooking dahulu penginapan dan tak harus mencari seperti ini dahulu.* "Double bed saja." Pinta Jean saat kami sudah sampai di depan meja resepsionis. Aku menoleh kearahnya dan menggeleng, dan dia menjawab dengan mengangguk. "Kalau tidak pesankan satu kamar lagi untukku." Pintanya. Yah apa boleh buat, aku menuruti saja permintaannya. Seharusnya bukan masalah besar, apalagi kita terbiasa tidur dikamar terpisah. Namun, situasi dan kondisi perasaanku sejak semalam sudah berbeda. Jean meletakkan tas kecilnya diatas meja. Langsung melepaskan lelah diatas kasur yang terpisah dengan kasur sebelahnya. Dimeja nampak teh dan pemanas air elektrik, akupun dengan gegas menyalakan mesin pemanasnya, menyiapkan gelas yang sudah kulap dengan tisu terlebih dahulu dan kuisi dengan gula dan teh celup yang sudah tersedia. Sedang menunggu air matang, membereskan koper kedalam lemari yang juga menjadi salah satu fasilitas dikamar ini.Aku melirik kearah Jean, sepertinya dia sudah tertidur dan kuputuskan untuk meninggalkan dia sementara membersihkan diri saja. Semua selesai, aku sudah berganti lagi dengan baju koko dan sarung siap untuk shalat yang sudah tertunda dari tadi sebelum waktunya berganti. Masih kulihat Jean tertidur, biarlah dia menjama' shalatnya nanti karena memang tak tega membangunkannya. Berjaga-jaga saat Jean bangun nanti, sudah kusiapkan teh panas untuk sekedar memulihkan tenaganya. "Mas, katanya mau shalat bareng?" Ucapnya kala aku menyelesaikan salam dirakaat terakhirku. Jean sudah duduk dikursi yang berada tak jauh dariku. Aku menoleh kearahnya. "Bukannya tadi nolak?" Aku menghampirinya namun Jean memilih untuk masuk kekamar mandi. Sungguh aku tak paham, kenapa Jean bisa sangat sulit dipahami sekarang. Seraya menunggunya, aku menyiapkan mukenanya dan membentangkan sajadah tepat dibelakang sajadahku tadi. Dia sudah keluar, berganti pakaian daster mini seperti sebelum berangkat tadi. "Shalat maghrib dulu, habis itu nunggu isya dan kita barengan." Dan untuk kesekian kalinya Jean tak menaanggapi ucapanku. Aku masih menunggunya dengan duduk dikursi yang diduduki Jean tadi. Mungkin sepuluh menit lagi sudah masuk waktu Isya'.Jean sudah selesai, tapi sepertinya masih fokus untuk berdoa. Aku berpindah tempat duduk beralaskan sajadah menghadapnya, menunggui dia selesai bercurah kepada penciptaNya. "Jean, mau dipesankan makanan apa? WBiar nanti selesai Isya nggak harus nunggu lama buat makan." Aku bertanya kala Jean menurunkan tangannya. "Aku ingin lontong tahu " Jean kini menatapku, mata kita saling beradu pandang. Sepertinya dia kini tengah mengerjaiku. Bagaimana mungkin mencari makanan tersebut disebuah wilayah pesisir laut seperti disini. Aku meraih ponsel yang tergeletak dimeja. Mengabaikan banyak notif pesan dan panggilan yang masuk dari tadi kemudian kuketikkan pesan diaplikasi pencari driver tesebut sesuai dengan permintaan wanita yang ada dihadapanku ini. Isya berkumandang, kami berdua memilih terdiam mendengar setiap alunan suara dari sang muadzin. Aku masih mengamati Jean, wanita yang dua tahun lalu mengusik kesendirianku lalu dengan mudahnya aku menerima tawaran perjodohan dari mama. "Ini pertama kalinya aku menjadi imam shalat untukmu. Mungkin akan banyak salahnya juga." Aku berucap bersamaan dengan selesainya iqomah. Hotel ini memang terletak