Share

SN ~ 6

Penulis: Kanietha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-23 14:48:44

“Ingat, begitu rapat redaksi selesai, notulennya harus segera dikirim ke e-mail redaksi,” ujar Nena mengingatkan sekali lagi. “Surat masuk harus dicek, ditulis, dan dikonfirmasi secepatnya. Terus—”

“Aman,” potong Nila mencoba menenangkan. Meskipun rutinitas barunya sangat padat, tetapi baginya semua ini cukup membosankan. Terbiasa bekerja di lapangan dan bertemu dengan berbagai macam orang, Nila akhirnya merasa jenuh ketika harus duduk di depan komputer dan hanya berada di kantor seharian. Walaupun begitu, ia tetap harus bertanggung jawab dengan semua keputusan yang diambilnya sekaligus mengalihkan pikirannya dari Arif. “Semua sudah aku catat, jadi kamu sudah bisa mikirin pernikahanmu dengan tenang.”

Nena membuang napas panjang. “Sebenarnya aku stres karena BB-ku naik dua kilo. Aku takut kebayanya nggak muat.”

“Masa’ sih?” Nila menghentikan kesibukannya sebentar. Mengalihkan pandangan dari surat yang baru dibukanya untuk melihat Nena dengan seksama. “Nggak kelihatan kalau naik dua kilo.”

“Bajuku rada sesak,” ujar Nena meyakinkan sambil menunduk dan mencubit-cubit perutnya. “Tiap hari aku ngemil, terus makan malam. Orang rumah pada tidur, aku malah duduk di dapur.”

Nila terkekeh pelan dengan gelengan. “Diet, Na, biar kebayanya muat.”

“Nggak—”

“Saya minta daftar rolling anak magang untuk bulan depan.” Djiwa keluar dari ruangannya dan berhenti di sisi meja sekretaris. “E-mail dalam setengah jam,” ucapnya lalu mengulurkan tangan pada Nena. “Karena saya mau pergi dan ada di luar sampai malam, jadi, saya mau mengucapkan terima kasih atas kerjasamanya selama ini.”

Nena buru-buru berdiri dan menyambut uluran tangan Djiwa dengan penuh rasa hormat. “Saya juga mau berterima kasih atas semuanya, Pak. Terima kasih banyak.”

“Sama-sama,” balas Djiwa setelah uraian tangan mereka terlepas. “Jangan lupa undangannya.”

Nena tersenyum lebar. “Siap, Pak!”

Nila hanya diam sebagai pendengar. Menatap punggung tegap Djiwa yang pergi menjauh dan menghilang saat pria itu berbelok menuju koridor lift.

“Pak Djiwa mau ke mana, La?” Nena menepuk keras bahu Nila ketika duduk kembali di samping gadis itu.

“Ha? Apa?” Nila segera menoleh. Menatap tanya dengan mengerutkan dahi.

“Pak Djiwa mau ke mana?” ulangnya sekali lagi.

“Mana aku tahu.”

“Ya, harus tahu, Nilaaa.” Nena melotot pada rekan kerjanya. “Selama masih jam kantor, kamu harus tahu dia pergi ke mana dan apa agendanya supaya kalau ditanya petinggi yang lain kamu nggak plonga plongo.”

