Share

Setitik Nila
Setitik Nila
Penulis: Kanietha

SN ~ 1

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-10 11:32:49

“Langsung saja,” ucap Deswita tanpa basa-basi. Suaranya tenang, dengan senyum kecil yang mengembang di sudut bibir. Namun, ada ketegasan dingin di balik sorot matanya saat menatap gadis yang duduk berseberangan dengannya saat ini. “Tolong tinggalkan Arif.”

Nila membeku di tempat duduknya. Berusaha memberi senyum dan tetap tegar, kendati ucapan ibu dari kekasihnya terasa seperti badai yang menyergap, di tengah keheningan sebuah kafe yang pagi ini tampak lengang.

“Tapi kenapa, Tante? Apa saya, selama ini—”

“Vanila.” Deswita memotong, masih dengan senyumnya. “Saya baru tahu tentang latar belakang keluargamu. Karena itu, saya yakin kamu bisa mengerti dengan permintaan saya barusan.”

“Tapi—”

“Ini semua demi kebaikan dan masa depan Arif.” Deswita kembali memotong ucapan gadis itu. “Coba bayangkan kalau kalian menikah dan nggak ada nama ayahmu tertulis di undangan? Ditambah, waktu ijab kabul nanti semua undangan pasti akan tahu kalau istri Arif dan satu-satunya menantu keluarga Adiningrat ternyata ... anak hasil ...”

Deswita berdehem dan sengaja tidak meneruskan ucapannya. Ia justru meraih gelas lemon tea-nya lalu menyesapnya perlahan. Namun, matanya tetap terpaku pada Nila, seolah menunggu gadis itu menyerah tanpa perlu berkata banyak.

“Tante, saya nggak bisa memilih untuk dilahirkan dari rahim siapa dan orang tua yang bagaimana.” Nila tertunduk. Berusaha mengontrol tremor yang sudah merayap di ujung jemari. Ia menggenggam erat tali tas di pangkuan, seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap tegar.

“Itu benar,” kata Deswita tetap tenang, tetapi penuh tekanan. Ia meletakkan gelasnya lebih dulu, baru melanjutkan ucapannya. “Kita memang nggak bisa memilih di mana kita dilahirkan. Tapi kita bisa memilih bagaimana kita menjalani hidup. Dan saya harap, kamu bisa memilih jalan yang nggak akan membawa masalah untuk hidup Arif ke depannya.”

Nila mengangkat pandangannya, menatap Deswita dengan mata yang mulai mengabur. “Apa salah saya, Tante?”

Deswita tersenyum kecil. “Nggak ada yang salah denganmu. Tapi, kebanyakan orang di luar sana hanya melihat dari siapa kita, dari mana kita berasal, dan apakah kita sesuai dengan standar mereka. Itu yang harus kamu mengerti.”

“Dan kenapa kita harus menuruti standar mereka?” Nila berusaha untuk tidak meninggikan intonasi bicaranya. Matanya berulang kali berkedip, agar tidak ada air mata yang tumpah membasahi pipi.

“Karena seperti itulah hidup,” jawab Deswita dengan mengangkat singkat kedua bahu. “Ada nama baik, reputasi, dan prinsip yang tetap harus dijaga dan dipertahankan demi kebaikan bersama. Khususnya demi kebaikan Arif ke depannya. Kamu pasti mengerti dengan omongan saya, kan?”

Nila menghela panjang. Mencoba meredam rasa sakit yang terus merongrong hati. Jemarinya mengepal di pangkuan, tetapi pandangannya tetap ia arahkan ke meja. Kembali mencerna semua perbincangan yang belum bisa ia terima.

“Mas Arif ... bagaimana dengan ... apa Tante juga sudah minta dia jauhin saya?” tanya Nila setelah kembali menghela.

“Kamu nggak perlu khawatir dengan Arif,” jawab Deswita. “Dia itu anak yang berbakti dan selalu menurut apa kata bundanya.”