tak jauh dari masjid Agung kota, jadi sangat jelas suara adzan yang berkumandang sampai kesini. "Setidaknya ada kenangan baik sebelum kita berpisah. Dan nantinya aku bisa menceritakan pada anakku, bahwa ibu dan ayahnya pernah berjamaah walau hanya sekali. Karena yang aku ingat selama menikah tidak ada sekalipun kenangan yang baik untuk aku ceritakan."Setelah selesai berjamaah, seorang driver yang sudah menyelesaikan pesananku mengabari sudah menunggu didepan. "Maaf ya mas. Pasti tadi kesusahan mencari pesanan saya." Aku berucap bebarengan dengan sekantong kresek yang diberikan driver tersebut kepadaku. "Carinya gampang mas, antrinya itulo yang butuh waktu lama." Pria yang mungkin seumuranku tersebut tertawa, aku memberikan uang beserta tips untuknya. "Saya kira tidak akan menemukan makanan ini disini mas. Istri saya sedang hamil dan hanya mau makan ini katanya." Aku bernafas lega, mengintip makanan dalam kotak yang lengkap dengan jus tomat permintaannya. "Namanya orang hamil mas, sabar aja. Sebagai suami emang tugasnya nurutin ngidamnya istri biar dunia baik-baik saja." Akupun ikut tertawa, kemudian pria ini pamit untuk pergi begitupun aku yang segera kembali kekamar. Jean terlihat duduk dikursi, menyeduh teh panas yang kusiapkan tadi mungkin sudah dingin. Rambutnya dia ikat keatas, tanganny
Seusai makan Jean meminta untuk langsung kembali kehotel, tak lagi ada obrolan diantara kita setelahnya.Langsung saja kududuki kursi empuk yang terletak dipojok ruangan ini, mengamati setiap gerak geriknya sejak kembali kesini. Sudah berganti pakaian lagi dengan daster mininya, sudah selesai pula membersihkan diri dari kamar mandi kemudian duduk dikursi menghadap kaca, mengeluarkan pouch kecil yang ternyata berisi banyak sekali kebutuhan skincarenya."Sesibuk inikah kamu setiap mau tidur?" Kali ini biarlah aku yang berusaha membuat suasana diantara kita mencair. Jean hanya mengangguk, dan aku masih memikirkan topik apalagi yang akan kubahas kali ini.Baiklah, giliranku yang harus membersih diri. Akupun berganti pakaian menggunakan kaos pendek dan boxer pendek pula. Kali ini langsung merebahkan diri ke salah satu bed. Jean nampaknya sudah menyelesaikan ritualnya, memilih lampu dalam mode tidur dan ikut berbaring namun berada di bed seberangku.Jean sungguh tak memperdulikanku, segera
Sepertinya Jean lupa tentang apa yang terjadi sebelumnya. Senyumnya nampak sumringah saat menatap hamparan laut. "Bagaimana? Bagus kan?" Jean hanya mencibir tanpa menoleh ke arahku. "Suka gak?" Kami berdua telah duduk di tepian pantai. Sejak tadi siang, aku sengaja mengajaknya pindah ke resort yang memang mempunyai fasilitas langsung terhubung dengan pantai. "Bukankah aku dan laut itu sama?" Jean mulai bereaksi, dia menoleh gegas padaku dengan pandangan tak terima. "Segara berarti laut. Tepat sore hari dimana pancaran warna sore hari bernama aurora." Aku mengulas senyum padanya. Aurora adalah nama lengkapnya. "Pemandangan laut sore hari memang sangat indah mas. Tapi tak akan sepadan dengan hubungan pernikahan kita. Jadi jangan berharap bahwa keserasian mereka akan menular pada kita." Nafasku terhembus dengan berat. Rasanya sangat susah sekali meluluhkan hati istriku saat ini. "Jean.." "Sesuai janjimu, besok kamu harus mengizinkanku pulang." Jean bangkit dari tempat duduknya.