“Astaga!” Nila menepuk keras dahinya sambil berdiri dan bersiap menyusul Djiwa. “Matì aku!”

~~~~~~~~~~~

“Nila! Ikut saya ke ruangan pak Gavin,” titah Djiwa saat keluar dari ruang kerjanya.

“Kenapa saya harus—”

Don’t ask!”

Nila segera melipat bibir. Men-sleep monitornya lalu bergegas beranjak menyusul pria itu. Ia berlari kecil, hingga akhirnya bisa menyamakan langkahnya dengan Djiwa.

“Undangannya Nena baru datang, Pak,” ujar Nila memberi tahu.

Dua minggu lebih menjadi sekretaris redaksi, Nila belum juga bisa memahami pribadi atasannya. Djiwa hanya bicara perihal pekerjaan dan jarang menunjukkan ekspresi, bahkan saat ada hal yang berjalan tidak sesuai rencana. Di balik sikap tenangnya itu, Nila merasa ada tembok tinggi yang sulit ia tembus. Tidak seperti Hamid, yang selalu bersikap terbuka dan santai pada karyawannya.

“Taruh saja di meja saya,” balas Djiwa berhenti di depan lift dan menekan tombol di samping pintunya.

Djiwa melirik pada Nila yang sedang mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. Melihat wanita itu menolak panggilan dari nomor yang tidak dikenal.

Silent hapemu,” titah Djiwa sembari melangkah memasuki lift. “Pak Gavin nggak suka pertemuannya di sela dengan suara hape.”

“Saya lebih suka pak Budiman yang jadi dirut daripada pak Gavin.”

“Serius, La?” Djiwa kembali menekan tombol di samping pintu setelah Nila berada di dalam lift. “Kamu ngajak saya bergosip?”

Nila segera menggeleng kuat. Sedikit gelagapan karena ia tidak punya maksud seperti itu. “Maaf, Pak. Saya cuma mengeluarkan pendapat. Bukan ngajak gosip.”

“Dimaafkan.” Djiwa berjalan lebih dulu ketika pintu lift sudah terbuka. Mereka hanya naik satu lantai, jadi, tidak terlalu lama berada di dalam lift. “Temui Olivia dan tanya tugasmu sama dia.”

“Baik, Pak.”

Nila berhenti di sisi meja sekretaris perusahaan, sementara Djiwa segera memasuki ruang direktur utama.

“Mbak—”

“Ayo ke ruang rapat,” ajak Olivia sembari beranjak dari kursinya. “Pak Budiman sama pak Darwin mau ke sini jam 11.”

“Kenapa mendadak?” tanya Nila menyamakan langkah dengan Olivia. “Apa ada masalah?”

“Nggak, mereka cuma ‘berkunjung’ sebelum balik ke Bali.” Olivia membuka pintu ruang rapat dan mempersilakan Nila masuk lebih dulu. “Gimana kerja sama mas duda? Enak?”

“Hadeeh, Mbak!” Nila memutar bola matanya sembari melewati Olivia. “Kayak kamu nggak kerja sama duda aja.”

Olivia tertawa sembari menutup pintu ruang rapat. Sambil berjalan menuju proyektor yang berada di tengah ruang, ia menyanggah. “Dudanya bedalah, La.”

“Di mana bedanya?” tanya Nila menghampiri sebuah meja yang sudah berisi sebuah laptop.

“Aku punya suami dan dua buntut.” Olivia menoleh sebentar pada Nila lalu mengerling jahil. “Kamu jomlo dan mas Djiwa duda.”

“Ahh ... berita aku putus sama mas Arif sudah tersebar sampai lantai atas.” Nila menyimpulkan demikian dan enggan membahas perihal Djiwa lebih lanjut.

“Jangan salah, bahkan dinding di Warta punya telinga dan bisa bicara,” sahut Olivia berbalik menghampiri Nila setelah memastikan proyektornya sudah menyala dan siap digunakan.

“Aku ta—” Nila segera berdiri ketika pintu ruang rapat terbuka dan Djiwa berdiri di sana menahan pintunya. Pria itu mempersilakan Gavin masuk, disusul dengan Hamid di belakangnya.