“Oh ...” Nila mengangguk pelan, tetapi penuh keraguan. Ia sangsi, Arif benar-benar melepasnya begitu saja. Sebagian hatinya ingin percaya, tetapi sebagian lain tahu, cinta saja sering kali tidak cukup melawan tembok yang terlalu tinggi seperti ini.

“Sudah, jangan dipikirkan terlalu jauh,” Deswita menambahkan, suaranya terdengar ringan, tetapi tajam. “Saya yakin kamu cukup dewasa untuk memahami posisi ini. Semakin cepat kamu melepaskan, semakin baik untuk kalian berdua. Putus cinta itu biasa. Yang namanya luka, cepat atau lambat juga pasti akan sembuh dengan sendirinya.”

“Bagaimana ... kalau saya nggak mau melepaskan mas Arif?” tanya Nila ragu. Berharap semua ini hanyalah ujian semata, untuk membuktikan rasa cintanya pada Arif.

“Kamu yakin?” Satu sudut bibir Deswita tertarik kecil dengan ekspresi remeh. “Apa kamu pikir, Arif akan memilihmu daripada keluarganya?”

Nila terdiam. Kata-kata Deswita bagai pukulan yang telak, tetapi ia berusaha keras menahan ekspresinya agar tidak runtuh di depan wanita itu.

“Nila ada satu hal yang harus kamu pelajari di sini,” lanjut Deswita sembari bersandar dengan perlahan. “Carilah pasangan yang selevel denganmu supaya kalian bisa saling mendukung, bukan saling membebani.”

“Saya nggak pernah membebani mas Arif selama ini.” Nila membela diri. “Saya—"

“Bagaimana dengan nanti?” buru Deswita menyela. “Bagaimana kalau statusmu itu nantinya menjadi beban dan bulan-bulanan di tengah keluarga besar Adiningrat? Di lingkungan kerja Arif? Apa kamu nggak pernah memikirkan perasaan Arif ke depannya?”

Nila menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang bergemuruh di dadanya. “Tapi, mas Arif mencintai saya, Tante. Dan saya juga mencintai dia.”

Deswita tersenyum tipis. “Cinta?” Ia menghela kecil. “Vanila, cinta itu bukan jawaban untuk segalanya. Setelah menikah, cinta bisa terkikis oleh banyak hal, dan saat itu terjadi, yang tersisa hanyalah realita. Realita yang kamu sendiri belum tentu siap menghadapinya.”

“Tante—”

“Suatu saat kamu juga akan menjadi seorang ibu.” Deswita meraih tas yang sejak tadi berada di meja. Ia berdiri dengan elegan lalu berkata, “Dan saat itu tiba, kamu akan mengerti kenapa saya mengambil keputusan ini,” lanjutnya masih dengan suara lembut tetapi tegas. “Tugas seorang ibu bukan hanya mencintai, tapi juga memastikan anaknya nggak akan hancur oleh pilihan yang salah. Jadi, putuskan semua hubungan dengan Arif mulai detik ini.”

“Bagaimana kalau saya nggak mau?”

Lagi-lagi Deswita tersenyum tipis. “Maka saya sendiri yang akan menemui ibumu,” ucapnya tanpa ragu. “Dan ... pikirkan baik-baik perasaan ibumu kalau saya mengungkit masa lalunya yang kelam itu. Jadi, sebelum semuanya menjadi lebih rumit, saya harap kamu tahu apa yang harus dilakukan. Mengerti?”

Nila mengangguk pelan, tanpa bisa membantah. Semua hal yang menyangkut ibunya, akan selalu membuat perasaan Nila tidak menentu. “Mengerti ... Tante.”

“Oke! Kalau begitu saya pergi dulu,” pamit Deswita dengan senyum puas. “Senang bekerja sama denganmu Vanila Wicaksana. Dan ... jangan sampai saya harus datang ke rumah ibumu. Permisi.”