"Kamu nyuruh orang buat bersihi rumah ini?" Aku tak menjawab dan memilih memasukkan beberapa barang yang datang bersama supir mama. Jean menatap lekat padaku. Saat aku justru mendekat pada mbok Wati, salah satu rewang di rumahku yang di minta mama untuk menemani Jean di sini. "Aku memang mengizinkanmu tinggal disini sementara waktu, tapi jangan menolak untuk ditemani mbok Wati." Aku meraih tangannya dan memberikan sebuah kartu debit yang memang sengaja aku siapkam semalam. "Aku tak akan datang jika kamu menggunakan uang ini. Tapi jika sebaliknya, maka setiap hari aku yang akan antar belanjaan buatmu." Tak butuh waktu lama, aku juga tak ingin melihat reaksi Jean dan memilih untuk segera pergi dari rumah ini. Memastikan lebih dulu bahwa rumah ini layak untuk Jean tempati. Untung saja, selama aku berlibur, mama sudah menyuruh beberapa orang untuk membersihkannya dan membenahi beberapa bagian yang rusak. "Mas..." Aku memilih ta
"Jean, aku sudah meminta Rudi untuk reservasi ke dokter kandunganmu. Ku pastikan akan menjemputmu lebih cepat." Aku melahap habis nasi yang berada di depanku. Jean hanya mengangguk saja, semalam aku memang memohon pada Jean agar dia memperbolehkanku mengantarnya periksa. "Tapi mas. Mama meneleponku kemarin." Aku menoleh padanya, dia menunduk lagi dan hanya memainkan makanannya. "Ada masalah?" Jean nampak menggeleng. "Mama juga mau ikut mengantar periksa." "Oh..." Aku mengangguk mengerti, seketika aku terpaku dan mencoba memahami perkataan Jean barusan. "Berarti hari ini mama pulang?" Kedua bahu Jean terlihat terangkat bersamaan. Kuulas senyumku pada Jean. Lalu bangkit untuk berangkat ke kantor. Sebelum itu, aku mendekat pada Jean untuk mengecup ubun-ubunnya. Berusaha tak memaksa Jean agar mau salim padaku seperti biasanya saat dia memaksa mengecup punggung tanganku walaupun aku menolak. Aku masih terdiam
"Oma jadi tinggal dirumah mama mas?" Jean bertanya saat aku mengantar bungkusan bubur ayam pagi ini. Keningku mengernyit karena memang semalam aku tak pulang kerumah mama. "Kata siapa?""Oma sendiri." Baru saja dia akan menarik kursi, aku langsung mendahuluinya. Nampak sekali bibirnya mencibir seolah merendahkanku. Yah, selama ini memang aku tak pernah memperhatikannya seperti ini. "Oma bilang apa?" "Minta kita kesana." Senyumku mengembang. Luar biasa sekali Oma. Padahal kemarin Jean masih menolak untuk kuajak menginap dirumah mama. Bahkan dia beralasan banyak sekali."Pulang kantor aku jemput kamu ya." Aku langsung memasang muka serius, jangan sampai Jean curiga. "Kita jadi menginap disana?" Aku mengangguk. Meletakkan mangkuk dan sendok agar Jean bisa segera memakan bubur ayam tersebut. Melirik pada wanitaku yang justru terlihat kurang antusias dengan kabar kedatangan Oma."Tapi hanya semalam kan?" Langsung ku jawab
Aku mengembangkan senyum ketika masuk kedalam kamar dan melihat Jean yang tengah bermain ponsel di atas ranjang. "Istriku." sapaku dengan suara memanja. Bukannya membalas dia justru mencibir dan segera meletakkan ponselnya diatas meja. "Jangan macam-macam mas. Aku sudah lelah dan tak mau diganggu saat tidur." "Siap tuan putri!" Aku mengangguk dengan sangat mantap melihatnya menata selimut untuk menutupi tubuhnya. Walaupun sikapnya sekarang sangat dingin, tapi aku tak peduli. Bagaimanapun saat ini aku harus merayunya agar bisa melunak kembali. "Jean, nonton film biasanya berapa lama?" "Begitu saja kamu tak tau?" Dia masih memunggungiku. "Aku sudah minta ke Rudi untuk menghandle semua pekerjaanku besok. Jadi kalau kurang lama, apakah aku harus mengajukin cuti seminggu?" "Terserah kamu sajalah." Dia mengibaskan tangannya dengan tetap tanpa melihat padaku. "Begini...." Tanganku dengan pelan bergera