“Hubungi yang lain, Liv,” pinta Djiwa memasuki ruang rapat tanpa menutup pintu. “Minta segera ke ruang rapat.”

“Oke, Mas.” Olivia pamit keluar ruangan sembari mengeluarkan ponsel dari saku blazernya.

“Siang, Pak,” sapa Nila menghampiri Gavin lalu mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri. Ia jelas mengenal Gavin, tetapi pria paruh baya itu belum tentu mengenalnya. “Saya Nila, Vanila Wicaksana, sekred barunya pak Djiwa.”

Gavin menatap Nila dari kepala hingga kaki. Pandangannya sarat dengan penilaian. Ia diam sejenak, lalu menerima uluran tangan gadis itu dengan gerakan lambat, tidak menyiratkan emosi apa pun. Namun, ada sesuatu yang membuatnya penasaran.

“Boleh saya tahu, kenapa orang tuamu memberimu nama Vanila?” tanya Gavin setelah menjabat tangan gadis itu.

“Aa ...” Nila menatap Djiwa dan Hamid bergantian, karena mendapat pertanyaan yang tidak biasa. “Itu ... saya nggak pernah tanya masalah itu, Pak. Maaf.”

Gavin mengangguk dan tersenyum kecil. “Dan berapa usiamu?”

“Dua ... enam.” Entah mengapa, Nila mulai merasa tidak nyaman atas pertanyaan Gavin dan tatapan resahnya reflek tertuju pada Djiwa. “Saya—”

“Di mana tabletmu?” tegur Djiwa memotong ucapan Nila.

“Aaa, itu, ada di bawah, Pak.”

“Ambil,” titah Djiwa. “Sekarang juga.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (8)
goodnovel comment avatar
Maimai
jangan jangan nila anak pa gavin
goodnovel comment avatar
Syifa azzahra Azza
aku kaya familiar sama kel Wicaksana tapi lupa jadi penasaran
goodnovel comment avatar
ciproet
oalah mas duda kuuyy
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Setitik Nila   SN ~ 7

    “Masuk,” titah Djiwa sambil mengangguk ketika melihat Nila mengetuk pintu ruang kerjanya yang terbuka.“Ini undangan Nena, Pak,” ucap Nila semberi meletakkan undangan berdesain minimalis berwarna krem di atas meja Gavin. Kertas tebal dengan cetakan huruf emas itu terlihat sederhana, tetapi tetap memancarkan kesan elegan.“Terima kasih.” Djiwa melirik sekilas ke arah undangan tersebut, lalu kembali fokus pada layar monitornya. “Sebelum pulang, tolong panggil Elin dan Sigit ke ruangan saya.”“Baik, Pak,” ucap Nila tetapi masih berdiri di tempatnya. Hal tersebut membuat Djiwa menoleh dan menatap tanya.“Ada yang lain?”“Em ...” Nila mengangkat kedua bahunya sembari mengernyit. “Maaf, tapi ... karena Bapak atasan saya, jadi—”“To the point, La.”Nila menghela singkat. “Saya nggak nyaman dengan pak Gavin siang tadi,” ucapnya cepat tanpa jeda. “Dari cara dia melihat saya, terus pertanyaannya, sikapnya yang terlalu ‘memperhatikan’ saya. Bapak ngerasa nggak, sih, Pak?”Ocehan Nila tersebut ak

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 8

    Nila baru saja selesai mencuci piring, ketika dering ponselnya terdengar dari meja makan. Awalnya, ia mengira itu panggilan dari nomor asing. Kemungkinan nomor baru Arif, mengingat nomor lamanya sudah diblokir oleh Nila. Namun, saat matanya menangkap nama yang tertera di layar, jantungnya langsung berdebar kencang.Kendati ingin sekali mengabaikan, tetapi Nila tidak bisa melakukannya. Mau tidak mau, ia akhirnya menerima panggilan tersebut dengan sapaan ramah.“Pagi, Pak Gavin,” sapa Nila dengan nada formal.“Pagi. Benar saya bicara dengan Nila? Vanila Wicaksana?”“Betul, Pak.” Nila menahan napas. “Apa ada yang bisa saya bantu?”“Kamu ada acara hari ini?”Nila meringis, mengumpat dalam hati. Merasa geli sendiri dan mulai berpikiran negatif.“Nila, kamu masih di sana?”“Ah, iya, Pak, maaf.” Nila menggeleng cepat untuk mengenyahkan pikiran buruk di kepala. Namun, ia tidak bisa. “Tadi Bapak tanya apa?”“Bisa kita ketemu nanti siang? Jam 12, makan siang?”Nila menghela pelan. Pria itu seol