Nila menatap nanar pada punggung Deswita yang pergi menjauh. Langkahnya memang tidak lagi terdengar, tetapi kepergian itu meninggalkan beban yang tidak mampu Nila lepaskan.

Nila menarik napas panjang, berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Tangannya gemetar saat meraih ponsel dari tas. Ia menatap layar sejenak, lalu menekan nama yang selalu menemani hari-harinya selama dua tahun ini. 

“Halo, Mas,” ucapnya dengan suara yang terdengar serak. Tidak ada kehangatan atau intonasi manja seperti biasanya. “Kamu di mana? Aku... perlu bicara. Sekarang.”

~~~~~~~~~~~ 

Hula, Mba beb ...

Setelah bertegang ria dengan Anggun, sekarang kita beralih ke yang agak ringan dulu biar nggak stress 🫣🫣🤭🤭

Hepi riding ~~~~~

Komen (5)
goodnovel comment avatar
Iwan Susy 13
yang ditunggu akhirnya...
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
Aku hadir mba beb ......
goodnovel comment avatar
Aisha Arkana
Hadir ....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Setitik Nila   SN ~ 2

    “Sorry, aku baru bisa nemui kamu,” ucap Arif memasang senyum ketika duduk di hadapan Nila. “Sidang hari ini agak molor, jadi ada jadwal yang harus di reschedule dan padat merayap.”“Nggak masalah.” Nila tersenyum kecil pada pria itu.“Tapi, bukannya kamu libur, Yang?” tanya Arif sembari mengedarkan pandangan pada area lobi kantor Nila. Suasananya masih saja ramai, kendati jam normal operasional kerja sudah berakhir dua jam yang lalu.Namun, hal seperti itu tentunya tidak berlaku di perusahaan Nila, karena industri media memang tidak pernah benar-benar tidur.“Tadinya.” Nila mengangkat satu bahunya sekilas. Kemudian, ia menghela panjang tanpa ingin menjelaskan perihal pekerjaannya hari ini. “Aku mau bicara serius.”“Di sini?” tanya Arif kembali melihat ke sekeliling area lobi sejenak. “Kita bisa ke kafe sebelah at—”“Aku ketemu tante Deswita tadi pagi,” sela Nila lalu menarik napas dalam-dalam. Jantungnya mulai berdebar-debar tidak nyaman, karena mengingat pertemuannya dengan Deswita p

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-14
  • Setitik Nila   SN ~ 3

    “Dji, silakan ambil karyawan dari divisi lain, karena Nila tetap ada di produksi.” Hamid langsung melempar protes ketika masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi.“Nila sendiri yang mengajukan diri jadi sekred.” Djiwa yang berdiri di tengah ruang lantas menunjuk Nila yang terpaku di bibir pintu. “Daripada saya buka lowongan dan harus repot dengan ini itunya ...” Djiwa kembali menunjuk Nila. “Jadi saya terima dia dengan tangan terbuka,” ucapnya dengan merentangkan kedua tangan ke arah Nila. “Dji—”“Pak Hamid.” Djiwa mengangkat tangan kanannya pada pria itu. “Kita punya banyak reporter di Warta yang bisa di-rolling dan menggantikan satu dengan yang lain. Jadi, saya rasa nggak ada masalah kalau Nila mundur dari tim produksi. Dan Nena sudah saya suruh untuk lapor ke HRD.”Hamid berdecak. Menatap Nila yang masih terpaku di bibir pintu, lalu menggeleng. “La?”“Saya minta maaf, Pak.” Nila buru-buru mendekat pada Hamid. Semua yang terjadi saat ini, benar-benar di luar dugaannya. “Saya bukannya mau

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21