Jean melotot padaku. "Iyaaa... Mau sekarang?" Jean mengembangkan senyum kemenangan kemudian mengangguk. "Habiskan dulu minummu." Aku menggeser gelas yang baru diberikan Aditya, sedang Jean dengan cepat menghabiskannya membuat ku keheranan. Sebenarnya, apa yang tengah Jean rencanakan. Apa memang moodnya benar-benar sedang tak stabil?Jean menoleh padaku seraya mengusap bibirnya. Aku yang gemaspun lantas menggerakkan tangan untuk ikut mengusap bibirnya. "Dih...." Gemas sekali melihat coklat itu meninggalkan bekas. Tumben sekali Jean tak menolak, bahkan dia terlihat dengan sengaja membiarkanku membersihkannya. "Udah." bisiknya. Aku bahkan mengabaikan Viona dan Bagas yang entah membahas apa. Karena fokus pada Jean yang tiba-tiba mencair seperti ini. Aku meninggalkan Jean bersama kedua temanku untuk membayar tagihan. "Cepet amat Gar?" "Kayaknya si Jean nyidam deh, tiba-tiba minta cake." Aditya tertawa dengan sangat keras.
Aku membalikkan tubuhku agar tidak merasakan api cemburu lagi. Aku ingin meninggalkan mereka berdua pergi sejenak, karena kini aku justru merasakan tenggorokanku yang kering. Nyatanya aku tak seberani itu menanggung resiko. Bukankah lebih baik memberi waktu pada mereka saja.Melihat mereka membuatku kehilangan kepercayaan diri. Mungkin, Jean akan merasa lebih baik saat mengobrol dengan teman lamanya.Kuambil sebotol air yang berada di dalam lemari pendingin dan menuangkannya di gelas, meneguknya hingga tandas. Padahal niatku pulang untuk bisa mengobrol serius dengan Jean tapi sepertinya masa lalu masih jadi pemenangnya. Tanpa terasa aku justru tertawa merutuki kebodohanku. Tahu begini, lebih baik aku tetap dikantor saja atau lebih baik pergi ke kafe Aditya."Mas Gara?" Mbok Wati terlihat kaget. Aku lantas tersenyum kearahnya. "Mbak Jean...""Itu puddingnya? Bisa mbok suguhkan sebagian untuk tamu Jean juga." Mbok Wati menurut dan bergegas
Sejak pertengkaran kami, aku, mulai menahan diri untuk menunjukkan perhatianku kepada Jean. Setiap kali melihatnya, hatiku merasa sakit. Jean juga masih tetap saja, dia tidak mau berbicara denganku. Kami seperti dua orang asing yang tinggal di bawah satu atap. Malam itu, saat makan malam bersama, Jean malah memilih untuk makan di kamar. Aku hanya bisa menatapnya pergi, membawa piring makanannya. Hatiku merasa berat. Kami biasanya selalu makan bersama, sekalipun hanya saling diam tapi setidaknya tak harus seperti ini. Namun sekarang, semuanya berubah. Aku merindukan kebiasaan yang sebelumnya, kebersamaan yang biasa ku nikmati walaupun mungkin tidak untuk Jean. Namun, aku tahu bahwa aku harus memberi Jean ruang untuk sendiri kali ini. Mungkin pula dia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan pikirannya. Meski begitu, aku tidak bisa menahan kekhawatiran dan rasa sakit di hatiku. Aku merindukan Jean, merindukan suara tawanya, merindukan senyumnya.