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 9

    Djiwa mengerut dahi ketika baru menutup pintu mobil dan menguncinya dari luar. Ia berjalan perlahan menuju restoran, lalu berhenti sejenak di balik pilar untuk mendengarkan ketegangan yang ia lihat sejak memarkirkan mobil. Dalam artian, Djiwa sedang menguping pembicaraan yang terjadi antara Nila dan ketiga orang lainnya.Sedikitnya, Djiwa mulai mengerti di mana letak perdebatan tersebut dan agak terkejut ketika mendengarnya. Lantas, ketika intensitas ketegangan terdengar semakin panas, Djiwa beranjak melewati keempat orang itu sembari berujar, “Nila! Ikut saya masuk ke dalam, sekarang!”Antara kaget, bingung, lega, dan tidak percaya dengan sosok pria yang baru saja berjalan melewatinya. Pria itu hanya melirik, tanpa mau repot-repot berhenti dan menyampaikan maksudnya dengan semestinya.“Maaf, saya permisi,” pamit Nila terburu. Kendati masih berada dalam ketegangan, tetapi ia tetap memberi anggukan sopan sebelum berbalik pergi meninggalkan keluarga Adiningrat.Nila mempercepat langkahn

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 10

    “Arif! Berdiri!” desis Deswita dengan suara pelan dan tajam. Ia meraih lengan putranya dan mencoba mengangkat tubuh Arif tetapi gagal. “Jangan bikin malu nama keluarga!”“La?” Arif meraih tangan Nila dan menggenggamnya. Ia tidak peduli dengan ucapan Deswita, pun dengan tatapan orang lain padanya. Hatinya sudah jatuh terlalu dalam pada Nila dan tidak ada seorang pun yang dapat mengubahnya. “Ini bukti kalau aku nggak main-main.”“Nila.” Ivan mencoba menengahi sembari meredam emosi. “Jangan mengambil langkah yang salah.”Seketika itu juga, Nila tersadar dengan posisinya. Untuk beberapa saat, Nila sempat luluh dengan apa yang dilakukan Arif. Namun, ucapan Ivan barusan menyadarkan jika semua ini hanya akan berujung sia-sia.“Mas...” Nila menggeleng pelan. Suaranya lirih, hampir tidak terdengar. Menarik cepat tangannya dari genggaman Arif, karena takut akan berubah. “Maaf, aku nggak bisa.”Nila mundur dan menjaga jarak. Melihat ke sekeliling dan kembali menggeleng, kali ini lebih tegas. Nil

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Setitik Nila   SN ~ 11

    “Nila, bangun.” Sudah tiga kali Djiwa memanggil nama gadis itu, tetapi Nila tidak juga kunjung bergerak sedikit pun. Gadis itu masih terlelap, meskipun posisi tidurnya terlihat jauh dari kata nyaman. “Nila.”Karena tidak kunjung bangun dengan teguran, maka Djiwa menepuk-nepuk bahu Nila. “La, bangun, La. Kita sudah sampai.”Nila menggumam pelan. Kelopak matanya mulai bergerak sebelum akhirnya terbuka perlahan. Wajahnya yang sedikit bingung menoleh ke arah Djiwa, seolah mencoba mengingat di mana ia berada. “Sampai?” tanyanya dengan suara serak.“Iya, sudah sampai,” jawab Djiwa sambil menunjuk ke luar jendela mobil. “Tower A1.”Melihat tulisan Tower A1 yang berdiri tegak di atas pelataran lobi apartemen, Nila pun melepas sabuk pengaman lalu menegakkan tubuh dengan perlahan. Menguap sebentar sembari menutup mulut dan terdiam, menghela panjang.“Makasih, ya, Pak,” ucap Nila sambil menegakkan sandaran jok. “Saya jadi nggak enak sama pak Gavin.”“Kamu bisa telpon sugar daddy-mu itu kalau ngg