  • Setitik Nila   SN ~ 4

    Arif mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan tidak sabar. Saat akhirnya pintu itu dibuka oleh Deswita, Arif langsung melempar protesnya.“Bunda nemui Nila tadi pagi?” tanya Arif, suaranya bergetar menahan emosi. Napasnya sedikit terengah, mencoba meredam gejolak di dada sebelum melontarkan pertanyaan.Deswita mengangkat alis, menatap anaknya dengan sorot tenang. “Ah! Jadi dia sudah ngadu sama kamu,” jawabnya santai, seakan tidak terganggu oleh nada bicara Arif.Arif mendengus, frustasi. Ia mengepalkan kedua tangannya di depan sang bunda, jari-jarinya nyaris gemetar karena tekanan emosinya. “Harusnya Bunda bicara sama aku kalau nggak setuju dengan hubungan kami! Bukan sama Nila!” Suaranya makin meninggi di akhir kalimat, tanda ia tak bisa lagi menahan kekesalannya.“Jaga nada bicaramu, Rif!”Arif menatap ayahnya yang baru saja berdiri di samping Deswita. Menghela panjang, sembari mundur satu langkah. “Ayah tahu, kalau Bunda—”“Ayah tahu,” sela Ivan bersikap sama tenangnya dengan sang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-21
  • Setitik Nila   SN ~ 5

    “Pak Djiwa ada?” tanya Nila saat berhenti di sudut meja kerja Nena. Tatapannya tertuju sebentar pada ruang kaca yang sebagian besar di tutup oleh stiker buram, lalu beralih pada Nena.“Di ruangan pak Gavin,” jawab Nena menyebut nama CEO perusahaan yang baru menjabat satu bulan belakangan di Warta. Kemudian, ia menyodorkan sebuah buku catatan yang sudah disiapkan sebelumnya pada Nila. “Ini semua catatan yang harus kamu hapal tentang kebiasaan pak Djiwa.”“Catatan?” Nila mengerjap lalu segera mengambil buku dengan cover berwarna ungu polos tersebut.“Iya!” Nena mengangguk. Memangku wajah dengan kedua tangan dan menatap Nila. “Pastikan selalu ada air mineral di mejanya dan kamu nggak diperkenankan pakai baju kerja bebas selain seragam kantor. Dia nggak suka.”“Serius?” Nila membaca catatan yang ada di buku dengan seksama.Menghela sesekali, karena mengingat semua pembicaraan dengan ibunya tadi malam. Sementara pagi ini, mereka tidak banyak bicara karena Kirana sudah pergi ke toko pagi-pa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-23
  • Setitik Nila   SN ~ 6

    “Ingat, begitu rapat redaksi selesai, notulennya harus segera dikirim ke e-mail redaksi,” ujar Nena mengingatkan sekali lagi. “Surat masuk harus dicek, ditulis, dan dikonfirmasi secepatnya. Terus—”“Aman,” potong Nila mencoba menenangkan. Meskipun rutinitas barunya sangat padat, tetapi baginya semua ini cukup membosankan. Terbiasa bekerja di lapangan dan bertemu dengan berbagai macam orang, Nila akhirnya merasa jenuh ketika harus duduk di depan komputer dan hanya berada di kantor seharian. Walaupun begitu, ia tetap harus bertanggung jawab dengan semua keputusan yang diambilnya sekaligus mengalihkan pikirannya dari Arif. “Semua sudah aku catat, jadi kamu sudah bisa mikirin pernikahanmu dengan tenang.”Nena membuang napas panjang. “Sebenarnya aku stres karena BB-ku naik dua kilo. Aku takut kebayanya nggak muat.”“Masa’ sih?” Nila menghentikan kesibukannya sebentar. Mengalihkan pandangan dari surat yang baru dibukanya untuk melihat Nena dengan seksama. “Nggak kelihatan kalau naik dua kil