Tanpa terasa tiga hari sudah berlalu sekalipun Jean masih belum diperbolehkan pulang. Keadaanya juga cukup membaik. Bahkan nafsu makannya bertambah dibandingkan hari sebelumnya. Jean sudah bisa kutinggal untuk kemudian kutitipkan dirawat mbok Wati dirumah sakit. Mbok Wati yang paham situasipun, tak berhenti memberi kabar setiap perkembangan Jean. Karena aku tak mungkin mendapatkan kabar langsung dari Jean. Aku kembali fokus menatap layar laptop dan berkas-berkas yang harus aku tanda tangani. Berkali-kali menghela nafasku karena lelah, beberapa hari ini aku selalu tidur di rumah sakit untuk menunggui Jean, walaupun masih sering bersikap acuh dan ketus padaku. Bukan Segara yang akan menyerah hanya hal seperti ini. Karena bagaimanapun caranya, melunakkan Jean adalah tujuan utamaku saat ini. Suara nada dering yang menggema di seluruh penjuru ruangan membuatku langsung mengalihkan pandangan menuju ke layar ponselku, di sana tertera nama Nama. Aku pun langsu
Tubuhku mematung saat melihat foto tersebut. Bagaimana bisa, Morgan mendapatkan informasi pengajuan talak yang sempat diurus lawyerku beberapa waktu lalu. Lantas aku segera membenarkan dudukku dan tetap berusaha bersikap tenang. Jadi, ini alasannya pulang ke Indonesia? Artinya Morgan memang masih menyimpan rasa pada Jean? "Hanya seumur dua tahun, dan anda sudah memutuskan hal ini? Harusnya dari awal anda menyerah saja. Jadi tak oerlu menyakiti perasaannya." Raut Morgan terlihat memerah. Mungkin dia memang menyimpan amarah untuk diluapkan padaku. Kini giliranku yang menyimpulkan senyum. "Anda jelas melupakan bahwa talak ini tak mungkin dilanjutkan karena Jean sedang hamil? Perlukah saya perjelas siapa bapaknya?" Morgan terdiam. Tangannya melemah dan meletakkan ponselnya dimeja. Aku masih mencoba tenang dengan menunjukkan sikap yang tak peduli. Padahal hatiku tengah bergemuruh karena menahan gejolak yang entah apa ini namanya, antara malu dan ke
Saat sedang sibuk dengan pikiranku sendiri. Merasakan getaran di kantong celanaku, tidak berjarak lama dari setelah itu terdengar suara dering ponsel. Aku merogoh saku celanaku dan mendapati nomor Mbok Wati yang sedang menghubungiku.Suatu kebetulan yang sangat jarang terjadi. Dengan segera aku mengangkat telepon itu dengan menekan tombol hijau di layar ponselku. Lantas mendekatkan ponselku pada daun telinga.“Iya Mbok ada apa?”“Mas … i … ini Mas.”Aku mendengar suara Mbok Wati yang sepertinya sedang panik. “Ada apa sih Mbok Kok suaranya gitu?”“Ini loh, Mas. Mbak Jean, tadi mbak Jean pingsan di swalayan. Tadi kan kami pergi belanja ke swalayan, Ini beneran loh mas kalau mbak Jean sendiri yang pengen ikut. Padahal kan saya udah bilang jangan, soalnya muka dia itu kayaknya pucet gitu loh. Pas lagi milih-milih barang belanjaan tiba-tiba pingsan.”Aku yang mendapatkan kabar tersebut langsung bertanya sekarang Mbok Wati dan j