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-11
  • Setitik Nila   SN ~ 12

    “Pagi, Pak Gavin,” sapa Djiwa saat melihat pria itu berdiri di depan lift bersama seorang gadis.“Pagi, Dji,” balas Gavin lalu sedikit melangkah mundur. “Kenalkan, ini putri saya, Kamila. Dia magang di sini untuk tiga bulan ke depan, di bagian keuangan.”Kamila tersenyum ramah dan lebih dulu mengulurkan tangan pada Djiwa dengan percaya diri. “Kamila Nadeem. Panggil aja Mila.”“Djiwa,” balasnya sambil menjabat Kamila dengan formal dan tidak berniat bertanya lebih. Ia sudah tahu Kamila adalah putri Gavin, tetapi ini kali pertama Djiwa bertemu dengan gadis itu secara langsung.“Nila baik-baik aja kemarin?” tanya Gavin bersamaan dengan pintu lift yang terbuka.Djiwa menarik napas panjang. Mempersilakan Gavin dan putrinya masuk ke lift lebih dulu. “Baik.”“Waktu saya keluar restoran, kalian berdua sudah nggak ada,” ucap Gavin lagi. “Kalian pergi berdua?” selidiknya.“Saya antar dia pulang, karena khawatir dia kenapa-napa di jalan dengan kondisi seperti itu.”Gavin mengangguk pelan. Bisa me

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-11
  • Setitik Nila   SN ~ 13

    “Maaf, kalau waktunya kurang tepat, tapi bisa kita bicara sebentar.”Kirana membuang napas pelan, mencoba mengatur debaran jantung yang terasa sangat menyakitkan. Bukan secara fisik, tetapi lebih pada emosi yang menghantamnya secara tiba-tiba. Perasaan sesak itu mulai menggerogoti dan menghimpit menekan dada.“Kirana?”“Bu.” Yani menyentuh lengan Kirana. Menyadarkan wanita itu dari lamunan dan keterdiamannya. “Ibu nggak papa?”Kirana menoleh, menatap Yani dengan emosi yang sulit dijelaskan. Napasnya pelan, seolah tengah berusaha mengendalikan sesuatu yang hampir saja meledak. Kirana harus mengendalikan diri, agar tidak menunjukkan betapa rapuhnya ia saat ini.“Nggak papa,” ucap Kirana pada akhirnya. “Tolong tinggalkan kami sebentar, Yan.”Meskipun masih dilanda kebingungan, tetapi Yani tidak membantah. Ia berbalik pergi dan memilih berada di balkon kecil di samping dapur sambil membawa camilannya.“Tetap di situ dan jangan masuk,” pinta Kirana menguatkan diri. “Nggak ada hal penting y

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12
  • Setitik Nila   SN ~ 14

    “Mau apa kamu?” Djiwa hampir saja bertabrakan dengan Nila, ketika ia terburu keluar ruangan. Gadis itu sepertinya berencana menemui Djiwa, sehingga mereka bertemu tepat di bibir pintu.“Pak Gavin minta ketemu di White Cafe,” jawab Nila cepat.“Tinggal datang dan temui.” Djiwa bergeser, lalu melangkah tergesa meninggalkan gadis itu.Nila mencebik. Segera berbalik dan menyusul Djiwa yang berjalan ke arah koridor lift. “Bapak mau ke mana? Bukannya baru datang?”“Laptop saya tertinggal di mobil.” Djiwa berdiri di depan lift yang kebetulan langsung terbuka. Ia membiarkan karyawan lain keluar lebih dulu, barulah ia masuk dan menekan tombol menuju lantai lobi.Nila buru-buru masuk dan berdiri menghadap Djiwa. “Kenapa, ya, Pak Gavin—”“Nila, tolong jangan lagi membahas masalah pribadimu dengan saya,” potong Djiwa tegas. “Mulai sekarang, yang kita bahas hanya masalah pekerjaan. Mengerti?”“Maaf.” Nila menunduk dan mundur dengan wajah yang mulai memanas. Terdiam dan menunggu sampai lift berhent