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-23
  • Setitik Nila   SN ~ 7

    “Masuk,” titah Djiwa sambil mengangguk ketika melihat Nila mengetuk pintu ruang kerjanya yang terbuka.“Ini undangan Nena, Pak,” ucap Nila semberi meletakkan undangan berdesain minimalis berwarna krem di atas meja Gavin. Kertas tebal dengan cetakan huruf emas itu terlihat sederhana, tetapi tetap memancarkan kesan elegan.“Terima kasih.” Djiwa melirik sekilas ke arah undangan tersebut, lalu kembali fokus pada layar monitornya. “Sebelum pulang, tolong panggil Elin dan Sigit ke ruangan saya.”“Baik, Pak,” ucap Nila tetapi masih berdiri di tempatnya. Hal tersebut membuat Djiwa menoleh dan menatap tanya.“Ada yang lain?”“Em ...” Nila mengangkat kedua bahunya sembari mengernyit. “Maaf, tapi ... karena Bapak atasan saya, jadi—”“To the point, La.”Nila menghela singkat. “Saya nggak nyaman dengan pak Gavin siang tadi,” ucapnya cepat tanpa jeda. “Dari cara dia melihat saya, terus pertanyaannya, sikapnya yang terlalu ‘memperhatikan’ saya. Bapak ngerasa nggak, sih, Pak?”Ocehan Nila tersebut ak

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 8

    Nila baru saja selesai mencuci piring, ketika dering ponselnya terdengar dari meja makan. Awalnya, ia mengira itu panggilan dari nomor asing. Kemungkinan nomor baru Arif, mengingat nomor lamanya sudah diblokir oleh Nila. Namun, saat matanya menangkap nama yang tertera di layar, jantungnya langsung berdebar kencang.Kendati ingin sekali mengabaikan, tetapi Nila tidak bisa melakukannya. Mau tidak mau, ia akhirnya menerima panggilan tersebut dengan sapaan ramah.“Pagi, Pak Gavin,” sapa Nila dengan nada formal.“Pagi. Benar saya bicara dengan Nila? Vanila Wicaksana?”“Betul, Pak.” Nila menahan napas. “Apa ada yang bisa saya bantu?”“Kamu ada acara hari ini?”Nila meringis, mengumpat dalam hati. Merasa geli sendiri dan mulai berpikiran negatif.“Nila, kamu masih di sana?”“Ah, iya, Pak, maaf.” Nila menggeleng cepat untuk mengenyahkan pikiran buruk di kepala. Namun, ia tidak bisa. “Tadi Bapak tanya apa?”“Bisa kita ketemu nanti siang? Jam 12, makan siang?”Nila menghela pelan. Pria itu seol

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 9

    Djiwa mengerut dahi ketika baru menutup pintu mobil dan menguncinya dari luar. Ia berjalan perlahan menuju restoran, lalu berhenti sejenak di balik pilar untuk mendengarkan ketegangan yang ia lihat sejak memarkirkan mobil. Dalam artian, Djiwa sedang menguping pembicaraan yang terjadi antara Nila dan ketiga orang lainnya.Sedikitnya, Djiwa mulai mengerti di mana letak perdebatan tersebut dan agak terkejut ketika mendengarnya. Lantas, ketika intensitas ketegangan terdengar semakin panas, Djiwa beranjak melewati keempat orang itu sembari berujar, “Nila! Ikut saya masuk ke dalam, sekarang!”Antara kaget, bingung, lega, dan tidak percaya dengan sosok pria yang baru saja berjalan melewatinya. Pria itu hanya melirik, tanpa mau repot-repot berhenti dan menyampaikan maksudnya dengan semestinya.“Maaf, saya permisi,” pamit Nila terburu. Kendati masih berada dalam ketegangan, tetapi ia tetap memberi anggukan sopan sebelum berbalik pergi meninggalkan keluarga Adiningrat.Nila mempercepat langkahn