Pagi hari yang cerah namun tidak dengan suasana hatiku saat ini. Duduk di kursi kebanggaanku yang berada di ruang kerja, seraya menatap layar laptopku. Pasalnya hari ini sama sekali tak bisa membuatku fokus kerja karena nyatanya mengajak Jean ke pantai pun sama sekali tidak meluluhkan hatinya.Padahal aku sudah mencari review rumah makan dengan pemandangan paling banyak di ulas. Kenapa meluluhkan hati Jean jadi sesulit ini? Aku menghela nafasku dan menopang dagu ku. Apalagi yang harus aku lakukan supaya Jean luluh?Aku memijit pangkal hidungku seraya membaca file yang masuk ke dalam email perusahaan. Hingga akhirnya mendengar suara pintu ruanganku yang diketuk. Membuatku memcingkan mata dan mencoba menerka tentang siapa yang datang. Karena seingatky semua berkas sudah tertumpuk di meja ini.Saat masih diam menebak hingga lupa untuk mempersilahkan orang di balik pintu itu untuk masuk. Namun saat tersadar dari lamunanku, terlihat handle pintu itu
Brak!Sedikit terkejut saat asik melamun, justru mendengar suara pintu yang terbuka pelan. Kutatap ke arah sumber suara, udah ada Jean yang malah berkacak pinggang. Aku bingung, istriku ini kenapa?“Katanya mau pulang?” tanyanya dengan mengerucutkan bibirnya. Ah, sungguh menggemaskan dia ini. Membuatku ingin mencubit bibirnya.“Berapa lama aku harus menunggumu menepati janji kali ini, mas?"Aku beranjak dari dudukku. Dan di sini lah aku sekarang, duduk dengan mengendarai mobil. Kami sedang melakukan perjalanan untuk pulang. Tetap berusaha menatap fokus ke arah jalanan, sesekali kulirik istriku yang hanya diam membisu.“Kamu kenapa, Jean? Semenjak pulang dari grand launching kok diem aja?”Pertanyaanku sama sekali tidak dijawab oleh Jean. Kulihat dia yang hanya melirik ke arahku sekilas dan kembali menatap ke arah luar jendela. Aku pun terdiam dan kembali memfokuskan diriku untuk mengemudikan mobil.Hingga aku
Kulihat tubuh istriku yang menegang saat melihat pria itu. Morgan, pria yang sudah lama tidak pernah kujumpai. “Je …,” panggilku yang membuat Jean langsung mengalihkan tatapannya ke arahku. “Ya?” sahutnya menanggapiku dengan keterkejutan yang disembunyikan.Aku tak membalas sahutan dari Jean karena bingung, situasi kali ini benar-benar membuatku merasa aneh. Jean masih menatap podium yang di sana berdiri Morgan, aku tak menyangka saja jika aku bisa bertemu dengan Morgan di saat seperti ini. Aku tak bisa membaca raut wajah yang ditunjukkan Jean saat menatap podium. Kurasakan dadaku yang sesak, apa aku tengah cemburu? Jelas iya aku cemburu. Bagaimana tidak? Istriku menatap sosok pria lain yang sedang berdiri di sana, bahkan dapat kulihat kedua mata Jean yang tidak berkedip sedikit pun. Sungguh, Jean seperti menancapkan ribuan jarum pentul di dalam hatiku. Aku menghela nafas seraya menyandarkan punggungku di kursi yang terasa k
Aku yang melihat Jean seperti itupun lantas langsung merengkuh tangannya, “Kita berangkat sekarang tuan putri!" Jelas sekali ingin menghindari percakapan yang mulai sensitif ini, lagian aku dan Jean sudah siap untuk berangkat sekarang. Alih-alih menerima sentuhan tanganku, Jean justru menampiknya dengan kasar.“Kalau dulu ucapanmu ini akan terdengar manis, entah kenapa sekarang justru memuakkan."Ucap Jean walaupun dengan nada lirih dan langsung melangkahkan kedua kakinya untuk pergi meninggalkanku. Aku menatap punggung Jean yang mulai menjauh, dulu Jean tak pernah bersikap kasar seperti ini. Membuatku meneguk saliva dengan kasar, dan mulai mengikuti langkah kaki Jean.Kami berdua menuju ke arah mobil yang sedang terparkir. Niat hati ingin membukakan pintu mobil agar Jean bisa masuk ke dalam, tapi belum juga gerakanku itu terlaksana Jean sudah terlebih dahulu mengangkat suaranya.“Aku bisa sendiri, Mas. Tidak perlu bersikap semanis ini.”