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-12

Bab terbaru

  • Setitik Nila   Bonchap~5

    Arif terpaku ketika melihat wanita yang duduk tenang di lobi. Tatapan mereka bersirobok dan Arif tahu ia tidak lagi bisa menghindar. Pagi ini juga, ia akan bicara empat mata dengan Deswita.“Mas Arif!”Langkah Arif semakin tertahan, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Terlebih, ketika pemilik suara tersebut sudah berada di hadapannya.“Aku mau tanya, cowok yang kemarin di depan lift itu siapa?” Mila bertanya dengan terburu, penuh rasa penasaran.Mila memang sudah tahu nama dan identitas pria itu, tetapi yang belum terjawab adalah hubungannya dengan Arif.“Itu juga yang mau aku tanyakan,” kata Arif pada Mila yang tampak sedikit ngos-ngosan. “Tapi nanti. Karena aku ada urusan yang lebih penting.”“Sekarang.” Mila langsung mencekal lengan Arif sebelum pria itu sempat melangkah pergi. Tatapannya tajam dan menuntut. “Aku cuma mau tahu, dia ada hubungan apa sama kamu?”“Firman.” Arif menghela napas, menatap wanita yang masih duduk di tempatnya sejenak, lalu kembali mengalihkan pandanga

  • Setitik Nila   Bonchap~4

    Pada akhirnya, Mila harus menjalankan perusahaan barunya tanpa kehadiran Nila. Ia pun terpaksa mencari seorang karyawan baru, yang ditugaskan sebagai admin yang serba bisa. Selain itu, Mila juga merekrut satu staf tambahan, untuk menjaga kebersihan kantor dan bisa melakukan berbagai hal lainnya.Intinya, Mila tidak mau rugi. Setiap karyawan yang ia rekrut, harus bisa melakuan beberapa hal sekaligus.Untuk sementara, perusahaan kecilnya hanya berjalan dengan dua karyawan. Mila memilih untuk mengikuti saran Gavin, fokus pada perkembangan bisnisnya terlebih dahulu sebelum merekrut lebih banyak tenaga kerja.“Konten buat tiga hari ke depan sudah siap, Bu,” lapor Janice sambil menyembulkan kepala di ruangan Mila. “Bisa dicek dulu. Kalau oke, tinggal atur jadwal seperti biasa.”“Oke!” Mila mengacungkan ibu jarinya. “Aku kabari besok pagi. Dan berapa total sementara yang ikut kelas online raising money for kids kita besok malam?”“Total 97 orang.”“Cut di 100, ya,” pinta Mila. “Dan selebihny

  • Setitik Nila   Bonchap~3

    “Yaaa, nggak papa juga, sih.” Mila menggaruk kepala setelah mendengar perkataan Gavin.Papanya dan Djiwa kompak keberatan, jika Nila meneruskan pekerjaannya bersama Mila. Bukan apa-apa, Gavin hanya tidak ingin terjadi fitnah atau kesalahpahaman di kemudian hari, karena Arif bekerja di gedung dan lantai yang sama dengan Nila.Lebih baik mencegah, daripada terlanjur mengobati.“Itu artinya, aku harus cari orang buat gantiin mbak Nila,” sambung Mila sambil memikirkan beberapa hal.“Betul,” jawab Gavin. “Karena perusahaanmu itu masih baru, cari aja satu atau dua admin yang bisa handle semua sekaligus. Jangan maruk harus punya staff ini, staff itu, karena kamu belum tahu bagaimana perputaran uang di perusahaan. Pintar-pintar kamu, bagi jobdesk.”“Aku cari satu dulu,” kata Mila sudah memahami perkataan Gavin. “Nanti aku minta tolong sama tante Atika, buat cari orang sama mau konsul sekalian.”“Tapi, jangan bilang kalau Nila nggak jadi kerja karena Arif,” pinta Gavin yang hanya bisa duduk di