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07

Bab terbaru

  • Setitik Nila   SN ~ 11

    “Nila, bangun.” Sudah tiga kali Djiwa memanggil nama gadis itu, tetapi Nila tidak juga kunjung bergerak sedikit pun. Gadis itu masih terlelap, meskipun posisi tidurnya terlihat jauh dari kata nyaman. “Nila.”Karena tidak kunjung bangun dengan teguran, maka Djiwa menepuk-nepuk bahu Nila. “La, bangun, La. Kita sudah sampai.”Nila menggumam pelan. Kelopak matanya mulai bergerak sebelum akhirnya terbuka perlahan. Wajahnya yang sedikit bingung menoleh ke arah Djiwa, seolah mencoba mengingat di mana ia berada. “Sampai?” tanyanya dengan suara serak.“Iya, sudah sampai,” jawab Djiwa sambil menunjuk ke luar jendela mobil. “Tower A1.”Melihat tulisan Tower A1 yang berdiri tegak di atas pelataran lobi apartemen, Nila pun melepas sabuk pengaman lalu menegakkan tubuh dengan perlahan. Menguap sebentar sembari menutup mulut dan terdiam, menghela panjang.“Makasih, ya, Pak,” ucap Nila sambil menegakkan sandaran jok. “Saya jadi nggak enak sama pak Gavin.”“Kamu bisa telpon sugar daddy-mu itu kalau ngg

  • Setitik Nila   SN ~ 10

    “Arif! Berdiri!” desis Deswita dengan suara pelan dan tajam. Ia meraih lengan putranya dan mencoba mengangkat tubuh Arif tetapi gagal. “Jangan bikin malu nama keluarga!”“La?” Arif meraih tangan Nila dan menggenggamnya. Ia tidak peduli dengan ucapan Deswita, pun dengan tatapan orang lain padanya. Hatinya sudah jatuh terlalu dalam pada Nila dan tidak ada seorang pun yang dapat mengubahnya. “Ini bukti kalau aku nggak main-main.”“Nila.” Ivan mencoba menengahi sembari meredam emosi. “Jangan mengambil langkah yang salah.”Seketika itu juga, Nila tersadar dengan posisinya. Untuk beberapa saat, Nila sempat luluh dengan apa yang dilakukan Arif. Namun, ucapan Ivan barusan menyadarkan jika semua ini hanya akan berujung sia-sia.“Mas...” Nila menggeleng pelan. Suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Menarik cepat tangannya dari genggaman Arif, karena takut akan berubah. “Maaf, aku nggak bisa.”Nila mundur dan menjaga jarak. Melihat ke sekeliling dan kembali menggeleng, kali ini lebih tegas. Nil

  • Setitik Nila   SN ~ 9

    Djiwa mengerut dahi ketika baru menutup pintu mobil dan menguncinya dari luar. Ia berjalan perlahan menuju restoran, lalu berhenti sejenak di balik pilar untuk mendengarkan ketegangan yang ia lihat sejak memarkirkan mobil. Dalam artian, Djiwa sedang menguping pembicaraan yang terjadi antara Nila dan ketiga orang lainnya.Sedikitnya, Djiwa mulai mengerti di mana letak perdebatan tersebut dan agak terkejut ketika mendengarnya. Lantas, ketika intensitas ketegangan terdengar semakin panas, Djiwa beranjak melewati keempat orang itu sembari berujar, “Nila! Ikut saya masuk ke dalam, sekarang!”Antara kaget, bingung, lega, dan tidak percaya dengan sosok pria yang baru saja berjalan melewatinya. Pria itu hanya melirik, tanpa mau repot-repot berhenti dan menyampaikan maksudnya dengan semestinya.“Maaf, saya permisi,” pamit Nila terburu. Kendati masih berada dalam ketegangan, tetapi ia tetap memberi anggukan sopan sebelum berbalik pergi meninggalkan keluarga Adiningrat.Nila mempercepat langkahn

  • Setitik Nila   SN ~ 8

    Nila baru saja selesai mencuci piring, ketika dering ponselnya terdengar dari meja makan. Awalnya, ia mengira itu panggilan dari nomor asing. Kemungkinan nomor baru Arif, mengingat nomor lamanya sudah diblokir oleh Nila. Namun, saat matanya menangkap nama yang tertera di layar, jantungnya langsung berdebar kencang.Kendati ingin sekali mengabaikan, tetapi Nila tidak bisa melakukannya. Mau tidak mau, ia akhirnya menerima panggilan tersebut dengan sapaan ramah.“Pagi, Pak Gavin,” sapa Nila dengan nada formal.“Pagi. Benar saya bicara dengan Nila? Vanila Wicaksana?”“Betul, Pak.” Nila menahan napas. “Apa ada yang bisa saya bantu?”“Kamu ada acara hari ini?”Nila meringis, mengumpat dalam hati. Merasa geli sendiri dan mulai berpikiran negatif.“Nila, kamu masih di sana?”“Ah, iya, Pak, maaf.” Nila menggeleng cepat untuk mengenyahkan pikiran buruk di kepala. Namun, ia tidak bisa. “Tadi Bapak tanya apa?”“Bisa kita ketemu nanti siang? Jam 12, makan siang?”Nila menghela pelan. Pria itu seol

  • Setitik Nila   SN ~ 7

    “Masuk,” titah Djiwa sambil mengangguk ketika melihat Nila mengetuk pintu ruang kerjanya yang terbuka.“Ini undangan Nena, Pak,” ucap Nila semberi meletakkan undangan berdesain minimalis berwarna krem di atas meja Gavin. Kertas tebal dengan cetakan huruf emas itu terlihat sederhana, tetapi tetap memancarkan kesan elegan.“Terima kasih.” Djiwa melirik sekilas ke arah undangan tersebut, lalu kembali fokus pada layar monitornya. “Sebelum pulang, tolong panggil Elin dan Sigit ke ruangan saya.”“Baik, Pak,” ucap Nila tetapi masih berdiri di tempatnya. Hal tersebut membuat Djiwa menoleh dan menatap tanya.“Ada yang lain?”“Em ...” Nila mengangkat kedua bahunya sembari mengernyit. “Maaf, tapi ... karena Bapak atasan saya, jadi—”“To the point, La.”Nila menghela singkat. “Saya nggak nyaman dengan pak Gavin siang tadi,” ucapnya cepat tanpa jeda. “Dari cara dia melihat saya, terus pertanyaannya, sikapnya yang terlalu ‘memperhatikan’ saya. Bapak ngerasa nggak, sih, Pak?”Ocehan Nila tersebut ak

  • Setitik Nila   SN ~ 6

    “Ingat, begitu rapat redaksi selesai, notulennya harus segera dikirim ke e-mail redaksi,” ujar Nena mengingatkan sekali lagi. “Surat masuk harus dicek, ditulis, dan dikonfirmasi secepatnya. Terus—”“Aman,” potong Nila mencoba menenangkan. Meskipun rutinitas barunya sangat padat, tetapi baginya semua ini cukup membosankan. Terbiasa bekerja di lapangan dan bertemu dengan berbagai macam orang, Nila akhirnya merasa jenuh ketika harus duduk di depan komputer dan hanya berada di kantor seharian. Walaupun begitu, ia tetap harus bertanggung jawab dengan semua keputusan yang diambilnya sekaligus mengalihkan pikirannya dari Arif. “Semua sudah aku catat, jadi kamu sudah bisa mikirin pernikahanmu dengan tenang.”Nena membuang napas panjang. “Sebenarnya aku stres karena BB-ku naik dua kilo. Aku takut kebayanya nggak muat.”“Masa’ sih?” Nila menghentikan kesibukannya sebentar. Mengalihkan pandangan dari surat yang baru dibukanya untuk melihat Nena dengan seksama. “Nggak kelihatan kalau naik dua kil