  • Setitik Nila   Bonchap~2

    Begitu melihat mobil yang biasa digunakan Mila berhenti di area drop-off lobi. Djiwa bergegas menghampiri dan membuka pintu penumpang belakang. Segera menunduk dan tersenyum lebar ketika melihat putrinya berada di pangkuan Nila.“Sama Papi dulu,” kata Djiwa mengambil alih Emma dari istrinya. “Ke ruanganku atau mau ke kafe?”“Ruangan Papi aja,” jawab Nila sembari keluar dan menutup pintu. Kemudian, ia menoleh pada Mila yang juga baru keluar dari pintu di seberangnya. “Kamu jadi datangin papa?”“Aku ke keuangan aja,” ujar Mila lalu melambai dan melewati keluarga kecil tersebut. Ia tidak ingin menyela kebahagiaan yang ada, karena itu Mila masuk ke dalam lobi dengan segera. “Kabari kalau sudah selesai.”“Pak Budiman baru aja pergi,” ujar Djiwa segera mengajak Nila masuk ke gedung. “Dia bawa cucunya ke sini. Anaknya almarhum.”“Berdua aja?” tanya Nila. “Pak Wahyu sama Anggun nggak ikut?”“Berdua aja.” Djiwa mengangguk. “Cuma berkunjung, ngajak Putra lihat-lihat. Dan kamu tahu, Putra itu mi

  • Setitik Nila   Bonchap~1

    “Aduw, aduw, incess-nya Ibuk tambah cantik.” Mila mencium gemas pipi gembil Emma berkali-kali, hingga bayi cantik itu tertawa geli di gendongannya.Mila memang sangat menyayangi satu-satunya keponakan yang dimilikinya saat ini. Setiap melihat baju atau aksesoris yang lucu, tanpa ragu ia akan membelinya untuk Emma.Bahkan, hampir semua baju yang dimiliki bayi itu, berasal dari Mila. Saking sayangnya, Mila tiba-tiba mengubah panggilannya menjadi ibu, tidak mau lagi dipanggil tante.“Nanti habis lihat kantor Ibuk sama mami, kita mampir ke toko oma, ya!” lanjut Mila segera berbalik pergi meninggalkan Nila yang baru keluar kamar mandi. “Aku tunggu di luar, Mbak. Buruan, tante Atika sudah otewe.”Nila tidak menjawab. Ia mematut diri di cermin lalu menghela kecil. Beberapa pakaiannya sebelum hamil sudah tidak muat, karena berat tubuhnya yang belum kunjung turun setelah melahirkan.Namun, apa mau dikata. Setelah melahirkan, porsi makan Nila juga bertambah karena menyusui. Ia jadi cepat lapar d

  • Setitik Nila   SN ~ 70

    “Pokoknya, nanti kalau anak kedua laki-laki, harus ada nama Papa nyelip di sana.” Gavin masih saja protes, karena ada gabungan nama Kirana dan Atika pada cucu pertamanya.Ternyata, Arana adalah gabungan dari nama Atika dan Kirana.Nila sudah malas membalas Gavin. Ia sudah bilang hanya akan memiliki satu anak saja, tetapi papanya tetap saja menyinggung perihal anak kedua. Lebih baik ia menghabiskan sarapannya dengan segera, setelah itu kembali ke kamar untuk mengASIhi Emma yang sedang berada di gendongan Gavin.Djiwa saja sampai harus bersabar menunggu giliran menggendong putrinya, ketika Gavin berada di rumah.Untuk sementara, Nila diminta tinggal di kediaman Gavin. Kirana tidak tega jika harus melepas putrinya yang baru melahirkan dan tiba-tiba harus mengurus bayi seorang diri.“Papa! Ayok ke belakang!” ajak Mila yang baru memasuki ruang makan. “Kita berjemur sama Emma.”Nila memangku wajah dengan satu tangan. Terus memakan sarapannya dan membiarkan kedua orang itu membawa Emma untuk