  • Setitik Nila   SN ~ 5

    “Pak Djiwa ada?” tanya Nila saat berhenti di sudut meja kerja Nena. Tatapannya tertuju sebentar pada ruang kaca yang sebagian besar di tutup oleh stiker buram, lalu beralih pada Nena.“Di ruangan pak Gavin,” jawab Nena menyebut nama CEO perusahaan yang baru menjabat satu bulan belakangan di Warta. Kemudian, ia menyodorkan sebuah buku catatan yang sudah disiapkan sebelumnya pada Nila. “Ini semua catatan yang harus kamu hapal tentang kebiasaan pak Djiwa.”“Catatan?” Nila mengerjap lalu segera mengambil buku dengan cover berwarna ungu polos tersebut.“Iya!” Nena mengangguk. Memangku wajah dengan kedua tangan dan menatap Nila. “Pastikan selalu ada air mineral di mejanya dan kamu nggak diperkenankan pakai baju kerja bebas selain seragam kantor. Dia nggak suka.”“Serius?” Nila membaca catatan yang ada di buku dengan seksama.Menghela sesekali, karena mengingat semua pembicaraan dengan ibunya tadi malam. Sementara pagi ini, mereka tidak banyak bicara karena Kirana sudah pergi ke toko pagi-pa

  • Setitik Nila   SN ~ 4

    Arif mengetuk pintu kamar orang tuanya dengan tidak sabar. Saat akhirnya pintu itu dibuka oleh Deswita, Arif langsung melempar protesnya.“Bunda nemui Nila tadi pagi?” tanya Arif, suaranya bergetar menahan emosi. Napasnya sedikit terengah, mencoba meredam gejolak di dada sebelum melontarkan pertanyaan.Deswita mengangkat alis, menatap anaknya dengan sorot tenang. “Ah! Jadi dia sudah ngadu sama kamu,” jawabnya santai, seakan tidak terganggu oleh nada bicara Arif.Arif mendengus, frustasi. Ia mengepalkan kedua tangannya di depan sang bunda, jari-jarinya nyaris gemetar karena tekanan emosinya. “Harusnya Bunda bicara sama aku kalau nggak setuju dengan hubungan kami! Bukan sama Nila!” Suaranya makin meninggi di akhir kalimat, tanda ia tak bisa lagi menahan kekesalannya.“Jaga nada bicaramu, Rif!”Arif menatap ayahnya yang baru saja berdiri di samping Deswita. Menghela panjang, sembari mundur satu langkah. “Ayah tahu, kalau Bunda—”“Ayah tahu,” sela Ivan bersikap sama tenangnya dengan sang

  • Setitik Nila   SN ~ 3

    “Dji, silakan ambil karyawan dari divisi lain, karena Nila tetap ada di produksi.” Hamid langsung melempar protes ketika masuk ke ruangan Pemimpin Redaksi.“Nila sendiri yang mengajukan diri jadi sekred.” Djiwa yang berdiri di tengah ruang lantas menunjuk Nila yang terpaku di bibir pintu. “Daripada saya buka lowongan dan harus repot dengan ini itunya ...” Djiwa kembali menunjuk Nila. “Jadi saya terima dia dengan tangan terbuka,” ucapnya dengan merentangkan kedua tangan ke arah Nila. “Dji—”“Pak Hamid.” Djiwa mengangkat tangan kanannya pada pria itu. “Kita punya banyak reporter di Warta yang bisa di-rolling dan menggantikan satu dengan yang lain. Jadi, saya rasa nggak ada masalah kalau Nila mundur dari tim produksi. Dan Nena sudah saya suruh untuk lapor ke HRD.”Hamid berdecak. Menatap Nila yang masih terpaku di bibir pintu, lalu menggeleng. “La?”“Saya minta maaf, Pak.” Nila buru-buru mendekat pada Hamid. Semua yang terjadi saat ini, benar-benar di luar dugaannya. “Saya bukannya mau

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status