  • Setitik Nila   SN ~ 69

    Sambil menahan nyeri yang semakin kuat, Nila bersandar di dada Djiwa, meremas lengan suaminya seakan itu satu-satunya cara untuk menyalurkan rasa sakit yang mendera. Djiwa berdiri di samping ranjang rumah sakit, membiarkan istrinya berpegangan erat. sementara Kirana, duduk di belakang Nila untuk mengusap punggungnya.“Kalau sakitnya gini, anaknya satu aja,” lirih Nila masih sempat-sempatnya protes seraya menahan nyerinya kontraksi.Tatapan Djiwa bertemu dengan Kirana. Ketika wanita itu memberi anggukan, Djiwa segera merespons ucapan istrinya barusan.“Iya, satu aja,” ucap Djiwa dengan terpaksa. Saat ini, Djiwa tidak akan membantah, karena memahami bagaimana kondisi Nila.Mana tahu beberapa tahun lagi pemikiran istrinya bisa berubah dan ingin menambah anak lagi.“Sabar, ya,” ucap Kirana dengan telaten mengusap punggung putrinya untuk menenangkan. “Mama tahu, kamu pasti kuat.”“Apa Mama dulu juga kesakitan gini, waktu mau lahirin aku?” tanya Nila setelah merasa sakitnya mulai berangsur

  • Setitik Nila   SN ~ 68

    “Mas, aku gendut banget, ya?” tanya Nila saat berdiri di depan meja riasnya. Berbalik ke kiri dan ke kanan, melihat bentuk tubuhnya yang jauh berbeda seperti sebelum hamil. “Dari pipi sampai ke jempol kaki, bulet semua.”Djiwa baru membuka mulut, tetapi mengatupkannya kembali. Pertanyaan tersebut seperti bumerang. Apa pun jawaban yang nantinya Djiwa beri, akibatnya pasti akan kembali pada dirinya sendiri.“Mas, aku tanya loh,” ujar Nila berbalik dan melihat Djiwa menutup laptop lalu meletakkannya di nakas.“Ini sudah malam dan besok kita diminta datang ke wisuda Nila,” ujar Djiwa berusaha mengalihkan obrolan.“Justru karena mau datang ke wisuda, aku ngerasa—”“Yang terpenting itu, anak kita sehat,” sela Djiwa menyingkap selimut di sampingnya dan meminta sang istri berbaring di sebelahnya. “Masalah badan, nanti setelah lahiran kamu bisa ... yoga atau pilates.”“Anakku siapa yang jaga kalau aku pergi olahraga?” Nila berjalan perlahan menuju tempat tidur, tetapi hanya duduk bersandar pad

  • Setitik Nila   SN ~ 67

    “Kamu itu lebay, La,” ujar Nila geleng-geleng setelah mendengar pernyataan Kirana barusan. “Yang ada itu, wisuda baru ditemenin mama sama papa, bukan pas sidang. Kasihan tauk, Mama disuruh nunggu kamu sidang.”“Mama yang mau, kok.” Mila memeletkan lidah pada saudaranya. “Lagian nanti Mama aku bawain laptop, biar bisa nunggu sambil nonton sama ngemil.”“Harusnya jangan mau, Ma,” Nila beralih pada mamanya yang duduk santai di sofa panjang bersama Mila.Sejak pagi, Nila sudah berada di kediaman Gavin karena minta di antar ke rumah tersebut. Ada yang harus dibahas bersama Mila mengenai perusahaan, yang rencananya akan launching awal tahun depan.“Ihh, Mama aja nggak papa. Kok, kamu yang repot, sih, Mbak?” Mila mulai sewot, karena Nila terlalu banyak protes. Padahal, Kirana terlihat santai-santai saja.Nila menyeruput es susu vanilanya, sambil asyik menikmati rujak buah sendirian. Tidak ada yang menemani, karena mangga yang dibeli Kirana rasanya masam. Namun, Nila justru menikmatinya dengan

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status